Sudah tiga hari aku dan Ethan tidak ke kampus. Ayah mertuaku mengurus izin agar kami "berbulan madu". Tapi aku dan Ethan—yang terpaksa—setuju kalau kami tidak akan berbulan madu. Lagi pula, keluarga kami sedang sibuk membangkitkan perusahaan yang sedang bangkrut, mereka tidak akan punya waktu memastikan bulan maduku dan Ethan yang tidak akan pernah terjadi.
Pagi-pagi aku sudah terbangun untuk membuatkan sarapan. Untuk pagi itu, menu sarapannya sederhana. Sandwich isi ham dan keju ditemani dengan segelas s**u rendah lemak.
Ethan masih dililit selimut saat aku masuk ke kamar. Antara kesal dan gemas sebenarnya. Aku mendekat, menduduki pinggiran kasur sebelahnya tidur. Dia tampak damai dalam tidurnya, membuatku tidak tega untuk membangunkannya.
Tapi aku harus.
"Yo, Ethan..." Bisikku. Seperti halnya berbicara dengan tembok, tidak ada respon berarti darinya. "Bangunlah!"
Aku menepuk lengannya perlahan, "Gilbert! Ayo bangun. Temani aku sarapan."
Ethan bergerak. Masih memejamkan matanya, ia memeluk lenganku. Menjadikannya guling. Aku batuk untuk menghilangkan perasaan aneh.
"Lima menit lagi." Rancaunya dalam tidur.
"Ayolah! Aku membuatkan sarapan untuk kita berdua."
Ia bergerak lagi, mengeserkan kepalanya ke pahaku. Menjadikannya sebagai bantal tidur. Kali ini, jantung mulai bermain. Mata Ethan perlahan terbuka. Ia menyengir memperlihatkan deretan giginya yang bening. "Pagi, angel."
"Pagi Jerk. Waktunya bangun." Ucapku bersusah payah. Namun dengan mudahnya Ethan memejamkan matanya lagi. Aku mendumel, "Kenapa susah sekali membangunkanmu, sih?"
Masih memejam, ia berkata, "Kau tau putri salju? Dia terbangun saat dicium. Begitu juga aku."
Aku terbahak, "Aku? Menciummu? Lebih baik putri saljunya mati,"
"Well. Kalau begitu aku yang akan menciummu." Ethan menarik tekukku tiba-tiba, dan langsung menciumku sebelum aku sempat mengelak. Hanya kecupan kecil, tapi efeknya dasyat sekali. "Ayo, sarapan."
"ETHAN SIALAN! KAU BELUM MENGGOSOK GIGI!"
•••
Ethan keluar dari kamar dengan senyum merekah di bibirnya. Dia tampak santai dengan jeans dan kaos abu-abu polos yang sedang ia kenakan. Saat ia mendudukki bangku di sebelahku, aku berusaha keras melupakan ciuman tadi.
"Kau lama seperti perempuan. Apa yang sebenarnya kau lakukan di dalam?" Aku berdecak.
"Aku harus menenangkan juniorku dulu setelah ciuman kecil tadi."
Mataku melotot. "KAU MENJIJIKKAN ETHAN! JANGAN PERNAH BERBICARA SEKS DI MEJA MAKANKU DAN CEPAT HABISKAN SARAPANMU!"
Ethan memandangiku sepanjang aku meneriakinya, "Iya, sayang."
Tidak memperdulilan Ethan, aku menyantap sarapanku dengan dengan khitmad. Aku sudah sangat lapar. Jika saja aku tidak benci makan sendiri, mungkin aku tidak akan menunggunya.
Menoleh pada Ethan, aku menemukannya menatap jijik s**u buatanku. Sandwich-nya sudah lenyap, tapi susunya tak tersentuh sama sekali
"Kau tidak suka s**u?"
Ethan menggeleng, "Absolutely, no. Aku akan mengambil beberapa alkohol saja."
Aku menahan tangannya, "Seriously? Ini masih pagi!"
"Jangan khawatir. Aku sudah biasa, angel."
"Kalau begitu, kau tidur diluar nanti malam!"
"Apa?"
"Itu peraturan. Kau harus tidur diluar setiap kali ketahuan meminum alkohol!"
Ethan tergelak, "Itu tidak adil!"
"Aku sedang menjadi wanita kejam sekarang," Jawabku tersenyum tersenyum licik, "Kalau kau masih mau tidur di ranjang yang sama denganku, lebih baik habiskan susumu."
Wajahnya cemburut, "Jangan s**u. Apapun kecuali susu."
"Kenapa? s**u itu baik untukmu. Cepat. Minumlah."
Dia masih menggeleng, "Jangan paksa aku meminumnya, B. Aku bisa muntah."
"s**u itu enak, Ethan. Aku bangun pagi-pagi sekali untuk membuatnya untukmu." Aku melembutkan suaraku, "Hanya untukmu, Ethan..."
Ethan masih cemberut, "Maafkan aku, sayang. Tapi aku benar-benar tidak suka susu."
Ethan bangkit dari duduknya. Cepat-cepat kucegat sebelum ia meninggalkan meja makan.
"Kusuapi, ya?"
Ethan terdiam, menatapku heran. "Kenapa kau begitu bersemangat sih?"
Aku berucap asal, "Menerapkan hidup sehat tidak buruk, kan?"
Aku ikut bangkit, tak lupa mengambil s**u Ethan yang masih penuh.
"Tapi-"
"Ethan!"
Dia mendengus, "Fine! Tapi kau harus menyuapiku."
Aku tersenyum senang sambil mengangguk mantap. Ethan sangat tinggi untukku. Jadi aku membawanya duduk di kursi.
Aku baru mendekat selangkah, namun Ethan sudah menarikku hingga aku jatuh di atas pangkuannya. Untung saja susunya tidak sampai tumpah.
Aku tidak ambil pusing dengan perlakuannya. Kutempelkan gelas yang penuh s**u di bibir Ethan. Matanya dipejamkan kuat-kuat saat mulai meminumnya sedikit demi sedikit.
Sungguh, aku ingin tertawa keras melihat ekspresinya. Tangannya mencengkrang kuat-kuat bajuku. Aku tersenyum senang saat gelasnya sudah kosong.
Ethan langsung menghela napas begitu aku menjauhkan gelas dari mulutnya. Aku tertawa keras-keras melihat itu.
Sambil memandangiku, Ethan melingkarkan tangannya di pinggangku. "Kau senang telah menyiksaku, Mrs. Gilbert?"
Aku menyengir. Dan mengangguk, "Lihat, kan? Kau tidak muntah! Kau hanya berlebihan."
"Tapi rasanya tetap seperti minuman basi!"
Aku tertawa. Sampai kemudian, perhatianku jatuh ke bibir Ethan. Penuh dengan s**u.
"Kau belepotan, Ethan."
Ia tersenyum penuh arti. "Bersihkan untukku, Angel."
"Kau masih punya tangan!"
"Tapi aku sudah menggunakannya untuk memelukmu."
"Kalau begitu, lepaskan aku."
"Kau hanya perlu mengelapnya, B. Aku pernah melakukannya untukmu. Sekarang lakukanlah untukku." Ia mengatakan dengan lembut, membuat hatiku bergetar.
Aku tersenyum simpul. Ethan ternyata tidak seburuk dugaanku. Dia juga bisa jadi manja dan penuh kasih sayang.
Dengan ragu aku mulai membersihkan sisa s**u dibibir Ethan dengan ibu jariku. Tekstur bibirnya lembut dan lunak. Cukup untuk membuat batinku tersiksa. Lagi-lagi kendaliku diuji.
Aku baru akan menyingkirkan jariku saat Ethan tiba-tiba menangkapnya. Dengan menatapku dalam, Ethan memasukkan ibu jariku ke dalam mulutnya. Menghisap dan mengemutnya lembut.
Aku masih terngaga dengan perlakukannya. Ada listrik dengan volt rendah seakan menyengat kulitku. Ethan mengeluarkan ibu jariku, lalu tersenyum memamerkan giginya.
"ETHAN!!! KAU JOROK SEKALI AKU BELIM CUCI TANGAN!!!"
Ethan tertawa sangat-sangat lebar, "Jika kau penasaran, inilah alasan kenapa aku suka padamu, Bianca Gilbert.”