6. Menutup Aib

1843 Kata
Pov Nabila "Kalian?" Tidak dinyana Kamila pulang dari toko bunganya. Wanita berwajah lembut itu lekas mendekati kami. Refleks sang suami melepas genggaman tangannya padaku. "Sayang ... su-dah pulang?" Agak terdengar sumbang suara Kak Sabiru saat bertanya. Aku yakin dia pasti canggung. Ketahuan sedang mendekatiku. Dasar laki-laki b******k! "Aku yang seharusnya nanya begitu. Tumben pulang cepet?" tukas Kamila tenang. Sama sekali tidak ada raut cemburu atau sejenisnya. Mukanya tampak datar saja. "Ya ... pekerjaan udah beres semua. Kebetulan lagi ... emmm sedikit gak enak badan. Jadi ... ya milih pulang awal." Kak Sabiru mengakhiri jawabannya dengan seringai kaku. Aku yakin dia pasti tengah berbohong. "Begitu? Terus ini kenapa pecahan gelas berserakan gini?" lanjut Kamila. Kali ini dia menatapku. "Itu ... ada kucing lewat, Mil. Aku lagi minum kaget. Jatuh deh gelasnya," jawabku pelan. Ikut berdusta. Jarak umurku dengan Kamila hanya terpaut tiga tahun. Namun, tubuh ini lebih tinggi darinya, sehingga banyak yang mengira kalau aku adalah kakaknya. Di bawah asuhan Ayah, pria itu tidak pernah mengajariku memanggil Kamila dengan sebutan Kakak. Sampai kini aku terbiasa memanggil nama saja. "Oh. Terus kenapa tanganmu dipegang oleh Mas Sabiru?" tanya Kamila selidik. Tentu saja aku tergagap jadinya. Apa lagi saat mata Kamila menatap intens. Aku seperti tengah diinterogasi. "Gak kenapa-napa. Tadi Nabila mengeluh jarinya kena pecahan gelas. Aku cuma memeriksa sebentar, " sergah Kak Sabiru menyambar. Lalu terlihat Kak Sabiru menarik tubuh sang istri untuk menghadapnya. "Sayang ... sepertinya aku masuk angin. Tolong kerokin aku, ya," lanjutnya sedikit merayu. Belum sempat Kamila mengiyakan permintaan, Kak Sabiru sudah terlebih dahulu menarik lengannya berlalu. Meninggalkan aku yang masih terdiam. "Bila ... tolong beresin pecahan gelasnya!" perintah Kamila sembari terseok mengikuti langkah sang suami. Lekas kupunguti kepingan-kepingan gelas yang berserakan itu. Hatiku sama hancurnya dengan gelas ini. Hancur lebur. Hanya luka lara yang tersisa. "Auwww ...." Aku mendesis lirih. Tak sengaja serpihan beling itu mengenai jariku. Perih terasa. Air mataku menetes saat wajah Zayn yang menawan terbayang di mata. Masih pantaskah diriku mendampinginya kelak? Lalu menggeleng marah, saat wajah Kak Sabiru dengan adegan kebejatannya melintas di mata. Pria itu benar-benar b******k. Sudah jahat pandai pula dia berdusta. Aku tak yakin kalau dia setia. Kasihan Kamila. Aku harus membalasnya, tapi bagaimana caranya? Kamila begitu mencintainya. Demikian Ibu, wanita surgaku itu juga sangat menyayangi pria laknat itu. Setelah memasukan semua serpihan beling itu ke pengki dan membuangnya ke tong sampah, aku kembali ke meja makan. Melanjutkan niat untuk mengisi perut. Namun, baru dua suap nasi bibirku sudah malas mengunyah. Dengan langkah lunglai aku berjalan menuju kamar. Menjatuhkan badan di ranjang dan kembali menangisi jalan hidup. Kenapa aku jadi secengeng ini? Sebentar-bentar menangis. Padahal aku terkenal sebagai anak yang kuat dan sabar. Dari kecil hidupku memang sudah dipenuhi drama. Perlakuan dingin Ayah dan kasarnya ibu tiri sudah menjadi makanan sehari-hari. Ketegaranku sudah teruji sejak dini. Namun, di ujian Tuhan kali ini aku merasa kalah. Terenggutnya kegadisan oleh orang yang begitu kuhormati benar-benar menghujam batin. Aku tak tahu sampai kapan bisa menutupi aib ini. Ponsel yang menjerit di nakas membuatku menghentikan tangis. Nama Zayn tertera di layar. Pemuda itu melakukan panggilan video. Tak mau tahu tengah dirundung duka, lekas kuelap dua sudut mata dengan punggung tangan. Begitu layar ponsel kuusap, wajah semringah Zayn muncul. "Hai ... Bil," sapa Zayn hangat. Tampak dia menyunggingkan senyum manis. "Ha-hai ...." Aku membalas dengan mencoba ikut tersenyum. "Matamu kok sembab, abis nangis, ya?" tanya Zayn penasaran. "Iya." "Kenapa?" Zayn bertanya dengan perhatian. "Kangen kamu." Zayn terkekeh geli mendengar jawaban bualanku. Sepertinya hatinya sedang melayang mendengar aku menggombal. Biarlah asal dia bahagia aku rela berkali-kali merayu. "Bila ... Bila. Kita memang sudah lebih dari dua minggu pisah, tapi teleponan tiap hari kan? Masa iya nangis sembab karena kangen ma aku," tutur Zayn masih disertai seringai kecil. "Serius. Kenapa kamu nangis begitu?" Pertanyaan Zayn menunjukan rasa kepedulian. "Aku gak betah di sini. Aku mau balik ke Medan," jawabku kembali berdusta. "Jangan bercanda! Dari dulu kamu pengen banget tinggal bersama kakak dan ibumu, sekarang tiba-tiba bilang tidak betah. Ada masalah apa? Kamila dan Ibu memperlakukanmu dengan baik 'kan?" Saat Zayn bertanya itu dengan mantap aku mengangguk. "Lalu apa masalahnya?" lanjutnya penasaran. "Aku ...." "Kak Sabir tidak suka menggodamu 'kan?" Deg! Aku tersentak mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Zayn. "Kenapa ... kenapa kamu bertanya seperti itu?" tanyaku dengan wajah yang terasa panas. "La, kamu tuh cantik," puji Zayn lembut. "Aku tahu Kak Sabir orang yang alim. Tapi ... demi melihat penampilan seksimu, aku takut dia tergoda," ujar Zayn terdengar hati-hati. Aku sendiri tertohok mendengarnya. "Zayn ... aku ... aku ...." "Aku memang belum berhak mengatur hidupmu. Tapi, demi kebaikanmu sendiri, buang saja celana pendek atau kaos ketatmu. Kamu lihat penampilan Kak Mila 'kan ? Terlihat adem dan anggun." Perkataan dari Zayn membuat aku kembali menitikan air mata. Sedih sekaligus malu. "Jujur ... kadang suka berpikiran jelek. Takut kalo ...." Zayn menggantung perkataannya. "Aku belum juga gak dapet kerja. Bikin jenuh." Akhirnya, aku mengalihkan topik pembicaraan. "Ya sabar dong. Katanya mau minta tolong dicariin oleh Kak Sabir." "Tidaaak!" Spontan aku menjerit marah. "Hey ... kenapa?" Tampak wajah Zayn dalam layar mengkerut heran melihat aksiku. Aku tergagap. Bingung. Kemudian berusaha kembali menormalkan suasana hati yang tadi sempat meluap emosinya. Entah mengapa aku jadi sering berteriak histeris bila mendengar nama Kak Sabiru. Kembali kualihkan topik pembicaraan agar Zayn tidak curiga dengan mengajaknya bergurau atau membicarakan hal-hal tidak penting lainnya. Ketika Zayn membahas tentang masa depan, hatiku menjerit lirih. Ya ... Tuhan, pantaskah aku mendampingi Zayn? *** Waktu terus berlalu dan hidup harus tetap berjalan. Aku tidak mau terus-terusan menangisi hidup. Aku harus bangkit. Rasa sayang pada Kamila dan Ibu membuatku hingga kini belum juga mampu berterus terang. Demi kebahagiaan keduanya biarlah kututup rapat aib ini. Aku yang menaruh kebencian mendalam pada Kak Sabiru memilih untuk menghindar bila lelaki itu mendekat. Wajah tenangnya yang mungkin pada sebagian wanita lain akan terlihat begitu teduh menawan, tapi akan tampak memuakkan bila terlihat olehku. Aku memang sungguh membencinya. Entah bersungguh-sungguh atau berpura-pura, beberapa kali dia menghampiri dan mengucap kata maaf. "Cihh ... kata maafmu tidak bisa mengembalikan keperawananku," cibirku sinis suatu pagi. Lelaki itu mendekatiku yang tengah kesusahan mengangkat jemuran ke dak lantai atas. Dia bermaksud menolong, tapi kutolak dengan kasar. "Apa yang harus kuperbuat untuk mendapat maaf darimu, La?" tanya Kak Sabiru tampak putus asa. "Pergi ke neraka sana! Baru aku mau memaafkanmu," sarkasku dengan tangan yang terangkat tinggi dengan maksud mengusir pergi. Kak Sabiru terdiam menunduk. "Bila ...." Kamila datang mendekat. Dia menatapku dan suaminya secara bergantian dengan heran. "Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?" tanya Kamila heran. "Gak ada apa-apa." Kak Sabiru yang menjawab. "Aku tak sengaja menumpahkan bawaannya tadi. Wajar kalo Bila marah," tutur Kak Sabiru pelan. Tenang sekali dia berujar. Benar-benar pembual ahli. Aku yang tidak mau terlibat lebih jauh, memilih meninggalkan keduanya. Menaiki anak tangga menuju lantai atas sembari menenteng pakaian yang siap untuk dijemur. Masih sempat terdengar Kamila mengeluh kenapa aku terlihat begitu membenci suaminya. Tentu saja aku sangat membenci suamimu Mila. Karena dialah aku kini ternoda. Sebab Kak Sabirulah aku selalu diliputi rasa takut. Takut bila Zayn akan mencampakkan bila tahu aku sudah tidak perawan. Untuk menghindari berinteraksi dengan Kak Sabiru, setiap hari aku pergi mencari lowongan pekerjaan. Melamar pekerjaan dari satu perusahan ke perusahaan yang lain. Namun, nasib baik belum berpihak ke padaku. Semua lamar yang kuajukan ditolak. Sialnya, justru kantor tempat Kak Sabiru bekerja malah menerima surat lamaran kerjaku. Dulu sebelum kejadian malam terkutuk itu, aku sempat meminta tolong suami Kamila untuk dicarikan job. "Sebenarnya apa yang terjadi denganmu, La?" tanya Kamila. Dirinya merasa bingung saat dengan tegas kutolak kabar gembira darinya. "Kamu begitu menggebu mencari pekerjaan. Dan sekarang ketika sudah dapet, kamu malah menolaknya. Entah apa yang merasukimu, La." Kamila mendesah kecewa. Aku terdiam saja. Bingung mau menjawab apa. Karena tidak mungkin juga berterus terang. Sampai wanita itu menghilang di balik pintu kamar, aku masih terdiam. Maafkan aku Kamila telah membuatmu kecewa. Tapi, ini semua gara-gara suamimu. Aku tidak mau berdekat-dekatan dengan pria itu. Mual perutku bila harus melihat wajah sok alimnya. * Aku yang merasa sangat tersiksa bila terus berjumpa dengan Kak Sabiru memutuskan untuk hengkang dari rumah ini. Tapi ... ke mana? Di kota ini aku tidak punya kenalan siapa-siapa. Tiba-tiba aku teringat Paman Hasan. Adik Ibu satu-satunya. Lelaki berumur lima tahun di bawah Ibu itu tinggal sendiri. Istrinya sudah lama meninggal, sedang dia tidak punya anak. Beberapa kali Paman Hasan berkunjung ke rumah. Dua hari yang lalu dia berujar kalau kafe tempatnya bekerja sedang membutuhkan seorang kasir. Karena aku memang pernah bilang pada pria itu untuk dicarikan pekerjaan. Paman yang hanya seorang securiti mengiyakan permintaanku. Dan ketika kuutarakan niat untuk menerima tawaran kerja dari Paman, Kamila dan Ibu tampak keberatan. Apalagi saat kuungkapkan keinginan tinggal bersama Paman, kedua orang itu menatap heran. "Aku yakin kamu tengah menyembunyikan sesuatu dari kami, La," ujar Kamila sedih ketika kami tengah berkumpul sarapan bersama. Dia seperti biasa duduk bersebelahan dengan suaminya, sedang aku bersisian dengan Ibu. "Tiba-tiba saja kamu jadi pendiam. Kamu terlihat membenci kakak iparmu ...." UHUKKK Aku dan Kak Sabiru terbatuk bersamaan. Sesaat mata kami bertemu pandang. Lalu sama-sama melengos. "Dan sekarang tiba-tiba ingin pergi dari sini. Katakan! Katakan pada kami apa yang menimpamu?" tanya Kamila perhatian. "A-a-aku ...." Aku gugup. Untuk menutupi rasa itu kuteguk air putih perlahan. Sembari melirik sekilas pada kakak ipar. Pria b******k itu tampak sedang menunduk. "Yang dikatakan kakakmu benar, La." Ibu ikut menimpali. Dengan lembut ia mengusap rambutku yang digerai. "Emmm ... gak ada apa-apa," jawabku kemudian. Debaran jantung mulai terasa bertalu. Aku menarik napas perlahan. "Paman sendirian. Aku kasihan padanya. Kebetulan ada pekerjaan yang ia tawarkan. Jadi ...." "Berterus teranglah, La!" sela Kamila cepat. "Aku tidak berbohong, Mil." "Aku tidak menuduhmu berbohong, tapi aku yakin ada sesuatu yang kamu sembunyikan," tukas Kamila yakin. Heran ... kenapa Kamila bersikeras menuntut aku bercerita. Lagian bila aku jujur, aku takut dia tidak kuat. "Aku sedang baik-baik saja. Tidak ada yang kusembunyikan," pungkasku kemudian. Selera makan yang memang akhir-akhir ini menurun membuatku menghentikan sarapan. Setelah pamit undur diri, aku berjalan menuju kamar. Namun, baru dua langkah berjalan tiba-tiba kepala terasa berat. Pandangan mata terlihat berkunang-kunang. Aku terhuyung. Sempat kaget saat dengan sigap Kak Sabiru menangkap tubuh lemas ini. "Bila ... Kamu gak papa?" tanya Kamila dan Ibu bersamaan. Keduanya mendekat. "Kenapa, Nak? Apa yang terjadi padamu?" Ibu bertanya khawatir. Aku menggeleng. Berusaha berdiri dan lepas dari pegangan Kak Sabiru. Namun, justru tubuhku semakin lemah. Ya ... Aku merasa beberapa hari terakhir seperti tidak enak badan dan jarang makan. Wajar bila aku lemah. Ketika Kak Sabiru membimbingku ke kursi, pandangan terlihat gelap. BUGHH Tubuhku limbung. Sepertinya aku jatuh pingsan. * Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Begitu mata terbuka tampak Kamila tengah menunggui. Kuedarkan pandangan. Ternyata aku sudah berada di kamar pribadi. Tampak mata Kamila sembap seperti habis menangis lama. Ada apa dengannya? "Ma-mana I-bu?" tanyaku mencoba bangkit duduk. Namun, Kamila menghalangi. Dia menyuruhku kembali tiduran. "Ibu tengah syok di kamarnya," jawab Kamila datar. "Ma-maksudmu?" Aku menyipit heran. "Siapa ayah dari bayi yang kamu kandung?" tanya Kamila dingin. Bagai tersambar petir aku mendengarnya. Tiba-tiba napasku terasa sesak jadinya. Serasa godam ribuan ton menonjok jantungku. Next.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN