Maudy menggelengkan kepalanya ketika mengingat adegan dimana dia mendapati diri sendiri dalam keadaan telanjang bersama dengan seorang pria yang tidak dia kenal sama sekali. Mana tubuhnya terasa sakit dan ngilu. Pagi itu, Maudy kabur dari kamar hotel pagi pagi buta supaya tidak mendapatkan masalah.
Ting Tong!
Bel apartemennya berbunyi, Maudy bergegas membuka pintu dan mendapati sang pengantar s**u. “Ini bagian kamu.”
“Mbok, kan aku udah berhenti langganan sejak seminggu lalu. Belum punya kerjaan lagi, Mbok. Ini sewa apartemen aja belum dibayar.”
“Gak papa, kamu ngutang juga si Mbok percaya. Bayarnya nanti aja kalau kamu udah dapet duit ya.” dipaksa menerima s**u tersebut. Maudy kembali ke dalam dan membuka Koran, laptop dan ponsel untuk mencari lowongan pekerjaan.
Sebelumnya Maudy bekerja dibagian assistant manager salah satu model nasional di Jakarta. Tapi karena jasanya sudah tidak dibutuhkan lagi, maka Maudy diberhentikan. Tidak menyangka juga, padahal dia sudah bekerja bertahun-tahun dan terlihat akan dijadikan bagian dari staff pribadi sang model.
Sayangnya, sang manager merasa kalau Maudy menyainginya hingga Maudy dijadikan kambing hitam atas kesalahan schedule sang model, membuatnya diberhentikan tidak terhormat, berakhir dengan Maudy yang harus mencari pekerjaan lagi.
“Gak bener nih, mending ngopi dulu dah keluar.” Wanita berusia 27 tahun itu memakai masker dan topi. Penampilannya selalu tertutup karena kebiasaan supaya tidak ada yang mengenali mantan bossnya. Kebiasaan ini yang membuat Maudy sedih, sang model yang pernah bekerja dengannya itu tidak mempercayai Maudy dan malah menganggapnya sebagai sumber masalah. “Udah 27 tahun nyari kerja dimana. Secara selama ini, gue ahlinya ya tawar menawar di bidang kontrak. Apa kudu gue masuk ke perusahaan penerbitan aja ye? Kan suka ada yang bikin kontrak antara penulis sama penerbit tuh.”
Duduk di café dan memesan kopi diharapkan bisa menjernihkan pikiran Maudy untuk mencari pekerjaan. Wanita itu mengambil duduk di dekat jendela. Suka sekali dengan café ini yang sepi dengan pemandangan indah, jadi Maudy bisa mencari jalan keluar sambil merenung.
“Haduh, enaknya kalau punya tempat tinggal yang sepi. Gak kayak apartemen gue, tetangga b*ker aja kedengeran. Disini emang ter-the best.”
“Kak, minta tanda tangannya dong!”
“Kak! Mau foto bareng dong!”
“Mass! Ya ampun ganteng banget! Nikahin aku dong! Kapan tanding lagi?!”
Sampai suara itu menghancurkan ekspektasi Maudy, dia menoleh dan melihat seorang pria yang memakai pakaian tertutup sedang dikerumuni banyak wanita di sekitarnya. “Itu orang artis atau apa sih? perasaan gue belum pernah liat dia masuk lambe turah.” Karena Maudy tidak mengenalinya.
“Huaaaa! Ganteng bangettt! Lagi dong lagi! buka maskernya lagi!”
“Mau foto satu aja yaa?! Pleaseee!’
Oke, ini sudah keterlaluan. Maudy tidak tahan dan ingin pergi dari sini. dia bergegas menuju pintu keluar, tapi bagian itu terhalang oleh para penggemar pria misterius itu.
“Tolong permisi, tolong minggir. Aing mau keluar ini,” ucap Maudy dengan kesal. “Permisi, permisi.” Tapi tubuh Maudy terhimpit diantara kerumunan orang orang. Sebenarnya apa yang terjadi, Maudy menoleh dan melihat sang pria juga hendak keluar pintu. Pantas saja terasa sangat sesak!
“Permisi, maaf. Permisi,” ucap pria itu juga sampai dia tersandung dan…. Maudy merasa slow motion, rasanya mustahil menghidari, dia pasti akan gepeng karena tertindih pria menyebalkan ini. BRAK! BUG! Sesuai dugaan, Maudy ditindih oleh pria itu.
Namun, Erik berusaha menahan tubuh supaya tidak menyakiti orang lain dengan kedua tangan. Sayangnya, kedua telapak tangan Erik malah mendarat di dua buah d*da Maudy. Bahkan tidak sengaja mer*masnya saat hendak berpindah.
Maudy membulatkan mata kesal. “BRENGSEEEK!” PLAK! “MINGGIR!” maudy menampar pipi pria itu.
Tapi Erik malah kembali mensejajarkan wajah mereka dan membuka maskernya. “Hei, ingat gue? Yang bikin lu nangis nik──”
Plak! BUGH! Kali ini bukan sekedar tamparan, Maudy juga memukul kuat Erik dan segera melarikan diri begitu tubuhnya tidak lagi tertindih. Maudy berlari dengan sangat kencang. Itu pria yang beberapa hari lalu tidur dengannya! Samar samar ingatan malam itu menghinggapi ingatan Maudy! Dirinya benar benar b*nal dan memalukan.
Ditambah lagi, kejadian barusan begitu memalukan. “Menyebalkaaannn! Pasti tu cowok anak t****k nyampe punya penggemar disinisini,” ucap Maudy menghenatk hentakan kaki begitu sampai di taman.
Kesallll sekaliii! “Gak papa, meski gue salah masuk kamar, itu cowok juga salah. Gak papa, gue udah bales pake dua tamparan sama satu bogeman.” Belum juga ingatan malam itu hilang, Maudy kembali lagi dilecehkan dengan dua gunungnya yang dijadikan bahan tumpuan.
****
“Mama kangen!” teriak seorang anak berusia lima tahun ketika melakukan video call bersama dengan Maudy. “Mama kapan Mark boleh ke sana lagi?”
“Nanti ya, Mamanya gak bisa tetep tinggal di rumah kalau sekarang.”
“Kan biasanya juga Mark ditinggal sendiri, atau dititipin ke tetangga, Ma!”
Maudy hanya bisa tersenyum atas keinginan sang anak. Dia harus menetap disinisini sendiri karena keuangan yang terbatas. “Nanti Mama kasih tahu lagi ya kalau Mark udah bisa ke sini.”
“Okeyy, Mama! Mark mau main layangan dulu.” meninggalkan layar ponsel kemudian tergantikan oleh telinga sang Ibu.
Maudy langsung kaget. “Bu, ubah dulu ke mode telpon. Ini Maudy jadinya liat telinnga Ibu loh.”
“Gak papa, toh sama aja. Ibu mau tanya Ayahnya Mark? Ada kabar belum?”
“Belum, Bu. Lagi seneng seneng dia sama istrinya yang baru kali.” Maudy menunduk dan memainkan kancing bajunya sendiri. Mereka menikah karena dijodohkan, dan Maudy sudah jatuh cinta pada pria itu. Sulit sekali mendapatkan hatinya sampai akhirnya sang pria menyerah dan mau berumah tangga dengan benar.
Tidak lama, sampai kekasihnya datang dan Maudy diceraikan ketika Mark berusia satu tahun. Maudy tidak bisa apa apa, mantan suaminya itu juga menjanjikan akan tetap menafkahi Mark. Dia datang menemui Mark satu bulan sekali, lalu berganti jadi tiga bulan sekali, lalu enam bulan sekali, satu tahun sekali dan sekarang hilang tanpa kabar. Tapi Maudy dengar dari temannya kalau mantan suaminya itu ke luar Negara bersama dengan kekasihnya untuk melangsungkan pernikahan.
“Nanti Maudy yang nanggung biaya Mark, Ibu jangan khawatir deh. Jangan berharap lagi ke cowok itu. udah dulu ya.” enggan untuk larut dalam kesedihan lebih lama, Maudy menutup panggilan. Matanya menangkap foto pernikahan yang masih dia pajang di nakas. “Kenapa kagak kayak di n****+-n****+ dah? Lu nyesel terus sujud sujud di depan gue? Inimah boro boro.”
Padahal Maudy mengabdikan masa mudanya untuk bisa melayani mantan suaminya dengan baik. “Dah ah, capek mik──” TING TONG.
Bel apartemennya kembali berbunyi. Maudy mendapati sang mantan kakak kelas yang juga sahabat lamanya. “Kak Detya?”
“Gimana kabar lu?” Detya memeluk sahabatnya.
“Gak baik, Kak. Gue gak punya duit. Mau gak kasih gue kerjaan?”
“Nah, ini maksud dan tujuan gue ke sini.”
“Oh ya? ayok masuk masuk.”
Detya menjelaskan kedatangannya, kalau dia tadinya berniat untuk melepaskan pekerjaannya dua atau tiga bulan lagi. sayangnya sang suami meminta untuk cuti sekarang. “Lu kan udah berpengalaman di bidang managent artis, nah gue pengen lu gantiin gue dulu. jangan khawatir, nanti kalau gue balik, lu gue kasih kerjaan yang lain, Dy.”
“Tapi, Mbak. Siapa yang bakalan gue management?”
“Pembalap.”
“Lah kok? pembalap? Gue bikin jadwal balapan gitu?”
“Kagakkk, dia tuh pembalap tapi juga sering dijadiin duta brand-brand tertentu. Paham lah ya? Nah, di luar area balapan, dia punya staffnya sendiri karena gak mau masuk management manapun, dia maunya independent kalau lagi jadi model. Lu bagian atur atur jadwalnya aja.”
Terlalu complicated untuk Maudy yang pemula, tapi gaji yang ditawarkan itu tidak main main. “Nantinya gue diem dibagian kantornya apa gimana?”
“Fleksibel. Di kantornya itu ada staff konten creator, photographer, make up artist dan lain lain. Lu yang nantinya bakalan atur atur mereka, gimana dibutuhinnya sama si Erik. Tapi kayaknya lu mah kebanyakan ngikutin jadwal orangnya, jadi kalau butuh staff ya tinggal telpon gitu.”
“Gilaaa, jadi gue ada satu tingkat dibawah boss tapi lebih tinggi daripada para staff?”
“Yeah, intinya gitulah. Mau gak? Kalau mau, besok datang ke gedung ini di lantai 23, kenalan dulu sama para staffnya.”
“Kalau sama si pembalapnya kapan? Siapa namanya? Riko?”
“Nanti itumah, dia lagi gak mood sekarang. Khawatir lu kena semprot.”
“Temperamen?” tanya Maudy khawatir.
“Ayolah, Dy, lu udah biasa hadepin manusia macam gitu kan selama ini?”
Benar juga sih, Maudy tidak bisa menolak karena dia benar benar membutuhkannya. “Mbak, tapi gue butuh liat mana orangnya, yang bakalan gue atur nantinya.”
“Nanti dulu. lu liat dulu system kerjanya kayak gimana, baru nanti dikenalin sama dia secara pribadi.”
***
“Pembalap ya?” Maudy bergumam sendiri. rasanya complicated, biasanya dia hanya mengatur jadwal tanpa harus menyesuaikan dengan jadwal balapan. “Gak papa deh, biar Mark punya banyak duit, beliin mainan baru,” ucapnya bersiap pergi ke gedung perusahaan di lantai 23 di pusat kota.
Maudy berdandan secantik mungkin supaya bisa mengeluarkan wibawanya, mengingat dia yang akan memimpin para staff yang nantinya menunjang sang pembalap jika melakukan endors. Maudy ke bagian resepsionis dulu dan mengatakan kepentingannya.
“Oh iya, Ibu Detya dari lantai 23 sudah berpesan pada saya. Silahkan langsung naik saja, Mbak.”
Mereka menyewa lantai paling atas di gedung ini, menandakan Maudy akan terjamin gajinya. Dia masuk ke dalam lift dengan senyuman yang mengembang, “Gak papa orangnya temperament juga, yang penting dapet duit. Yang gue mau sekarang Cuma duit, duit dan duit. Ready to go!”
“Bentar!” teriak seseorang menahan lift hingga tidak tertutup. Maudy menatap kesal seorang pria yang tidak asing baginya.
Erik kaget melihat wanita yang tengah dia cari beberapa hari terakhir ini. begitu pintu lift tertutup, Erik langsung membuka maskernya. “Hei, inget gue gak?”
“Lu─”
“Gue gak niat macam macam, lu tenang dulu. Jangan pukul gue.” Tangannya terangkat menandakan tidak akan melakukan apapun. Tapi sial sekali, Erik lagi-lagi menginjak tali sepatunya hingga terjerembab ke arah Maudy dan…. GREP! Kedua tangannya selalu mendarat di tempat yang tepat dengan wajah tersungkur ke bagian bawah Maudy untuk menahan tubuhnya yang condong hendak jatuh.
“Huaaaa!”
Erik segera mengadah. “Bentar, Dek! Pukulan kemarin belum sem─”
BUGH! Kali ini Maudy kembali memukulnya hingga…. Pria itu pingsan. Maudy kaget melihat darah keluar dari hidung pria itu. “Tewas ‘kah?” gumamnya khawatir.
Melihat keberadaan CCTV sepertinya akan menguatkan alibinya melakukan itu. Maudy menghentikan lift di lantai 20 dan menyeret Erik keluar dengan cara menarik kakinya.
“Mbak, Mbak! Ngapain, Mbak?!” tanya sang satpam yang sedang berkeliling.
“Pak, ini orang mes*m terus saya pukul tapi malah pingsan. Kalau gak percaya cek aja CCTV, saya gak mau ada urusan lagi sama dia.”
“Loh kok ditinggal disini. Sampean mau kemana, Mbak?”
“Ini hari pertama saya kerja, Pak, atur aja dia ya.” Maudy mengeluarkan beberapa ratus ribu dari dompetnya. “Pokoknya dia m*sum. Ini buat bapak. Bawa ke kantor polisi ya, nanti saya nyusul.”
***
“Lu lama amat deh, Dy.”
“Hehehe, maaf, Mbak. Tadi ada problem,” ucap Maudy memasuki sebuah ruangan luas dimana ada banyak karyawan disana dengan meja mereka masing-masing.
“Sini, mau diajak keliling dulu.” Detya menarik tangan Maudy dan mulai menjelajahi tempat tersebut. “Ini Divisi Pemasaran sama Promosi. Jadi selain dipromosiin sama perusahaan yang ngontrak, kita juga harus promosiin juga. Kayak mikirin gimana produk ini muncul waktu Erik live i********: atau posting foto yang ada kaitannya sama produk, tapi gak keliatan endors, jadi biar lebih alami gitu.”
“Oh, namanya Erik,” gumam Maudy kembali melangkah mengikuti Detya.
“Ini Divisi Keuangan, tahu lah maksudnya gimana.”
“Oke, terus?”
“Ini para Fotographer. Kadang Erik males pemotretan sama yang lain, jadi gunain staffnya sendiri. Yang ini para penata rias sama stylish. Kalau Erik ada acara, pasti mereka yang menyesuaikan. Ada juga pengacara, tuh yang plontos itu. Erik suka jaga jaga kalau ada yang bikin dia gak nyaman. Dan yang terakhir Divisi Management, yang nantinya bakalan atur jadwal sama tinjau kontrak.”
“Lah, Mbak, bukannya management dipegang sama aku ya? jadi nanti aku juga stay disini dong?”
“Enggak, mereka team lu. Jadi lu gak bingung sendiri, lu Cuma atur ulang yang mereka udah buat. Lu tetep ngikutin Erik. Sebenernya posisi lu nyerempet asisten pribadi sih. Jadi lu mastiin semuanya berjalan dengan baik. Terus bagian management juga keputusan ada di tangan lu, tapi lu gak stay disini. soalnya ngikut kemana mana Erik pergi.”
Manager sekaligus Asisten pribadi ya? itu lebih intim karena harus terus berada di samping sang pembalap. Bukan hanya tentang kontrak, Maudy membayangkan dirinya harus mengepel lantai apartemen sang majikan nantinya.
“Gajinya seribu dollar perbulan. Belum lagi bonus kalau ke luar negeri, ikut gratisan pula, mana biasanya tiap satu kali flight sering dikasih nyampe 500 dollar loh.”
Kalau sudah seperti ini, Maudy tergiur. “Yaudah deh, Mbak. Gue terima tawarannya.”
“Nah, gitu dong. Lu itu bisa dipercaya, gue juga milih lu karena mentalnya kuat. soalnya Erik ini agak…. Ya bikin sakit kepala.” Baru juga Detya berkara seperti itu, dia sudah mendapatkan telpon dari Erik yang menyatakan kalau dia ada di rumah sakit dengan polisi yang mengikutinya. “Lu abis ngapain sih, Erik?! Yaudah iya, gue ke sana sekarang.”
“Kenapa, Mbak?”
“Si Erik di rumah sakit, mana ada polisi juga disana.” menghela napas berat. “Yuk, lu ikut gue ke sana. sekalian kenalan sama si nakal Erik.”
Melihat ekspresi wajah Detya membuat Maudy meringis sendiri, sepertinya kehidupannya saat jadi asisten sang pembalap akan membuatnya banyak minum obat sakit kepala.
Sampai di rumah sakit, mereka langsung masuk ke ruang VVIP dimana Erik berada. “Rik, lu kenapa sih?”
“Kenapa gak bawa pengacara gue, Mbak?”
“Lu gak bilang ih, emang lu lakuin apa sih?”
“Ada salah paham nih. Gue gak niat mes*m.”
Detya mengecek wajah Erik yang lebam dan sudut bibir yang robek. “Lu lakuin apa sampe dikeroyok sama warga?”
“Kagak dikeroyok, Mbak. Aw! Sakit ih.” Erik protes.
“Eh ya ampun lupa! Gue mau kenalin calon pengganti gue, Rik. Maudy! sini!”
Erik menoleh pada wanita diambang pintu yang berdiri tegang menatapnya ketakutan. Sementara Erik menaikan alisnya. “Wah, dunia sempit ya?”