ARGHHH
Kutinju tembok dengan keras. Berusaha meluapkan kekesalan hati. Namun, bukan kelegaan yang didapat melainkan rasa perih pada telapak tangan ini. Kujatuhkan badan di ranjang. Aku harus berpikir tenang.
Setelah ada satu jam termenung, akhirnya aku melangkah ke kamar mandi. Sembari membawa seprai yang ranjang yang telah kotor terkena noktah merah itu. Aku tak mau Kamila tahu. Setelah itu akan kubersihkan badan hina ini. Lantas menghadap Tuhan untuk memohon pertolongan.
Ketika melewati kamar Nabila, aku berhenti sejenak. Kamar itu sepi. Di manakah gadis itu? Bila ... maafkan kakak. Menit berikutnya, aku lekas membersihkan badan. Mengguyur seluruh tubuh ini dengan air dingin. Berharap dapat menjernihkan akal. Sambil terus berpikir langkah apa yang kuambil untuk menebus dosaku pada Nabila.
Selepas mensucikan diri, walau sedikit terlambat aku menghadap Tuhan. Memohon ampun padaNya. Dalam sujud panjang aku menangis. Ini adalah dosa terberatku. Aku adalah seorang pria yang selalu berusaha lurus dalam berjalan. Bahkan terkenal alim. Aku jadi malu pada diri sendiri. Sungguh malu, menyesal, dan takut.
Aktivitas mendamaikan ini harus terhenti saat terdengar pintu rumah diketuk orang. Selepas melipat sajalah dan menggantung peci putih, aku melangkah ke luar kamar. Wajah lelah Kamila dan Ibu langsung tersaji begitu pintu terkuak.
"Mas ...."
Walau lelah Kamila menyapaku dengan senyum manisnya. Mencium tanganku dengan tulus. Ibu sendiri uang tampak kepayahan lekas berlalu menuju kamarnya setelah mengangguk kecil padaku.
"Semalam kenapa tidak ikut menyusul ke rumah sakit?" tegurnya datar. Wanita itu mendahuluiku masuk ke kamar.
"Semalam Doni berulang tahun. Dia dan yang lain ngajak jalan," jawabku begitu sudah sampai di dalam kamar.
Kamila hanya mengangguk pelan. Seperti biasa dengan cekatan dia mengambilkan kemeja, celana, dan dasi untuk kupakai kerja. Lalu menyodorkannya padaku.
"Kenapa seprainya diganti, Mas? Itu seprai baru dipasang kemarin sore, lho."
Kembali wanita itu menegur. Kali ini wajahnya terlihat heran menatapku. Aku sedikit tergagap karenanya.
"E ... itu ... ah seprai itu kena pipis kucing semalem," karangku asal.
"Hah?" Kamila semakin menautkan alis.
"Iya ... jadi semalem pas aku pulang, kucing yang biasa ada di dapur tidur di ranjang kita. Langsung saja kuusir. Eh ... pas aku mau tidur bau kencing kucing itu. He ... he."
Aku menyeringai kecil. Sungguh berdusta itu tidak enak. Karena belum pernah sekalipun berbohong pada Kamila. Sementara Kamila hanya melongo mendengar penjelasanku.
"Begitu?" Ketika mata Kamila menatap memastikan, aku mengangguk pelan. "Ya sudah ... aku mau siapkan sarapan dulu, ya."
Wanita mungil manis itu beranjak ke luar kamar usai mendapat anggukan setuju dariku. Begitu pintu kamar ia tutup, aku mendesah galau. Satu kebohongan telah tercipta. Entah ada berapa lagi dusta akan kubuat. Aku belum berani jujur.
Setelah merasa rapi aku menuju meja makan. Tidak ada siapa-siapa. Namun, suara Kamila yang tengah membujuk adiknya untuk sarapan jelas terdengar. Kamar Nabila memang dekat dengan meja makan. Dengan sedikit ragu aku menuju bilik kecil itu.
"Sayang ...." Aku memanggil Kamila begitu tiba di bibir pintu kamar. Semua orang yang ada di situ menoleh. Bahkan Nabila menatap garang padaku. Aku yang merasa bersalah menunduk.
"Ada apa?" Kamila mendekat.
"Ayo sarapan! Aku harus berangkat," ajakku pelan.
Sebentar. Nabila sakit. Bisakah kamu mengantarnya ke klinik terdekat?" pinta Kamila begitu perhatian pada adiknya.
"Tidaaak!"
Tak disangka Nabila menjerit histeris. Sontak itu membuat Ibu dan Kamila heran karenanya. Bahkan ketika gadis terisak dalam tangis Ibu dan Kamila semakin bingung dibuatnya. Hatiku ketar-ketir saat Ibu terus saja mendesak pada Nabila. Bertanya sebab apa anak bungsunya terus saja menangis.
Syukurnya Nabila tidak berterus terang. Gadis itu memilih berbohong untuk menutupi kejahatanku. Sepertinya dia juga tidak mau Ibu dan kakak tercintanya syok mendengar pengakuan jujurnya. Terima kasih Nabila. Kamu memang gadis yang baik.
Setelah berulang kali menolak ajakan sarapan bersama. Aku, Kamila, dan Ibu meninggalkan kamar Nabila. Sebelum melangkah pergi sempat kutoleh gadis itu untuk mengucap kata terima kasih. Namun, gadis itu justru menatap penuh emosi padaku. Tentu saja aku semakin merasa bersalah. Dengan langkah lunglai aku menyusul Kamila menuju meja makan.
***
Sepanjang hari otakku tidak fokus dalam bekerja. Pikiranku terus saja tertuju pada Nabila. Aku sungguh merasa sangat bersalah. Lalu saat wajah Kamila yang sedang tersenyum tulus terbayang di mata, aku semakin diliputi rasa bersalah. Kedua kakak beradik itu telah kusakiti. Huhhh ... Aku mendesah gelisah.
Sorenya aku memilih pulang cepat. Aku ingin bicara dengan Nabila. Meminta maaf padanya dan bila perlu siap menanggung segala hukuman yang akan ia berikan. Teman-teman sedikit merasa heran melihatku buru-buru pulang. Karena biasanya aku lebih memilih menyelesaikan tugas di kantor ketimbang dibawa pulang.
"Salam untuk adiknya Kamila ya, Bir. Dia cantik banget dan juga ... seksi," ujar Doni dengan cengengesan. Tak kutanggapi celotehannya. Aku terus saja memberesi meja kerja. "Semalem kamu mabuk berat. Kamu gak apa-apain ipar cantikmu itu kan?"
Aku tertohok mendengar gurauan yang dilontarkan Doni. Dengan menggeleng pelan aku berlalu meninggalkan lajang itu. Cepat kutuju parkiran motor, lantas memacunya cepat menuju rumah.
Dengan kecepatan yang lumayan tinggi tak butuh waktu lama aku telah sampai di rumah. Kamila sepertinya masih di toko bunganya, sedang Ibu pasti masih menunggui paman. Aku harus segera menemui Nabila.
Ketika melewati kamar gadis itu, pintu tampak terbuka. Namun, kamar tersebut terlihat kosong. Ke mana dia? Aku melangkah menuju dapur. Terlihat gadis itu sedang berdiri menenggak segelas air putih di meja makan.
"Nabila," panggilku.
Gadis itu terjingkat kaget. Bahkan gelas yang sedang dipegangnya jatuh dan pecah berkeping-keping. Nabila menggeleng ketakutan melihat kedatanganku.
"Jangan mendekaaat! Kak Sabiru biadaaaad!" teriak Nabila emosi sembari menyetop langkahku.
"Jadi ... benar semalam aku telah menidurimu?" tanyaku parau dan lirih.
"Kakak pikir ada gadis lain di rumah ini selain aku? Kamila semalam ada di rumah sakit. Kak Sabir jahaaat," maki Nabila dengan air mata yang menganak sungai.
"La, maafkan kakak. Sungguh kakak gak ada maksud ...."
"Kakak telah merenggut kesucian akuuu!" sambar Nabila terlihat geram. Sedangkan mata gadis itu semakin basah oleh bulir bening.
"Bila, maafkan kakak, ya," ucapku seraya meraih tangannya untuk memohon ampun.
"Lepaaas!" jerit Nabila langsung menepis kasar tangan ini.
"Kakak akan bertanggung jawab bila terjadi sesuatu padamu," janjiku yakin. Kembali kuraih lengan halus gadis itu.
"Kaliaaan ...."
Tak disangka Kamila datang. Dia menatap aku dan Nabila secara bergantian. Matanya menyipit heran.
Next.