Gerimis membungkus kota. Air langit itu membasahi bumi sejak satu jam yang lalu. Menciptakan hawa dingin yang menembus tulang. Namun, itu tak menyurutkan niatku untuk menerobos rintik hujan yang tetesannya serupa jarum yang menusuk kulit.
Pasalnya sudah berjanji pada separuh jiwaku untuk tidak telat pulang. Hari ini Kamila tengah berulang tahun yang ke dua puluh enam tahun. Aku ingin merayakan hari jadi wanita mungil itu dengan menikmati makan malam di luar. Namun, sepertinya agenda itu harus dibatalkan. Karena hujan yang turun kian menderas saja.
Setelah memakai mantel hujan dan memasang helm, aku mulai menstater motor besar kesayangan. Sempat melambaikan tangan pada beberapa teman kantor yang memilih menunggu hujan reda. Dengan kecepatan yang sedang, kuda besi yang kutumpangi membelah hujan.
Ketika melewati sebuah toko tas, aku menepikan motor. Lalu memarkirkan kendaraan dan berlari kecil masuk ke toko tersebut. Tidak butuh waktu lama aku sudah menemukan barang yang dicari. Karena tahu apa warna favorit Kamila.
Maka tanpa ragu lagi kuambil sebuah tas kecil berantai dengan warna emas yang berkilau. Sembari tersenyum tipis, aku membayangkan wajah Kamila yang akan mengukir senyum tulus saat menerima kado sederhana ini.
Setelah membayar tas tersebut di kasir, kembali aku melajukan arah motor menuju rumah. Rasanya sudah tidak sabar ingin berjumpa dengan perhiasan duniaku. Walaupun sudah dua tahun membina mahligai pernikahan, tetapi aku masih merasa seperti pengantin baru yang selalu saja didera rasa rindu menggebu bila berpisah sekejap. Itu karena perlakuan Kamila yang begitu tulus melayani.
Dengan menambah kecepatan laju motor, sampai juga aku di peraduan mungil ini. Bergegas kumasukan motor kesayangan ke garasi kecil rumah. Lalu dengan langkah yang ringan lekas menuju pintu.
"Assalamualaikum ...."
Aku mengucap salam sembari mengetuk pintu. Tepat di ketukan ke tiga, daun pintu terbuka lebar. Namun, mataku menyipit heran melihat sosok perempuan yang menyembul dari dalam. Siapa dia?
Aku kian dibuat terkesiap melihat sosok gadis yang menyambut. Dengan kaos putih tanpa lengan pendek dan celana hitam ketat yang membungkus kaki jenjangnya, gadis ramping itu berdiri tegak dan melempar senyum ramah padaku. Dilihat dari garis muka pemudi di hadapan sangat mirip dengan istriku. Mirip banget malah.
"Kak Sabir, ya?"
Gadis itu menyapa. Terdengar begitu lembut, walau tak semerdu suara Kamila. Setelah dua detik terdiam, aku mengiyakan sapaan gadis itu dengan anggukan kecil.
"Aku Nabila. Adiknya Kamila."
Gadis berambut sebahu itu kembali mengulas senyum ramah. Tak sungkan pula dia mengulurkan tangan padaku.
"Mas ...."
Belum sempat aku membalas jabatan gadis itu, datang sang belahan jiwa dari dalam. Setelah mengelap tangannya pada celemek yang melekat di badan, wanita berhijab merah muda itu meraih tanganku. Kamila mencium dengan takzim punggung tanganku seperti biasa.
"Oh ya, Mas. Kenalkan ini yang namanya Nabila. Adik aku yang tinggal di Medan bersama ayah." Kamila mengenalkan sang adik ke padaku.
Aku mengangguk ramah pada gadis berkulit kuning langsat di hadapan. Dan dibalas anggukan ramah juga oleh gadis bergigi gingsul itu.
Setelah merasa cukup perkenalannya, Nabila kembali masuk menuju dapur. Sementara aku berjalan beriringan menuju kamar pribadi bersama Kamila. Di kamar tamu terlihat ada seorang pemuda memasuki bilik tersebut.
"Siapa dia?" tanyaku merasa asing.
"Calonnya Bila." Kamila menjawab dengan enteng.
Kami lantas masuk ke kamar pribadi. Begitu masuk dengan cekatan Kamila membuka lemari untuk menyiapkan handuk dan baju ganti untukku. Penuh kelembutan kupeluk wanita mungil itu dari belakang.
"Selamat ulang tahun, Sayang," bisikku lembut di daun telinga Kamila.
Belum sempat Kamila menjawab, aku sudah terlebih dahulu mengecup tengkuknya dengan lembut. Terlihat wanita itu bergidik geli. Sepertinya dia merinding disko. Padahal itu sudah bukan hal baru bagi dia. Sungguh menggemaskan. Aku tersenyum geli.
"Makasih," jawab Kamila lirih. Wanita itu membalikan badan. Tangan kekarku masih melingkar di pinggang rampingnya. Ketika aku mulai mendekatkan muka dengan cepat Kamila menghalau bibirku dengan telunjuk. "Mandi dulu, gih! Bau asem, tau," suruh Kamila lembut.
Tangan wanita itu melepas dasi yang melilit leherku. Ketika aku duduk di tepi ranjang dengan telaten Kamila melepas sepatu sang suami. Lantas menaruhnya di rak sepatu. Benar-benar istri yang sempurna. Aku mengucap syukur.
"Ada bingkisan sederhana untukmu."
Aku mengeluarkan kado dari dalam tas kerja. Tersenyum manis kusodorkan bingkisan itu pada Kamila. Dan Kamila dengan senang hati menerima bingkisan berbalut kertas merah jambu itu. Seperti yang telah kuduga, wanita berparas lembut itu terpana melihat pemberian sederhana itu.
"Terima kasih, Sayang." Kamila berucap penuh kelembutan. Dengan sedikit berjinjit wanita itu mencium pipiku yang tengah berdiri di hadapannya. Ketika aku meminta lebih, dia menggeleng kecil. " Mandilah! Aku menunggumu di meja makan." Usai berpesan seperti itu Kamila berlalu menuju dapur.
Sementara diriku lekas menyambar handuk dan baju ganti yang tergeletak di ranjang. Ketika hendak membuka pintu kamar mandi sesosok pemuda bertubuh tinggi dan tegap ke luar dari bilik itu. Cowok berambut cepak di hadapan melempar senyum ramah untukku. Lantas berlalu pergi, sedangkan aku bergegas masuk.
Letak dapur dengan kamar mandi memang berdekatan. Sehingga harum aroma masakan jelas sekali tercium oleh hidungku yang tengah membersihkan badan. Hal ini mendorongku mempercepat kegiatan tersebut.
Dengan rambut yang masih basah, aku ke luar dari kamar mandi. Meja makan adalah tempat yang langsung kutuju. Di mana sudah menunggu ibu mertua dan calon dari adik ipar. Sementara Kamila dengan adiknya tengah sibuk menyiapkan hidangan.
"Mas," sapa Kamila lembut begitu melihat kedatanganku.
Wanita itu menepuk kursi untukku. Aku sendiri segera duduk di samping istri tercinta. Diriku tepat berhadapan dengan adik ipar yang juga bersisian duduk dengan pemuda bertampang lumayan tampan itu. Sementara ibu mertua sudah duduk di ujung meja.
"Sabir, inilah Bila adik kandung Mila yang lama terpisah dari kami. Dan itu calon tunangannya. Mereka baru tiba siang tadi." Ibu mertua mengenalkan anak gadisnya padaku.
"Iya, Bu. Tadi Mila sudah memperkenalkan padaku," jawabku sopan.
"Oh ya? Baguslah. Perlu kamu ketahui, Bila akan tinggal di sini bersama kita selamanya. Karena ayahnya sudah tidak ada." Ibu mertua mengabarkan. Aku sendiri hanya mengangguk kecil menanggapi ucapan mertua.
Makan malam pun dimulai. Seperti biasa Kamila melayaniku dan ibunya dengan baik. Sementara Nabila tampak begitu perhatian dengan calon tunangannya. Kedua sejoli itu terlihat begitu mesra.
Sepanjang acara makan malam Ibu mertua mendominasi pembicaraan. Wanita berusia lima puluh tahun itu bercerita sebab musabab Kamila dan Nabila terpisah. Menurutnya perceraianlah yang menyebabkan kejadian itu terjadi. Saat itu usia Kamila baru sepuluh tahun, sedang Nabila masih tujuh tahun.
Mertuaku yang bernama Maryam itu bercerita bahwa mantan suaminya berwatak keras. Sebelas tahun mengarungi biduk rumah tangga, Ibu Maryam tak mampu mempertahankan pernikahan. Dirinya terpaksa berpisah dan kembali ke rumah orang tuanya dengan hanya membawa Kamila. Putri sulungnya yang sewaktu kecil bertubuh ringkih. Sering sakit-sakitan dan terpaksa merelakan Bila tinggal bersama ayah dari anaknya.
Walau sudah mengetahui kisah itu dari Kamila, demi kesopanan aku menanggapi cerita Ibu mertua dengan baik. Sebenarnya aku sudah hapal cerita itu dari lama. Kamila kerap kali berbagi kisah tentang adik kandungnya. Bahkan istriku lebih detail dalam bercerita.
Keburukan perangai mantan suami yang tidak diceritakan oleh Ibu Maryam, sudah aku dengar dari istri sendiri. Kamila yang kadang didera rasa rindu pada sang adik dan ayah kerap kali bercerita tentang penderitaan sang ibu saat masih menjadi istri ayahnya.
Acara makan malam itu semakin terasa hangat saat Ibu Maryam mengenalkan sosok pemuda yang duduk di sebelah kanan putri bungsunya padaku. Nama pria muda itu adalah Zayn. Karena memang belum mengenal lebih jauh, Ibu Maryam menyuruh Nabila yang melakukannya.
Dengan sedikit tersipu Nabila memperkenalkan siapa calon tunangan. Katanya, Zayn adalah teman semasa SMA-nya. Namun, mereka baru menjalin hubungan ketika memasuki bangku kuliah. Saat ini Zayn tengah menempuh pendidikan pasca sarjananya di universitas kota pahlawan itu. Dan berjanji akan segera menghalalkan hubungannya dengan Nabila bila pendidikannya telah usai dan mendapat pekerjaan.
Acara makan malam berakhir dengan penuh kekeluargaan. Aku yang memang seorang anak tunggal segera menganggap Zayn layaknya adik kandung sendiri. Kuajak pemuda itu berbincang di teras depan. Sementara para perempuan sibuk membereskan meja makan.
Perbincangan yang seru dengan Zayn membuat aku melupakan waktu. Padahal esok pagi harus bekerja. Akhirnya, setelah puas mengobrol, aku dan Zayn masuk ke peraduan.
Ketika masuk ke kamar pribadi, aku mendapati Kamila sudah terbuai mimpi dengan memeluk guling. Perlahan kurebahkan badan di samping sang pujaan.
"Sayang ... tidakkah kamu kedinginan malam ini," bisikku lembut di telinga Kamila. Kamila terbangun. Dengan mata yang masih terpejam, wanita itu mengangguk kecil. "Tidakkah kamu ingin membuat baby di malam indah ini," lanjutku masih dengan suara yang lirih nan mendayu. Mencoba merayu.
Kamila membuka mata. Tersenyum kecil dia mengangguk.
❤❤❤