Seorang gadis yang melambaikan tangan menarik perhatianku. Lucy Cordero. Aku langsung menghampirinya. Setalah dua hari ia menerorku untuk kencan persahabatan, akhirnya hari ini kami bertemu.
"Bagaimana bulan madumu, sweetheart?"
Aku baru duduk, dan Lucy sudah meledekku. Ingin rasanya aku melemparinya dengan sedotan. Dari awal aku sudah tahu kenapa dia sangat bersemangat ingin bertemu denganku. Tentu saja ia berharap cerita panas antara aku dan Ethan yang tidak akan pernah terjadi.
"Bulan madu bokongmu." Aku memberinya pelototan sambil menyesap minumanku yang sudah ia pesan.
"Noah tidak tau apa-apa tentang ini, kan?"
"Rahasiamu aman padaku, Mrs. Gilbert." Aku bernapas lega. Gadis pirang dihadapanku ini tertawa. "Kau sadar kan, kau gadis paling beruntung di seluruh kampus?"
"Kau sedang bergurau?"
"Ethan is heeeella hot, Bianca! C'mon... Bagaimana bisa kau sama sekali tidak tertarik padanya. DAN DIA ITU AKAN MENJADI CEO! Kau bisa bayangkan seberapa hot Ethan ketika memakai jas nantinya?"
Aku meneguk ludah. Tiba-tiba teringat dengan tubuh atletis Ethan yang basah, "Hm—ya, mungkin sedikit."
"Akuilah, Mrs. Gilbert, suamimu itu memang sangat seksi. Pasti kau sering melihatnya bertelanjang d**a!"
Aku mendengus, "Jangan panggil aku begitu. Kau terdengar seperti Ethan!"
Lucy tertawa, "Ethan memanggilmu Mrs. Gilbert? How cute!"
"f**k you!”
Lucy tertawa lagi. Dia banyak tertawa hari ini, "Kalian pasti sangat bahagia."
"Kau sinting.” Aku memilih menyedot minumanku dari pada mendengar omong kosong lainnya tentang Ethan. “Hey, ngomong-ngomong, bagaimana hubunganmu dengan Noah?"
"Dia akan kesini sebentar lagi."
Aku membelalakan mataku, "Kau gila?! Lalu aku bagaimana?"
"Yeah, kau temani aku." Wajah Lucy sangat santai.
"LUCE!” Aku nyaris memekik karena respon santainya, “KATAMU INI KENCAN PERSAHA—“
"Hi, ladies."
Aku tidak dapat melanjutkan ocehanku saat sebuah suara menghentikanku. Aku menoleh ke sumber suara dan terkejut saat mendapati Noah di sebelahku. Lalu aku tambah kaget ketika melihat siapa yang datang di belakang Noah.
Ethan fuckin Gilbert!
"Kau membawa... Ethan?" Lucy bertanya sambil bergeser, memberi Noah tempat duduk disebelahnya. Aku melakukan hal yang sama untuk Ethan.
"Katanya dia ingin ikut." Noah berucap sembari merangkul Lucy.
"Aku tidak mengacaukan kencan kalian, kan, Luce?" Tanya Ethan.
Lucy menggeleng, "Santai saja. Lagipula aku kasihan kalau Bianca sendirian."
"Kebetulan sekali. Aku dengan senang hati menemani gadis ini." Kata Ethan santai. Aku menoleh padanya, ia memberiku senyum miring. Aku memberinya pelototan.
"Yo, Bianca Smith." Noah menyapa, "Aku baru sadar kita belum pernah benar-benar berbicara."
Aku mengangguk, "Begitulah. Tapi aku banyak mendengar tentangmu dari Lucy, Noah."
"Matt juga sering membicarakanmu saat bersama kami." Katanya
Saat Noah dan Lucy sedang sibuk berbincang, aku bertanya Ethan tanpa suara.
"Kenapa kau disini?"
"Bertemu dengan istriku."
Aku mengacungkan jari tengahku di bawah meja pada Ethan. Ia meraihnya dan menggengam tanganku. Cepat-cepat kuhempas tangannya. Ia terkekeh dan aku mendengus.
"Jadi, B-"
Aku kaget saat Noah tiba-tiba berceletuk, "Iya, ni?"
Ethan mengulum senyum, aku menyikut pinggangnya.
Noah memberi jeda, "Apa kau tau dimana Matt? Dia sudah menghilang selama sepekan."
"Dia tidak memberitahu kalian?"
Noah mengeleng. "Hanya 'aku akan izin kuliah selama sepekan', lalu menghilang. Dia memberitahumu?"
Aku menggangguk, "Matt pergi menjenguk ibunya. Ia akan tinggal beberapa hari disana."
"Matt bilang begitu?"
"Ia sempat ke rumahku di malam ia akan pergi. Tapi aku sedang tidak dirumah. Jadi ia menghubungiku lewat telfon."
Noah tersenyum, tampak terpukau. "Wah! Kau hebat sekali, Bianca Smith. Kau membuat dirimu jadi nomer satu di mata Matthew Anderson."
Aku tersipu malu, "Aku bukan nomer satu, Noah."
"Dia benar." Ketus Ethan.
Bukankah dia lelaki paling menyebalkan? Dasar. Iri hati!
"Gilbert, pikirkan saja, Matt tidak mengabari kita, tapi mengabari Bianca! Berarti dia jauh lebih berharga dimatanya dari pada kita, bukan?" Noah menoleh padaku. "Kau gadis nomer satunya, B."
Perkataan Noah membuat bunga-bunga di hatiku mekar.
"Begitu juga dengannya. Matthew Anderson lelaki nomer satuku."
•••
Ketika malam tiba, kami berpindah ke restoran untuk makan malam. Karena ada dua mobil, kami harus pergi terpisah. Noah bersama Lucy dan Ethan bersama denganku. Selama perjalanan itu, ia diam saja. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Hanya keheningan yang terasa begitu mencengkam. Aku mulai merasa jengah.
"Ethan?" Aku mencoba memulai pembicaraan. Tapi dia hanya berdehem, bahkan tidak melirikku barang sedetik saja. "Kita kemana?"
"Ikuti saja Noah."
Kemudian hening lagi. Benar-benar memuakkan!
"Aku bosan. Bicaralah padaku." Ada sedikit nada merengek dari suaraku.
"Telfon saja, Matt. Sepertinya kau merindukannya."
Ethan berkata terlampau datar. Wajahnya dingin tanpa ekspresi.
"Tapi aku sedang ingin bicara denganmu."
"Tapi aku sedang tidak ingin bicara denganmu."
Aku terdiam.
"Kau kenapa, sih?"
"Lupakan saja."
"Ethan aku serius. Kau kenapa?" Tekanku, tapi Ethan tetap tidak bergeming. "Kau marah padaku?"
Dari samping, wajahnya terlihat begitu keras. Matanya menatap tajam jalanan. Setelah bermenit-menit, bibirnya masih tertutup rapat. Seolah pertanyaanku tadi hanya angin berlalu baginya.
"Ethan?"
"Bisa kau tutup mulut sialanmu? Aku sedang fokus menyetir."
Hatiku mencelos.
Ethan mungkin b******k, tapi dia tidak pernah berbicara seperti itu padaku. Aku tidak bertanya lagi.
•••
Kami memilih makan malam di sebuah restoran Jepang. Ethan yang duduk disebelahku dari tadi hanya diam saja. Aku tidak tau apa yang merasukinya. Tapi apapun itu, kutebak sesuatu yang tidak masuk akal.
"B, mau memenemaniku ke toilet?" Lucy bertanya. Aku mengangguk.
Saat aku bangkit, Ethan sama sekali tidak melihatku. Dan itu sedikit menganggu. Setiba di toilet, aku berjalan menuju wastafel, dan Lucy masuk ke salah satu bilik. Setelah beberapa saat, Lucy keluar dan berdiri di sebelahku.
"Lucy, kau tau, Ethan bertingkah aneh. Dia mengabaikanku." Kataku pada bayangan Lucy di cermin. Cewek itu tidak tampak terkejut sedikitpun.
"I see."
"Padahal hari ini aku sangat baik padanya. Aku membuatkannya sarapan. Menyuapnya saat minum s**u. Dan..." Aku baru akan menceritakan tentang morning kiss yang dicuri Ethan, tapi cepat-cepat kutelan lagi, "The point is, aku tidak melakukan kesalah apa pun!"
Lucy melihatku, lalu tertawa, "Astaga, honey, kau sangat polos."
Aku mengernyit. "Maksudmu?"
Lucy tersenyum misterius lalu mulai berjalan keluar dari toilet. Aku segera mengikutinya, menyamakan langkah dengannya.
"Lucy, apa maksudmu dengan sangat polos?"
Lucy berhenti, menghadapku, "Kau benar-benar tidak menyadarinya?"
Aku menggeleng. Beribu kali aku berpikirpun, aku tidak tau apa-apa dengan sifat aneh Ethan yang tiba-tiba.
"Kau ini memang tidak tau, atau hanya berpura-pura, sih?" Katanya gemas, "Ethan itu cemburu, Bianca."
Aku terdiam sesaat, meresapi ucapannya.
Cemburu?
Siapa?
Ethan?
Like, Ethan Gilbert?
Detik itu juga aku tertawa sangat keras. "Aku tidak percaya kau bilang Ethan cemburu. Kami itu dijodohkan. Dan asal kau tau, Ethan memang punya otot dan bibir yang hebat, tapi dia tidak punya hati, Luce. Aku mengenal Ethan."
Lucy geleng-geleng, "Berarti kau belum mengenalnya lebih jauh."
"Whatever, dude. Tapi cowok seperti Ethan, tidak cemburu. Dia bahkan tidak jatuh cinta."
"Jangan salah paham, tapi kau tau aku penggila Ethan Gilbert, right? Dari detik dia bergabung bersama kita, aku memperhatikannya terus!" Mataku melotot mendengar hal itu. "Maksudku, aku mencintai Noah, tentu saja. Tapi dia Ethan Gilbert, kau tau? Cowok paling dipuja di kota-but that's not the point because the point is, Ethan berubah dingin sejak kau bilang Matthew Anderson cowok nomer satu untukmu." Lalu Lucy menepuk tangannya sekali yang keras, "Boom! Dia cemburu!"
Aku masih berusaha mencerna, "Memangnya kenapa kalau Matthew Anderson cowok nomer satuku? Ethan tau kalau aku dan Matt ada sesuatu, dan dia juga tau pernikahan kami hanya sebatas perjanjian bisnis!”
Lucy menatapku seperti menatap orang paling bodoh di dunia, "Itu artinya dia mulai menyukaimu, Bianca fuckin Gilbert-dimana sih kau meninggalkan otakmu?!"
Aku menggeleng, dan tertawa, "Tidak mungkin... Ethan bukan orang seperi itu. Aku tahu. Dia hanya memperdulikan tentang alcohol dan have sex."
Tapi di dalam dadaku, jantungku berdetak sangat cepat.
•••
Ethan sungguh tidak bicara sepatah kata pun padaku. Bahkan ia tidak melakukan kebiasan bodohnya, seperti menggodaku dan mengusik hariku, dan membuatku kesal. Kurasa dia memang benar-benar marah.
Bahkan saat perjalan pulang ke aparteman. Ethan terus bungkam dan tidak ada tanda-tanda akan berbiara. Mulutnya tertutup rapat membentuk garis lurus dan wajahnya terlihat keras.
Tiba-tiba ucapan Lucy di toilet terngiang dibenakku. Apa mungkin dia benar...
"Ethan?"
"Hm."
"Ethan."
"Iya."
"Ethan."
"Apa?"
"Ethan."
Pria itu menoleh tajam, "Panggil sekali lagi, kuturunkan kau disini."
Aku cemberut, "Kau marah padaku, ya?"
Ethan diam.
"Kau marah, kan?"
Tidak ada satu katapun.
"Kau pasti marah.
Dia diam sedetik, "Hmm."
Aku menoleh cepat padanya, "Benarkah? Kenapa?"
"Pikir saja sendiri." Katanya dingin. Walau begitu, aku bersyukur dia menjawab.
Aku memutar otakku berusaha mengingat apa saja yang telah kulakukan padanya hari ini.
"Karena aku memaksamu bangun?"
Ethan menoleh dengan ekspresi seakan bertanya kau-gila?
Aku berpikir lagi, "Karena aku memaksamu minum susuku?"
Ethan menoleh lagi, "Idiot."
Aku mecemberut, "Lalu kenapa?"
Dia diam lagi.
"Ethan!"
Tiba-tiba pria itu membanting stir ke kiri, menepi ke pinggir. Sangat mendadak hingga membuatku terkejut. Jantungku berdebar cepat melihat ekspresi dinginnya. Panik melanda, takut-takut Ethan akan menurunkanku disini.
Dia menoleh dengan tatapan tajam. Aku sudah bersiap-siap dengan amukannya.
"Kenapa Matt yang menjadi cowok nomer satumu?"
Aku terdiam.
What...
"Kenapa harus dia? Kenapa bukan aku?"
Darahku berdesir begitu cepat.
"Dia cuma temanmu. Dan aku suamimu. Kenapa dia yang jadi nomer satu dan bukan aku?"
Napas Ethan memburu. Ia memberi jeda, untukku bereaksi. Tapi kata-kataku tercekat di tenggorokan.
"Ethan..."
Suaranya melembut, "Tidak bisakah aku yang menjadi cowok nomer satumu?"
Aku terdiam sangat lama. Hanya memandanginya wajahnya yang berubah merah, karena emosi. Pertanyaan Ethan terlalu tidak nyata.
Ethan memalingkan wajahnya ke jalan, "Kau istriku, Bianca."
Ethan tidak pernah menggilku Bianca kecuali saat ia sedang sangat serius.
Aku berusaha bersuara senormal mungkin. "Pernikahan kita hanya perjodohan, Ethan. Ingat?"
"Who cares? Yang kutaku, kau istriku." Jeda sesaat, "Kau milikku.
Dadaku terasa sesak karena sesuatu berdebar begitu cepat. Harusnya dia sekarang tersenyum bodoh seperti biasa. Bukan memasang ekspresi seakan mengatakan kalau dia sedang serius.
"Hanya milikku."
•••
Setelah mengantarku sampai ke depan gedung, mobil Ethan melaju dengan cepat.Dia tidak akan pulang malam ini.
Aku berusaha meyakinkan diriku kalau aku baik-baik saja, bahwa hidup tanpanya adalah apa yang kuinginkan.Tapi, bukan seperti itu kenyataannya. Berjuta kalipun aku menyangkal, tetap saja aku menemukan diriku gelisah, khawatir, dan yang paling parah: rindu.
Keesokan paginya, aku terbangun dengan Ethan disampingku. Tidak ada yang membuatku lebih bahagia dari saat ini. Aku menghela napas, lega. Kukira pagi ini aku tidak bisa melihatnya lagi.
Memperhatikan sosoknya yang tertidur pulas, aku tersenyum kecil. Sampai kemudian aku menemukan bercak kemerahan di leher Ethan yang mengalihkan perhatianku. Aku mungkin kaku dalam hal hubungan badan, tapi aku cukup pintar untuk mengetahui kalau itu adalah kissmark. Lucy pernah memberitahukannya padaku.
Aku berusaha berpikir positif, kalau itu mungkin tidak seperti yang kubayangkan. Tapi tidak berhasil. Pikiranku berubah kacau. Aku mendekat padanya. Kusibak perlahan selimut yang menutupin Ethan hingga d**a.
Geez!
Aku menelan ludah, pahit.
Sepanjang leher dan bahunya penuh dengan bercak-bercak merah keunguan. Ada hantaman rasa sakit di dadaku, memikirkan apa yang mungkin telah diperbuat Ethan semalam.
Ia bergerak dalam tidurnya. Sesaat kemudian, matanya terbuka.
"Ethan..."
Masih mencoba menyesuaikan penglihatannya, Ethan mengubah posisi menjadi duduk bersandar. Berpindah duduk di hadapannya, aku bertanya pelan, "Kau pulang terlambat. Kau dari mana saja?"
Ethan menatapku sejenak dengan wajah dinginnya. Saat ia mencondongkan wajahnya padaku, aku cepat-cepat menutup mata. Aku sunggu mengira dia akan menciumku, tapi semua fantasi itu rusak begitu saja.
"Kenapa kau peduli?"
Terhenyak. Aku membuka mata perlahan. Wajah dingin Ethan berada tepat di depanku, sangat tidak bersahabat. Aku tersenyum kecut.
"Aku hanya bertanya..."
"Kau tidak punya hak untuk menanyaiku." Ia menjauhkan wajahnya dariku.
Ragu, aku menjawab. "Katamu, aku istrimu."
"Katamu, hanya perjodohan." Ethan bangkit dari kasur dengan tawanya yang terdengar meremehkan, "Kau mengingatkanku tentang itu semalam. Bagaimana kau bisa lupa?"
Terdengar menyakitkan, karena Ethan sendiri yang bilang. "Kau masih marah?"
Ethan berjalan menuju kamar mandi. Sebelum menutupnya, ia berkata. "Lupakan saja, Bianca. Memangnya siapa aku hingga kau begitu peduli. Lanjutkanlah hidupmu, bersama cowok nomer satumu."