Taktik sang Pembalap

1662 Kata
Dengan percaya dirinya, Erik sudah mengundang teman-temannya untuk datang di pesta yang nantinya akan diadakan di Austin. Untungnya para sahabatnya itu konglomerat yang bisa menghasilkan uang tanpa bekerja, jadi mereka dipastikan bisa hadir sebagian. Beberapa hari terakhir ini, Erik focus pada tim dan latihan. Juga menemui sponsor tunggal yang berminat bekerjasama dengan Erik. Tapi nyatanya tidak sesibuk itu untuk Maudy, karena dia memiliki manager tim yang membantu. Jadi di area balapan, Maudy hanya melihat dan menyetujui atau menolak saja. sekarang, Maudy tengah melihat Erik yang sedang latihan di sirkuit bersama dengan pembalap lain. “Woahhh, keren sekali,” gumamnya. “Erik memang mengagumkan.” “Astaga, kau membuatku kaget.” Memicingkan mata pada wanita seksi itu. “Kau siapa?” “Aku Umbrella Girl Erik. Mewakili sponsor dengan visualku yang menawan, aku akan memberikannya dukungan dengan wajah cantikku ini.” “Ehehehe. Oke,” ucap Maudy. dia harus bagaimana sekarang. Bingung apalagi wanita itu tiba-tiba duduk disampingnya. “Aku ini menanyakan sesuatu. Apakah Erik sedang berkencan dengan seseorang sekarang?” “Kenapa? kau tertarik dengannya?” “Tentu saja, aku ingin menjadi partner partynya saat kemenangan nanti. Jadi, dia sudah memiliki kekasih atau belum?” Dua hari yang lalu, Erik mengatakan kalau dia pergi bersama temannya. Meskipun Maudy tidak percaya. “Dia bilang sedang kosong sekarang.” “Woahh, aku sangat antusias. Bolehkah kau memberi kami jalan untuk bersama?” “Seperti apa?” “Maudy! Erik sudah selesai!” teriak Ralph yang berdiri di Paddock atau garasi tim balap. Si wanita cantik itu melangkah ikut ketika Maudy memberikan minuman untuk Erik. Mengevaluasi latihannya, Erik mengalami peningkatan dan membuat tim yakin kalau dia akan menang. “Kurasa latihan sekarang cukup. Kau bisa istirahat.” “Tidak akan ada yang mengganguku lagi ‘kan, Ralph?” “Ah iya, ini dia umbrella girl-mu. Dia dari sponsor banteng merah. Namanya Palvina.” “Holla,” ucap model itu mendekat dan memeluk Erik. Sang pembalap membalas pelukan sambil tersenyum, sampai dia sadar, “Kan udah ada masa depan.” Jadi buru-buru dilepaskan. “Hallo juga.” “Kau makan malam dimana? Bagaimana kalau kita menghabiskan waktu bersama? Ngomong-ngomong aku pernah ikut kelas Yoga.” “Lalu? Kau akan mengajakku Yoga?” “Bukan astaga! Aku tahu bagaimana cara mendapatkan ketenangan. Jadi, ayok makan malam bersama. Aku juga penggemarmu.” Erik menoleh pada Maudy yang langsung berkata, “Lu bisa ikut sama dia. Lagian udah beres kok, jadwal pribadi juga gak ada.” “Nggak ah, gue maunya makan malam sama calon masa depan gue,” ucap Erik memegang tangan Maudy. Orang-orang disana mengerutkan keningnya heran. “Karena gue suka sama lu, Mbak.” “Mulutnya.” Maudy menghempaskan tangan itu kesal. Untung saja mereka tidak paham pembicaraan Erik dan Maudy. “Aku tidak bisa, ada hal lain yang harus dilakukan.” “Oke, kalau begitu bolehkah aku meminta nomormu?” “Um, tidak,” ucap Erik tersenyum dan melangkah untuk berganti pakaian. Sang model mencebik dan menatap Maudy dengan kesal. “Kau manager yang baru ‘kan? apa kau b******a dengannya untuk mendapatkan pekerjaan itu?” “Hei, perhatikan ucapanmu, Gadis muda,” ucap Ralph membela Maudy. “Jangan seperti itu. Erik hanya sedang kehilangan minat dan ingin focus pada balapan. Kau bisa mendekatinya lagi nanti. Atau minta saran teman-temanmu yang pernah dekat dengannya.” Tapi sepertinya model itu memiliki radar yang membuatnya bisa mendeteksi kalau Maudy adalah musuh. Padahal Maudy tidak ada niatan sedikitpun untuk itu. **** Karena beberapa orang memang mulai mencurigai mereka, itu membuat Maudy merasa tidak nyaman. Dia bahkan menyembunyikan tangannya karena takut disentuh Erik. “Kenapa sih, Mbak? Kayak yang lagi PMS gitu?” tanya Erik. Masih tetap diam sampai akhirnya ikut masuk ke kamar Erik. “Ihh, dia ikut masuk, pasti pengen liatin wajah gue yang ganteng ya?” “Gue gak suka.” “Hah? Sama apa?” “Gue gak suka kalau lu udah kasih perhatian sama gue khususnya skinship kayak tadi. Gue gak suka dipandang sama mereka kalau gue itu bisa kerja di lu karena gue ngegoda.” Wajahnya merah padam. “Kalau lu beneran suka sama gue, jangan bikin gue kesel sama rugi dong. Professional kalau diluar, jangan kayak tadi. Gue gak suka.” Memalingkan wajahnya mencoba meredamkan amarah. Sebelum akhirnya kembali menatap Erik. “Rik, lu harus professional.” “Iya, gue professional kok. Cuma nunjukin aja sama dunia kalau gue itu suka sama lu. Emang itu salah?” “Ya salah, soalnya gue gak nyaman.” “Iyadeh, nantimah gue tunjukin rasa cintanya kalau berdua sama lu. Mau mandi dulu, gerah gue.” “Erik ih dengerin gue dulu.” Namun Erik malah membuka pakaiannya dan melemparkan ke wajah Maudy. membuat perempuan itu kesal dan mengejar Erik/ justru dijadikan kesempatan oleh sang pembalap dengan masuk ke kamar mandi. Dan Erik dengan sigap menguncinya dari dalam. “Heh! Lu mau ngapain? Jangan macam-macam ya.” “Akhirnya,” ucap Erik melangkah mendekat. Kini maudy yang mundur, sampai punggung menyentuh tembok. Tangannya mencoba menggapai pintu tapi tidak bisa dibuka. “Erik ihhhh! Lu mau apainn?!” “Mbak, lu gak bisa minta seseorang buat berhenti suka. Bukan gitu cara kerjanya. Oke, kalau didepan orang lain gue bakalan bersikap kayak biasa. Tapi kalau berdua…” wajahnya semakin mendekat sampai Maudy memejamkan mata. “Gue mau memperlakukan lu selayaknya cewek yang gue suka.” Meraih tangan Maudy kemudian menciumnya. Tidak bisa berkutik karena takut. “Tolong bersihin punggung gue ya,” ucapnya menjauh dan duduk didalam bathub. “Tenang, gue gak bakalan buka baju kok.” Maudy meraih pintu lagi. “Anjir kok bisa kekunci sih?” “Mbak, cepetan nih gue mau dibersihin punggungnya. Pegel banget aslian. Mau dipijet tapi takut tukang urutnya malah nemu daki, jadi tolong bersihin dulu dong.” Kalau menolak, Maudy khawatir Erik akan mengintimidasinya lagi. “Abis itu keluarin gue dari sini!” teriaknya sambil menghentakan kaki. “Iya, cepetan nih. Bantuin gue dulu.” Melangkah mendekat dan mengambil spons mandi. Gila, tubuhnya begitu atletis dan membuat Maudy menelan salivanya kasar. Erik benar-benar menawan. Tapi Maudy menampar dirinya sendiri dengan kenyataan. Mengingatkan kalau Erik ini seorang pemain. “Nanti abis ini kita makan malam terus jalan-jalan.” “Gak mau. Nanti gue yang digosipin jadi pacar lu.” “Ya kagak apa-apa, tinggal bilang tanggal pernikahannya aja nanti.” “Jangan main-main lu.” “Hehehe, ampun, Mbak. Seriusan ayok jalan sama gue. Gak akan macam-macam kok. janji.” Tumben sekali Maudy diam, ternyata sedang mengagumi tubuh seorang Erik. Pria itu melihatnya dari pantulan kaca didepan. Sengaja juga memperlihatkan tubuhnya yang seksi supaya Maudy sadar betapa indah dirinya. “Mbak, kenapa sih kagak mau sama gue?” “Mikir sendiri lah.” “Nah itu dia. Gue udah mikir dan cari kekurangan gue. Tapi gak ada sama sekali.” “Udah bersihinnya. Gue juga mau mandi. Kan mau keluar.” “Ehehehe, makasih, Cantik.” meraih tangan Maudy dan menciumnya lagi. Kali ini Maudy sudah kembali pada kesadarannya dan refleks memukul kepala Erik dengan tangannya yang lain. “Ehehehe, untung lagi gak pegang panci ya situ, Mbak.” **** Maudy hanya melihat keindahan gedung ini dari dalam hotel saja, dia ingin keluar jalan-jalan. Namun untuk makan malam, Maudy memutuskan di hotel tempat mereka menginap saja supaya mendapatkan diskon. “Mbak, sausnya itu kena bibir.” Melotot sampai Erik menarik lagi tangannya. “Gemes banget deh pengen gue uyel-uyel.” “Jauh-jauh lu. Gue Cuma manager lu. Bisa-bisa gue mati ditangan para fans lu kalau mereka nyangka gue gebetan lu.” “Emang fakta juga.” Jengah mendengarnya, Maudy membiarkan saja Erik mengoceh. Untungnya kan tidak ada yang bisa bahasa Indonesia kecuali mereka. selesai makan malam, Maudy menagih Erik untuk jalan-jalan. Karena Maudy ingin naik mobil, jadi Erik menurut. Bisa repot kalau membuat si cantik semakin kesal. Tujuan Erik tentu saja Lady Bird Lake yang terkenal itu. “Kenapa mau kesini, Mbak?” “Lihat ulasan di google katanya bagus buat healing. Lu kan bentar lagi balapan, jadi tempat ini buat meditasi kecil-kecilan lah.” Nahkah, Erik sampai tersentuh karena Maudy memikirkannya. Padahal Maudy melakukan ini supaya Erik focus dan menang, kan nantinya juga Maudy yang mendapatkan banyak untung. “Pengertian banget sih. bener-bener bikin gue gak bisa berpaling.” “Jangan mulai,” ucap Maudy kesal. Mereka duduk dikursi sambil memandang danau yang diterangi cahaya gedung bertingkat. Kalut dalam pemikiran masing-masing. “Mbak, pernah gak nyesel sama keputusan yang kita buat sendiri?” “Hmm, pernah.” “Gimana cara lu buat hilangin rasa penyesalan itu?” “Dengan bersyukur tentunya. Dari kejadian itu, pasti ada hikmah yang bisa kita petik.” “Kalau gak ada?” “Berarti mata lu buta.” Erik terkekeh. “Butuh waktu buat menyadari hal itu. Gak mudah buat bersyukur atas kejadian yang kita sesali, tapi jangan sampai salahkan diri sendiri.” “Kadang gue rindu sama apa yang harusnya gue miliki. Dukungan keluarga, dan sambutan hangat dirumah. Tapi, nyatanya sekarang mereka jauh, gue gak bisa gapai. Ada hal yang mereka mau dari gue, tapi gue gak bisa kasih soalnya itu mempertaruhkan kebahagiaan gue.” “Tiap keputusan ada resikonya. Kita bukan anak-anak yang harus tertutup dengan realita. Inilah hidup, ekspektasi lu yang membunuh diri sendiri. Dan satu hal yang harus lu inget, kalau lu bukanlah peran utama dalam hidup siapapun.” “Kecuali lu,” ucap Erik menatap Maudy dengan tatapan dalam. Maudy menoleh. “Hah?” “To be. Lu bakalan jadi peran utama di hidup gue. Gue suka sama lu, Mbak.” Lama mereka bertatapan, Maudy tenggelam dalam manik cokelat itu. ketika Erik mendekat, Maudy segera mengalihkan pandangan. “Tungguin disini, gue mau beli jajan dulu. nanti lu dibeliin,” ucapnya terburu-buru pergi. Erik yang masih dalam posisi sama itu hanya bisa berdehem, kemudian mengambil ponsel untuk bercermin. “Gak ada beleknya kan? kenapa dia liatin gue sampe matanya bulat gitu?” bertanya-tanya sendiri. Sampai sebuah ponsel berbunyi. Itu milik Maudy yang tertinggal. “Mark pake emoticob Love? Siapa nih anjir?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN