8. Mengaku Jujur

1042 Kata
Aku terkejut mendengar pertanyaan dingin yang dilontarkan Kamila. Rasanya seperti tersengat aliran listrik. Luar biasa kaget. Segera aku bangkit duduk. "Kamu bercanda 'kan, Mil?" tanyaku menggebu. "Aku serius. Kamu hamil Bila. Tante Mirna gak mungkin salah memeriksa." Kamila menyebut dokter yang sering memeriksa Ibu dengan sebutan Tante. Karena beliau adalah teman akrab Ibu dari semasa kecil. Aku beberapa kali bertemu dengannya di toko bunga kami. Dari cerita yang kudengar anak lelakinya pernah mengejar Kamila. Sayang, Kamila justru memilih Kak Sabiru. Lelaki sahaja bertampang sok teduh itu. "Tidaaak! Tante Mirna salah! Aku gak hamiiil!" bantahku ketakutan. "Kamu hamil, Bila ...." "Enggaaak!" Aku menjerit histeris sambil menutup kedua telinga dan menggeleng-geleng cepat. Penuturan lembut Kamila terdengar begitu menyeramkan. "Siapa? Siapa yang menghamilimu? Zayn 'kah?" Kamila bukannya diam mendengar pekikkanku. Dia justru tampak penasaran ingin tahu siapa ayah dari bayi ini. "Katakan, Bila! Katakan padaku, siapa ayah bayi itu?" Kamila mengguncang kedua bahuku. "Aku tidak ham-mil, Kamila," sanggah tersendat napas sesak. Aku mulai mengisak tangis. Rasa takut langsung menyergap di d**a. Refleks kuremas perut yang masih rata ini. Kenapa bisa jadi serumit ini? Kak Sabiru hanya sekali membobol kehormatanku, tapi kenapa langsung membuahkan hasil. Tidak hanya aku, Kamila pun tersedu sedih. Bahkan sesenggukkannya terdengar jelas. "Sikapmu akhir-akhir ini aneh. Sering melamun sendiri. Sejauh itukah hubunganmu dengan Zayn? Apakah Ayah dulu tidak pernah mengajarimu ilmu agama?" Kamila bertutur di sela sedu-sedannya. Aku yang tengah menunduk sedih seketika mendongak. Menatap wajah kakak tersayang. Kenapa dia malah membawa nama Zayn dan Ayah. Mereka tidak ada sangkut pautnya. "Aku ... aku tidak hamil. Hubunganku dengan Zayn sehat. Kami tidak pernah berbuat hal yang aneh-aneh," bantahku yakin. "Lalu siapa yang menghamilimu?" Kamila menatapku lekat. Kak Sabiru pelakunya Kamila. Tentu saja itu hanya terucap di hati. Bibirku kelu untuk mengungkapkannya. Tatapan iba dari Kamila tak mampu kubalas. Sehingga aku hanya bisa buang muka. "Aku akan menghubungi Zayn untuk mengabarkan keadaanmu," lanjut Kamila sembari meraih ponselku yang tergeletak di meja. "Jangaaan!" larangku keras. Namun, Kamila tak mengindahkan perintahku. Dia tetap saja mengusap layar tipis itu. Kesal dengan kelakuan Kamila, kurebut ponsel kepunyaan. "Zayn harus tahu, La!" Kamila terus saja menjauhkan ponsel dari jangkauanku. "Bukan Zayn pelakunya, Mil. Kembalikan HP ituuu!" gertakku marah. Mata Kamila terbelalak mendengar pengakuan jujurku. Wanita itu menurunkan tangannya yang terangkat ke atas. "Lalu siapa ayah dari bayimu?" tanyanya dengan ekspresi tegang. Aku yang tersadar telah kelepasan bicara menghembuskan napas kasar. "Aku ... aku ...." "Siapa Nabila?!" Kamila mengguncang bahuku. Namun, aku tetap setia mengunci mulut ini rapat-rapat. Membuat Kamila menjadi geregetan jadinya. Dia terus saja mengguncang kedua bahuku. "Hentikan perdebatan ini!" Aku dan Kamila menoleh ke pintu bersamaan. Tampak Ibu berdiri sembari berpegangan pada daun pintu dengan mata yang berkaca-kaca. Roman wajahnya terpancar kepedihan yang mendalam. Wanita itu mengelus dadanya beberapa kali sebelum akhirnya menghampiri kami. Matanya sama sembapnya seperti mata Kamila. Pasti dia juga telah lama menangis. Melihat itu hatiku semakin teriris sedih. "Bila ...." Ibu memanggil lirih. Wanita itu meraih kepalaku untuk dibenamkan ke bahunya, lalu mengusap lembut rambut. Sedang Kamila mendudukkan diri di kursi kecil depan meja rias. "Jujur ibu kecewa, tapi ibu tidak mau marah padamu. Ibu hanya ingin tahu siapa ayah dari janinmu," tuturnya pelan. Aku mendongak untuk memandang Ibu. Saatnya berterus terang dan semoga saja kedua orang tersayangku ini kuat mendengar penjelasan ini. Untuk mengumpulkan keberanian kuhela napas, lalu menghembuskan perlahan. "Baiklah ... aku akan bercerita." Setelah satu menit memejamkan mata, kisah itu kumulai dari rasa kebosanan akibat ditinggal di rumah sendiri. Merasa kesal karena Ibu dan Kamila tidak lekas pulang. Walau sudah melakukan panggilan video dengan Zayn, entah mengapa hati terasa tidak enak. Keterkejutan dengan kepulangan Kak Sabiru dalam keadaan mabuk pun kukisahkan. Tak lupa rasa penyesalan atas segala kebodohan karena tidak meminta teman Kak Sabiru yang membimbing lelaki itu sampai ke kamar juga kusampaikan. "Aku pikir ... Kak Sabir orang yang alim, Bu, ternyata dia seorang yang b***t," umpatku getir sembari menggigit bibir bawah kuat. "Maksud kamu apa, Bila?" cecar Kamila seolah tidak terima suaminya diumpat olehku. Dia beranjak duduk di sebelahku. "Suamimu, Mila," sahutku balas menatapnya. "Suamimu yang menanamkan benih di rahim ini," lanjutku penuh penekanan. Tubuh Kamila dan Ibu membeku mendengar pengakuan jujurku. Ibu yang terlihat sesak napas mengusap-usap dadanya. Sedangkan Kamila, bibirnya tampak sedikit terbuka, tetapi tidak terdengar suara. Tiba-tiba saja dia tertawa sumbang. "Bercandamu sungguh tidak lucu, Bila," "Suami tercintamu yang telah merenggut kesucianku, Mila," tandasku. "Gak mungkin," bantah Kamila dengan menggeleng-geleng tidak percaya. "Mas Sabir tidak mungkin serendah itu." Kamila bangkit berdiri dengan air mata yang membanjiri kedua pipi. "Kak Sabir setengah mabuk, Mila. Dia yang tega merusak kehormataanku. Walau saat memperkosa dia memanggil namamu." Mungkin karena tak kuasa menahan kepedihan Kamila berlari menuju kamar pribadinya. Sementara Ibu masih saja tampak syok. Dia terbisu tanpa sepatah kata. Hanya air matanya yang terus meleleh. Setengah jam kemudian, Kamila kembali datang menyambangi kamarku. Dia yang masih tak percaya dengan pengakuan jujurku mengajak untuk cek kandungan. Tadinya aku menolak karena melihat kondisi Ibu yang terlihat menyedihlan. Namun, saat Ibu bilang lalau dia baik-baik saja dan menyuruh agar permintaan Kamila dipenuhi, aku menurut. Aku dan Kamila pergi ke klinik terdekat dengan menaiki taksi pesanan. Walau tampak begitu dingin, tapi aku dapat merasakan perhatiannya padaku. Bahkan Kamila ikut menemaniku berkonsultasi dengan dokter. Setelah melalui serangkaian pemeriksaan, akhirnya kami mendapat informasi bahwa usia kandunganku sudah menginjak minggu kelima. Perangai Kamila yang dingin berubah sedikit sinis membuat aku merasa perih. Kakak tersayang itu berlalu saja begitu turun dari taksi. Dia sama sekali tidak memedulikanku. Aku tahu dia pasti terluka. "Kamila!" Aku mendekati dia yang akan membuka pintu kamarnya. "Berapa kali kalian melakukannya?" cecar Kamila dengan mata yang nanar. "Kamilaaa!" jeritku marah. Sungguh tak percaya dia tega melontarkan pertanyaan sekeji itu. "Di mana saja kalian melakukannya? Di kamarku kah? Kamarmu? Atau hotel?" Kamila semakin sinis bertanya. Sementara derai tangisnya juga tak kunjung surut. "Kamilaaa!" Ibu yang baru ke luar dari kamarnya ikut berteriak. Wanita itu menghampiri kami. "Dia ... dia mengkhianati aku, Bu," adu Kamila sembari menunjuk wajahku. Lalu segera masuk kamar dan menguncinya rapat. Aku menggeleng-geleng lemah dan kembali terisak. "Aku tidak mengkhianati Kamila, Bu. Kak Sabir yang memperkosaku. Ibu percaya padaku?" Wanita terkasih itu menangguk lemah, lantas memeluk dan mengusap rambutku lembut. Menyuruh agar aku tenang. Kembali aku menumpahkan air mata di bahu Ibu. * komen dong biar aku semangat ?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN