PROLOG : Malam Tidak Terduga
"Rik, mau ikut gak?"
"Kemana?"
"Depan. Mau jajan cilok. Yuk?"
"Ogah males, nanti banyak cewek minta tanda tangan gue," Jawabnya memilih merebahkan diri di atas sofa dengan tangan yang lincah berselancar dalam dunia game.
Erik seorang pembalap profesional diusianya yang baru menginjak 25 tahun. Bukan hanya dikagumi karena kemampuannya saja, tapi juga karena ketampanannya. Selain pembalap, Erik juga aktif mengisi papan iklan dan majalah internasional lainnya. Itu sebabnya Erik merasa setara dengan seorang selebriti Hollywood. Apalagi penggemarnya didominasi oleh perempuan barat.
Di tanah kelahirannya juga banyak yang menggemari nya. Itu alasan Erik tidak ikut keluar untuk jajan bersama dengan teman-temannya. Padahal Erik suka sekali jalan jalan keluar apartemen.
"Rik, mana yang lain?"
Erik menoleh, melihat Detya yang merupakan managernya. Wanita hamil itulah yang mengatur Erik dalam hal kerjasama dengan perusahaan diluar area balapan.
"Pada jajan, Mbak."
"Lu gak ikut?"
"Kagak ah, terakhir kali keluar malah dikejar cewek stress."
"Hahahaha! Stress stress juga penggemar lu tau."
"Mbak bawa apa itu?" Tanya Erik mendekat ke arah dapur. Melihat berbagai makanan lezat yang disajikan oleh sang manager. "Pas banget gue lagi lapar nih."
"Bagi bagi sama temen temen lu ya. Nih Mbak kasih banyak stok, soalnya mau jalan dulu sama suami besok. Lagian lu gak ada jadwal, jadi diem ya. Jangan gangguin gue dulu. Kasian ini bayi kangen sama bapaknya."
"Muka m***m lu bikin gue tahu apa yang ada di dalam pikiran lu ya, Mbak."
Yang berhasil membuat Detya tertawa mendengarnya. "Lu gak tahu kalau nikah tuh bikin enak, Rik."
"Halahh, itu kalau sama orang yang tepat. Kalau kagak? Bisa jadi masalah lah."
"Makannya move on. Jangan cuma mikir kalau yang tepat itu mantan lu doang. Masih banyak cewek diluar sana yang suka sama lu. Tapi jangan dibercandain, lu kebanyakan maen maen sama banyak cewek, Rik."
Erik mengabaikan dan memilih mencomot ayam kecap. Plak! Yang langsung dipukul oleh Detya. "Pake garpu, jorok!"
Namun Erik mengabaikan dan memilih menerima banyak pukulan. "Lu jangan jorok jorok, Erik. Lu itu brand ambasador nya hand sanitizer tau!"
"Gak akan ada yang liat juga. Secara di depan kamera gue harus perfect banget."
"Ya itumah tuntutan. Kan gantinya, lu dapet banyak duit, Erik." Membuka pintu lemari makanan dan membulatkan mulutnya. "Ya ampun, Erik! Lu kalau makanan sisa itu ditutup lagi. Liat nih banyak semut! Mana ada yang sampe bau lagi!"
"Lupa, Mbak," Jawabnya dengan santai.
Dengan penuh kekesalan, Detya menasehati Erik supaya tidak berprilaku jorok. Erik sendiri enggan membiarkan orang lain masuk termasuk petugas pembersihan, kecuali dengan Detya yang mengawasi. "Lu itu mau gue tinggal, Erik. Gue mau lahiran, mau cuti. Jadi lu kudu mandiri. Belum tentu nanti manager selanjutnya bakalan bisa handle semua kelakuan absurd lu."
"Kan Mbak yang cariin penggantinya. Wajib sama lah kayak Mbak, kalau enggan nanti gue potong gaji."
"Enak bener lu maen potong potong aja." Detya berdecak. "Gue gak jamin bisa 100 persen sama kayak gue. Tapi pasti gue nyariin yang terbaik buat lu."
"Pokoknya kudu bisa masak kayak Mbak, kudu bisa bersih bersih. Intinya sekalian ngasuh gue aja sih."
Sebenarnya Erik sedikit galau karena managernya akan cuti melahirkan. Meskipun Detya yang akan mencari penggantinya sendiri, tapi Erik malas mendapatkan manager baru yang memiliki sifat berbeda dengannya.
"Woyyyy! Mbak Detya! Bawa apa, Mbak?"
Teman-teman Erik yang baru kembali jajan itu langsung mengerumuni makanan. "Punya gue!" Erik berlari dan menutup semua kontainer makanan. "Jangan lah!"
"Erik, kan gue bilang kalau lu harus berbagi."
"Nanti mereka ditraktir sama gue diluar, Mbak. Yang inimah jangan. Kesukaan gue banget makanan rumahan."
Teman-teman Erik langsung tersenyum. "Janji ya traktir kita. Terus tempatnya terserah kita, lu gak boleh protes okay?"
***
"Sh*t!" Erik mengumpat ketika melihat tempat yang mereka datangi. "Ngapain berhenti di sini?"
"Klab lah, Rik. Lu udah lama gak seneng seneng. Galau gak bikin duit lu nambah." Giovano berucap.
"Gue lagi gak pengen party."
"Lu biasanya juga pecinta party."
"Ogah sekarang mah." Erik tetap pada pendiriannya.
"Jangan gara gara kemaren liat mantan jadi gak mood ngapa ngapain, Rik."
"Beneran dah, lu udah lama gak party disini coyy. Sebelum berangkat ke LN lagi, gass ke sini dulu." Gading menambahkan.
"Gak asik kalau gak mabok dulu." Sanding menarik tangan Erik keluar dari mobil.
Sebuah klab malam yang biasa didatangi oleh Erik.
"Kejutannya, gue udah bilang kalau lu bakalan datang," Bisik Gading.
Jadi saat pintu klab terbuka, langsung terdengar surakan dari semua orang.
Sang DJ berteriak dengan Mic di tangannya. "Wellcome Back, Erikkkk! The master of speed!"
"Hwaaaaa!"
Erik sudah terbiasa disambut di klab seperti ini. Setiap kali memenangkan pertandingan, selalu ada pesta alkohol untuknya.
Dan kesenangan ini tidak bisa dilewatkan, Erik akhirnya mengangkat tangan memberi isyarat supaya dibawakan alkohol.
Di klab malam itu, Erik langsung minum dari botolnya. Hei, bukan hal aneh dengan gaya hidup Erik yang dihiasi dengan pesta alkohol dan perempuan. Sekarang saja sudah ada dua wanita cantik di kanan kirinya.
Terkenal sebagai lady killer dan beberapa kali didapati jalan bersama para model terkenal. Namun tidak ada yang benar benar serius dengannya. Erik menanggapi mereka sampai akhirnya bosan dan memilih mengabaikan nantinya.
"Erik, mau cari kamar nggak?" Tanya salah satu wanita itu.
"Lagi pengen disini." Meneguk botol alkohonya kemudian bergabung bersama dengan teman-temannya ke dalam tarian pesta.
Botol demi botol diteguk Erik, sorot flash kamera ponsel mengenai wajahnya dan membuat Erik mengumpat kesal. Gaya hidupnya yang seperti ini sudah dikenal oleh kalangan penggemarnya. Bad boy and Lady killer. “Jangan foto gue, Adjing!”
Semakin banyak alcohol yang Erik minum, semakin banyak kata u*****n kasar yang keluar dari mulutnya. Dan itu membuat teman-temannya mulai panic.
“Adjing jangan sentuh gue!”
Gading panic ketika sahabatnya mulai ditundukan oleh alcohol, dia segera membawa Erik ke sebuah kamar yang ada disana. “Anjir lu, jangan kayak gini, Erik!” teriaknya pada sang sahabat. Mengantarkannya dulu ke kamar mandi supaya setidaknya Erik bisa setengah sadar.
Ketika kesadarannya mulai kembali, Erik duduk di sofa dengan tatapan malas pada Gading. “Ngapain lu liatin gue?”
“Lu mabuk ya, Bangssat.”
“Salah sendiri ngajakin gue ke sini ‘kan?” Erik mengusak rambutnya. Kepalanya pening memikirkan pertemuan dengan sang mantan beberapa minggu yang lalu. “Gak tahu kenapa. susah banget buat gue move on.”
“Mau cewek gak? Gue punya barang bagus.”
“Najis, pasti bekas lu.”
“Nggak, dia tuh premium. Yang make juga orang-orang hebat. Keep Silent and will make you better. Mau gak?”
Erik sedang pusing. Kalau dia b******a dengan penggemarnya, akan berakhir dengan dirinya yang dikejar dan meminta status yang jelas. Erik pernah berpengalaman. Jadi, memang memilih wanita bayaran saja.
“Mau gak nih? Cewek bagus kok, background pendidikannya juga bagus.”
“Kalau pendidikan bagus, ngapain dia jual diri?”
“Dia punya kerja, ginian buat buang penat katanya. Kalau lu asyik, nanti dapet bonus gak usah bayar.”
Erik hanya tertawa mendengarnya, wanita bayaran macam apa itu? tapi karena Gading terus menawari dan Erik benar benar pusing, maka dia minta diantarkan ke sebuah kamar hotel premium. “Awas lu kalau bilang sama Mbak Detya.”
“Aman kok, lagian dia pasti paham kalau cowok tuh butuh seneng seneng.”
****
“Dy, lu mabuk anjir!” teriak salah satu temannya dan mengambil paksa gelas yang ada di tangan Maudy. “Mas, udah dong jangan kasih mulu minum.”
“Lah, dia yang minta, Mbak.” Jawab sang bartender tidak mau disalahkan.
“Maudy, udah ayok. Lu mabuk parah, mana bau lagi.”
“Hngghhhh? Gue mau dibawa kemana ini?”
“Ke kamar hotel lah, udah gak bisa jalan bener lu.”
“Gue belum pamitan sama Niaaa! Dia kan yang kawinan, masa gue yang dibawa ke kamar hotel.” Wanita berusia 27 tahun it uterus meracau ketika sang sahabat membawanya menaiki lift.
“Untung aja si Nia sediain kamar hotel buat besti-nya,” gumam wanita yang sedang susah payah membopong Maudy sekarang.
Ketika melangkah di lorong, Nuri mendapatkan telpon dari kekasihnya. “Aduh, Dy, kayaknya gue gak ikut nginep disini deh. Lu masuk aja ya, nih kartunya. Laki gue kayaknya marah nih ditinggal lama.” Nuri melepaskan Maudy yang masih dalam keadaan mabuk.
Bahkan sekarang Maudy tersungkur dengan wajah yang terpentuk lantai. “Hngghhh,” gumamnya merasa pusing.
Kesadarannya masih ada, tapi sulit dikendalikan hingga Maudy tidak bisa membuka pintu. Alhasil dia memukul mukul pintu dari luar. “Bukaaa oeyyyy!” sampai dia lupa kalau dia hanya sendiri. “Gue bil──Huaaaa!” BRUK! “Anjiirr gue jatuh mulu dari tadi,” ucapnya kembali bangkit dan berjalan gontai menuju ranjang dan tengkurap disana.
Seorang pria yang membukakan pintu itu menatap heran. “Si Gading gak waras, masa kirim cewek mabuk,” gumam Erik menutup pintu dan melangkah mendekat untuk melihat lebih jelas. “Cakep, tapi mabuk gini. Ck! Zonk ini mah!”
Stress tidak tersalurkan, sang pembalap memilih untuk meneguk kembali alhokol sambil duduk di sofa dan memandang wanita yang terlelap itu. ketika mata sang wanita perlahan terbuka, dia bergumam, “Gak baik minum alcohol, Dek. Kerja yang bener.”
Erik sampai tersedak salivanya sendiri, apa katanya?
“Frustasi banget lu? Matanya keliatan banget lagi galau lu.”
“Tidur aja lu.”
“Lu masih muda, jangan banyak minum. Nanti tubuh lu ggak berfungsi secara maksimal, alias cepet mati.”
“Lu sendiri mabuk.”
“Eheheehhehe~”
“Gak waras,” gumam Erik merinding.
“Mabuk gak selesain masalah.”
“Tapi bikin gue lupa sesaat.”
Dengan mata sayu dan bicara yang tidak dipahami oleh dirinya sendiri, Maudy berucap, “Hngghhh, tetep aja pas lu sadar itu masalah masih ada.” Sambil menguap, menggaruk pant*t dan sesekali meneteskan air liur pada bantal, wanita itu berucap lagi. “Kalau lu emang gak bisa selesain masalah, maka cari jalan lain. Ubah mindset, gak semua apa yang lu mau bakalan dikabulin di dunia ini. Itu hidup, lu harus siap buat hadapin apa yang dihadapan lu. Jangan terbuai sama ekspekttasi.”
Erik diam sejenak menedengarkan. “Masalahnya, gue gak nemu lagi sosok yang udah pergi dari gue.”
“Dih, galau sama cewek lu? Lu tuh gak sempurna. Cewek itu bisa lengkapi kekurangan hidup lu, maka kalau dia pergi, lu Cuma harus cari cewek yang bisa obati hati lu. Gak usah sama yang kayak dia. Paham gak?”
Erik termenung dengan perkataan wanita itu, benar juga. “Malah dakwah lu.”
Maudy tertawa, tubuhnya banyak bergerak hingga roknya tersingkab. Melihat itu, Erik merasa gerah hingga dia melepaskan pakaian. Membuat Maudy melihat pemandangan yang begitu indah. “Wuihhh, bagus banget. Pegang boleh?”
Erik rasa, wanita ini masih bisa diajak berhubungan badan meskipun mabuk. “Mau sentuh gak?”
Maudy langsung membalikan tubuhnya menjadi terlentang. “Ihihihi, sini. udah lama gue gak ditindih laki.”
Dengan sifatnya yang diluar dugaan, Erik menjatuhkan tubuh menindih wanita yang dia bahkan tidak ketahui namanya. Bibirnya mulai meraup lawannya, rasanya manis seperti anggur merah.
Benar apa yang wanita ini bilang, Erik hanya perlu mencari wanita yang bisa menyembuhkan hatinya. Bukan wanita yang sama persis dengan mantannya.
Malam itu, Erik dibuat terpana dengan tubuh yang begitu pas dipelukannya.
“Mimpi indah,” gumam Maudy.
Namun keesokan paginya, Erik sudah tidak mendapati wanita itu disampingnya. Padahal Erik ingin berbicara lebih banyak lagi.
Dia malah semakin pusing dengan telpon dari Gading. “Hallo?”
“Lu masih di hotel, Bro?”
“Iya, baru bangun gue.”
“Duh sorry banget. Lu pasti nunggu semaleman ya? ceweknya gak jadi dateng, dia harus ke luar Negara ngedadak katanya. Jangan bunuh gue ya, Rik.”
Ceweknya gak jadi dateng? Terus semalam Erik melakukannya dengan siapa?