10. One day, I'll make sure we will have s*x

1435 Kata
Wajah Ethan sedang tertidur pulas menjadi hal pertama yang kulihat pagi ini. Dan, hal pertama yang kurasakan adalah: panik! Aku baru akan melompat dari ranjang, tapi ingatan bahwa lelaki itu sekarang suamiku, membuatku terhenyak. Aku mencoba menyesuaikan diri, walau masih terasa sedikit aneh. Sangat-sangat-sangat jarang bagiku berbagi ranjang dengan orang lain, terlebih seorang laki-laki. Pertama ibu, kemudian ayah, setelah itu Lucy, lalu Matt, dan kini Ethan. Suami sandiwara yang akan menemani malamku selama berbulan-bulan. Lama kelamaan, rasanya menyenangkan. Aku tidak tau, bahwa hanya dengan menatap wajahnya tertidur membawa perasaan gemas sekaligus nyaman. Kalau seperti ini, rasanya tidak mungkin jika dia adalah Ethan yang suka meniduri sembarang gadis. "Morrrning... Mrs. Gilbert." Aku hampir saja meninggal ditempat ketika mendengar suara seraknya-yang sangat seksi. Matanya masih terpejam tapi bibirnya mengukir senyum tipis. "Damn it, Gilbert!" gerutuku. "Sejak kapan kau bangun?!" Ethan membuka matanya perlahan. Ia tersenyum lagi memperlihatkan lesung pipinya. "Sejak kau bergerak dari tidurmu." Ethan menatapku sejenak dengan matanya yang setengah terbuka. "Ahh. Senang sekali teriakanmu menjadi hal pertama yang kudengar pagi ini. Kau sangat seksi saat sedang marah." Seakan tidak cukup membuat pipiku panas, ia menambahkan, "Aku juga senang kau memperhatikanku saat aku tidur." "AKU TIDAK MEMPERHATIKANMU SAAT KAU TIDUR!" Aku merubah posisi menjadi duduk bersandar di dashboard. Ethan mengikuti yang kulakukan sembari mengusap-usap matanya, membuatnya terlihat menggemaskan dan seksi dalam waktu bersamaan. "Aku suka saat kau salah tingkah." Aku memberinya pelototan, "Aku. Tidak. Salah. Tingkah!" Ethan tertawa. Tulus sekali. Senang rasanya mendengarnya tertawa di pagi hari. "Kau tau," celetuk Ethan setelah reda dari tawanya. "Kau gadis paling sulit, Smith." Aku tersenyum, "Thanks" "Tidak ada yang pernah menolakku sebelumnya." Aku tersenyum lagi, "Tenang saja, Ethan. Aku akan menolakmu sampai sisa hidupku." Ethan tertawa, "Kita lihat saja, B. One day, I’ll make sure we will have sex." Aku reflek mendorong bahunya menjauh, "Pergi kau!" Ethan tertawa, lalu bangkit berdiri. "Aku mandi duluan, angel." Aku melihat Ethan mencondongkan tubuhnya padaku, membuatku reflek menjauh. Wajahnya kurang dari sejengkal dari wajahku. "Sedang apa kau, bodoh?!" Wajahnya sepolos kertas, "Apa aku tidak boleh mencium istriku?" "TIDAK!" Aku mendorong wajahnya kasar. "Cepat pergi!" Lagi, Ethan tertawa. Ia menegakkan tubuhnya lagi, memperluas jarak diantara kami. Baru saat itu aku bisa bernapas lega. "Istri payah. Ciuman saja tidak bisa." Aku melotot, "A-APA?" Ethan tersenyum geli, lalu menepuk kepalaku, sedikit keras. "Tak perlu malu. Akan kuajarkan lain kali." Dia dengan santai, berlenggak pergi ke kamar mandi dengan senyum yang masih menghias bibirnya. "Aku tidak perlu kau ajarkan, jerk!" "Kau akan menyukainya, Angel." Bukankah dia orang gila? ••• Ethan dan aku sedang berjalan-jalan di pusat perbelanjaan kota. Saat menyadari tidak ada apapun yang bisa dimasak, pagi itu kami memilih untuk sarapan di luar, sekalian berbelanja keperluan. Tunggu. Bukan kami... ...tapi aku! Aku susah payah membawa belanjaan yang sangat banyak, sedangkan-si tengik-Ethan sibuk mengajak tidur setiap gadis yang ia temui. Aku sedang berada di depan toko perhiasan, saat menyadari Ethan sudah tidak lagi bersamaku. Aku menggeram kesal. Astaga! Dia sama sekali tidak berguna. Aku yakin, saat ini dia sedang di salah satu toilet, berdansa dengan gadis manapun dalam desahan. Aku mampir ke warung penjual sosis panggang pinggir jalan. Senyumku langsung mengembang mencium aroma lezat yang masuk ke indra penciumanku. "5 tusuk, please." Kataku pada wanita berwajah orietal yang sedang mengkipas-kipas panggangan. "Baik." Mataku tak bisa berhenti menatap daging-daging tusuk itu. Air liurku mendadak jadi banyak. Mungkin efek sudah lapar. "Semuanya 2 dollar." Aku tersadar. Buru-buru kucari dompet yang biasa aku bawa belanja. Di kantung, kosong. Di bungkusan, tidak ada. Dimanapun, nihil. Mataku membulat sempurna. Dompetku tertinggal! Aku teringat pagi tadi aku tidak mencemaskan dompet karena pergi dengan Ethan. Bagus. Sekarang bagaimana caraku membayar penjual sosis ini? "2 dollar, untuk gadis cantik ini." Aku menoleh dengan cepat ke sebelahku. Seorang lelaki. Tatapannya dan tatapanku bertemu. Lelaki itu mengukir senyum tipis. Manis. "Ya, tuhan!" Aku tersenyum malu, "Terima kasih. Aku janji, akan menggantinya." Wanita Asia itu menyerahkan sosis panggang padaku. Aroma gurihnya langsung menerpa wajahku. Lelaki itu tersenyum lagi, "Bagaimana dengan namamu, sebagi gantinya." Aku hampir menyemburkan tawa. Tidak percaya bahwa lelaki dengan tubuh tinggi, rahang keras, dan hidung mancung di depanku ini tengah menggodaku. Aku melanjutkan jalanku, dan lelaki itu mengikut. Jadi kutebak, dia serius tentang namaku. "Bianca," Kataku, "Gil-Smith. Bianca Smith!" “Nice to meet you, Bianca Gil-Smit.” Dia tersenyum, "I’m Dylan. O'brien." "It’s Smith, bytheway. Nice to meet you, Dylan. Sekali lagi, terima kasih. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu." Aku handak pergi, tapi Dylan menahan tanganku. "Hei, tunggu." Tubuhku menghadapnya, cukup dekat. Dari cara dia menatapku, aku tau apa yang dia katakan. Dan itu sedikit membuatku gugup. "Aku penasaran, apa kau mungkin mau berjalan-jalan sebentar denganku? Mungkin kita bisa-" Sebuah suara menyela. "Kau meninggalkanku, Mrs. Gilbert!" Aku berbalik, menemukan Ethan berjalan ke arah kami dengan santai. Seperti biasanya, hanya saja tanpa senyum. Begitu dia sudah disebelahku, Ethan menarik bahuku kuat, melepaskan tangan Dylan yang menggengam pergelanganku. Setelah itu, lengannya memeluk leherku. Aku berdehem saat merasakan atmosfer yang mendadak menjadi panas. "Dylan ini Ethan. Ethan ini Dylan." Ethan tidak tersenyum saat menjabat tangan Dylan. "Aku suaminya." Dylan sama terkejutnya sepertiku. Aku tidak terkejut, karena sebutan suami. Aku hanya tidak percaya, Ethan membawa sandiwaranya, bahkan pada orang asing. Kupikir itu tidak perlu. "Aku hanya malaikat penolongnya, kurasa." Kata Dylan, bergurau. "Maaf, tapi istriku dan aku harus pergi. Permisi." Aku menghelas napas. Baru aku ingin meminta maaf atas sifat sinisnya terhadap Dylan, tapi lelaki itu sudah  menarikku duluan. Begitu saja, barang belanjaan di tanganku, berpindah ke tangannya. "Kau tidak seharusnya sinis begitu dengan Dylan. Dia pria yang baik." "Diberusaha menggoda istriku." Aku tertawa, "Istrimu?" Ethan mengangguk bangga. Lalu seenaknya merangkul leherku dengan tangannya yang kosong. Aku cepat-cepat melepaskan diriku dari rangkulannya, "Jangan rangkul leherku!" "Astaga, itu cuma leher, B!" "Tidak, itu bukan cuma leher. Itu milik Matt. Dia yang setiap saat merangkul leherku." Ethan memutar matanya. Lalu seenaknya, lengannya berpindah ke pinggangku, "Sekarang pinggang ini milikku. Tidak boleh satupun ada yang memeluknya kecuali aku!" Tubuhku terlonjak. Aku langsung melepaskan diri darinya. "Jangan peluk-peluk, jerk!" Ethan antara cemberut dan geli. "Ayolah, Angel. Kita kan sudah menikah. Kau tau kan aku hanya bisa melampiaskan nafsuku denganmu saja?" Aku berjalan duluan, "Ohya? Karena firasatku berkata, kau baru saja melampiskan nafsumu beberapa menit yang lalu, di toko perhiasan itu." Ethan terbahak dibelakangku, "Aku? Di toko perhiasan itu? Dengan siapa? Dengan lelaki tua penjual emas itu?" Ethan tertawa keras keras. "Sayang, aku pecinta lubang." Pipiku panas sekali. Tidak mau semakin dipermalukan, aku berjalan semakin cepat di depannya, "Dengan salah satu pekerjanya, siapa yang tau?" "Hi, angel." Ethan menahan tanganku. Jantungku berdegup kencang sekali saat aku berbalik dan menemukannya menatapku dengan teduh, "Percaya padaku, mereka tidak semenarik kau." Aku mengigit bibir dalamku, "Godaanmu tidak berhasil, Mr. Gilbert." Aku berusaha melepaskan tanganku dari genggamannya, tapi terlalu kuat. Ethan tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Dua buah cincin permata kembar. Aku mendongak, "Cincin?" Ethan menyematkan salah satu cincin ditangannya, dan satunya lagi di tanganku, dengan tiba-tiba, lagi. Aku masih terdiam. "Setidaknya lelaki seperti Daniel tadi tidak akan menganggumu lagi saat melihat cincin itu." Tawaku menyembur. See? Betapa menggemaskan melihat Ethan mendumel, tapi ternyata ia salah menyembutkan nama. "Dylan, Ethan. Nama lelaki itu Dylan O'brien." "f**k, B. Kenapa kau ingat?" "Dia manis. Aku suka." Ethan menggeram. "Tarik kata-katamu, atau kau pulang naik taksi tanpa uang seperserpun." Aku tertawa besar-besar, "Maaf, suamiku." ••• Aku tidak bisa menahan tawaku setiap kali melihat ekspresi masam di wajah Ethan. Saat melihat penjual ice cream di jalan menuju perkiran, aku langsung menariknya. Yang membuat Ethan harus terus membawa belanjaan sepanjang antrian. "Kau yakin tidak mau ice cream-nya?" Ethan menggeleng dengan wajah kesal. "Cepatlah, B. Belanjaan ini berat." Aku tertawa dibuatnya. "Kau mempunyai otot dan tubuh yang yang atletis. Itu saja kau tidak kuat." Ethan tersenyum licik. "Kau diam-diam memperhatikan otot dan tubuhku." "Aku hanya tidak sengaja melihatnya!" Ethan mendekatkan wajahnya pada telingaku. Ia berbisik. "Apa kau menginginkannya?" Aku meneguk ludah. Ethan dengan hanya dililit handuk, basah, kemarin malam, terngiang di otakku lagi. Sialan! "Kau menjijikkan Ethan!" Si penjual ice cream memberikan pesananku. Aku tersenyum sampai menyentuh telinga. Aku menyantap ice cream rasa vanilla mint sepanjang jalan. Rasanya begitu sepada. Dari tadi aku mengantri dan sekarang terbayar oleh kelezatannya. Mendengar Ethan tertawa pelan disebelahku, aku menoleh. "Apa?" "Kau seperti anak-anak, sayang." Ethan berhenti berjalan. "Lihat! Ice cream-mu belepotan." "uh?" Ia tertawa lagi. "Stay still." Dan Ethan maju selangkah. Aku masih mencerna apa yang dia maksud saat bibirnya tiba-tiba menempel di bibirku. Aku sangat terkejut hingga jantungku seperti mau melompat keluar. Darahku berdesir hebat ketika bibirnya bergerak pelan, mencecap bibirku. Sangat lembut. Ada suara decakan erotis saat Ethan melepaskan ciuman itu. "Selesai." Katanya santai dengan senyum. Sedangkan aku, berdiri kaku, nyaris meninggal di tempat. "Lain kali, jangan diam saja. Kau juga harus membalasnya." Dadaku terasa sesak mendadak. Aku menghirup napas dalam-dalam untuk memenuhi kekosongan paru-paruku. Aku lupa cara bernapas! Sialan! "ETHAN!!" Tanpa aba-aba, kulayangkan pukulan ke tubuhnya dengan brutal, "KAU PIKIR APA YANG KAU LAKUKANKAN, HA?!" Ethan mencoba menghindar walau berkali-kali kena tinjuanku, "Aw! B a—aku hanya mem—membantumu membersihkan noda ice cream di bibirmu—aw! That’s all!" Aku berhenti menerjangnya, "KEMANA TANGANMU, i***t?!" teriakku, memberinya pelototan maut. "Tanganku penuh, sayang." Ethan mengangkat barang belajaan di tangannya sambil cemberut. Dia… benar. "Ngomong-ngomong..." Ethan menghisap bibir bawahnya sendiri. "Bibirmu rasa vanila." Ya tuhan! Paru-paruku kembali kosong. "Kau gila!!" Setelah membentaknya dan membuat orang-orang memperhatikan kami, aku langsung pergi meninggalkannya. Berjalan duluan ke arah parkiran. Astaga! Aku pasti akan mempermalukan diriku di depannya jika aku tidak segera pergi. Bagaimana bisa bibir itu selalu terlihat menggiurkan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN