Chapter 4

1539 Kata
Yoon membanting nampan makan siangnya di meja dan mengenyakkan diri di kursi di hadapan Sua. Ia jelas sedang tak sabar dan ingin cepat-cepat mendengar penjelasan lengkap Sua. "Bahkan kau mengatakan seperti orang asing kemarin," matanya membelalak tak percaya. Sua memutar bola mata. Tak mengerti kenapa Yoon menanggapi kedekatannya dengan Han sedemikian rupa. Oh, ayolah, ini bukan hal aneh yang perlu dijelaskan. Karena Sua sendiri tidak tahu. Ia benar-benar tidak tahu. Segalanya mengalir begitu saja. "Aku nyaris terkena serangan jantung ketika melihatmu turun dari mobil Han," mulut Yoon membuka lalu menutup. Seolah begitu sulit melanjutkan apa pun yang ingin ia katakan selanjutnya. Sua tersenyum menenangkan. "Aku tidak merasa ada yang aneh dengan kami. Hanya.. Kau tahu, ternyata mengobrol dengan Han tidak sesulit yang aku kira. Percayalah kau akan mengatakan hal yang sama jika sudah mengenalnya." Lalu ekspresi Yoon berubah. Ia menghela napas pelan dan menjadi lebih rileks. Perubahan yang sama sekali tak Sua mengerti. Dan Sua menyadari bukan antusiasme yang menggerakkan Yoon saat ini. Melainkan kecemasan yang bagi Sua terlihat aneh. "Yah, aku hanya terkejut karena baru kemarin kau mengatakan hubungan kalian justru seperti orang asing," ia meletakkan kedua tangan di sisi nampan makan siang, bersiap untuk makan. "Dan jika tiba-tiba Han mengenalkanmu pada Ben, jangan lupakan aku." Sua mendengus. Tak mampu tertawa dengan candaan itu. "Kau tahu," katanya setengah merenung. "Segalanya terjadi begitu saja. Dan yang aku tahu menyenangkan bisa menghabiskan banyak waktu mengobrol dengan Han. Apa pun yang kami bicarakan mengalir dan aku belum pernah senyaman ini mengobrol banyak hal dengan orang yang baru kukenal." Yoon nyengir. "Itu bagus Sua, kalian menjadi saudara yang baik untuk satu sama lain." Sua tak menyukai argumen itu. Keningnya berkerut. Ia menjatuhkan pandangan pada meja dan memilih untuk tak berkata apa-apa lagi. "Mungkin aku hanya salah lihat," gumam Yoon samar. "Apa?" Tanya Sua bingung. Barangkali ia salah dengar. Tepat ketika ia mengangkat wajah, kehadiran tiga sosok yang mendekat mengalihkan perhatian Sua dari gumaman tak jelas Yoon. Senyuman Han membuat Sua tak ingin menoleh lagi. Ia bahkan tak memedulikan dua sosok lain di sisinya. Sampai mereka benar-benar sampai di samping meja mereka, barulah Sua balas tersenyum. "Halo, Han," sapanya ramah. Sontak Yoon mengangkat wajah dari nampan makan siangnya. Menyadari kehadiran orang-orang tak di undang di meja mereka dan nyaris tersedak saking terkejutnya. Sua tak bisa tak tertawa melihat reaksi Yoon yang satu itu. "Apa aku mengejutkanmu?" Tanya Ben tanpa diduga-duga. Sua dan Yoon saling pandang seperti orang bodoh. Akhirnya Yoon mendongak dan memandang Ben kembali. "Tidak," sahutnya kelewat datar. Ben meringis. "Maafkan aku," jelas ia tidak memercayai jawaban Yoon dan mengira Yoon kesal padanya. Yuta menyikut lengan Han dan tersenyum. Satu-satunya hal yang begitu menarik perhatian Sua dari Yuta adalah mata hitam pekat yang ia miliki. Mata yang sama persis seperti milik Sua. Bukan cokelat gelap, tetapi mata yang benar-benar hitam. Dan senyum di wajahnya membuat Yuta terlihat manis sekali. Han tersadar dan mengalihkan pandangan pada Sua lagi. "Jadi," katanya ragu, tak tahu pasti apa yang harus dikatakan. "Perkenalkan, Sua dan Yoon." Sua tersenyum mendengar nama Yoon ikut disebut. Membuat temannya yang satu itu terlihat seperti akan tersedak lagi. "Ini Ben dan Yuta, dan khusunya aku Han," ia berpaling dan tersenyum kecil pada Yoon. Yoon membungkuk kaku. Gerakan itu sukses membuat Sua terkikik geli. "Senang berkenalan denganmu," Yuta menjulurkan sebelah tangan pada Sua. Sua mengernyit bingung mengingat posisi Yuta lebih dekat dengan Yoon. Kenapa ia tidak menyalami Yoon terlebih dahulu? Melihat kerutan di wajah Sua membuat Han bereaksi cepat. Ia menepis tangan Yuta dan mengajaknya duduk. Atau lebih tepatnya mendudukan Yuta di samping Yoon. Yuta berusaha menolak tapi tidak bisa memprotes lagi pada akhirnya. Kemudian Han meletakkan kedua tangannya di bahu Ben dan melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan pada Yuta, menyeretnya duduk di sebelah Yuta. Sisa dua kursi kosong di sisi Sua dan Han duduk di salah satunya. Menyisakan satu kursi kosong di antara mereka. Ben nampak tak keberatan dengan pengaturan posisi duduk itu. Ia mencondongkan tubuh ke depan dan berpaling pada Yoon melewati Yuta. "Aku juga senang berkenalan denganmu," katanya sambil tersenyum lebar. Saat itu Sua baru menyadari mata biru milik Ben. Yoon benar, Ben memiliki mata biru yang benar-benar biru. Sangat indah. Selain itu, Ben juga memiliki garis rahang yang tegas. Hidungnya bengkok, dan keseluruhan wajahnya lebih dominan khas wajah orang eropa. Ia melirik Yoon yang sesaat terlihat seperti akan kehilangan kesadaran. Ia membeku di kursinya dan Sua senang sekali melihat pemandangan itu. "Kenapa kau tidak makan apa pun?" Sua menyeret perhatiannya kembali pada Han. "Aku memang sedang tidak ingin makan," sahutnya ringan. "Kau harus makan sesuatu," ada sedikit kekhawatiran di balik raut wajah Han yang kelewat tenang. "Kau juga tak makan apa pun," Sua berdalih. "Oh," seolah baru tersadar dari tidurnya, Han berbalik menatap Yuta dan Ben. "Tidak keberatan, kan, mengambilkan untuk kami juga." Yuta terlihat keberatan tapi diam saja, sementara Ben mengangguk setuju. "Tak masalah," ia menepuk bahu Yuta dan berlalu. Yoon menggunakan kesempatan ini untuk menatap Sua. Di balik tatapan itu Sua tahu Yoon berkata kenapa tidak memperingatkan dirinya perihal kedatangan si pujaan hati. Sua terkikik, membuat Han di sisinya bergeming bingung. "Sejujurnya aku bosan dengan menu di sini," kata Sua mengalihkan perhatian dari Yoon. "Kalau begitu jangan memaksakan diri untuk makan di sini, makan di tempat lain saja." Sua mendecak berlagak kesal. "Barusan kau yang menyuruhku makan." Keduanya tertawa. Tanpa sadar tenggelam pada obrolan mereka sendiri. Dan dalam sekejap melupakan kenyataan bahwa ada Yoon yang membeku menyaksikan kedekatan yang tak seharusnya. Bahkan ketika Ben dan Yuta kembali, masing-masing membawa dua nampan makan siang, tidak membuat mereka sadar bahwa bukan hanya mereka saja yang ada di dunia. Hal itu membuat raut wajah Yuta berubah. Keningnya berkerut. Bingung. Tidak mengerti. Dan nyaris tidak menyukai apa yang dilihatnya. "Aku membawakan makan siangmu, Sua," Yuta memberikan salah satu nampan makan siangnya pada Sua. Sua mengalihkan pandangan padanya sesaat, dengan senyuman yang bukan ditujukan untuk Yuta dan berterima kasih. Lalu melanjutkan obrolan dengan Han. "Ide bagus," pekik Sua senang saat Han mengajaknya mampir belanja dalam perjalanan pulang nanti. Han tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi-gigi putihnya yang rapi. Jelas senang mendapat reaksi yang menyenangkan dari Sua. *** Waktu berlalu cepat saat Han ada di sisinya. Kehadiran Han juga memengaruhi suasana hati Sua sepenuhnya. Ia tak berhenti tertawa selama beberapa jam terakhir. Dilihat dari luar, Han cenderung dewasa dan serius. Awalnya Sua juga tak menyangka ternyata Han sosok yang hangat dan begitu menyenangkan. Ia lucu dan senyuman yang memukau itu membuat Sua tak menginginkan hal lain di dunia selain berlama-lama untuk mendengarnya tertawa. Han memasak banyak sekali hidangan untuk malam itu. Sua tidak bisa membantu banyak. Ia sangat payah. Meski begitu Han tidak keberatan sama sekali. Ia mengatakan bahwa yang terpenting baginya bisa membuat Sua mengakui potensi yang ia miliki. Malam semakin larut ketika mereka bersandar di konter sambil menikmati soda dingin. Mengobrol santai seolah tak memiliki beban apa pun. Sua tak mengingat kapan terakhir kalinya ia merasa seringan itu. Han menghabiskan tegukan terakhir sodanya. Menunduk menatap kaleng kosong itu dan sejenak memikirkan sesuatu. Sua meletakkan kaleng sodanya di konter dan menghela napas panjang. "Ngomong-ngomong apa yang akan kau lakukan besok?" Han mengangkat wajah. Ia menggeleng pelan. "Belum ada rencana, mau mengajakku ke suatu tempat, ya?" Nadanya menggoda. Sua mendengus. "Mungkin ke suatu tempat yang sangat jauh." Han memutar tubuh bersandar miring pada konter dengan sebelah tangan. "Seberapa jauh?" Sesaat Sua menimbang-nimbang. "Mmm, ruang keluarga. Mau menonton film denganku? Aku yang akan memasak popcorn." Bibir Han membentuk huruf o yang sempurna dan lucu. "Aku tak ingin mengambil resiko dan kehilangan dapur." Tawa mereka diinterupsi oleh dering ponsel Han. Han mengangkat bahu dan melangkah enggan ke meja makan tempat ponselnya berada. "Dad," ujarnya pada Sua, sesaat sebelum menempelkan ponsel ke telinga. Sua mengangguk. Menghabiskan sisa soda dalam kaleng lalu berjalan mendekat. Menarik sebuah kursi untuk ia duduki dan menunggu. Menumpu wajah pada kedua tangan yang terlipat di meja dan memerhatikan dengan sorot mata lembut tanpa menyadarinya. Bukan obrolan Han dengan Dad yang Sua perhatikan, melainkan bagaimana cara Han bicara. Atau ketika mulutnya yang terkatup membuat seulas garis miring yang samar. Ingatan Sua kembali pada hari pernikahan Mom dan Dad. Saat itu ia berpikir tak satu hal pun pada diri Han yang tak ia sukai. Dan hal itu rupanya masih bertahan sampai saat ini. Tak satu pun. Segala dalam dirinya begitu sempurna. Han meletakkan ponselnya kembali ke meja. "Ternyata sudah larut, tidurlah." Sua mengerjap dan menegakkan tubuh. "Besok hari minggu, tidur lebih lambat dari biasanya bukan masalah bagiku." Sebelah sudut bibir Han terangkat. Senyuman yang nyaris sama seperti yang Sua lihat ketika ia mengobrol di telepon dengan Dad, hanya kali ini lebih hangat. "Tapi akan jadi masalah untukku." Suara itu terdengar begitu lembut di telinga Sua. Seperti mendengar lagu nina bobo saja. Ia memandang wajah sempurna Han untuk beberapa saat untuk akhirnya memutuskan menurut. "Selamat malam, Han," ia berlalu ceria. Menaiki satu per satu anak tangga dengan perasan ringan. Mendadak Sua menghentikan langkah dan menoleh. Han masih menatapnya dengan ekspresi yang tak dapat Sua baca. Napasnya tertahan. Dan Sua merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Bibirnya terlalu kaku untuk membentuk seulas senyum samar sekali pun. Setelah keheningan panjang akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan langkah tanpa perlu mengatakan apa pun lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN