Pov Sabiru
Seperti yang telah direncanakan, Zayn hanya seminggu menginap di rumah mungil kami. Pemuda itu bertolak kembali ke kota kelahirannya saat aku masih bekerja. Sehinga ketika pulang dari kantor aku sudah tidak mendapati pemuda itu lagi. Namun, kesan baik yang Zayn tinggalkan membuat aku lekas menyayangi pemuda berwajah tampan bersih itu.
Waktu berlalu dengan cepat. Hubunganku dengan adik dari Kamila mulai dekat. Tidak kaku lagi. Nabila yang pada dasarnya adalah gadis yang supel tidak butuh waktu lama untuk bisa mengakrabkan diri denganku. Kami saling menghormati satu sama lain.
???
Malam itu.
Ketika baru saja menyelesaikan semua tugas lemburnya, tiga rekan kerja mendekati meja kerjaku.
"Bro, malam ini ikut kita, yuk!" ajak salah seorang kawanku.
"Ke mana?" Aku menyahut sembari menutup laptop. Lantas memberesi berkas-berkas di meja kerja.
"Hang out-lah. Refresing," jawab temanku yang berkaca mata minus semangat.
Aku terdiam tak langsung menjawab. Kulirik jam di pergelangan tangan. Masih sore.
"Ayolah! Kebetulan malam ini Doni sedang berulang tahun. Dia berjanji akan mentraktir kita," desak pria berkaca mata itu sedikit memaksa.
Aku masih belum mengiyakan. Hanya menatap rekan kerja yang bernama Doni itu. Merasa ditatap dengan cepat Doni mengangguk mantap.
Aku berpikir sejenak. Teringat pesan WA dari Kamila yang memberi tahukan kalau wanita itu tengah menunggui pamannya di rumah sakit bersama sang ibu. Jika aku pulang nanti hanya akan mendapati adik iparnya saja. Maka untuk membuang waktu, akhirnya aku penuhi ajakan ketiga rekan kerja.
Kami berempat meninggalkan ruang kerja menuju parkiran.
"Kita naik mobilnya Reza aja," usul Doni. Temanku yang masih lajang.
Ketika semua merasa setuju, kami lantas masuk mobil. Reza sang empunya mobil yang mengambil kemudi. Perjalanan diisi dengan saling bergurau satu sama lain. Sehingga kami tidak menyadari bila telah sampai di tempat tujuan. Begitu turun menginjakkan kaki, aku terperangah melihat tempat yang akan di kunjungi.
"Ayo masuk!" Doni menarik lenganku masuk ke diskotek yang mulai ramai pengunjung.
"Tapi, Don ...."
"Ayolah, Bro!" Kali ini Reza mendorong tubuhku yang belum sempat menyelesaikan ucapan.
"Gak tiap malam ini," timpal Heri. Pria berkaca mata itu ikut menarik lenganku masuk.
Dengan langkah terseok karena dipaksa tarik teman-teman, aku menginjakkan kaki di tempat yang ramai oleh hingar bingar musik itu. Kami segera duduk di kursi yang telah dipilih oleh Reza. Lajang itu juga segera melambai tangan pada pelayan. Lantas memesan minuman dan kudapan.
"Apa ini?!" tanyaku tersentak kaget saat menenggak minuman yang terasa asing di tenggorokan.
Kusemburkan minuman dari dalam mulut. Ketiga kawan terkekeh geli mendengar pertanyaan polos yang dilontarkan olehku.
"Udahlah, Bir! Abisin aja. Gak tiap hari ini," sahut Heri sembari menenggak minumannya sendiri.
"Engak-engak! Aku ...."
"Udahlah gak usah kuno begitu!" Reza menyambar ucapanku dengan cepat.
Lajang itu kembali memaksaku menghabiskan minuman.
"Bro, hargai Doni yang sedang berulang tahun," pinta Heri ketika melihat dengan tegas aku menggeleng.
"Heri benar. Acara kayak gini gak setiap malam ini kok." Timpalan ucapan Reza membuat hatiku menjadi bimbang.
"Tapi ...."
Aku tidak melanjutkan perkataan. Dengan berat hati kutenggak gelas berisi minuman yang disodorkan oleh Reza. Begitu cairan itu mengaliri rongga mulut, terasa begitu aneh. Dan begitu minuman itu mengalir di d**a, seluruh badanku mulai berasa gerah.
Melihatku tidak menolak minuman itu lagi, teman-teman tertawa senang. Bahkan Reza semangat menuangkan minuman ke gelasku. Aku yang pada dasarnya memang belum pernah meminum minuman seperti itu di gelas ketiga sudah mulai merasa mabuk. Aku mengeluh karena kepala terasa pening. Namun, itu justru membuat teman-temannya terbahak mendengar keluhanku.
"Parah lu, Bir! Baru segitu aja mabok," olok Heri disertai kekehaan geli.
Dirasa sudah cukup bersenang-senang, kami menyudahi acara tersebut. Dengan dipapah Heri dan Doni, aku berjalan dengan jalan yang tidak seimbang. Merasa bumi yang diinjak berputar-putar hebat.
Di dalam mobil terdengar teman-teman tertawa geli dan menggeleng. Entah ucapan apa yang ke luar dari mulutku sehinga mereka tampak begitu geli. Sepertinya aku meracau tak jelas. Mungkin. Dan tak lama kemudian mobil yang dikemudikan Reza telah sampai di halaman rumah. Dengan setia Doni dan Heri memapah tubuhku hingga depan pintu. Pintu terbuka setelah beberapa kali diketuk oleh Doni.
"Kak Sabir?!"
Aku melihat Kamila terkejut menyambut kedatangan. Istriku malam itu tidak seperti biasanya. Dia hanya mengenakan tank top hitam dan celana pendek tidur. Setahuku dia tidak punya koleksi busana mini. Leher jenjangnya terlihat begitu menggoda karena rambut indahnya hanya diikat asal ke atas.
"Adiknya Mila, ya?"
Aku heran saat Doni bertanya seperti itu pada Kamila. Apakah dia juga sudah minus sama seperti Heri. Ketika dengan cepat istriku mengangguk, Doni tersenyum ramah. "Kakakmu sedikit mabuk," ujarnya dengan cengengesan.
Lalu setelah berbasa-basi sebentar Doni dan Heri pamit pulang. Kamila sendiri lekas menutup pintu rumah dan menguncinya rapat. Tangannya segera menyangga tubuhku yang sempoyongan.
"Mila ...."
Kamila menutup hidung saat aku berucap. Aroma mulutku mungkin tidak sedap. Kan memang belum mandi dan gosok gigi.
"Mila, kamu can-tik ba-nget malam i-ini," tuturku terbata.
"Aku Bila, Kak. Mila sama ibu malam ini menginap di rumah sakit menunggui paman." Sepertinya istriku sedang bergurau dengan bertutur seperti itu.
Kamila berkata sambil terus memapah tubuhku menuju kamar. Dengan hati-hati ia merebahkan badanku
di ranjang. Seperti biasa penuh ketelatelan dia melepas sepatuku.
Ketika bidadariku akan meninggalkan ruangan, kutarik lengannya hingga jatuh ke dalam.
"Mau ke mana Mil?" Aku mendekap erat wanitaku.
"Kak ... aku ini Bila. Lepas!" Sekuat tenaga Kamila mencoba melepas pelukanku. Aneh.
"Malam ini kamu terlihat seksi sekali, Mil. Begitu meng-goda," pujiku.
Di dorong hasrat yang mulai timbul. Demi melihat penampilan seksi Kamila malam ini, kulumat bibir tipis kemerahan alami itu dengan lembut.
PLAK!
Kuat Kamila menampar pipiku. Sejenak aku tertegun. Kamila tidak sekasar ini. Kenapa?
"Mila?" gumamnya pelan.
"Aku Bila bukan Mila!" Kamila terlihat begitu geram.
Bahkan dia mendorong tubuhku. Namun, itu justru semakin memancing birahiku. Maka ketika dia hendak berdiri bangkit kembali kutarik lengannya ke dalam pelukan.
"Mau ke mana, Mil? Aku ... aku meng-inginkanmu," ujar aku sayu. Kudorong tubuh Kamila ke ranjang.
"Jangan Kak Sabir!" ratap Kamila takut.
Ada apa? Kenapa malam ini dia selalu memanggilku kakak. Bukan mas seperti biasanya. Bahkan dia beringsut ketakutan saat aku merangkak mendekatinya.
"Kak Sabir, tidaaak!"
Aku yang tengah dikuasai nafsu tidak memedulikan ratapan itu. Toh sudah sepantasnya sang istri melayani istri.
???
Pagi menyapa
Suara adzan di mushala yang tak jauh dari rumah berkumandang. Seperti alaram alami, seberapa mengantuknya diriku pasti lekas bangun bila sudah mendengar seruan suci itu. Dengan kepala yang terasa berat aku membuka mata. Menggeliat malas.
Ketika nyawa sudah terkumpul semua, aku tertegun melihat ada noktah merah di seprai. Darah apa ini? Diriku semakin terkesiap kaget tatkala menyadari badan ini polos tanpa sehelai benang pun. Baju dan celana beserta dalamannya teronggok begitu saja di lantai. Lekas kupunguti dan memakainya.
Deg!
Jantungku serasa lompat dari tempatnya. Saat melihat ikat rambut yang biasa dikenakan Nabila ada di ranjang. Kuambil benda kecil berhias boneka itu. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa ikat rambut ini ada di sini?
Tiba-tiba ponsel berbunyi. Kuraih benda layar datar lima inchi itu. Ada pesan chat dari Kamila.
'Mas Sabir kenapa semalam tidak menyusul? Lembur sampai malam, ya?'
'Aku dan Ibu sebentar lagi pulang. Mau dibelikan apa buat sarapan?'
Aku meremas rambutku dengan gemas. Kamila ada di rumah sakit. Jadi ... semalam aku meniduri Nabila? Oh tidak!
Memory kejadian semalam terlintas di mata. Dari mulai ajakan teman-teman untuk hang-out bersama. Pesan dari Kamila yang mengabarkan kalau dirinya tengah menunggui sang paman, tetapi tidak minta dijemput. Teringat pula saat teman-teman menyuguhi minuman setan dan aku tak dapat menolak. Hingga tergodanya diriku melihat penampilan Kamila yang tidak biasa. Samar teringat saat Nabila menampar pipiku sembari berteriak marah dan menyebut kalau dirinya adalah Nabila.
"Ya Alloh ... kenapa aku harus sebejat itu pada Nabila," gumamku penuh penyesalan. Kuraup muka dengan kasar.
ARGHHH
Aku menyesal dan takut. Kesucian Nabila telah kurenggut paksa. Bagaimana nasib Nabila selanjutnya? Apakah ... Zayn akan menerimanya kelak bila tahu kekasihnya sudah ternoda?
Ya ... Tuhan.
Aku menggeleng takut. Masa depan Nabila akan hancur dan suram olehku. Kasihan dia. Sebagai lelaki sejati, aku akan bertanggung jawab bila terjadi sesuatu dengan gadis manis itu. Tapi, bagaimana pula dengan Kamila? Separuh napasku itu ... ahhh semua ini gara-gara minuman haram itu.