"Kau mau donat rasa apa?" Tanya Yoon sambil memandang ke dalam etalase.
"Seperti yang biasa saja," sahutnya acuh, masih terpaku pada ponsel, membalas pesan Mom yang menanyakan ia pergi ke mana.
Yoon menegakkan punggung dan bicara pada pelayan di balik etalase. "Donat cokelat dan almon," ujarnya.
Si pelayan mengangguk sambil mencatat.
"Minumannya?" Ia berpaling lagi pada Sua.
"Boba cokelat, seperti biasa."
"Boba cokelat satu dan boba vanilanya satu," selesai begitu ia menggandeng Sua dan menunggu di meja mereka.
Sudah menjadi kebiasaan Sua dan Yoon berjalan-jalan di pusat berbelanjaan ketika libur. Selain itu Sua juga memiliki tujuan lain, ia ingin membicaran hal itu pada Yoon.
Yoon mendudukkan dirinya dan mendesah santai. Senang bisa datang ke tempat ini setelah sekian lama.
Pelayan datang tak lama setelah mereka duduk. Sua masih sibuk menjelaskan pada Mom bahwa ia baik-baik saja pergi tanpa Han. Ia sebal karena Mom mendadak bersikap seperti ini. Padahal biasanya sebelum Mom menikah juga ia biasa pergi berdua saja dengan Yoon.
"Ada apa, kenapa kau kesal begitu?" Yoon melongok ponsel dalam genggaman Sua.
"Mom," desahnya lelah.
"Oh..." Mulut Yoon membentuk huruf o sempurna. "Jadi bagaimana? Tentang yang semalam itu?" Tanyanya hati-hati, tentu mengerti benar pembahasan tentang ayah biologis Sua adalah hal yang sensitif.
Sua menghela napas lelah lagi. Semalam ia memang menceritakannya sedikit pada Yoon. Hanya intinya saja. Bahwa ayah biologisnya tidak membuang dirinya seperti yang selama ini ia kira.
Sua menyentuh ujung sedotan minumannya. Tidak benar-benar berminat untuk minum. Sejujurnya ia juga jadi kehilangan selera makan. Ia berpikir keras. Sua tahu Mom tidak berbohong. Dan meski pun enggan percaya, Sua tidak mengelak kenyataan itu. Sekarang masalahnya, bagaimana bisa ia membicarakan hal ini pada Yoon? Ia mungkin akan mentertawai dirinya dan menganggap semua ini lelucon. Yah, Sua juga berharap bisa menganggapnya demikian.
Yoon mengunyah donatnya sambil tidak mengalihakan perhatian dari Sua.
Sua mengerjap. Mengubah posisi duduk, menegakkan punggung, hanya untuk merasa lebih nyaman. Tapi sia-sia. "Sebelumnya," ia memulai dengan berat. "Apa kau percaya orang yang mati bisa dihidupkan kembali?" Sua menutup mulut dengan was was. Berjaga-jaga jika Yoon akan tertawa. Sayangnya hal itu tidak terjadi.
Yoon berhenti mengunyah dan matanya membulat. "Aku pernah mendengar hal semacam itu," ujarnya masih dengan raut yang cukup menakutkan bagi Sua.
Sua mengernyit. Jelas tidak percaya. "Sungguh?" Ia jadi merasa sedikit tidak terlalu bodoh.
Yoon mengangguk mantap. "Kau tahu tentang perjanjian dengan iblis atau semacamnya."
Sua tersedak meski sedang tidak makan apa pun. "Bukan!" Sergahnya. "Jika berkaitan dengan ilmuwan kemungkinan apa yang bisa terjadi?"
Yoon nampak berpikir keras. "Kloningan?"
Sua memiringkan kepala ke satu sisi. "Apa itu?"
Yoon menggigit donatnya lagi dan mulai mengunyah. "Setahuku semacam membuat kembaran dari orang yang sudah mati, untuk menghidupkannya kembali," ia mengedikkan bahu. Entahlah aku tidak yakin tentang itu. Tapi menurutku perjanjian dengan iblis yang paling mungkin."
Sua terhenyak. "Kau memercayai hal-hal semacam itu?"
"Aku banyak melihatnya di internet."
Sua meminum bobanya sedikit. Berpikir sejenak. "Tapi dari mana kau tahu tentang kloningan dan semacam itu?"
Yoon nyengir tanpa dosa. "Film."
Oh. Tentu sudah jelas. Hal-hal semacam itu hanya ada dalam film. Sua menyandarkan punggungnya lagi pada sandaran kursi. Seolah lelah sekali.
"Jadi apa hubungannya semua ini dengan ayahmu?" Yoon mendadak terkesiap dengan ucapannya sendiri. Bahkan saking terkejutnya ia menjatuhkan potongan terakhir donatnya. Tatapan mata Yoon berubah dari terkejut menjadi sedih dalam waktu singkat itu. "Apa ayahmu? Sebanarnya dia sudah..."
"Tidak, tidak!" Bantah Sua keras. Lantas ia cepat-cepat mengeluarkan bingkai foto pemberian Mom dari dalam ransel dan memberikannya pada Yoon.
Yoon memandang bingkai itu bingung.
"Itu foto ayahku, dan aku saat masih bayi."
Hening begitu panjang. Yoon masih memerhatikan foto itu tanpa suara.
"Jadi?" Tanyanya akhirnya.
Sua memajukan tubuh dan melipat tangan di atas meja. "Jadi seperti yang kau lihat. Ayahku ada saat aku lahir. Dia juga selalu mengunjungiku saat Mom masih mengandungku."
Yoon mendengarkan dengan begitu serius. Yang bagi Sua merupakan salah satu hal paling langka di dunia. Kemudian ia menceritakan semua yang Mom beritahukan padanya semalam. Raut wajah Yoon berubah-ubah. Bingung, terkejut, dan tentu saja, nyaris tidak memercayainya. Dan entah keajaiban apa yang membuatnya tidak bertanya macam-macam. Seolah ia mendengar dan menerimanya begitu saja.
"Jika kau jadi aku apa kau akan memercayainya?" Tanya Sua di akhir ceritanya.
Yoon mengangguk. "Aku tahu Mom bukan orang macam itu, ia tidak mungkin bicara omong kosong mengenai ayahmu. Tidak mungkin memainkan perasaanmu," Yoon menghela napas dengan kekuatan berlebihan. "Hanya saja aku masih tidak menyangka hal semacam itu benar-benar ada. Aku banyak melihat hal semacam itu di internet. Ben mengatakan hal-hal semacam itu hanya omong kosong. Tapi tenang saja aku tidak akan menceritakan hal ini padanya atau pada siapa pun."
Sua percaya Yoon tidak akan membocorkan rahasianya. Hanya saja kenyataan Yoon menerima cerita Mom sebegitu mudahnya membuat Sua merasa terganggu. Ia sendiri berharap Mom hanya bercanda. Atau setidaknya ia hanya bermimpi.
"Lalu bagaimana sekarang? Kau ingin menemuinya?"
Sua terkesiap. "Aku, tidak tahu," ia berbohong. Meski perasaan benci itu masih ada, ia tetap memiliki keinginan untuk bertemu ayah biologisnya.
"Bohong jika kukatakan aku memahami apa yang kau rasakan. Tetapi aku mengerti jika kau memiliki keinginan untuk bertemu dengan ayahmu. Karna aku juga sama, berharap memiliki figur seorang ayah," Yoon mengaduk bobanya dengan ujung sedotan.
Sua tahu itu. Meski memiliki orang tua yang utuh, keluarga Yoon sama sekali tidak harmonis. Sua rasa, hal itu jauh lebih buruk ketimbang tidak memiliki figur orang tua sama sekali. Maksudnya, melihat kedua orang tuamu setiap hari bertengkar dan hanya sibuk pada urusan masing-masing tanpa memerhatikanmu. Rasanya kau seperti terbuang dan terpenjara sekaligus karna kau tidak bisa lari dari mereka.
Sua mengalihkan pandangan pada donat-donatnya. Menerka-nerka bagaimana jika ia benar-benar bertemu sang ayah? Tentu orang itu tidak akan mengenal dirinya. Wah, menyakitkan juga. Sua meringis.
Tiba-tiba terdengar suara seseorang menyapa dalam bahasa asing. Sua langsung mengenali suara itu. Ia mendongak dan terperangah memandang Tae-Oh berdiri di sisi meja mereka.
"Apa yang kau-"
"Wah, Sua. Kau terlihat cantik seperti biasanya," ia menyeringai licik sambil melirik Yoon.
Yoon memandang Tae-Oh bingung. Jelas tidak mengenal laki-laki b******k itu.
"Kau tidak bersama, Han, ya? Tumben," ia berlagak menyesali hal itu.
Sua merasa jantungnya akan melompat keluar. Terlebih Tae-Oh juga menyadari ketakutannya. Tae-Oh tahu Sua takut ia akan membocorkan rahasia mereka.
"Cuacanya bagus sekali. Pasti menyenangkan jika ada yang menemaniku minum di bar lantai tiga," ia sengaja memberi kode itu pada Sua. "Jika tidak mungkin bau busuk yang tersembunyi itu bisa tercium. Sayang sekali," ia menggelengkan kepala sok menyesal.
Sua melirik Yoon sekilas. Berharap gadis itu tidak menangkap apa pun maksud Tae-Oh. Karena terkadang ia peka sekali terhadap hal-hal semacam ini. Yoon masih memandang Tae-Oh heran, bercampur jijik.
"Baiklah, karna kau sedang bersama temanmu aku tidak akan mengganggu lebih lama lagi," ia membungkukkan badan pada Yoon sambil menunjukkan senyum memuakkan itu. "Sampaikan salamku pada Han tersayang kita, ya," ujarnya sebelum berlalu pergi.
Sua bersumpah ingin sekali menendang wajahnya. Tapi tidak dalam jangkauan Yoon.
"Dia itu siapa, sih? Tingkahnya membuatku kehilangan selera makan. Sok tampan," Yoon mencibir.
"Anak dari kolega Dad," Sua mengatur napas. Berusaha keras seolah tidak merasakan apa-apa. Jika Yoon sampai menyadari ketakutannya bisa gawat. "Dia menganggap Han sebagai rival," ia mengedikkan bahu, menambah kesan tidak peduli. "Atau semacam itu."
"Pantas saja kau terlihat sangat membencinya," Yoon mengunyah donatnya yang baru dan tidak membahas mengenai Tae-Oh lagi.
Sementara Sua berpikir keras alasan apa yang bisa ia gunakan untuk pergi menemui Tae-Oh. Meski di lain sisi ia ragu, perlukah benar-benar menemui makhluk sialan itu? Tetapi Tae-Oh jelas menunjukkan ancaman. Hal itu tidak bisa Sua abaikan begitu saja. Akhirnya Sua berpura-pura mendapatkan pesan.
"Oh," ujarnya, berusaha terlihat sesebal mungkin.
"Ada apa?"
"Mom mengatakan akan datang, mengajakku membeli macam-macam."
Mulut Yoon membentuk huruf o.
"Maaf, Yoon, tapi sepertinya kau harus pulang sendiri. Karena Mom mengatakan akan mampir ke rumah nenek juga."
Yoon mengangguk mengerti. Rumah nenek Sua berlawanan arah dengan jalan pulang mereka.
Akhirnya setelah berpisah dengan Yoon, Sua segera menuju lantai tiga dan mencari bar. Sepanjang perjalanannya ia merasa cukup merasa bersalah sudah membohongi Yoon. Ia berharap Ben akan datang menjemputnya. Ia tidak tega membiarkan Yoon pulang sendirian.
Sua memandang berkeliling. Begitu menemukan bar ia langsung masuk. Mencari-cari keberadaan Tae-Oh. Barang kali ia berada di bar yang lain jika ada. Sua tidak tahu.
Ah, si sialan itu duduk di sudut. Mengangkat segelas sampanye sambil menyeringai ke arahnya. Sua langsung melangkah mendekat. Berdiri di sisi meja.
"Apa maksudmu mengatakan semua itu? Kau mengancamku?" Sergah Sua tanpa basi-basi.
Tae-Oh terkekeh. "Duduklah dulu, Sua. Santailah sedikit. Tidak ada yang mengancammu. Apa aku mengancammu? Tidak," ia menggeleng. "Kau sendiri yang merasa terancam atas perlakuanmu itu," Tae-Oh mendengus tertawa.
Sua mengepalkan tangan erat-erat. Menahan diri sebisa mungkin untuk tidak meninju mulut Tae-Oh.
"Aku tidak habis pikir bagaimana kau bisa menyukai Han. Apa bagusnya, sih, laki-laki itu."
"Tutup mulutmu!" Geram Sua terlampau keras.
"Sssst," Tae-Oh menaruh jari telunjuknya pada bibir. "Jangan terlalu keras Sua, semua orang bisa mendengar rahasia busukmu."
Sua mengatupkan mulut. Rahangnya mengeras. Marah sekali. "Dengar," ia menggebrak meja dengan kedua tangan. Napasnya memburu saking marahnya. "Tutup mulutmu atau aku akan merobeknya sendiri dengan tanganku."
Tae-Oh bangkit dengan gerakan tiba-tiba sehingga jarak mereka begitu tipis. Bibir Tae-Oh nyaris mengenai bibir Sua. Jelas sengaja melakukannya.
Sua tak bergeming. Ia tidak ingin terlihat takut.
"Ah, dilihat dari jarak sedekat ini kau memang cantik sekali."
Sua baru saja akan menampar laki-laki itu ketika Tae-Oh menahannya.
Tae-Oh menyeringai. Tidak melepas sebelah tangan Sua dalam genggamannya. "Coba kau pikirkan baik-baik. Siapa yang lebih dulu berhasil merobek mulutmu," suaranya menyerupai bisikkan.
Bulu kuduk Sua meremang. Ia menarik paksa tangannya. "Persetan denganmu, jangan ganggu hidupku lagi!" Ia berlalu pergi.
Sua dapat merasakan tatapan Tae-Oh mengikutinya. Tapi ia tidak peduli. Sebisa mungkin mengatur napas. Mengatur emosinya.
Ngomong-ngomong soal Han. Ia belum bicara lagi padanya sejak kemarin malam.
Sua menghela napas penuh beban. Segalanya kacau.