Hari ini Yoon terlihat lebih cerah dibanding kemarin. Entah karena Sua tidak lagi terlihat seperti zombi atau karena ada hal lain yang membuatnya senang, Sua tidak tahu. Yang jelas Sua senang melihat mata Yoon berbinar cerah dan ia terus menunjukkan senyuman terbaik yang bisa ia tunjukkan.
Sua tersenyum samar dan menundukkan pandangan memandang red velvet yang tinggal separuh di hadapannya. Suasana kafe yang ramai tenang juga membuat Sua merasa lebih baik. Tidak seburuk kemarin dan mengingat Han tidak lagi terlalu menyakitkan. Ia berharap Han cepat sembuh. Sua juga tidak melihatnya lagi hari ini. Tapi itu tak masalah. Yang terpenting baginya saat ini adalah kesembuhan Han.
"Melamun lagi," itu bukan pertanyaan. Yoon memandang Sua dengan kedua tangan terlipat, bibirnya mengerucut berlagak sebal.
Sua tersenyum. "Well, ada beberapa hal yang kupikirkan akhir-akhir ini."
Yoon menunggu. Siap dengan apa pun yang akan Sua ceritakan padanya.
Sua meringis. Sikap Yoon membuatnya teringat pada hari-hari di mana Han belum muncul dalam hidupnya. Beberapa hal memang tidak semenyenangkan saat Han ada. Tetapi banyak hal lain akan lebih mudah tanpa kehadirannya.
Sua menatap Yoon lagi dan menyadari tidak tahu apa yang harus dikatakan. Ia tidak tahu memulainya dari mana karena ia sendiri tidak tahu dari mana semua ini di mulai. Bahkan sebagian kecil dirinya menolak hanya karena perubahan sikap Han membuat ia setersiksa ini.
"Ini tentang Han, ya?"
Sua terkesiap. Bagaimana Yoon tahu? Apakah ia terlihat sejelas itu?
Yoon tersenyum kecil. "Orang lain tidak akan mengerti, tapi karena ini adalah aku dan yang kulihat adalah kau, maka aku mengerti."
Penjelasan Yoon membuat Sua tenang. Melelehkan bongkahan es yang mendadak membekukan organ-organ tubuhnya. Salah satu hal yang terkadang mengerikan dari Yoon adalah, bahwa terkadang ia bersikap seolah bisa membaca pikiran Sua. Mengerikan sekaligus melegakan, Sua mengoreksi.
"Ada masalah apa dengan kalian?" Yoon menjatuhkan pandangan pada tiruan bunga lily di meja. Yang mengapung tenang dalam mangkuk kristal mungil. Ia menunjuk-nunjuk kelopak bunga dengan ujung jari, membuat bunga itu terombang-ambing di atas permukaan air.
Sua ragu sejenak. "Yoon, apakah ini normal?" Katanya penuh emosi. Bahunya menegang dan ia tidak dapat mengendalikan berbagai emosi yang menyerangnya saat itu.
"Tergantung bagaimana aku mendengarnya," sahut Yoon tenang. Masih memainkan kelopak bunga dengan ujung jari.
"Kemarin lusa Han bersikap aneh sekali," Sua menekankan kata aneh dalam kalimatnya. "Kau tahu," padahal hanya Sua sendiri yang tahu. "Han sangat baik dan ramah, tetapi mendadak ia bersikap seolah kami tidak pernah sedekat itu. Seolah.. Seolah.. Dia dengan sengaja mengasingkan diri dariku."
"Apa yang salah denganku?" Sua mengakhiri kalimatnya dengan desahan kecewa yang kentara sekali.
Yoon tidak mengubah sedikit pun posisi duduknya. Tetap tenang memainkan si lily palsu. "Salah," ujarnya seolah tengah menjawab pertanyaan yang hanya memiliki dua jawaban benar atau salah.
Sua bergeming tak mengerti.
"Bukan apa yang salah denganmu, tapi apa yang salah dengan kalian."
Tepat saat itu pintu kafe terbuka. Tubuh jangkung Yuta dan Ben muncul menyita perhatian seisi kafe. Sua membeku dengan napas tertahan. Mengikuti langkah si penyita perhatian yang mendekat ke meja mereka di sudut ruangan. Meja terjauh dari keramaian.
"Bernapas, Sua," Yoon mengingatkan.
Sua bernapas dan memutar bola mata. "Sebentar lagi kau yang akan kehabisan napas."
"Apa maksud-"
"Halo," Ben menyapa dengan sebelah tangan terangkat. Ia tersenyum lebar, kelewat ramah dari seharusnya.
Sua tepat. Yoon terlihat seperti akan terkena serangan jantung. Ia mencibir. "Bernapas, Yoon."
Yoon bernapas. Melirik Sua sekilas dan membalas sapaan Ben hati-hati.
Sua tidak melupakan ucapan Yoon sebelum kedua makhluk ini datang dan ia akan menanyakannya nanti karena belum mengerti.
"Bolehkah kami bergabung dengan kalian?" Lagi-lagi Ben yang bicara. Nadanya penuh harap.
Entah apa gunanya Yuta di sana. Sebagai pemanis atau apa. Ia tak bicara dan hanya tersenyum. Senyuman yang mampu membuat siapa pun ingin menciumnya karena memang manis sekali. Sua pun mengakui itu. Hanya saja ia tak ingin mencium Yuta.
Sua menunduk, mengaduk jus stroberinya yang tersisa. Membiarkan Yuta duduk di sisinya dengan Ben di seberang mereka. Reaksi Yoon pasti asik sekali untuk dilihat. Tetapi suasana hati Sua sedang tidak mendukung. Jadi ia membiarkan saja mereka mengobrol, termasuk Yuta, tanpa berniat untuk masuk sedikit pun.
Awalnya tak ada yang aneh dengan semua ini. Sampai Sua menyadari Yoon tidak segugup biasanya. Bahkan kini ia mengobrol lancar dengan Ben. Yuta hanya menyahut sedikit. Dan mendadak Sua merasa ia dan Yuta jadi seperti nyamuk. Apa ada sesuatu yang ia lewatkan? Tanpa sadar Sua menegakkan punggung.
"Kau suka red velvet?"
Sua menoleh diluar keinginannya. Memandang Yuta yang memandangnya juga, tersenyum namun ragu-ragu.
"Hmm, ya," sahutnya tanpa minat. Lalu mengalihkan pandangan segera.
Jelas Sua sudah kelewat banyak. Apa yang kini Yoon dan Ben bicarakan? Dan kenapa... Kenapa Ben menatap Yoon seperti itu? Sua sadar sepenuhnya hal itu membuat ia terkesiap sekaligus bergidik ngeri. Cara Ben menatap Yoon begitu lembut, bagi orang lain tentu akan dengan mudah mendefinisikan tatapan itu sebagai cinta. Seketika Sua merasa mual. Mom dan Dad, lalu yang akan segera datang Ben dan Yoon. Semua orang menemukan belahan jiwa mereka dan Sua ditakdirkan untuk tetap sendirian. Sua nyaris menyakini bahwa dalam takdir hidupnya ia tak memiliki belahan jiwa atau apalah orang menyebutnya. Beberapa hal yang dianggap normal bagi orang lain tak perlu ada dalam hidup Sua, dan ia yakin memang lebih baik begitu.
"Oh, ya?" Ben terkesiap. "Kakek Yuta juga berasal dari Jepang," Ben menoleh bergantian pada Yuta dan Sua dengan senyum lebar yang masih melekat di bibir.
"Ya, itu benar," suara Yuta terdengar lebih lirih dari sebelum-sebelumnya.
Sua menoleh. Laki-laki itu tak terlihat secerah saat melangkahkan kaki masuk ke kafe. Seperti ada sesuatu yang sudah menyakitinya dan Sua tahu jika penyebabnya adalah Sua sendiri.
Ia memutar otak meski enggan. "Sungguh? Kalau dipikir-pikir aku juga baru sadar namamu mirip sekali dengan orang Jepang. "Jelas saja, Sua tidak memikirkan Yuta sama sekali, jadi mana tahu kemungkinan-kemungkinan itu.
Sontak tiga pasang mata di meja bundar itu menoleh. Terkejut dengan Sua yang tiba-tiba masuk dalam obrolan. Tapi tak lama karena Ben kembali bicara, kali ini sengaja memiringkan tubuh ke arah Yoon agar bisa mengobrol berdua saja.
Sementara Yuta, mendadak terlihat cerah dan senang sekali. Detik berikutnya ia bercerita banyak hal mengenai Jepang dan keluarganya. Dan bagian terbaiknya, Sua tidak perlu memberi banyak respon karena dengan umpan sedikit saja Yuta sudah berceloteh panjang lebar.
***
Dua jam yang serasa seabad. Akhirnya Sua bisa membebaskan diri dan keluar dari kafe. Yuta bersikeras untuk mengantarnya pulang. Membuat Sua susah payah membuat penolakan-penolakan halus padanya.
Halte nampak ramai dari kejauhan. Seperti biasanya. Sua meringis. Walau hanya beberapa kali Han menjemput Sua, hal itu telah membekas begitu dalam. Sua menunduk memandang sepatu putih yang ia kenakan. Menendang-nendang apa pun yang dapat dijangkau.
"Hei, Sua."
Sua tersentak. Ia yakin benar mendengar suara seseorang memanggil namanya. Suara yang begitu ia kenal dan rindukan. Tetapi tidak ada siapa pun di hadapannya, terutama Han.
"Sua."
Sua tersentak lagi dan sadar suara itu muncul dari belakang. Ia berbalik dan mendapati mobil Dad terparkir di tepi jalan. Hanya berjarak lima meter dari Sua. Dan Han. Ia berdiri di sisi mobil. Ia tak pucat lagi. Tetapi kali ini, kepedihan itu semakin jelas di wajahnya yang sempurna. Terlebih dalam sorot mata gelapnya yang seolah meneriakkan permohonan pertolongan.
"Apa?" Sua bicara tanpa sadar.
"Pulanglah bersamaku," wajah Han berubah datar. Tepat seperti saat pertama kali meminta Sua pulang bersamanya.
Sua masih diam. Mengutuk raut wajah Han yang tak terbaca dan berharap demi apa pun juga sorot pedih itu bisa hilang.
Han tak menunggu jawaban. Ia berbalik dan mendudukkan diri di balik kemudi. Sua melangkah mendekat sambil menyentak-nyentakkan kaki. Jelas menunjukkan sikap bahwa ia kesal. Meski pun otaknya jelas-jelas menolak tawaran Han, Sua tetap memaksa untuk ikut.
"Pakai sabuk penganmu, Sua," kata Han tanpa menatap Sua sedikit pun.
Sua memasang sabuk pengamannya dengan ganas. Ia juga bertekad untuk tidak menatap Han lagi. Ia tahu ia kekanak-kanakan tapi ia benar-benar marah. Bukan sepenuhnya karena sikap Han yang dingin lagi, namun kepedihan yang Han sembunyikanlah yang membuat Sua kalut. Demi apa pun ia tak suka melihat Han seperti menahan sakit begitu. Tidak, bukan tidak suka lagi, tapi benci.
Han sama sekali tidak menoleh atau bicara sepanjang jalan. Membuat Sua tersiksa setengah mati. Berkali-kali ia ingin bertanya ada apa dengan Han? Apa yang terjadi padanya? Namun bibir Sua menolak untuk membuka. Mulutnya terkatup rapat. Ia tak bisa tenang. Tubuhnya mengejang.
Dan akhirnya ia kalah. "Kau sudah sembuh?" Nada suara Sua sepenuhnya terdengar memprihatinkan.
"Ya, aku baik," ujar Han datar. Jelas tak ingin melanjutkan obrolan.
Sua mendesah putus asa. Memandang lurus ke jalan dan membiarkan waktu membawanya.
Hening begitu panjang. Sua bersumpah lebih baik melompat ke jalan daripada harus merasakan siksaan macam itu lagi. Ia membuka pintu mobil dan membantingnya. Berjalan menghentak-hentak tak memedulikan Han di belakang.
"Aku akan memanaskan makan malam untukmu," kata Han. Tahu-tahu sudah berada di belakang Sua.
Sua ingin sekali balas berteriak. Dan lagi-lagi ketika melihat sosok Han yang berjalan melewatinya, ia tahu ia tidak bisa melakukannya.
Kaki Han nyaris dua kali lebih panjang dari kaki Sua, pantas saja jika langkahnya jauh lebih lebar dan cepat. Sebentar saja Sua sudah tertinggal. Dan ia juga tidak berminat berjalan lebih cepat untuk menyusul Han.
Sua sengaja melangkah lambat-lambat. Ketika sampai di dapur Han sudah hampir selesai memanaskan makan malam. Sua duduk tanpa bicara. Memerhatikan Han dengan seksama. Ia tidak bodoh, ia tahu Han tersiksa melakukan semua itu. Sekeras apa pun ia berusaha terlihat tenang dan tanpa ekspresi, Sua tak bisa dibohongi.
Han meletakkan makan malam Sua tanpa suara. Ia akan langsung pergi begitu selesai. Sua tak tahan lagi.
"Kenapa Han?" Kalimat Sua terputus. Sesuatu seolah menahan tenggorokannya, membuat ia tak mampu menyelesaikan pertanyaan yang seharusnya ia selesaikan.
Han menghentikan langkah. Tubuhnya mengejang.
"Kenapa kau tetap melakukan ini meski kau membencinya?"
Sua tak bisa mengalihkan pandangan dari meja. Ia tak bisa memandang mata gelap Han. Ia tahu ia tidak akan sanggup.
"Berhentilah jika kau tak menyukainya. Berhenti mengurusku. Aku akan mengatakan pada Dad aku bisa mengurus diriku sendiri."
Hening. Sepertinya Han tidak berminat untuk memberi jawaban.
"Terima kasih atas makan malamnya, aku menghargainya," Sua tahu kalimat itu akan membuat Han pergi pada akhirnya.
Dan benar. Han pergi tanpa suara. Tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Sua bisa saja langsung pergi begitu mengatakan semua itu tadi. Hanya saja ia tidak bisa menyakiti perasaan Han dengan menyia-nyiakan makan malam yang sudah ia siapkan.
Ia mendesah. Mengangkat wajah menghadap langit-langit untuk menghalau air matanya keluar.
Apa yang salah denganku? Tanyanya dalam hati, lalu seketika sadar ia tidak memiliki kesempatan untuk menanyakan ucapan Yoon sebagai jawaban atas pertanyaan itu saat di kafe.
Sua tak akan menelepon. Ia tak ingin Yoon mendengar suaranya yang gemetar saat ini. Hanya butuh setengah detik bagi Yoon untuk tahu jika Sua sedang menangis. Sua ingin mendengar jawaban langsung, berhadapan langsung dengan Yoon.
***
Sua memandang bayangan dirinya di atas permukaan air. Mengerjap-ngerjapkan mata dan membiasakan matanya yang silau dengan sinar matahari. Ia mengangkat wajah. Langit biru dengan sedikit awan. Angin berembus pelan menerbangkan helaian rambut Sua, yang anehnya tak terasa di kulitnya.
Ia memandang sekeliling dengan panik. Kini ia berdiri di atas jembatan panjang yang terhubung dengan pantai. Ujungnya nyaris sulit dilihat dengan jelas. Ia sendirian. Kenyataan itu membuatnya ketakutan. Ia berputar, mencari ke segala arah, berharap ada orang lain selain dirinya di tempat itu.
Tidak ada. Tidak ada siapa pun! Tepat ketika ia akan berlari menuju pantai, sesuatu muncul dari dalam air. Sua membelalak dengan tubuh membeku. Itu manusia! Ia yakin telah berteriak tetapi telinganya tak mendengar apa pun.
Kedua tangan besar itu berusaha menggapai permukaan. Wajahnya muncul dan Sua yakin jantungnya berhenti berdetak. Itu Han! Han tenggelam!
Sua maju, bertekad untuk menyelamatkan Han meski harus kehilangan nyawanya sendiri. Namun saat itu, sebuah tangan lain mendadak muncul dari balik tubuh Sua. Menarik Sua menjauh dari tepi jembatan. Sua sadar sepenuhnya ia berteriak keras sekali.
Sua tersentak bangun. Napasnya memburu. Ia bermimpi. Tadi hanya mimpi. Sua memandang sekeliling hati-hati. Ia ada di kamar tidurnya. Ia merangkak ke samping, menjulurkan sebelah tangan untuk menyalakan lampu tidur di meja di samping ranjang.
Ia memejamkan mata. Berusaha untuk tenang dan mengatur napas. Sebelah tangannya terangkat menekan d**a. Sakit sekali. Sua menggeleng pelan. Seharusnya ia tak cemas lagi. Itu hanya mimpi buruk. Tapi siapa pemilik tangan sialan itu? Yang menariknya menjauh untuk menolong Han. Han bisa mati!
Sua meringis. Membenci kata-katanya sendiri. Lantas ia menyibakkan selimut dan merangkak turun. Meraih jam kecil di meja. Tepat pukul tiga pagi. Sua mendesah dan meletakkan jam itu kembali. Berjalan lunglai ke jendela dan menyibakkan tirainya. Seketika ia membeku.
Han ada di sana. Duduk di tepi kolam renang. Melamun. Jantung Sua tercabik. Sebenarnya apa yang terjadi padanya? Kenapa sampai membuat Han kesakitan begitu? Kenapa sampai membuat Han duduk melamun di tepi kolam renang jam tiga pagi?
Sua mengerang. Menyibakkan tirai kembali dan melangkah menjauh. Ia duduk di atas ranjang, memeluk kaki dan merenung.
Han tidak memberitahu Sua apa pun. Itu jelas berarti Han tidak ingin melibatkan Sua dalam masalahnya. Ya, itu benar. Seharusnya Sua sadar dan menyerah saja. Lalu menjalani kehidupan seperti saat mereka belum ada di kehidupan masing-masing. Sua menggeleng. Tak bisa membayangkan bagaimana jadinya.
Oh, ayolah. Sua memutar bola mata. Han tidak berarti apa-apa. Segalanya akan baik-baik saja. Sua melipat kedua tangan di atas lutut. Menopangkan dagu dan melamun. Membiarkan seluruh hal yang berkejaran dalam otaknya pergi. Ia tak ingin memikirkan apa pun lagi.
Pagi datang lambat sekali. Sua praktis tak bisa kembali tidur. Terus duduk dengan posisi yang sama dan ketika sinar matahari muncul dari celah-celah gorden, ia baru tersadar ia mati rasa.
Berendam air hangat tak membuatnya lebih baik. Bahkan Sua nyaris menjeburkan ponselnya ketika Mom menelepon. Sampai berapa lama ia akan terus melamun? Suara dalam otaknya berteriak, memaksa Sua untuk menyadarkan diri.
"Halo, Mom," Sua memaksakan suaranya untuk keluar. Terdengar asing dan kering di telinganya sendiri.
***
Keadaan Yoon berbanding terbalik dengan Sua hari itu. Ia begitu bersemangat dan bahagia sekali. Yoon juga jadi sering sibuk memeriksa ponsel. Beberapa kali wajahnya memerah seperti tomat. Dan pasti setelahnya ia akan mengangkat wajah, memasang raut wajah tenang yang tak berhasil.
Sua menunduk. Sedih karena tak mengimbangi kebahagiaan Yoon. Takut menjadi perusak suasana hati Yoon dengan keadaannya yang menyedihkan.
"Baiklah, jadi ada apa?" Sua mengangkat wajah. Berusaha memandang lurus-lurus mata Yoon sementara tubuhnya terus bergerak-gerak kelewat bersemangat.
Kini mereka berada di taman kampus. Tak terlalu ramai. Setidaknya tempat yang cukup aman jika Yoon akan berteriak-teriak.
"Kurasa kau akan menyesal karena pulang lebih awal kemarin," Yoon tersenyum lebar-lebar, nyaris mengerikan.
"Oh," Sua teringat saat mereka di kafe bersama Ben dan Yuta. Ngomong-ngomong soal jawaban Yoon saat itu, Sua sudah tidak ingin menanyakannya lagi. Ia sudah menyerah dengan menerima kenyataan bahwa Han tak menginginkan dirinya untuk terlibat.
"Memangnya ada apa?"
Yoon mengatur napas sebelum menjawab. "Ben meminta nomor ponselku," ia memiringkan tubuh ke satu sisi.
Sua meringis. Mengira Yoon akan jatuh dan menyesal seketika karena hal itu tak terjadi.
Yoon mengibaskan sebelah tangan tak sabar. "Ini luar biasa," ia nyaris berteriak. "Kurasa Ben menyukaiku, dan kau tahu aku sangat menyukainya..." Yoon tak mampu meneruskan kalimatnya, ia benar-benar akan meledak saking senangnya.
Sua mengangguk-angguk. "Aku tahu," ia memang tahu Ben menyukai Yoon sama besarnya dengan Yoon menyukai Ben. Itu jika dilihat dari cara mereka menatap satu sama lain.
"Jadi sudah sejauh mana?" Sua menginterupsi euforia Yoon.
Kali ini Yoon berusaha santai. Ia memutar bola mata seolah masalah itu sepele. "Belum sejauh yang kau kira."
Nah, memangnya Sua mengira apa?
"Tapi aku yakin," nada suara Yoon penuh harap. "Hubungan kami pasti akan berjalan baik."
Untuk pertama kalinya sejak dua hari terakhir, sudut-sudut bibir Sua melengkungkan senyum.
"Hei, kemarin kau juga mengobrol banyak dengan Yuta," Yoon menyeringai jahil.
Senyum Sua mendadak hilang. "Tidak seperti itu."
Masih dengan seringaian mengerikan itu, mata Yoon menyipit. "Menurutku kalian terlihat cocok, kok."
"Oh, please, Yoon," Sua memutar bola mata kesal.
"Saat aku melihatmu bersama Yuta, rasanya seperti melihat sepasang tokoh anime yang keluar dari komik."
Sua mendenguskan tawa sinis. Ia kira istilah itu hanya berlaku untuk Yuta.
Yoon mengarahkan cermin di sebelah tangannya ke wajah Sua. Sua sendiri tak sadar sejak kapan cermin itu ada di sana.
"Jangan memandang rendah dirimu, Sua," Yoon memeringatkan.
Yoon adalah satu-satunya sahabat yang Sua miliki. Ia orang yang peka dan jelas mengenal Sua lebih dari siapa pun di dunia. Bahkan pengetahuan Yoon tentang Sua mampu mengalahkan Mom. Dan Yoon tahu pasti betapa Sua membenci dirinya. Betapa ia membenci wajah yang ia miliki karena terlihat mirip dengan ayah kandungnya. Mau tak mau Sua memandang pantulan wajahnya di cermin. Alis yang tergaris lurus persis seperti yang dimiliki Mom. Garis mata tajam.. Dan mata gelap itu. Mata yang ia benci karena itulah warna mata ayahnya. Hitam pekat. Sua berusaha mengusir ingatan itu jauh-jauh. Perlahan memandang turun melewati hidung dan bibir kecilnya yang penuh. Tampak pucat.
"Kau lupa memakai lip balm, ya?" Tiba-tiba Yoon nyeletuk. "Bibirmu kering tahu."
Sua mengerjap dan mengalihkan pandangan. "Aku agak terburu-buru pagi ini," padahal yang benar adalah ia terlalu sedih untuk memikirkan hal lain, hal yang penting untuk dirinya sendiri.
Yoon mendengus tak suka. Ia melipat tangan di meja dan menjadikannya sebagai tumpuan. "Oh, ya," ia teringat kembali pada obrolan mereka sebelumnya.
Sua berharap bisa menyuarakan pikirannya untuk tak membahas Yuta lagi.
"Sua, bukankah kau bisa melihat tatapan orang yang menyukaimu?"
Sebelah alis Sua terangkat heran karena tiba-tiba Yoon membahas hal lain. "Ya, aku bisa. Tapi itu hanya berlaku untuk orang lain. Sebagai contoh, aku bisa melihat dari matamu kau menyukai Ben dan-"
Yoon menggeleng. "Terhadap dirimu sendiri bagaimana?"
Sua mendecak. "Seperti kau sendiri bisa, saja."
Yoon tak langsung menyahut. Cukup lama Yoon diam. Sua tidak tahu kenapa dan tidak bisa mengartikan diamnya Yoon. Ia sangat sulit ditebak.
"Kau tahu Yuta menyukaimu, kan?"
Lagi-lagi Sua mendecak. "Aku tahu karena kau memberitahuku."
Yoon meringis. "Syukurlah."
"Apa?" Tanya Sua galak.
Yoon menahan napas. Membuat Sua terkejut.
"Kau terkena serangan jantung?" Katanya lebih galak dari sebelumnya.
Mata sipit Yoon membelalak memandang Sua. "Kemarin Yuta meminta nomor ponselmu."
"Oh, tidak," napas Sua tertahan. Ia menggeleng lemah. Ia tahu maksud dari sikap Yoon.
"Maaf," Yoon nyengir. "Kupikir hubungan kalian sudah lebih baik."
Sua mendesah. Apanya yang perlu dimaafkan? Yoon tidak terlihat menyesal sama sekali.
"Ayolah, tak akan seburuk itu," Yoon menyemangati.
Sua meringis. Mendadak merasa mual. "Yoon, kau tahu aku benci hal itu. Aku tak akan kencan dengan siapa pun."
Yoon memberengut. Malah terlihat lebih galak dari Sua. "Kau pikir aku akan membiarkanmu begitu selamanya."
"Kau tahu aku membencinya," Sua mengerucutkan bibir seperti anak kecil yang sedang sebal. Biasanya hal itu bisa membuat Yoon lebih masuk akal versi Sua. Termasuk tidak akan menasehatinya panjang lebar.
"Tidak," kata Yoon tegas. "Itu tak mempan lagi untukku. Aku tahu Sua apa yang kau pikirkan. Tapi kau harus ingat satu hal, tak semua laki-laki itu sama."
Sua mengatur napas. "Baiklah, akan kupikirkan. Sekarang, ayo kita makan siang."
Yoon mengangkat tangan menahan gerakan Sua. "Pertama, kuharap kau tidak sedang mengalihkan perhatian. Kedua, kakek membawakan bekal spesial untuk kita," wajah Yoon berseri-seri. Lantas mengeluarkan sebuah kotak makan siang berukuran lebih besar dari ukuran normal dari dalam tas.
"Kakek?" Sua menyadari ia ikut bersemangat, "Kakek sudah keluar dari rumah sakit?"
Yoon mengangguk bangga, layaknya seorang ibu yang memamerkan keahlian anak lelakinya, "Kakek juga mencarimu, katanya mampir lah jika sempat."
"Jika sempat," Sua meringis mendengarnya. Kakek Yoon pasti mengira Sua masih sibuk karena belum sempat menjenguknya. Terakhir kali Sua bertemu dengannya untuk mengabarkan kabar pernikahan Mom.
Yoon membuka penutup kotak makan siang dengan semangat berapi-api. "Nasi campur paling enak di dunia!" Seru Yoon.
Sua mengangguk setuju. Yoon memberi sebuah sendok pada Sua dan berseru selamat makan.
Menikmati masakan Kakek Yoon setelah sekian lama, membuatnya rindu pada laki-laki bersahaja itu. Dalam bayangan Sua, seperti itu jugalah kakeknya semasa hidup. Hangat dan penuh sayang. Seolah ia memiliki kasih sayang yang tak akan pernah habis berapa banyak pun ia membaginya pada orang lain.
"Kakekku," Yoon bicara disela-sela kegiatan mengunyah. "Adalah contoh nyata bahwa tidak semua laki-laki seburuk yang kau kira."
Sua tersenyum nanar. "Kau benar, seharusnya aku tersadar lebih awal, kakekku juga sama."