7. Dia Mengandung Benihku

1876 Kata
POV Sabiru Semenjak peristiwa kelam itu terjadi, hubunganku dengan Nabila menjadi renggang. Gadis itu tampak sekali membenciku. Selalu menghindar bila aku mendekat. Bahkan berani berkata kasar saat aku beberapa kali mencoba meminta maaf darinya. "Cihhh ... maafmu tidak bisa mengembalikan keperawanan," cibirnya sinis suatu pagi. Matanya mendelik. Ada amarah pada tatapannya itu. "Apa yang harus kuperbuat untuk mendapat maaf darimu, La?" tanyaku pelan. "Pergi ke neraka sana! Baru aku mau memaafkanmu," jawab Nabila terdengar sangat kasar. Aku tidak marah saat gadis itu berucap demikian. Karena apa yang kulakukan memang suatu kejahatan yang tak termaafkan. Namun, di sini bukan hanya dia yang terluka. Aku pun sama tersiksanya. Setiap hari aku selalu didera rasa bersalah dan berdosa. Bukan cuma rasa bersalah pada Nabila, tapi juga pada Kamila. Aku sangat mencintai wanita itu. Selalu berusaha untuk membahagiakan hidupnya. Tak bisa kubayangkan kalau nanti dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia wanita yang lembut, tetapi juga rapuh. Kamila tidak sekuat Nabila, baik fisik dan hatinya. Aku takut jiwanya akan terguncang bila aku berterus terang, tapi aku juga tidak mau dianggap pria pengecut. Aku harus menerima segala resiko atas semua perbuatan. * Seperti pada saat pagi itu, ketika kami sedang sarapan bersama. Tidak ada angin, tidak ada hujan. Tiba-tiba Nabila mengutarakan niat untuk memilih tinggal bersama Paman Hasan. Tentu saja itu membuat Kamila dan Ibu menjadi heran. Perubahan sikap yang terjadi pada Nabila, sangat disadari oleh Kamila dan Ibu. Nabila yang ceria dan supel mendadak menjadi pendiam. Dan yang lebih menggangu hati Kamila adalah kasarnya sikap Nabila padaku. Sehingga ia menyimpulkan bahwa Nabila tengah menyembunyikan sesuatu darinya. "Aku baik-baik saja. Tidak ada yang kusembunyikan." Nabila mengakhiri perdebatan dirinya dengan sang kakak. Gadis itu memilih tetap tutup mulut saat Kamila mendesaknya untuk bercerita. Kokoh pendirian Nabila membuat aku semakin merasa bersalah dan kasihan padanya. Aku ingin berkata jujur, tapi Nabila justru ingin tabir rahasia ini tetap tertutup rapat. Aku memaklumi. Menurutku, gadis itu tidak ingin kakak dan ibunda tercintanya akan terguncang bila kami bicara. Ahhh ... sungguh Bila gadis yang berhati mulia. Rela berkorban walau diri sendiri hancur. Ketika gadis itu meninggalkan meja makan sebelum sarapannya habis, tiba-tiba tubuhnya terhuyung. Beruntung jarak dudukku tidak begitu jauh dengan langkahnya. Sehingga dengan sigap dapat kusambar tubuh ramping itu. Wajahnya terlihat begitu pucat. "Bila ... kamu tidak apa-apa?" tanya Kamila dan Ibu bersamaan. Keduanya mendekat. Kekhawatiran tampak jelas di raut wajah ibu dan anak itu. Sementara Nabila hanya menggeleng lemah. Gadis itu sempat menolak saat tahu aku tengah menopang tubuh lemahnya. "Apa yang terjadi padamu, Nak?" Ibu ikut menimpali dengan khawatir. Nabila masih belum juga menjawab. Aku membantu memapahnya duduk kembali ke meja makan. Namun, baru di langkah kedua lajang itu jatuh pingsan. "La ... La. Bangun, La!" Aku mencoba menyadarkan gadis itu. "Bawa ke kamarnya, Mas!" Aku mengiyakan perintah Kamila. Lekas kubopong tubuh Nabila, lalu berjalan menuju kamar pribadinya. Pelan-pelan kurebahkan tubuh gadis itu. "Sebenarnya apa yang menimpa anak gadisku ini," cemas Ibu Maryam sembari mengelus rambut sang putri. Tak lama kemudian Kamila datang dengan sebotol minyak angin di tangan. Lekas ia membuka tutupnya dan mulai mendekatkan benda itu ke lubang hidung Nabila. Namun, Nabila belum juga tampak mau membuka mulut. Itu semakin membuat Kamila dan Ibu beberapa kali mendesah gelisah. "Bila ... Sayang. Bangun, Nak!" bisik Ibu di telinga Nabila. Matanya telah basah oleh air mata. Sementara tangannya terus saja mengusap lembut rambut sang putri. Aku yang tidak tega melihat adegan drama itu memilih untuk ke luar kamar. Menghempaskan badan yang penat sofa di ruang tengah. Menarik napas dalam-dalam. Berharap oksigen yang kuhirup bisa menghilangkan beban yang menghimpit d**a ini. Semoga tidak terjadi apa-apa dengan gadis itu. Menit berikutnya, Kamila muncul dengan menempelkan ponsel di telinga yang terhalang jilbab ungu mudanya. Wanita itu tengah menelepon dokter yang biasa memeriksa Ibu. "Bila masih juga belum sadar?" tanyaku pada Kamila saat wanita itu ikut duduk di sisiku. Kamila menggeleng lemah. "Aku takut, Mas," ucapnya lirih. "Takut apa?" tanyaku menatapnya bingung. "Bila ... sudah sebulan lebih di sini, tapi gadis itu tidak pernah bolong shalatnya," jawab Kamila. Wanita itu mendengkus perlahan. "Memangnya kenapa?" Kembali aku bertanya dengan bingung. "Beberapa hari terakhir mood Bila naik turun tidak jelas," tutur Kamila sembari memainkan ujung jilbabnya. "Aku ... Aku takut, Mas. Takut ... kalo Bila ... ham-hamil," lanjutnya hati-hati. "Kamila ...." Aku tersentak kaget. "Bagaimana kamu pikiran sejauh itu?" tanyaku takut. Mendadak tubuhku terasa panas dingin karenanya. "Mas, Bila dan Zayn tampak begitu dekat. Aku ... aku takut kalo mereka telah berbuat hal yang tidak-tidak." Kamila menerangkan alasannya. Kecemasan dan ketakutan tampak begitu jelas di wajah lembut itu. Aku menggeleng. Noktah merah pada seprai dulu terbayang di mata. Kembali aku menggeleng. Aku yang telah merenggut kegadisan Nabila. Kalau Nabila hamil ... ya Tuhan! Aku menampar pipi sendiri. "Mas Sabir kenapa?" tanya Kamila heran melihat aksi absurdku, yaitu tiba-tiba menampar pipi sendiri. Tergagap aku hanya bisa menggeleng. "Bila gadis yang baik. Aku rasa tuduhanmu keliru." Kututupi ketakutan dalam d**a dengan bicara seperti itu. Kedua sudut bibir Kamila tertarik ke atas. Senyumnya begitu manis. "Kamu benar, Mas. Aku aja yang terlalu parno," ucap Kamila kemudian. Dia menghadapku lalu membetulkan ikatan dasi. "Sekarang berangkatlah ke kantor! Udah siang 'kan?" suruhnya dengan senyum yang menawan. "Kantor? Tapi ... aku juga mau tahu keadaan Bila." Aku yang merasa enggan menolak dengan halus. "Sebentar lagi dokter akan datang. Dan semoga Bila hanya sakit biasa. Hari sudah semakin siang, Mas Sabir berangkat kerja saja. Sudah jangan pikirkan omongan tidak jelasku tadi." Kamila berkata sembari menarik lenganku untuk berdiri. Aku sendiri sudah tidak bisa lagi menawar. Dengan menyeringai kaku, aku mengiyakan perintah wanita itu. Seperti biasa, sebelum berlalu pergi, kukecup kening Kamila. Lama. Sembari menarik tubuhnya menempel di d**a. Ada sensasi rasa nyaman dalam d**a saat memeluk Kamila. Setelah puas mendekap Kamila, aku melangkah menuju garasi. Mengeluarkan motor. Setelah melambaikan tangan, kuda besi warna hitam itu kupacu perlahan. Di jalan komplek aku berpapasan dengan mobil kepunyaan dokter yang biasa memeriksa Ibu. Huuffft ... aku mendesah gelisah. Semoga Nabila baik-baik saja. *** Sepanjang hari ketakutan Kamila pada Nabila terus saja terngiang di telinga. Bagaimana jika ketakutan istriku itu menjadi kenyataan. Apa yang mesti kuperbuat? Tidak mungkin aku menikahi Nabila, itu pasti akan menyakiti hati Kamila. Tapi ... jika aku tidak bertanggung jawab, bagaimana nasib Nabila? Sungguh ini suatu permasalahan yang amat rumit. Tanpa sadar kuketukan kepala yang pening ini ke meja kerja. Berharap dapat melepaskan segala ketegangan. Namun, hanya sakit yang kurasa dan teguran dari beberapa teman. "Ada apa sih, Bro? Sepertinya kamu lagi galau berat," tanya Reza menghampiri meja kerjaku. "Gak ada apa-apa," kilahku dengan senyum tipis. "Akhir-akhir ini, kami perhatiin kamu jadi sering bengong. Ada apa? Ceritalah!" Kembali aku hanya menyeringai tipis. Karena tidak mungkin juga kuceritakan aib yang menimpa. Walau kutahu teman-teman care, tapi aku belum siap bercerita. Sampai waktu pulang aku tetap bungkam mengenai masalah yang menimpa. Dan ketika Doni mengajak jalan dengan tegas kutolak. Aku tak mau kejadian itu terulang. Untuk menghindari bujukan teman-teman, aku buru-buru menuju parkiran. Yang pastinya, aku ingin tahu bagaimana keadaan Nabila. Sakitkah dia? Atau ... dia benar hamil seperti yang diduga oleh Kamila. Didorong rasa penasaran yang begitu akut, kupacu motor besar kesayangan secepat mungkin. Meliuk-liuk di jalan raya bagai tengah berada di sirkuit balapan. Bahkan tadi sempat menerobos lampu merah. Akhirnya, aku tiba di rumah lima belas menit lebih awal. Namun, rumah tampak begitu sepi. Setelah menarik napas perlahan aku masuk. Kamar pribadi adalah tempat yang langsung kutuju. Tampak Kamila tengah tiduran dengan posisi tengkurap. Dia tidak menjaga toko kah? Pelan kudekati wanita itu. Langkahku terhenti saat mendengar dia terisak. Ada apa? Kembali aku menarik napas perlahan. "Mil ...." Aku menyapa lembut. Secepat kilat wanita itu membalikkan badan. Mata dan hidungnya merah. Dadanya turun naik tak beraturan. "Apa yang terjadi, Mil?" tanyaku perhatian. Kamila tidak lekas menjawab. Hanya sedu-sedannya yang terdengar. Ketika kupeluk tubuhnya, dia diam tak bereaksi. "Ada apa, Sayang? Kenapa kamu menangis seperti itu?" Kembali kuulang tanya. "Bi-Bila, Mas," sahutnya serak akibat kebanyakan menangis sepertinya. "Bila ... dia baik-baik saja 'kan?" Ada rasa tidak enak hati saat bertanya seperti itu. Apalagi saat Kamila menggeleng pelan. Hatiku menjadi semakin ketar-ketir. "Ketakutanku terbukti. Bila hamil," jawab Kamila dingin. Aku tersentak kaget. Dadaku berdebar kencang mendengarnya. Tuhan ... aku mencengkeram paha agar getarannya yang maha hebat ini tidak kentara oleh Kamila. Kamila sendiri lekas menghapus air matanya dengan kasar. Untuk menenangkan kuraih kepala wanita itu. Lalu membenamkannya di d**a. "Sabar ... Mil," bisikku pelan. Seketika Kamila melepaskan dekapanku. Meledak pula tangisnya. "Mil, tenang!" Aku mencoba membujuk. "Gimana aku bisa tenang, kalo Nabila tidak mau bercerita siapa ayah kandung dari bayinya," sahut Kamila terisak-isak. Aku tertohok mendengar itu. "Dokter bilang usia kehamilan Nabila baru menginjak minggu kedua. Sementara ... sementara Zayn meninggalkan rumah ini hampir sebulan yang lalu," papar Kamila sedih. Wanita itu berkali-kali menghapus air matanya. Namun, semakin ia usap, bulir bening itu kian mengalir saja. Sedang aku bertambah pening jadinya. "Aku tidak mau berprasangka buruk, tapi ... aku tahu kalian menyembunyikan sesuatu dariku," tuduh Kamila dengan mata yang menatapku lekat. "Kamu ... kamu ngomong apa?" kilahku dengan senyum yang dipaksakan. "Aku tiap hari kerja. Jarang berinteraksi dengan Nabila. Aku ...." "Jujurlah, Mas!" pinta Kamila dengan kedua tangan menangkup di d**a. Melihat itu hati kian bertambah gusar. Nuraniku berteriak saatnya berkata jujur. Namun, sisi hati yang lain mencegah kuat. Karena aku belum siap melihat amarah pada diri Kamila. Bidadariku itu. "Sering kupergoki Nabila bertutur kasar padamu. Dan kamu diam saja. Tadinya tak kuambil pusing ...." Kamila tidak meneruskan penuturannya. Wanita itu kembali mengusap kedua ujung matanya, lalu memencet hidungnya yang mungkin mampat karena menangis. Perlahan ia beringsut menuju nakas di samping ranjang. Dibukanya laci kecil itu. Jleb! Kamila menunjukan ikat rambut Nabila yang dulu sempat tertinggal di sini. Aku sendiri lupa membuang bukti itu. Tapi ... itulah kebusukan. Lambat laun pasti akan terkuak juga. "Aku tahu kamu orang yang jujur, Mas," desis Kamila. Dirinya seolah tengah merasa sesak napas seraya menyodorkan ikat rambut Nabila. "Ma-maafkan a-aku, Mil," ucapku dengan keberanian yang dipaksakan. Walau tadinya bibir ini terasa kelu, tapi kucoba untuk menguatkan diri. Sementara Kamila tersentak kaget mendengar ucapanku. Dengan cepat wanita itu mendekat, lalu memegang kedua bahuku. "Jadi benar kamu dan Nabila saling ...." Kembali Kamila tak meneruskan ujarannya. Kembali pula air matanya membanjiri kedua pipi mulus itu. Bahkan kali ini isak tangisnya terdengar lebih keras. "Kenapa? Kenapa kalian menghianatiku?" Baru kali ini kudengar wanita lembut itu meninggikan suara. Aku yang tertunduk bersalah mendongak menatapnya. Dengan lemah aku menggeleng. "Kami tidak mengkhianatimu, Mil." Aku menyanggah. "Semua terjadi di bawah alam sadarku. Malam itu, aku sedang mabuk karena ...." "Kalian melakukannya saat aku dan Ibu menunggui Paman? Iya?" tanya Kamila dengan d**a yang turun naik tak beraturan. "Jawab, Maaas!" potong Kamila berteriak marah. Dia mengguncang kedua bahuku. "Mila, aku sungguh minta maaf." Aku berucap sembari meraih kedua tangan wanita mungil itu. Namun, karena emosi Kamila menepisnya dengan kasar. Sehingga memaksaku untuk berjongkok meminta maaf. "Teman-teman menyekokiku minuman. Aku yang mabuk mengira Nabila itu kamu. Wajah kalian begitu mirip ...." "Kamu tega, Mas. Kamu tegaaa ...." Kamila tergugu. Hatiku teriris menyaksikan itu. Saat kuraih tangannya, dia menepis. "Sekarang Nabila hamil. Apa yang akan kamu lakukan?" Kamila menatapku intens. "Sebagai lelaki sejati, aku ... aku akan bertanggung jawab," balasku kemudian. BRUGHHH Tubuh Kamila jatuh ke dalam pelukanku. Dia pingsan. Next. jangan lupa pencet love ya ? untuk update part terbaru
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN