“Dia mantan adik kelas gue, Rik. Anaknya berpengalaman dibidang ini kok, pernah jadi asisten manager juga. Pokoknya dia andal dalam ngerjain dua tugas sekaligus. Asal ada duit aja,” jelas Detya pada Erik.
Pria berusia 25 tahun itu tidak kunjung memberikan jawaban, dia hanya menatap Maudy cukup lama dengan matanya yang memicing. Sadar kalau wanita itu menunduk tidak nyaman dan terlihat ingin kabur. “Woy, Dy, lu gak mau ngenalin diri gitu? Calon majikan lu nih.”
“Hallo, nama saya Maudy.”
“Jangan kaku, Dy, dia gak suka sama yang kaku. Lu-gue ajalah, soalnya dia males kalau dianggap majikan gitu.”
“Hehehe, gak enak, Mbak. Masa baru ketemu langsung gitu.”
Baru ketemu katanya? Erik ingin sekali menyadarkan wanita yang membuatnya menderita ini.
“Gak papa, kalau lu bikin gak nyaman Erik, dia malah gak suka sama lu.”
“Yaudah deh.” Kembali lagi menghadap Erik. “Hai, gue Maudy yang bakalan jadi manager lu selama Mbak Detya cuti kehamilan.”
Baru juga Erik hendak protes, Detya lebih dulu mengatakan, “Dia juga dua tahun lebih muda dari lu. Jadi santai aja ngomongnya. Anggap aja lu lagi ngatur jadwal adek. Oke?”
“Ehehehe, iya, Mbak.”
“Bentar ya, laki gue nelpon nih.” Detya mengambil ruang untuk dirinya menelpon. Meninggalkan Erik dan Maudy dalam kecanggungan disana.
Baru juga Erik membuka mulutnya, Maudy lebih dulu berkata, “Gue bakalan kerja dengan baik. Mohon bantuannya.” Sambil menunduk. “Karena masih awam dalam hal ini, maaf kalau belum paham buat kedepannya terkait apa yang harus dilakuin.”
“Apa yang harus dilakuin? Gampang, duduk dipangkuan gue terus usap luka yang lu buat sambil minta maaf. Itu kerjaan pertama lu sebelum jadi manager gue. Tuntasin dulu masalah diantara kita,” ucap Erik melipat tangannya didada.
Maudy tersenyum miris sudah menduga kalau kehidupannya akan mendapatkan banyak gangguan. Tidak bisa mundur karena gaji yang ditawarkan itu menggiurkan, tidak mau mengecewakan Detya juga.
“Dy! Rik! Gue mau pulang dulu dah, ini laki gue udah nungguin didepan. Lu ngobrol-ngobrol aja sama Maudy, kalau ngerasa gak klop, nanti bisa hubungi gue.” Beralih pada Maudy. “Sok ya, yang utama lu harus klop dulu sama Erik, Dy, Mbak harus pergi sekarang.”
“Tapi, Mbak, gu──”
“Gak papa, Mbak. Sebelum pergi, hubungi pengacara gue dulu dong.”
“Udah, dia lagi dijalan kok. pergi dulu ya, yang akur kalian. Lu juga yang sopan ya, Rik. Maudy lebih tua dari lu.” Kemudian benar-benar meninggalkan Erik dan Maudy hanya berdua disana.
“Denger gak gue bilang apa tadi? Minta maaf sama gue, Dy, lu yang bikin wajah gue kayak gini loh. Sini duduk dipangkuan gue.”
Akhirnya Maudy menegakan tubuh dan membalas tatapan tajam Erik. “Maaf ya sebelumnya, tapi itu salah lu sama tangan lu yang nempel seenaknya.”
“Itu ‘kan kecelakaan. Gue udah punya bukti CCTV-nya, pasti nantinya gue yang menang kalau lu mau bawa gue ke kepolisian, Dy. Jadi gimana? Kita mau jadi partner diranah hukum atau partner kerja nih?”
Pipi Maudy sudah memerah menahan rasa kesal, tidak terima kalau harus merendahkan harga dirinya dan mengalah. “Kan gue udah minta maaf, mana tau kalau lu yang bakalan jadi majikan gue. Lagian lu juga ikut enak malam itu, gak rugi-rugi amat. Malah lu yang manfaatin keadaan gue yang lagi mabuk ‘kan? jangan mentang-mentang lu jadi boss gue sekarang seenaknya minta gue lakuin hal yang enggak-enggak ya. duduk dipangkuan lu maksudnya apa? Kalau emang lu masih kesel sama gue, yaudah ayok ambil ranah hukum aja. Gue juga gak keberatan kalau gak jadi manager lu.” Mengambil resiko kehilangan pekerjaan lagi daripada harus menuruti keinginan pria m***m ini.
“Eh tunggu,” ucap Erik menahan tangan Maudy. Pikirnya, Maudy akan menyerah dan memohon padanya. “Gue Cuma bercanda elah.”
“Gue gak takut kalau emang lu mau beresin masalah diantara kita sebelumnya. Lu pantes dapet bogeman dari gue. Sekarang, lepasin tangan lu.”
Ceklek! Pintu terbuka menampilkan sang pengacara. “Mas Erik, saya udah beresin semuanya. Gak ada kesalahan dipihak kita. Apa anda mau menuntut balik wanita itu? Nanti saya cari identitasnya.”
Mendengar itu, Maudy menatap langit-langit meminta permohonan pada Tuhan. Erik melihat kalau wanita ini hanya memiliki harga diri yang tinggi dan ego yang keras. “Gak usah, Bang. Gue udah damai kok sama pelakunya. Sekarang tolong tinggalin gue ya, mau ngobrol dulu sama manager baru gue.”
“Iya, Mas Erik. Mari Mbak Maudy.”
“Iya,” jawab Maudy ketika pria berkepala plontos itu keluar.
Maudy segera menarik tangannya yang dipegang oleh Erik dengan kuat.
“Udah dong, kan gue mau ambil jalan damai. Sebagai gantinya, lu harus rawat gue sampai luka diwajah gue sembuh, Dy.”
“Panggil gue Mbak, gue lebih tua dari lu ya.”
“Iya, Mbak. Sini duduk, gue mau ngobrol sama lu.”
“Gue gak mau duduk dipangkuan lu.”
“Gue nepuk bagian kasur loh, Mbak, lu gak lihat?”
Malu, tapi Maudy tidak mau menunjukannya. Dia duduk saja didekat Erik dengan masih memasang wajah yang kesal. Tidak percaya kalau bossnya adalah orang yang tidur bersama dengannya, yang bermasalah dengannya, sebenarnya takut tapi Maudy tidak mau menunjukannya.
“Gak yakin lebih tua, kayak bocah SMA gini, mana kecil banget lagi.”
“Lu bilang apa?”
“Enggak, ya ampun.”
***
Setelah pembicaraan yang panjang, Maudy menekankan kalau dia ingin semua hal yang terjadi sebelumnya itu dikubur dalam-dalam dan mereka bekerja secara professional. Namun sebagai ganti kerugian, Maudy akan lebih intens merawat Erik sampai lukanya sembuh. Dengan tampang yang seperti ini, Erik malas keluar apartemen jadi dia meminta Maudy untuk sering datang ke apartemennya.
“Lu tau tugas lu kan, Mbak? Lu manager gue, tapi lu juga jadi asisten pribadi gue. Lu handle semua yang ada di kantor sekalian ngintilin gue kalau ada jadwal keluar.”
“Mbak Detya udah jelasin semuanya sama gue kok.”
“Udah tanda tangan kontrak?”
“Belum.”
“Yaudah yok sekalian aja sekarang ke apartemen gue. Minta beresin juga, disana berantakan banget.”
Maudy sempat menjelaskan kalau Erik tidak suka ada orang asing masuk ke apartemennya bahkan tukang bersih-bersih. Jadi dia yang harus melakukannya, lumayan juga sih nantinya dapat tambahan uang. “Sekarang banget?”
“Iyalah, gue gak betah lama-lama dirumah sakit. Lu sama gue aja naik mobilnya.” Erik mengenakan pakaian serba hitam dengan masker menutupi wajah.
Kali ini Maudy mencoba untuk percaya saja dan mengikuti perintah Erik. Selama pria ini tidak macam-macam, maka Maudy akan bekerja dengan professional. Kaget juga ternyata apartemen Erik ini penthouse yang memiliki akses lift sendiri. namun kekaguman itu tergantikan saat melihat betapa berantakannya apartemen ini. “Lu…..,” ucapannya tertahan. Gak boleh maki, gak boleh caci, dia majikanlu, Maudy.
“Nanti aja beresinnya. Ikut gue dulu dah buat baca kontraknya.”
Dibawa keperpustakaan, diberikan sebuah berkas. “Ini bekas Mbak Detya, yang punya lu nanti gak jauh beda sama yang ini.”
Membacanya dengan akurat, inti dari isinya hanya menuruti semua perintah Erik dan menjaga image dari sang pembalap yang sekarang menjadi public figure. Mengatur jadwal dan tidak memasukan hari libur sebagai hari untuk bekerja kecuali saat ada balapan saja. mengutamakan kontrak yang menguntungkan dan membereskan semua masalah yang dilakukan oleh Erik.
“Deal gak?”
Setiap poin yang nantinya akan dilakukan Maudy ini mendapatkan dollar, bagaimana bisa dirinya tidak tertarik. “Oke.”
“Nanti gue minta Mbak Detya cetak kalau udah deal. Tapi tanda tangan digital dulu disini, ini perjanjian dalam bentuk filenya.”
“Isinya sama ‘kan?”
“He’em.”
Maudy menandatangani perjanjian dalam iPad tersebut. “Udah?”
“Beresin apartemen gue ya, Mbak Maudy,” ucapnya sambil tersenyum.
Mengerikan dalam pandangan Maudy hingga dia bergegas keluar dari sana. sebelumnya, Maudy menunduk dulu. “Mohon kerjasamanya secara professional.”
Ketika Maudy sedang membereskan, Erik diam-diam memperhatikan. Dia menelisik Maudy yang tidak mudah didapatkan, jadi Erik tidak boleh buru-buru. Seorang wanita yang bertemu dengannya tidak pernah menolak duduk dipangkuannya, apalagi setelah tahu siapa Erik sebenarnya, apalagi pekerjaannya sebagai pembalap yang begitu keren.
Kenapa Maudy menolak ya? bahkan memberikan bogeman sebelumnya?
“Bikin gue penasaran aja. sama bikin…. Gue bangun,” ucapnya menunduk menatap sesuatu. “Jangan baper, betina yang ini galak. Harus agak sabar dulu. Jangan sekarang.”
Erik segera menghubungi Detya. “Mbak? Tambahin poin penalty kalau putus kontrak sebelum waktu berakhir. Lima millyar jumlahnya, supaya dia gak lepas tanggungjawab aja.”
Erik akan mengikatnya.
“Kenapa nyantol secepat ini? lu gak macam-macam kan, Rik? Jangan bikin gue takut deh.”
“Aman ya ampun, Mbak. Gue Cuma pengen lu tenang buat ngurus suami. Jadi gue ada yang ngurus juga.”
***
Tidak menyangka akan secepat ini menjadi babu seseorang yang sebelumnya mendapatkan jotosan dari Maudy. “Masih untung dia gak nuntut gue sih. sebenernya tadi gue ngancem doang.”
Sudah terbiasa membersihkan kekacauan sampah, jadi Maudy bisa membereskannya dengan cepat. Dia langsung mengecek email, isinya adalah jadwal Erik untuk satu bulan ini.
“Hmm, jadi mulai bulan depan ada balapan, mana gue harus mulai nyusun jadwal lagi.”
Kalau bulan ini, Erik banyak menghabiskan waktu di Indonesia karena sedang beristirahat setelah kemenangan balapan terakhir. Dalam internet, Maudy mencari tahu tentang Erik, tapi dia malah menemukan banyak artikel yang menunjukan berita kencan Erik dengan berbagai model dan bintang ternama. “Playboy dia, cocol sana sini kayaknya.”
“Cocol apa?”
“Hah! Kaget!” teriak Maudy mematikan layar ponselnya. “Sejak kapan disitu?”
“Udah beres, Mbak?”
“Udah, tuh keliatannya. Gue pulang ya kalau gitu, lu ada jadwal pemotretan besok di studio kantor. Pihak hand sanitizer minta lu buat foto ulang, tapi kata Mbak Detya lu mau foto di studio sendiri ‘kan?”
“Iya, gue males ketemu orang asing,” ucapnya sambil berjalan mengambil minuman di dapur. “Sebelum balik, lu obatin dulu luka gue. Ini kan udah tanggung jawab lu, Mbak.”
“Yaudah sini. cepetan.”
Erik mendekat dan duduk disofa. Membiarkan Maudy mengambil kotak obat. “Jangan minum dulu dong, susah nih gue ngobatinnya. Tuh kan malah kena baju!”
“Yang kena baju gue, Mbak. Kok elu yang ribet,” ucap Erik menahan diri untuk tidak mencubit pipi wanita dihadapannya ini. imut sekalii kawan! Mana percaya kalau umur Maudy lebih tua darinya. “Gue buka baju dulu lah, gak nyaman nih.”
Maudy menahan napasnya melihat tubuh atletis Erik, dia tidak munafik dan mengakui dalam hati kalau ototnya menakjubkan. Tapi disini Maudy harus menempatkan diri. “Ekhem! Sini cepetan.” Mengobati sambil mencoba menghapuskan pikiran liar dikepalanya. Apalagi ingatan-ingatan persetubuhan mereka mulai meraba otak Maudy.
“Gue lupa belum nanya ini. Lu udah ada pasangan, Mbak?”
“Kenapa emangnya?”
“Males aja kalau kayak Mbak Detya. Padahal udah nikah, tapi masih tetep curigaan. Apalagi kalau masih pacaran.”
“Ohh, gue gak punya pasangan.”
Dalam hati, Erik bersorak riang. Akan mudah baginya untuk menggoda dan menjerat Maudy. Benar-benar penasaran pada wanita ini.
“Udah selesai.”
“Aduh, sodanya tumpah ke perut gue. Tolong bersihin, Mbak.”
“Gimana sih ah, udah dibilangin jangan minum dulu.”
“Ahhhh… pelan gosoknya, Mbak.”
Pipi Maudy memerah, dia langsung melemparkan tissue. “Udah ya, gue pulang dulu. kerjaan gue selesai ‘kan? kalau butuh apa-apa, hubungi aja.”
“Hei, kita belum tukeran nomor. Mana hape lu, Mbak.”
Maudy memberikan saja ponselnya pada Erik tanpa berfikir panjang. Dia ingin segera pergi dari sini, tidak tahan kalau lama-lama melihat tubuh liat pria yang panas. Erik ini bossnya, Maudy harus tahu diri.
Diam-diam, Erik membuka room chat Maudy dan tidak menemukan kontak dengan emoticon Love ataupun berbau pasangan. “Nih udah, harus siap siaga kalau gue butuh lu.”
“Hem.”
“Kartunya bawa aja, biar lu mudah naik turun.”
“Oke, gue pulang sekarang. Makasih ya,” ucap Maudy pergi dari sana.
Lagi-lagi Erik menunduk dan menggelengkan kepalanya. “Asli deh, Bob, kok lu baperan amat liat dia? Sabar napa, gue gak mau ditebas lehernya. Dia mah beda cuy.”
Sementara disisi lain, Maudy kaget karena Erik menamai kontaknya sendiri dengan nama, “PRIOROTASKU.” Ditambah banyak emoticon love.
“Udah gue duga, pasti bakalan ada yang gak beres buat kedepannya.” Memeluk dirinya sendiri. “Gak papa, duitnya banyak nanti.”