Seharian aku mengurung diri di kamar. Menangis dan meratapi nasib. Seandainya aku tidak tinggal di sini mungkin kejadian ini tidak akan pernah terjadi. Tapi, bukankah kita tidak boleh berandai-andai karena sama saja tidak menyalahkan takdir Tuhan.
Lalu sekarang apa yang harus diperbuat? Tak mungkin kubuang janin ini. Itu sungguh berdosa, tapi kehadirannya dalam hidup pun tak kuinginkan. Zayn ... apakah Zayn menerima anak ini?
Seperti punya ikatan yang begitu kuat, ada panggilan suara dari Zayn. Kuabaikan. Beberapa kali tak diangkat, Zayn mengirim pesan. Tak k****a pula. Aku belum berani bicara padanya.
Sampai malam menyapa, Ibu hanya sekali menemuiku. Keadaannya sudah terlihat tegar. Wanita itu membawakan nampan berisi makan malam.
"Makanlah agar kamu kuat," suruh Ibu sembari meletakan nampan itu di meja kecil.
"Aku tidak lapar." Aku menyahut datar.
"Bayimu butuh asupan gizi. Berdosa bila kamu menelantarkannya. Ingat! Dia mahluk yang suci, kamu harus merawatnya," titah Ibu tenang.
Telaten Ibu menyuapkan sesendok nasi berkuah sop dan seiris potongan daging. Berulang kali ditolak, berkali pula Ibu memaksa aku mengunyah makanan. Wanita itu menghentikan suapan saat dengan tegas kutepis pada suapan ketiga. Apalagi saat melihat aku menutup karena mual, Ibu memijat tengkukku. Wanita itu berlalu setelah mendengar aku berkata baik-baik saja.
"Beristirahatlah! Jangan pikirkan yang tidak-tidak! Ibu ... ibu akan berusaha mencari jalan ke luar untuk masalahmu, " janji Ibu terdengar ragu. Selepas berkata demikian Ibu berlalu meninggalkanku yang masih terpikir dalam kesedihan tak berujung.
Sampai larut malam, aku tidak dapat memejamkan mata. Jalan ke luar apa yang akan Ibu berikan? Aku sendiri juga tidak bisa berpikir jauh. Otakku buntu. Mampukah kubesarkan bayi ini seorang diri tanpa campur Kak Sabiru sebagai ayah kandungannya? Tidak juga. Karena kasihan juga nasib anak ini kelak kalau ia tidak akan punya status. Ahhh ... aku mendesah gelisah.
*
Keesokan harinya, Ibu menyuruhku untuk sarapan bersama. Walaupun kutolak, tapi beliau bersikeras memerintah agar kami sarapan bersama. Aku yang sangat muak melihat tampang Kak Sabiru memang sengaja menghindarkan diri berjumpa dengannya. Pun Kamila, aku pun belum sanggup menerima tuduhan cemburunya.
Namun, permintaan Ibu tidak bisa dibantah maka mau tak mau aku turuti. Dibimbing Ibu, aku berjalan pelan menuju meja makan. Ternyata di sana sudah menunggu Paman Hasan dan kakakku berserta suaminya.
Paman Hasan melempar senyum hangat padaku, sedang Kamila melengos begitu kami bertemu pandang. Kak Sabiru sendiri hanya menatapku sekilas. Pria b******k itu menunduk menekuri ubin lantai. Aku duduk bersisian dengan Ibu dan tepat berhadapan dengan Kamila. Wanita itu masih tidak mau menatapku. Sementara Paman ada di ujung meja.
Kamila memulai acara makan pagi dengan mengambilkan nasi untuk suaminya baru ke Paman. Ibu sendiri dengan suka rela mengambilkan sarapan untukku. Sarapan pagi itu terasa dingin mencekam. Tiada suara hanya denting sendok saja terdengar beradu dengan piring.
Baru setelah semua menyelesaikan makannya, Ibu membuka pembicaraan.
"Tidak perlu bicara panjang lebar. Kalian semua tahu 'kan apa yang menimpa pada diri Bila?" tanya Ibu pada kami. Matanya menatap kami satu-persatu dan berhenti pada Kak Sabiru. "Dan menurut Bila ... kamulah ayah dari bayi yang sedang ia kandung. Benarkah, Sabir?" tanya Ibu tenang sambil terus menatap sang menantu kesayangan.
Tak disangka Kak Sabiru mengangguk mantap. Gentle sekali dia. Sayang kelakuannya b***t. Aku menghujat dalam hati. Tanpa diminta Kak Sabiru menceritakan peristiwa malam terkutuk itu menurut versinya. Pria itu berungkali mengucap kata maaf. Dan menyesali perbuatannya. Namun, itu lekas membuatku memaafkannya. Enak saja!
"Dan ... aku akan bertanggung jawab pada Nabila," ucap Kak Sabiru gagah.
Aku menggeleng cepat. "Aku tidak sudi menikah denganmu," tolakku segera dengan bangkit berdiri.
"Siapa juga yang mau menikahimu?" Sudut mulut Kamila terangkat miring. Entah mengapa wanita yang biasanya lembut itu kali ini tampak menyebalkan.
"Ma-maksudmu?" tanyaku bingung.
"Kamu rawat saja kandunganmu, setelah lahir berikanlah pada kami. Biar kami yang merawatnya. Kamu bisa melanjutkan hidupmu," tutur Kamila datar.
Aku terdiam beberapa saat. Butuh waktu untuk mencerna omongan Kamila. Setelah berpikir matang, aku mengangguk.
"Baik, aku menyetujui usul itu."
Wajah Kamila sedikit semringah mendengar keputusanku. Kak Sabiru dan Paman pun menampakkan wajah yang sama. Hanya Ibu yang masih bermuram durja.
Tiba-tiba saja Kamila bangkit berdiri. Mulutnya seperti hendak memuntahkan sesuatu. Dia mengeluh sangat mual, lalu lekas berlalu menuju kamar mandi. Meninggalkan kami yang masih terheran dengan sikapnya.
Sepuluh menit kemudian, istri Sabiru itu kembali muncul dengan wajar yang berbinar cerah. Aku dan Ibu yang tengah memberesi meja makan menatap heran padanya.
"Subhanallah walhamdulillah ...."
Wanita itu mengucap syukur bahagia. Lalu terlihat dia bersujud menyentuh lantai. Itu membuat kami semua yang ada di meja makan semakin heran padanya.
"Mas Sabir, doa kita didengar Alloh. Aku pikir telat haid ini sama seperti yang sudah-sudah. Makanya aku malas cek test pack. Tapi ini hampir satu bulan aku telat dan ternyata ini lain," tutur Kamila dengan mata yang berkaca-kaca. Namun, senyum harunya merekah. Aku ... aku hamil, Mas," kabar Kamila seraya menyodorkan sebuah testpack ke pada suaminya.
Kak Sabiru menerima test pack itu. Senyumnya merekah bahagia melihat tanda garis dua pada alat itu. Ia lekas merengkuh tubuh ramping sang istri sembari mengucap syukur.
Melihat kebahagian pasutri itu kembali kepedihan menyergap d**a. Anak yang dikandung Kamila sangat diinginkan. Sedang anak ini ... aku justru membenci kehadirannya. Kuat kuremas perut rata ini sembari menahan air mata yang mulai menggenang.
Keputusan telah diambil. Janin ini tetap harus kurawat. Agar punya status, kelak jika sudah lahir akan diklaim sebagai anak dari Kamila dan Kak Sabiru. Walau nanti punya anak sendiri dari Kamila, tapi Kak Sabiru berjanji hendak memperlakukan calon anakku dengan baik. Kak Sabiru juga berikrar bahwa kasih sayang yang ia berikan sama besarnya pada kedua anaknya kelak.
Namun, aku tak yakin. Entahlah. Aku ragu. Bisakah Kak Sabiru berlaku adil pada anakku juga anak Kamila nantinya? Dia begitu mencintai Kamila. Benar-benar memperlakukan kakakku itu dengan penuh kasih sayang. Menjadi suami siaga bagi wanita berbibir tipis itu.
Semenjak mengetahui dirinya tengah hamil sikap Kamila menjadi berubah. Dia yang biasanya berlaku lemah lembut padaku mendadak menjadi cuek. Malah terkadang amat menyebalkan. Sering dia terlihat begitu cemburu saat Kak Sabiru memberi sesuatu padaku.
Kenapa harus samaan sih modelnya?" protes Kamila suatu sore. Sepertinya dia begitu kesal saat membuka bungkusan yang dibawa suaminya.
"Ya gak papa seragaman biar terlihat kompak," jawab Kak Sabiru seperti tengah bergurau.
Aku yang sedang tiduran di sofa ruang tengah bisa mendengar percakapan mereka di ruang tamu.
"Kami bukan anak kembar." Terdengar Kamila merajuk.
"Kamila ... aku bingung mau pilih model yang bagaimana. Jadi tadi asal ngambilnya."
"Aku takut, Mas. Takut lama-kelamaan kamu mulai jatuh hati padanya."
"Kamila!"
Bukan cuma Kak Sabiru yang tersentak mendengar pengakuan cemburu Kamila, aku pun sama terkejutnya. Memang Kak Sabiru perhatian. Namun, aku sendiri tidak menginginkannya. Hingga detik ini rasa benci masih bersarang di hati ini. Karena aku yakin saat Kak Sabiru menodaiku, dia pasti dalam keadaan setengah sadar.
Malam itu dia begitu perkasa menggagahiku. Makanya sampai kapan pun tiada maaf untuknya. Apalagi gara-gara dia hidupku hancur. Hubunganku dengan Kamila pun menjadi renggang. Tidak mau Kamila terus-terusan mencemburui, aku bangkit dari rebahan untuk mendekati kedua sejoli itu.
"Ambil kedua daster itu untukmu, Mil. Aku tidak butuh," kataku datar. Kamila dan Kak Sabiru memandangiku. Merasa ditatap oleh Kak Sabiru, aku balas menatapnya tajam. Dengan tegas aku berkata, "Dan kamu ...." Aku menunjuk muka pria itu. "Jangan pernah lagi memberiku sesuatu. Aku tidak suka," lanjutku tegas.
"Bila!" Kamila bangkit dari duduknya. "Jaga kesopanan! Ingat ... dia kakak iparmu!" titahnya sembari menurunkan tanganku yang masih menunjuk wajah suaminya.
"Lelaki b***t macam dia tidak pantas untuk dihormatiii!" balasku sengit.
PLAK!
next
Follow akun
Instagram : yenika_koesrini
Tik tok : @yenikakoesrini1