2. Hancurnya Mahkota

1146 Kata
Malam itu kehormatanku sebagai seorang gadis hancur sudah. Mahkota kesucian yang selama ini dijaga sepenuh hati dan akan dipersembahkan hanya untuk imamku kelak telah koyak. Terenggut oleh seorang yang begitu kuhormati. Tidak pernah disangkakan kalau Kak Sabiru yang kesehariannya tampak begitu santun, tega merenggut kesucianku. Aku menangis pilu melihat noktah merah pada kain seprai berwarna putih itu. "Kak Sabir jahaaat!" Kupukuli tubuh polos yang kini tengah tidur terlengkungkup itu. Setelah puas melampiaskan hasratnya, pria laknat ini tertidur dengan pulas. Isakan tangisku sama sekali tak terdengar olehnya. Dengan badan yang terasa sakit semua, aku mencoba bangkit. Rasa nyeri yang teramat sangat pada s**********n membuat aku harus tertatih berjalan. Dengan air mata yang terus saja membanjiri pipi kupunguti pakaianku yang berserakan di lantai. Sekarang aku telah ternoda. Tidak suci lagi. Aku merasa jijik dengan diri sendiri. Merasa kotor dan perlu membersihkan diri. Terseok aku masuk ke kamar mandi. Air dingin mengguyur kepala ini. Aku menggigil. Dingin sekali. Adegan pemerkosaan itu berkelebat lagi di mata. Aku menggeleng sedih, saat bayangan Kak Sabiru mencumbuiku. Kugosok semua kulit yang telah tersentuh oleh lidah setannya. Lalu memekik keras ketika dia berhasil membobol kehormatanku. "Tidaaak!" Tubuhku luruh ke lantai. Aku tak kuat menopang badan sendiri yang terasa lemas ini. Tubuhku menggigil. Sementara air shower terus saja mengucur membasahi badan ini. Bayangan Zayn dan janjinya yang berkelebat semakin memperkuat isakan tangisku. Entah berapa lama aku berdiam diri di kamar mandi. Rasa nyeri di s**********n yang tak kunjung sirna, serta dinginnya air membuatku harus meninggalkan kamar mandi ini. Dengan mengenakan kimono handuk, tertatih aku menuju kamar pribadi. Berganti pakaian begitu masuk. Lantas kujatuhkan badan di ranjang. "Zayn ... maafkan Aku ...." Aku merintih sedih sembari meremas seprai ranjang. * "Bila ... Bila bangun, La!" Suara merdu itu mengalun lembut di telinga. Aku yang sedang terlelap segera membuka mata. Tampak Kamila mengulas senyum simpul begitu melihatku terbangun. Aku menyipit karena merasa silau oleh cahaya matahari menerobos jendela. Ah ... sudah pagi rupanya. Jam kecil di atas menunjukan pukul tujuh pagi. "Gak baik anak gadis jam segini baru bangun," selorohnya disertai seringai manis. "Ayuk bangun!" Kamila menarik lenganku. Kepala yang terasa berat membuat aku menggeleng. "Kenapa? Kamu sakit?" Kamila bertanya sembari menempelkan punggung tangan di dahiku. "Ya ... ampun, kamu demam, La," serunya panik. Aku terdiam. "Kita ke dokter, ya?" sarannya perhatian. "Tidak usah! Nanti juga sembuh kok," tolakku dengan suara parau. "Kamu yakin?" Aku mengangguk pelan. "Ya sudah ... akan kubelikan obat demam." Kamila berlalu pergi. Kembali aku tersedu sedih saat mengingat kejadian semalam. Kemudian semakin tergugu dalam tangis saat teringat Zayn. Apa yang harus kusampaikan padanya? Dan Kamila ... tak dapat kubayangkan betapa hancur hati dia bila tahu kebejatan suami tercintanya padaku. Setengah jam kemudian, Kamila masuk kembali ke kamar ini. Wanita itu datang dengan kantong plastik putih berisi obat demam. "Apa yang membuatmu menangis?" tanyanya perhatian. Aku menggeleng. Namun, air mata ini justru semakin deras mengalir. "Nabila ... ada apa, Nak?" Tiba-tiba Ibu masuk. Wanita itu menghampiriku. "Ibu ...." Aku memeluknya erat. Terisak-isak di bahu Ibu. "Ada apa? Apa kamu dan Zayn habis berantem?" tanya Ibu melepas pelukan. Aku menggeleng cepat. "Lantas apa yang membuatmu menangis?" lanjutnya penasaran. "Sayang ...." Aku menoleh ke pintu. Kak Sabiru datang. Mata kami bertemu pandang. Ketika dengan tajam kutatap matanya, pria itu menunduk. "Ada apa?" Kamila mendekati suaminya. "Ayo kita sarapan! Aku harus berangkat," ajak Kak Sabiru pelan. "Sebentar. Nabila sakit. Bisakah kamu mengantarnya ke klinik terdekat?" pinta Kamila manis. "Tidaaak!" jeritku histeris. Sontak itu membuat Ibu dan Kamila menatap heran padaku, sedang Kak Sabiru hanya terdiam menunduk. "Kenapa? Kenapa menjerit seperti itu?" tanya Ibu heran. Aku hanya menggeleng sembari terus saja terisak. Apa? Apa yang harus kukatakan? Aku tak mungkin membeberkan kebejatan menantu kesayangan Ibu. Aku takut dia syok dan tak mau pula Kamila hancur. Namun, sakit hati ini tiada bisa kutahan. Entah sampai kapan aku hanya bisa diam. "Bila ... katakan pada Ibu! Apa yang terjadi? Kenapa kamu menangis terus seperti ini?" desak Ibu lembut. Dibelainya rambutku perlahan. Aku mengusap kedua ujung mata. Ingin sekali mengungkap kebenaran. Namun, saat mataku kembali bersirobok dengan Kak Sabiru bibir ini kelu jadinya. Wajah pria itu yang terlihat begitu teduh menatap sayu padaku. Lewat pandangan matanya lelaki itu seperti tengah berpesan supaya aku jangan dulu buka mulut. "Aku teringat Ayah, Bu." Aku mencoba berdusta. "Teringat saat-saat kami sering bertengkar dulu." Kembali kedua mataku basah oleh air mata. Memang benar dulu aku dan Ayah kerap kali bertengkar. Sifat kerasnya menurun padaku. Kami sering berbeda pendapat. "Sudah ... sudah! Tidak perlu sesedih itu," ujar Ibu lembut. Sifat lembut Kamila mewarisi sifatnya Ibu. "Sekarang kita sarapan bersama. Lepas itu minum obatnya biar kamu cepat sembuh!" Aku menggeleng lemah. "Kenapa?" tanya Ibu dan Kamila bersamaan. "Aku ... Aku sedang tidak berselera saja. Nanti aku makan sendiri saja," jawabku serak. Kamila dan Ibu saling berpandangan. Bagai sehati keduanya tersenyum manis padaku. "Ya sudah kalo begitu. Istirahatlah!" Setelah berkata seperti itu Ibu, Kamila, dan Kak Sabiru berlalu. Sempat pria berjanggut tipis itu menoleh sekilas padaku. Namun, dia lekas kembali melangkah saat aku mendelik geram padanya. Ketika semua orang sudah tak terlihat lagi. Kembali aku tergugu dalam tangis. * Seharian aku mengurung diri di kamar. Menangis dan terus menangis. Meratapi takdir nasib. Bahkan sempat menghujat pada Tuhan, kenapa aku diberi ujian sedemikian hebatnya. Namun, hati kecilku mengingatkan bahwa hidup itu terus berjalan. Dan aku harus kuat menjalaninya. Perut yang melilit perih memaksaku beranjak dari ranjang. Masih dengan tertatih aku menuju meja makan. Rumah tampak begitu sepi. Pagi tadi Kamila pamit padaku untuk menjaga toko bunga. Dia pergi bersama sang suami. Sementara Ibu, dari sejam lalu kembali menjenguk paman. Paman adalah seorang duda yang ditinggal mati oleh istrinya dan tidak punya anak. Terpaksa Ibu dan Kamila yang merawatnya. "Nabila ...." Aku terjingkat kaget saat mendengar suara pria itu memanggil namaku. Bahkan gelas yang sedang dipegang terjatuh karenanya. Benda kaca itu hancur berkeping-keping. Sebenarnya suara panggilan itu begitu lembut. Namun, entah mengapa terdengar begitu menyeramkan di telinga. Kak Sabiru ternyata pulang lebih awal dari biasanya. "Nabila." "Jangan mendekat!" Aku berteriak marah. Tanganku menyetop langkahnya. "Nabila, kakak mau bicara." Kak Sabiru berucap sembari mendekat. Aku menggeleng ketakutan. Bayangan kejahatannya kembali terekam di mata. Wajah teduhnya yang semalam begitu perkasa menggagahiku terus saja mendekat. "Nabila ...." "Aku bilang jangan mendekat! Kak Sabiru biadaaab," pekikku histeris. "Jadi ... semalam aku benar-benar menidurimu?" tanya Kak Sabiru seolah tidak percaya. Cih ... memuakkan. "Kakak pikir ada gadis lain di rumah ini selain aku? Kamila pergi ke rumah sakit semalam. Kakak benar-benar jahaaat!" makiku lantang. "La, maafkan kakak. Sungguh semalam kakak tidak bermaksud ...." "Kakak telah merenggut kesuciankuuu!" sambarku penuh amarah. "Bila, maafkan kakak," ucap Kak Sabiru memohon. Tangannya meraih lenganku. "Lepaaas!" Refleks kutepis kasar tangan itu. "Kakak akan bertanggung jawab bila terjadi sesuatu padamu," janjinya terdengar bersungguh-sungguh. Kembali dia meraih tanganku. "Kalian?" Tiba-tiba datang Kamila. Dia menatap heran padaku dan suaminya secara bergantian. Next. Jangan lupa pencet tombol love untuk update bab terbaru ?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN