Sua mengira-ngira sudah berapa lama sejak ia pulang dan duduk bersandar pada rak buku tanpa melakukan apa pun. Ia melayangkan pandangan pada jam dinding. Berusaha mengingat, menebak tapi hasilnya sia-sia. Ia bahkan tak ingat kapan ia sampai di rumah ini.
Setumpuk buku-buku di sisinya tak tersentuh. Sekuat apa pun ia mencoba untuk mengalihkan perhatian, ia tidak bisa. Mengenyahkan Han dari pikirannya jauh lebih sulit dari yang ia kira. Mengerikan sekaligus membingungkan. Yang lebih mengerikannya lagi, Sua justru melakukan kebiasaan Yoon yang tak ia sukai. Mendengarkan lagu-lagu sedih.
Sua mengerang. Nyaris ingin melempar ponselnya jauh-jauh. Kenapa rasanya harus seperti ini. Lagu-lagu menyedihkan itu serasa tepat bagi jiwa Sua yang menangis. Astaga, ia pasti sudah gila. Ia bukan tipe orang yang semenyedihkan ini.
Mendadak lagu berhenti digantikan dering menyerupai dengung lebah. Sua melonjak kaget dan yakin seribu persen wajahnya pasti terlihat i***t. Dengan sebelah kaki ia menyeret ponselnya mendekat.
"Yuta," bibirnya bergerak tanpa sadar. Sua jelas ragu. Kenapa Yuta menelepon? Apa yang ingin ia bicarakan? Bodoh, kenapa tak langsung ia tanyakan saja?
Sua mengangkat ponsel ke telinga dengan sebelah tangan. "Ya, ada apa Yuta?"
Yuta terdengar terkejut. "Kau tahu ini nomorku?" Nadanya bersemangat dan senang. Seperti seseorang yang baru saja mendapati impiannya terwujud.
Sua terhenyak. Benar. Dari mana ia tahu ini Yuta? Sial. Pasti Yoon yang diam-diam menyimpan nomor Yuta di ponselnya. "Sialan, Yoon," desis Sua.
"Apa Sua? Maaf aku tidak mendengarnya, suaramu pelan sekali."
Sua memutar bola mata. Tak perlu setulus itu untuk meminta maaf atas hal yang bukan kesalahannya. "Tidak apa-apa. Jadi ada apa Yuta? Kenapa kau menelepon."
"Mmm," Yuta bergumam ragu. "Hanya ingin memastikan Yoon memberiku nomor yang benar."
Sua mendengus. "Yoon tidak akan menipumu."
"Bukan begitu, hanya saja mungkin aku salah mengetikkan nomor ketika Yoon membacakannya. Kesalahan seperti itu bisa saja terjadi secara tak sengaja," nada suara Yuta sarat penyesalan.
Baiklah. Sua akui dirinya kelewat sinis. Ia menarik napas dan mencoba untuk bicara lebih baik. "Sekarang kau tahu tak ada yang melakukan kesalahan."
Yuta tertawa kecil, lega. "Iya. Aku senang sekali."
Sua tak tahu harus menjawab apa.
"Ngomong-ngomong apa yang sedang kau lakukan saat ini?"
Well, apakah Yuta berhak tahu tentang apa yang ia lakukan? Lalu untuk selanjutnya apakah Yuta akan bersikap begitu perhatian? Sua mengernyit. Tak menginginkan hal semacam itu dari Yuta.
"Halo? Kau masih di sana?"
"Ya.. Ya.." Sahut Sua terlalu cepat, jadi terdengar mencurigakan. "Aku sedang membaca buku, banyak sekali yang belum k****a," ia harap Yuta mengerti bahwa Sua menjadikan hal itu sebagai alasan untuk mengakhiri hubungan.
"Sungguh? Kau suka membaca buku?" Yuta berseru bersemangat.
"Suka," kata Sua lambat-lambat. Baiklah, ia curiga sekarang.
"Aku juga!"
Sua tahu saat itu Yuta pasti tersenyum lebar.
"Aku suka membaca n****+ terjemahan. Kau tahu, seperti karya J.K. Rowling dan Stephen King, Agatha Christi juga terkadang," Yuta menjelaskan tanpa ditanya.
Sesaat Sua kehilangan suaranya. "Saat ini aku sedang membaca seri n****+ Harry Potter," kali ini Sua tidak mengatakan itu untuk segera mengakhiri hubungan. Sejujurnya ia agak tertarik dengan selera Yuta yang mirip dengan seleranya.
"Harry Potter?"
Sua mampu menggambarkan berbagai ekspresi Yuta di ujung sana. Ia laki-laki yang mudah dibaca.
"Aku sudah merampungkan ketujuh serinya saat SMA," ujar Yuta bangga.
"Wow," kali ini Sua sungguh-sungguh tertarik. "Kau tahu seri Harry Potter itu karya lama, tapi aku baru menemukannya saat akhir semester di SMA. Dan ya, aku langsung jatuh cinta pada n****+ itu."
Yuta tertawa. "J.K. Rowling memang hebat. Dan jika aku sudah menemukan sesuatu yang menyenangkan untuk dibaca, aku akan mendedikasikan waktuku sepenuhnya untuk itu."
Sudut bibir Sua terangkat. Membentuk senyum miring. Ia cukup terkejut mendengar Yuta memiliki kebiasaan yang sama dengannya. "Aku juga," sahutnya lirih, lebih berharap agar Yuta tidak mendengarnya.
"Jadi, maukah makan malam bersamaku?"
Sua bergeming. Bingung karena mendadak Yuta mengalihkan pembicaraan.
"Aku tidak memaksamu, kok. Tidak apa-apa untuk menolak jika kau tidak ingin."
Nah, Yuta berlagak menjaga perasaannya atau apa?
"Mmm, sebenarnya," Sua berusaha mencari alasan. "Aku sedang mendedikasikan waktuku untuk merampungkan seri Harry Potter."
Yuta tertawa. Membuat Sua merasa lega. Lega yang aneh.
"Mau kubantu tidak?" Nadanya menggoda.
Sua melotot. "Jangan coba-coba memberiku spoiler!" Ancamnya berlagak serius.
Yuta tertawa lagi. "Baiklah, aku tidak akan berani."
Jeda sejenak.
"Kalau begitu aku tidak akan mengganggumu lebih lama lagi. Sampai jumpa besok."
Apa maksudnya besok?
Hubungan terputus. Sua mendengus dan membuang muka sementara lagu-lagu sedih yang menyayat-nyatat kembali beralun.
Sejenak ia berpikir. Memang tidak terlalu buruk. Tapi hanya sebatas teman.
Sua bangkit. Merapikan buku-buku kembali ke rak dan berpikir keras. Perutnya sudah meraung-raung. Ia lapar. Tapi ia tidak ingin keluar dan makan malam dengan Yuta. Toh, ia juga sudah menolaknya.
Sua meringis ngeri. Membayangkan betapa mengerikannya untuk keluar dari kamar tidur dan mencari makanan di kulkas. Ayolah, Sua! Ia menyemangati diri sendiri. Seingatnya masih ada sosis dan nugget yang bisa ia goreng. Tak terlalu sulit.
Sua meyakinkan diri sekali lagi dan melangkah keluar. Sepanjang jalan ia bertanya-tanya apakah perlu mencari tutorial menggoreng sosis dari internet. Langkahnya lambat. Bisakah ia keluar? Tapi ia tak bisa meminjam mobil Dad lagi. Ia juga tak terbiasa naik bus saat malam hari. Bagaimana dengan taksi? Sua memutar bola mata. Ia lebih menyayangi uang bulanannya. Taksi mahal, bodoh. Sua terus menggerutu.
Ia berjalan malas dan sampai di puncak tangga. Ia tercekat. Syukurlah kehadiran Han tak membuatnya melonjak kaget dan terlihat i***t. Tunggu, Han?
Sua merasa sesuatu memukul perutnya keras-keras. Apa ia perlu bersyukur karena tak langsung muntah saat itu juga?
Han diam memandang Sua. Sebelah tangannya mencengkeram pagar pembatas tangga. Dari posisinya terlihat seolah ia baru saja akan berjalan naik. Dan lagi-lagi. Kepedihan itu. Kepedihan yang sama yang begitu Sua benci.
Apa Han sakit lagi? Atau sebenarnya ia memiliki penyakit tertentu yang membuatnya kesakitan terus seperti itu? Sua menahan napas, tak mampu memikirkan kemungkinan itu lebih jauh.
Mulut Han membuka meyebut nama Sua. Tetapi Sua tak mendengar apa-apa.
Sua mati-matian memaksakan langkah turun. Mendekati Han yang mematung. Sorot matanya pedih. Ia tak lagi berusaha menyembunyikan itu. Atau mungkin ia sudah berusaha tapi tak lagi berhasil?
Bibir Han terkatup rapat. Tubuhnya mengejang. Sunyi sekali hingga hanya tarikan napas Sua yang mampu Sua dengar.
Sua mengembuskan napas. Berjarak tiga anak tangga dengan Han sehingga ia sedikit lebih tinggi darinya. "Kau..." Sua tak mampu meneruskan kalimatnya. Tenggorokannya tercekat. Padahal yang ia maksud hanya akan menanyakan apa Han baik-baik saja.
Karena Han tetap diam. Jadi Sua menyimpulkan bahwa kehadiran Han di sini bukan untuk menemui Sua apalagi bicara dengannya. Ia mengalihkan pandangan melewati Han. "Aku akan keluar untuk makan bersama Yoon," nada suaranya berubah dingin.
Sua tak perlu mengharapkan jawaban karena ia tahu tak akan mendapatkannya. Ia melanjutkan langkah, melewati tubuh Han. Sedikit perubahan rencana tidak masalah. Ia tidak sanggup berlama-lama melihat Han tersiksa begitu. Dan ia juga memutuskan untuk pulang larut agar tidak bertemu Han lagi.
Tiba-tiba sebuah tangan besar meraih lengan Sua. Sontak langkahnya terhenti. Tubuh Sua membeku. Tak bisa berbalik untuk memandang Han meski ingin.
"Maaf membuatmu salah paham padaku."
Sua mengernyit. Suara Han lirih sarat kepedihan. Sua jelas membenci itu. Terlebih lagi, apa yang Han bicarakan?
Tanpa melepaskan cengkeramannya pada lengan Sua, Han berpindah posisi. Kini mereka berhadapan. Sua ragu untuk mendongak. Takut memandang mata gelap itu dan tak bisa mengalihkannya lagi.
Hening begitu lama. Sua tak bisa membiarkan Han terus mencengkeram lengannya. Ia takut suara degup jatungnya yang kian liar dapat didengar oleh Han. Akhirnya Sua memutuskan memandang Han. Seketika Sua tahu. Apa pun yang akan laki-laki itu katakan bukan sesuatu yang mudah untuk diungkapkan. Setidaknya bagi Han sendiri.
Mata mereka bertemu. Seolah Han mencari sesuatu di balik matanya. Demi Tuhan, sesulit itu, kah, Han? Sua bisa saja berteriak saking penasarannya. Ralat, keadaan Han membuat Sua tak mampu menyakitinya.
"Maaf."
Astaga, Han. Kenapa ia terus meminta maaf. "Maaf untuk apa, Han? Kau tak memiliki salah apa pun padaku," sergah Sua jengah.
"Aku membuatmu tak nyaman belakangan ini," Han menunduk, memandang lengan Sua dalam cengkeramannya.
Sua meringis. Itu memang menyakitkan. Tapi ia rasa Han tak perlu meminta maaf. "Aku tak apa, Han," ia tak sepenuhnya jujur.
"Kau tak mengerti," nada suara Han meninggi sedikit. Nyaris terdengar normal.
Sua mendecak. "Bagaimana aku bisa mengerti, kau bahkan belum mengatakan apa pun."
"Sua, apa kau gugup?"
Sua terkesiap. Apa tadi?
"Apa saat ini kau gugup?" Mata gelap Han menangkap mata Sua. Seolah memandang langsung ke dalam jiwanya.
Mendadak Sua lupa cara untuk bicara. Jantungnya meronta-ronta lagi.
Han berkata lambat-lambat. "Apa kau merasakan sesuatu? Apa hatimu bergetar?"
Apa Han bercanda? Sial. Kenapa Sua tidak dapat tertawa. Padahal jika Yoon yang mengatakan itu Sua pasti sudah terbahak-bahak.
Mendadak Han menghela napas lemah. Seolah menyerah. Ia melepas cengkeramannya pada lengan Sua. Menunduk kalah.
"Han, aku sungguh tak mengerti?" Sua bingung bukan kepalang pada perubahan sikap Han.
"Kau benar-benar tidak mengerti?" Han memandang ke dalam mata Sua, mencari pembenaran.
Sua menggeleng lambat. Berusaha keras untuk tidak tenggelam dalam mata yang menghanyutkan itu.
Kening Han berkerut. Lagi-lagi seolah kesakitan. "Aku menyukaimu, Sua. Tidakkah kau mengerti itu?"
Sua kehilangan ekspresi di wajahnya. Sejenak ia mati rasa. Sua menggeleng. Secepat yang ia bisa menyeret kesadaran kembali dan memperingatkan diri bahwa yang Han maksud adalah suka sebagai kakak dan adik. Bukan hal gila barusan yang sesaat terlintas di otaknya yang bodoh.
"Tidak," bisik Han putus asa.
Apa? Bahkan Sua belum mengatakan apa pun.
"Aku menyukaimu bukan seperti itu Sua..."
Hei, sejak kapan Han bisa membaca pikirannya?
"Tapi lebih, aku menyukaimu bukan sebagai adik," alis Han bertaut, nadanya penuh penyesalan.
Tak mungkin. Sua mendapati dirinya membeku. Udara di sekitar hilang. Ia nyaris kehabisan napas jika saja Han tidak memandang ke dalam matanya lagi, serasa menyentuh jiwanya yang terancam mati. Sua menarik napas. Tak teratur.
"Dad memang memintaku menjagamu, tapi ia tak pernah memintaku untuk mengurusmu sepenuhnya. Aku sendiri yang menginginkan itu. Aku tahu, seharusnya tak begitu," sebelah tangan Han terangkat menyentuh kening.
Sekarang Sua mengerti. Arti dari raut wajah Han hari itu. Ketika ia memberi Sua pilihan sepenuhnya.
"Tapi aku tidak bisa, sulit sekali untuk mengabaikanmu. Aku tidak bisa mengabaikan perasaanku."
Sua bergeming. Otaknya bekerja lambat.
"Maaf karena aku mencintaimu..."
Kalimat itu terdengar lambat memasuki telinga Sua. Mungkin ia bermimpi. Ia pasti sudah gila mengira Han benar-benar mengatakannya.
"Aku akan pergi jika itu membuatmu lebih baik," Han sampai di akhir pengakuannya.
Meski begitu ingin. Sulit untuk menemukan kembali pengendalian dirinya.
Han melangkah gamang. Dan entah bagaimana Sua tak bisa membiarkannya. Ia tahu ini gila. Tapi dalam sedetik ia sudah mampu mencerna semuanya. Dalam detik yang sama juga Sua tahu benar apa yang ia inginkan. Ia menginginkan Han. Ia menginginkan laki-laki itu bukan sebagai kakak.
Sua mencengkeram lengan Han, persis seperti yang Han lakukan padanya. Demi Tuhan ia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Hanya satu hal.
"Jangan pergi, Han."
Han berbalik. Alisnya terangkat tak percaya.
"Aku menginginkanmu tetap di sini," Sua menegaskan nada suaranya. "Aku menginginkanmu!"
Kenyataan berubah dalam gerakan lambat. Han belum memercayai apa yang di dengarnya. Sesaat, ragu-ragu mengangkat sebelah tangan. Ingin menyentuh pipi Sua, tapi diurungkannya kembali. Sua mempererat cengkeramannya pada lengan Han. Sementara tangan lainnya yang bebas terangkat menyentuh pipi Han. Memandang ke dalam mata gelap itu. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Sua benar-benar tahu apa yang ia inginkan. Ia tahu dan akan meraihnya tak peduli pada apa pun lagi. Bahkan jika semua orang di dunia menganggap ia bodoh. Maka untuk pertama kalinya dalam hidup, Sua senang menjadi orang bodoh.