Chapter 19

1512 Kata
Sua meluruskan kakinya, membiarkan air laut menyentuhnya dan mendesah lega. Kekecewaannya sudah menguap meski harus mengorbankan Yuta. Dan yang terpenting sekarang ia bisa berdua saja dengan Han. Di pantai sepi yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Sua jadi teringat saat ia pergi berempat bersama Yoon, Ben dan Yuta. Meski berbeda tempat, suasana di sini agak membuatnya teringat pada hari itu. Sua mengalihkan pandangan pada Han yang baru datang dan mendudukan diri di sebelah Sua. Ia membawa dua buah es serut dan memberikan salah satu pada Sua. Sua tersenyum berterima kasih. "Sudah merasa lebih baik?" Tanya Han, mengikuti arah pandang Sua jauh ke awan jingga yang menyembunyikan matahari sore itu. Sua mengangguk. Mengunyah es serutnya dengan perasaan ringan sambil tak henti berdecak kagum. "Aku suka sekali warna langitnya." Han mengangguk setuju. "Sayang sekali tidak bisa melihat mataharinya terbenam." Ia dan Han menghabiskan waktu cukup lama sampai matahari terbenam dan langit benar-benar gelap. Han memutuskan untuk pulang karena udara semakin dingin. Sua mengeluh Han terlalu mencemaskannya. Tetapi dengan senang hati menggandeng lengan Han dalam langkah santainya menuju mobil. Tiba-tiba ponsel Han berdering. Han segera mengambil benda itu dari saku celananya. "Dad," ia memberi tahu Sua. Sua melepas genggaman tangannya dan menjauh dari Han. Memandang berkeliling. Dan, ya. Pantas saja barusan perasaannya tidak enak. Hanya berjarak beberapa mobil darinya. Ada Tae-Oh yang bersandar pada mobil, ia memakai kaca mata hitam. Menurunkan kaca mata itu begitu Sua melihatnya dan tersenyum. Sorot matanya nakal dan menjijikan seperti biasa. Tapi tak lama karena Tae-Oh bangun dan berjalan memutar. "Tunggu di sini, Han," Sua langsung pergi tanpa menunggu jawaban. Suasana hatinya yang membaik jadi hancur lagi gara-gara Tae-Oh sialan itu. Begitu Sua sampai, Tae-Oh berpura-pura baru akan membuka pintu mobilnya. Lalu menoleh pada Sua. "Kau mau ikut denganku?" Ia tersenyum penuh arti. "Aku sedang tidak ingin meladenimu. Apa yang kau lakukan di sini?" Kata Sua tajam. Tae-Oh mengangkat bahu dengan raut wajah tanpa dosa. "Aku kebetulan di sini. Apa salahnya? Ini tempat umum, Sua," ia sengaja memanjang-manjangkan nada suaranya di akhir kalimat. Padahal tanpa bertingkah begitu ia sudah cukup menjengkelkan. Sua merasa kemarahan mengalir ke puncak kepalanya. Membuat ia ingin sekali meledak. Tae-Oh melepas kaca matanya dan menaruh benda itu di leher kaosnya. "Kau tidak berpikir aku sengaja mengikutimu, kan?" Ia tersenyum mengejek. "Meski mungkin aku bisa melihatmu ditelanjangi Han, tapi tidak. Aku tidak mengikutimu." Berakhir sudah. Sua tidak bisa menahan diri lagi. Ia menampar pipi Tae-Oh. Napasnya memburu. Awalnya Tae-Oh diam saja. Kemudian seolah baru menyadari apa yang baru saja ia terima, ia mengusap pipi dan memandang Sua aneh. "Wah, si jalang ini berani menamparku," ia menegakkan punggung dan mendekati Sua. Sua tidak bisa mengatakan sesuatu, ia terlalu terbawa emosi. Jika sepatah kata saja ia ucapkan, Sua yakin ia akan menangis. Kenapa ia tidak bisa beradu pendapat tanpa melibatkan emosi? Menyedihkan sekali. Tae-Oh mendekat sampai jarak mereka dekat sekali. Tentu ia menunduk karena lebih tinggi dari Sua. Ujung-ujung bibirnya terangkat, senyum memuakkan itu lagi. "Kau pikir bisa merasa lebih baik dengan menamparku?" Sua membeku. Tapi ia membulatkan tekad tidak akan mundur barang sejengkal pun. Ia tidak mau terlihat takut. "Kau berani juga, aku tersanjung. Tapi apa kau pernah berpikir apa yang akan terjadi selanjutnya padamu jika tidak ada Han di sini?" Jantung Sua berdegup. Sekarang Tae-Oh jadi terlihat menakutkan. "Menjauh darinya!" Sua dan Tae-Oh menoleh bersamaan. Han berdiri di sana. Tatapan matanya tajam mengintimidasi. Tetapi karena perhatian Sua teralih dengan kehadirannya, Tae-Oh jadi memanfaatkan momen itu. Ia menangkap wajah Sua dengan kedua tangan dan menciumnya. Sua tersentak luar biasa kaget. Langsung meronta melepaskan diri dari Tae-Oh. Di saat yang sama Han datang menjauhkan Tae-Oh darinya. Sua melihat raut wajah Han yang seolah tak ia kenali. Wajahnya menggelap penuh amarah. Han lepas dari pengendalian dirinya. Ia memukul Tae-Oh yang sudah tersungkur habis-habisan. Sua masih terlalu terkejut dengan apa yang diterimanya. Sedetik kemudian ia merasa mual. Ia ingin ikut memukuli Tae-Oh juga sampai mati. Ia mengusap bibirnya dengan rasa jijik. Benar-benar ingin menangis sekarang. Tetapi ada hal lain yang lebih penting dari itu untuk saat ini. Han bisa sungguh-sungguh membunuh Tae-Oh jika dibiarkan. Meski Sua ingin melihat Tae-Oh mati, tapi ia tidak bisa membiarkan Han dalam masalah. Sebisa mungkin menahan diri untuk tidak menangis. Sua menggapai tubuh Han. Suara kecilnya tenggelam dalam suara pukulan Han. "Han, kumohon," tidak tahan lagi air matanya berjatuhan. Rasanya Sua ingin menenggelamkan diri saking jijiknya. "Berhenti, Han! Aku ingin mati saja!" Ia berteriak. Han berhenti bergerak. Tubuhnya melunak. Ia bangkit dan memeluk Sua. "Maaf," bisiknya lirih. Sua menangis dalam dekapan Han. Ingin menolak Han menjauh karena merasa dirinya terlalu menjijikan. Tetapi tidak bisa. Lalu entah bagaimana mereka bisa pergi dari tempat itu. Sua menangis sepanjang jalan. Han tersiksa setengah mati. Berkali-kali Sua menyadari matanya berkaca-kaca. Ia sendiri membenci dirinya karena belum bisa berhenti menangis. Ia serius ingin mati saja sekarang. Ia mengerang jijik. Ketika mobil memasuki jalanan sepi menuju rumah. Sua memaksa diri untuk berhenti menangis. Ia mengusap wajah dengan kasar. "Jangan mengatakannya pada Mom dan Dad," lalu turun dari mobil, berlari meninggalkan Han. Han bisa saja menyusul Sua. Dengan ukuran kakinya hal itu bukan sesuatu yang sulit. Hanya saja, tubuhnya membeku. Segalanya yang sudah menjadi lebih baik hancur begitu saja karena Tae-Oh. Seharusnya ia tidak membiarkan Sua pergi. Seharusnya ia bisa lebih cepat menyusul Sua. Seharusnya Dad tidak menelepon dan berhenti menganggap mereka sebagai anak kecil. Han berteriak marah sambil melayangkan tinjunya pada setir. Semua ini salahnya. Ia tidak bisa melindungi Sua. Akhirnya Han turun dan berjalan lunglai melewati ruang tamu. Di sini ia tidak bisa menghampiri Sua di kamar tidurnya. Tidak dalam pengawasan Mom dan Dad. Kenyataan itu membuat ia ingin berteriak lagi. Han melewatkan waktu makan malam dan mengurung diri di kamar tidurnya. Rupanya Sua juga melakukan hal yang sama. Mom dan Dad mengira mereka bertengkar dan cemas sekali. Dad membujuk ia untuk bicara setidaknya dua belas kali sebelum Han menyuruh dan menjawab iya. Ia duduk di ujung ranjang dan Dad berdiri bersandar pada meja belajarnya. "Han, aku mengerti mungkin ini sulit untukmu. Kau belum pernah memiliki adik sebelumnya, jadi penyesuaian semacam ini mungkin wajar." Han tidak benar-benar mendengarkan. Ia muak sekali. Ia hanya ingin cepat-cepat tidur. "Tapi, semarah apa pun kau pada Sua, kuharap kalian bisa cepat berbaikan. Kasihan Mom, dia ikut sedih." "Sedih?" Alis Dad terangkat terkejut. "Lalu bagaimana denganku? Kau selalu mengambil semua keputusan sendiri tanpa sedikit pun memikirkan perasaanku. Lantas kenapa aku harus peduli jika orang lain bersedih?" Han tahu ia sudah kelewat batas. Tapi ia tidak bisa mengendalikan diri. Ia benar-benar marah. "Kau egois sekali. Kenapa tidak sekali saja memikirkan perasaanku sebelum mengambil keputusan? Siapa yang menginginkan ikatan ini? Aku tidak menginginkannya! Aku mebencinya setengah mati!" Han tanpa sadar meneriakan semua itu. Napasnya memburu dan ia sudah kehilangan segala kesabaran yang ia miliki. Dad terperangah. Sorot matanya berubah sedih. Ia ingin mengatakan sesuatu. Mengurungkan niatnya lagi. "Maafkan aku, Han," kemudian ia pergi dan menutup pintu tanpa suara. Han ingin sekali berteriak. Sekali saja. Semuanya berantakan sudah. Ia merasa bersalah pada Dad. Ia tidak sepantasnya berteriak-teriak seperti itu. Ia memang kesal. Ia memang marah. Ia memang benci pada statusnya dengan Sua. Ia berharap Dad tidak pernah menikahi Mom. Tubuh Han merosot. Ia marah dan sebegitu bencinya pada Tae-Oh, terlebih setelah apa yang ia lakukan pada Sua di depan matanya. Dan dengan bodohnya ia justru melampiaskan semuanya pada Dad. Ia ingin menangis dan meminta maaf. Sekarang ia tidak pernah bisa menemui Dad dan Mom lagi dengan wajah ini. Ia sudah menghancurkan segalanya. *** Sua berguling turun dari tempat tidur dan memutuskan untuk keluar karena lapar. Begitu ia sampai di rumah beberapa jam lalu, Mom dan Dad menyambutnya dengan ceria dari ruang keluarga. Tapi begitu melihat keadaan Sua keceriaan itu seketika lenyap. Salahnya. Seharusnya ia bisa terlihat lebih ceria sedikit. Mom dan Dad jadi mengira ia bertengkar dengan Han. Sua terus meyakinkan Mom bahwa ia tidak bertengkar dengan Han. Dan Mom baru berhenti menungguinya setelah Sua mengatakan akan mandi. Sua masih memakai jubah mandi saat berjalan menuruni tangga. Ia kira semua orang sudah tidur di jam ini. Tetapi segera saja langkahnya terhenti karena mendengar suara Mom. Sua melongok ke bawah menuju dapur. Ada Han, Mom dan Dad di sana. Ia tidak bisa melihat wajah Han yang membelakanginya. Tetapi Mom sepertinya habis menangis. Dad juga terlihat menahan tangis. Ada apa? Sua merasa jantungnya berdegup tidak karuan. Han tidak mungkin mengadu, kan? Tentu saja. Ia memercayai Han lebih dari apa pun di dunia. Mom dan Dad secara bersamaan mengusap-ngusap bahu Han. Seolah menghiburnya. Sua jadi teringat. Jika Mom terus menyerbu dirinya dengan berbagai macam pertanyaan, pasti hal itu terjadi pada Han juga. Dan sekarang, mungkin Han sudah menemukan alasan untuk membuat mereka tenang. Sua menghela napas lega. Namun begitu mengingat Tae-Oh ia langsung menggeleng jijik. Kemudian ia berbalik tanpa suara lagi. Sua bertekad akan melupakan hal itu. Yang jadi masalahnya sekarang. Apa Han akan melakukan hal yang sama? Apa Han masih menerima dirinya yang menjijikan ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN