Kensington, London.
Sebuah townhouses yang didominasi warna putih itulah yang akan menjadi tempat tinggal kita berlima selama di London. Aku melihat sahabatku, Kelvin dengan lihai berbincang dengan seorang laki-laki berkumis tipis dengan jambang yang tidak terlalu tebal.
"Your father told me a lot about you, about your intelligence" John Robert menepuk pundak Kelvin seraya tersenyum.
"Ah, no, no. I still have a lot to learn"
"So kind." Mr. Robert menatap kami semua satu persatu. "So, you guys can rest in here for a week. Call me if you need to help, Kelvin. Have a good time"
"Thank you, Mr. Robert"
Setelah kepergian Mr. Robert, Kelvin selaku yang memegang kunci townhouse segera membuka pintu. Setelah perjalanan yang cukup memakan waktu, hampir delapan belas jam kami mengudara hingga tiba di London. So, kita semua butuh istirahat.
Satu persatu dari kita masuk tanpa banyak bicara, ketika netraku menatap interior town house yang didominasi oleh warna putih, cahaya dari lampu gantung berwarna kuning keemasan membuat perasaanku menghangat seketika.
"Gue pake kamar yang atas" Nana dengan lincah menuruni anak tangga setelah mengecek kamar yang tersedia.
Kebetulan ada dua kamar di atas, dan satu kamar di bawah.
"Curang! Masa udah milih duluan" disusul suara Riki. Akhir-akhir ini aku merasa tuh anak makin nempel aja sama Nana. "I'll take the one next to his"
"Kalo begitu, lo sama Arga boleh sekamar. Gue sama Reno di bawah" Kelvin membuka kulkas, isinya hanya beberapa minuman kaleng, cukup untuk membasahi tenggorokan kami semua.
"Gue nggak setuju!" Riki beringsut mendekat ke arah Kelvin. "Kenapa gue nggak sama lo aja?? Kenapa harus sama kak Arga"
"Lo bisa panggil gue pake nama aja, tanpa embel-embel kakak" Arga menatap Riki yang masih tak terima dengan pembagian roommate.
"Gue juga, Rik. Kita ngobrol santai aja, nggak perlu pake kak" kataku menambahi, lebih baik seperti itu agar tidak timbul perasaan seniority.
"Dari kemarin kek" gerutu Riki, menjauh dari Kelvin dan duduk bergabung denganku dan Arga.
Nana kulihat tengah melakukan foto-foto di balkon dengan view jajaran townhouse lain. Lumayan cantik sih, townhouse nya.
Cewek berkuncir kuda itu masuk, dia menatap Kelvin. "Vin, gue laper" keluhnya, "Di kulkas ada makanan nggak sih?"
"Ada beberapa frozen food" Jawab Kelvin dengan santai seraya mengecek ponselnya.
Arga tiba-tiba bangkit dan menghampiri tas ranselnya. Dari dalam sana cowok itu mengeluarkan beberapa bungkusan mie instan. "The right situation buat makan mie instan"
Nana nyengir, "Siapa yang mau bantuin gue masak??"
"Gue!!"
"Gue!!"
Arga dan Riki kompak mengajukan diri untuk membantu Nana masak mie instan. "Satu aja anjir, nggak usah banyak-banyak" ku lihat ada kilatan persaingan antara dua cowok itu. Mungkinkah mereka benar-benar menyukai Nana??
"Kalian mulu, bosen gue. Kak Reno, lo aja deh yang bantuin gue, mau kan?"
"Of course"
Nana tampak tak peduli dengan pergulatan batin antara Arga dan Riki yang terlihat begitu ketara. Sementara sang kakak juga menolak untuk peduli, baginya mengecek rute untuk pergi ke destinasi wisata pertama lebih penting daripada memperhatikan mereka berdua.
"Kak, tolong cuci panci dan masak airnya. Biar gue yang goreng nuggetnya"
"Oke"
Nana membagi tugas, dengan lincah tangannya membuka bungkus nugget ayam dan beberapa sosis. Setelah di rasa minyak yang ada di Teflon pan panas, dia segera mencemplungkan satu per satu nugget dan sosis ayam. Aku memperhatian bagaimana Nana memasak di dapur, sampai aku lupa bahwa air yang ku rebus sudah mendidih.
"Kak Reno, jangan ngelamun" dengan sigap Nana mengecilkan api, lantas membuka beberapa bungkus mie instan. Memasukan bumbu-bumbu dan terakhir memasukan mie nya. Aroma kuah Singapore laksa memasuki indera penciumanku.
"Gue ambil piring dulu, Na"
"Iya" jawab Nana, sibuk membolak balikan nugget ayam.
Aku kembali dengan dua piring putih besar, Nana segera mematikan kompor, meniriskan nuggets dan sosis sebelum di tuang ke dalam piring.
"Kak Reno bantuin gue bawa mie nya"
"Ini udah boleh dimatikan berarti?"
"Udah"
Kami berdua berjalan ke depan dengan dua piring nuggets dan sosis, serta sepanci mie instan.
Ternyata di depan Riki telah menyiapkan beberapa kaleng minuman di meja serta piring-piring kecil berserta sendok dan garpunya.
"As always, peka banget" Nana mengusap kepala Riki, seperti orang tua yang bangga terhadap anaknya.
Aku duduk di samping Kelvin, "Nggak makan, Vin?" Tanyaku saat ku lihat Kelvin masih sibuk dengan ponselnya.
"Makan lah anjing, gue juga laper" barulah dia meletakan benda pipih itu di meja lantas menyambar piring kecil. "Siapa nih yang masak?"
"Gue" jawab Nana dengan muka masam.
"Awas, ntar kalian semua keracunan. Nenek rombeng ini, kan, nggak bisa masak"
Hampir saja Nana melempar sosis ke arah Kelvin sebelum di cegah oleh Riki.
"Udahlah, jangan berantem di depan makanan" Arga melerai sebelum terjadi peperangan antar saudara. Lepas mengisi perut masing-masing, kami berpencar menuju kamar masing-masing. Kebetulan aku di kamar bawah bersama sahabatku Kelvin.
"Gue lihat dari tadi lo gelisah" celetuk ku. Kelvin menatapku sekilas sebelum akhirnya membuang muka. "You can't lie to me, Kelvin"
Karena aku sudah berteman dengan Kelvin cukup lama, setiap perubahan kecil yang terjadi pasti aku langsung paham. Seperti sekarang ini.
"This is normal, Ren. Gue harus pastikan semuanya berjalan dengan lancar"
"Cuma itu yang bikin lo gelisah?? Oh, come on dude. Kalo lo terus terpaku sama hal begituan, gimana lo mau bersenang-senang" Aku menepuk bahunya, "Percaya deh, lo punya tim yang solid"
"Omongan lo nggak pernah salah emang"
Kita berdua bergantian untuk mandi dan bersih diri. Setelah itu kita memutuskan untuk tidur sebentar sebelum keluar untuk mengeksplor London.
-Batas-
Trafalgar Square, London
"Yo! Yo! Yo! What's up guys!!!" Ku lihat Kelvin mengangkat kameranya, ngevlog untuk konten yang nanti akan di upload di channel Trasquad.
"Welcome to London, guys!! Wohooo!!!"
Sementara Kelvin sibuk ngevlog, aku menghampiri Nana dan Riki yang tengah sibuk menentukan angel darimana mereka akan melakukan pengambilan photo dan video.
"Ada yang bisa gue bantu nggak?" Tanyaku menawarkan diri.
"Belum ada, Kak. Lo nikmatin aja pemandangannya, tuh lihat Arga aja udah sibuk foto-foto" Nana menunjuk Arga yang sibuk foto-foto bahkan sekarang tuh anak nyempil masuk di video vlog Kelvin.
Trafalgar Square, adalah salah satu kota paling menakjubkan yang pernah ada versi aku. Terakhir kali aku pergi ke kota ini, mungkin sepuluh tahun yang lalu untuk liburan bersama keluargaku.
"Guys!" Suara Nana memasuki indera pendengaranku, saat netraku mengerling ke arahnya ternyata dia sedang melakukan take video. "Tau nggak, kalau Trafalgar Square ini tempat yang menakjubkan penuh dengan sejarah dan budaya. Bahkan, ada atraksi yang sangat terkenal di dunia, lho!! Dan banyak hal yang bisa dilakuin pas kalian liburan ke London, apa aja sih keseruan Trasquad di London?? Let's get it!!!"
"Cut!"
"Woy! Ren!"
Saat Kelvin memanggil, aku segera datang. "Bengong aja, lo nggak pengen foto gitu?"
"Pengen lah"
"Ga, fotoin bentar. Ntar gantian" Kelvin menyerahkan kameranya.
Aku nyengir melihat kamera itu, "Kamera baru, Vin?"
"Yoi" dengan gaya khas Kelvin dia menjawab. Kelvin merangkulku, spontan aku mengangkat kedua jari membentuk huruf V sementara Kelvin mengangkat jempolnya.
Setelah mendapatkan beberapa foto, gantian Kelvin mengambil gambar Arga. "Gila ngga sih tempat ini, kece parah" Arga memuji sekaligus membenarkan letak kacamata hitamnya.
"Lo pada tau nggak, tadi first time Gue naik kereta bawah tanah. Pengalaman yang unbelievable!" Kelvin menepuk bahuku, "Nggak salah gue serahin tugas transportasi ke elo, Ren"
"Jelas, siapa dulu dong"
Kita bertiga tertawa, Kelvin melambaikan tangannya. "Na! Riki! Cabut. Kita cari angel yang lain"
Seperti turis pada umumnya, kita berlima jalan-jalan di sekitar Trafalgar Square, sesekali mengambil gambar dan video sekedar untuk memenuhi memori hape.
"Kalian tau nggak apa yang dicari Thanos sampai pergi ke banyak universe?" Tiba-tiba Nana bertanya topik random.
"Cari batu??"
"Salah. Tuh," Gadis itu menunjuk sebuah patung dengan Cherry raksasa di atasnya. "Dia cari Cherry nya yang hilang. Mana ada Cherry manusia segede gaban gitu"
Sebuah patung, atau semacam tugu yang ada di sekitar Trafalgar Square bernama The Fourth Plinth atau Dystopian. Bentuknya seperti Giant Wipped-Cream and Cherry yang super besar. Ngomong-ngomong tidak ada hubungannya dengan Thanos selain ukurannya yang sama-sama besar.
"Tuh kan, bener apa kata gue. Di Tugu nya ada Spiderman!"
Kelvin yang jengkel dengan Nana memiting leher gadis itu hingga sang empu jejeritan. "Lalat b**o! Bukan Spiderman."
Kita semua tertawa dengan pertengkaran kakak beradik itu. Perjalanan kembali dilakukan seraya menatap kekanan dan kiri, depan belakang, banyak bangunan artistik yang patut di jepret.
"Wow, patung Charles James Napier" seru Arga tiba-tiba membuat kepala kami semua menoleh ke salah satu patung berwarna coklat tua yang baru saja kami lewati.
"Gila, cocok nih otaknya di adu sama Kelvin" gumam Nana, menyeringai.
"Gue cuma tau sedikit soal Charles James Napier yang tahun 1849 dilantik jadi Panglima Besar di India. Tahun 1851 jabatannya selesai dan dia kembali ke England"
Tanpa diminta, Arga inisiatif menjelaskan dan Riki dengan sigap merekam. Konten edukasi, bukan kaleng-kaleng yang kesedihan orang dijadikan ladang rejeki, ehem.
"Ada 4 patung yang ada di tempat ini, antara lain Equestrian Statue of Charles I, King George IV, dan Henry Bartle" Kelvin menambahkan. "Dan yang paling disorot itu…disana," Riki menggeser kameranya ke arah monumen yang berdiri menjulang tak jauh dari tempat kami berdiri. "Nelson's Column"
"Whoaa" Aku menatap takjub monumen tersebut, "Ada yang bisa jelasin nggak soal monumen ini?"
"Gue mau take video, kalo lo mau nambah ilmu pengetahuan bisa sama Arga aja."
Berapa lama sih aku temenan sama Kelvin? Dan sifatnya satu ini tak luput dari perhatianku, dimana Kelvin jarang mau menunjukan seberapa besar kapasitas otaknya. Seperti saat ini, Kelvin melemparnya pada Arga, selain karena dia yakin pada kemampuan cowok itu, Kelvin malas mengumbar pengetahuannya, dia malah sibuk menggiring Nana dan Riki untuk mengambil video.
"Jadi?"
"Singkat aja, Ren. Patung ini dibuat untuk memperingati kemenangan Laksamana Nelson di pertempuran Traflagar tahun 1805" Sembari mengamati patung tersebut aku mendengarkan penjelasan Arga.
"Dia nih seorang prajurit Angkatan Laut, Horatio Nelson selalu ikut bertempur, gak kenal putus asa dan menyerah padahal dia udah kehilangan satu tangan dan sebelah matanya. Bayangin aja, lo tempur sambil nahan sakit, demi menghormati perjuangannya, dibuatlah patung setinggi 169 kaki ini"
"Kenapa harus 169 kaki?"
Arga menatapku dengan jengkel, "Ya gatau anjeng! Lo kira gue Wikipedia apa, cari aja sendiri di internet"
Kita berdua menyusul tiga orang yang sibuk merekam video, Nana menyeret kami untuk masuk ke frame.
"Guys, jangan lupa like, komen, dan subscribe ya!!" Teriak Arga brutal, Nana tertawa, namun tawa itu disambut wajah masam Riki.
Ya tuhan, ini drama cinta segitiga kenapa kaga kelar-kelar deh, heran.
Sore ini kita menghabiskan waktu untuk memutari Trafalgar Square, Arga dan Kelvin menjelaskan bergantian. Kebanyakan sih yang menjelaskan tug Arga, sekarang aku jadi tau kemampuan otak tuh anak tidak perlu diragukan. Pengetahuan nya luas banget, bahkan Kelvin yang aku yakin juga tau silsilah tempat ini pun ikut memuji Arga.
"Vin, gue laper nih" Nana mengusap perutnya.
"Cari nasi padang ada gak sih disini?" Riki bertanya dengan wajah polos.
"Jauh-jauh ke London malah makan naspad" cemooh Nana seraya menoyor kepala Riki.
"Mending makan sushi aja gak sih?"
"Ini sepatu gue keras kalo kena pala lo bisa bikin lo tambah g****k, Ren"
Anacaman Kelvin membuatku tertawa.
Tak lama setelah mengakhiri sesi vlog untuk hari ini, kita semua berjalan menyusuri trotoar untuk mencari restoran atau tempat makan. Kalau kata Nana, "Yang paling deket, gue udah kelaperan berat"
Sekirany mie instan yang sudah masuk ke perut tadi hilang, digantikan rasa lapar yang menyerang kembali. Tibalah kami semua di salah satu restoran dengan nuansa klasik-chaebol.
Alias restoran yang biasanya dipakai buat makan-makan keluarga kaya. Auranya pas masuk bikin dua ginjalku bergetar, berbisik memohon untuk tidak di jual.
"Ini kita bayar sendiri apa gimana?" Aku bertanya setelah melihat list menu, s**l banget tidak ada harga yang tertera pada bukunya.
Sengaja aku pakai bahasa Indonesian, gensi kalau sampai waiters mendengar pertanyaanku barusan.
"Plis deh, Ren. Uang jajan lo sebulan dua digit, jangan kayak orang susah" Kelvin yang udah tau baik-busuknya aku langsung menyambar.
"Yaelah, Vin. Gak usah buka aib gitu dong"
"Baru tau gue jatah perbulan itu termasuk aib" Riki mengusap dadanya.
Satu persatu dari kami menyebutkan menu makanan masing-masing.
"Bubble and Squek?" Riki menatap heran nama menu makanan yang tertera. "Maksudnya gelembung dan desiran? Desiran apa anjir"
"Plis, jangan perlihatkan kebodohan lo disini, Rik"
"Eh, Ga. Menurut lo gimana, secara lo kan pinter nih. Pasti tau dong maksud dari makanan bubble dan squek"
"Gue pinter tapi bukan koki, kalo lo penasaran tanya aja ke chef nya"
"Mampus!!" Kelvin menertawakan Riki dengan puas. Salah sendiri terlalu penasaran dengan hal-hal sepele.
Saat makanan datang, Riki spontan misuh-misuh. "Oasu, kentang dikasih sayuran. Ini mah bisa jadi perkedel diguyur mentega. Harganya berapa sih tadi? 15 euro?? Shibal!"
"Udah, makan sana. Jangan banyak bacot" Nana memberikan sendok kepada Riki. Dia juga memasangkan napkin agar baju Riki tidak kotor.
Siapapun yang melihat adegan itu pasti meyakini bahwa Nana dan Riki bukan hanya sekedar sahabat belaka.
Namun, lebih dari itu.