Happy reading
****
Pada saat kehilangan tentu saja ada rasa sedih yang mendalam. Tapi ia tidak ingin larut dalam kesedihan itu terlalu lama. Ia tahu bahwa tidak ada berduka tanpa rasa sedih. Ia memandang penampilannya di cermin. Kemeja berwarna putih dan rok menjadi pilihannya kali ini. Ini sudah seminggu ia tidak masuk kerja, karena ia mengambil cuti beberapa hari.
Suasana rumah terasa sepi, keadaan ayah sudah baik-baik saja, beliau terlihat tegar atas kepergian bunda. Sekarang beliau sedang belibur ke Padang ke tempat keluarganya, sedangkan dirinya kembali bekerja seperti biasa. Ia memandang Sinem sedang asyik di dapur, wanita itu masih betah di sini bersamanya. Ia tidak pernah menganggap Sinem sebagai asisten rumah tangga di sini, justru menganggapnya sebagai saudara.
Sinem menyadari kehadiran Mince, ia bersyukur bahwa nona cantik itu tidak berlarut-larut dalam kesedihan,
"Eh non, sudah mau berangkat kerja?,"
Mince berusaha tersenyum dan mangangguk, "Iya bi," ia menatap sepiring nasi goreng di atas meja dan telur mata sapi.
Mince lalu duduk menyantap hidangan yang telah tersaji, ia tidak ingin Sinem kecewa karena ia sudah bersusah payah membuatkan sarapan. Ia makan dalam diam, begitu juga Sinem duduk di sampingnya.
"Bi nanti sore kita belanja ya, kayaknya isi kulkas sudah pada habis," gumam Mince, membuka topik pembicaraan.
"Iya non,"
Mince melirik Sinem yang masih makan dalam diam, "Bibi jangan tinggalin aku sendiri ya,"
Sinem menoleh menatap Mince, dan mengangguk. Tidak ada sedikitpun untuk berniat untuk meninggalkan wanita cantik itu sendiri. Terlebih wanita ini begitu baik kepadanya, rumah ini memang tidak terlalu besar, tapi entahlah ia begiu betah bersamanya.
"Iya non,"
Mince kembali melanjutkan makannya, ia perlu tenaga untuk menjalani hari dan bertahan hidup. Ia tidak ingin terjebak dalam rasa kehilangan tidak berdaya, mengasihani diri sendiri dan tidak mampu melangkah ke depan, semua itu tidak berarti apa-apa.
"Terima kasih ya bi,"
***
Mince menatap ruang kerja, yang masih tetap sama sejak tinggalkan. Ia meletakan tas di atas meja. Ia menghidupkan power pada CPU, ia memandang pak Hilman yang berada di depan pintu. Ia berusaha tersenyum, menyambut kehadiran beliau.
"Pagi pak,"
"Pagi juga, gimana keadaan kamu?," tanya pak Hilman, ia duduk di meja kerjanya.
"Baik pak," Mince membuka laci, ia mulai mengeluarkan form-form yang sudah mulai menumpuk.
Pak Hilman melirik jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 08.11 menit. "Saya morning briefing dulu ya, kamu kerja yang baik,"
"Iya pak,"
"Oiya, kemarin pak Arnold, mengucapkan turut berduka atas kepergian ibu kamu,"
Mince mengerutkan dahi mendengar nama Arnold, nama Arnold memang tidak asing di telinganya, mengingatkan pada mantannya dulu. Nama Arnold di dunia ini begitu banyak, sangat tidak mungkin Arnold si chef yang pernah mengisi hatinya.
"Siapa pak Arnold, pak?," tanya Mince, karena menghilangkan rasa penasarannya.
"GM baru kita,"
"Owh, iya pak, terima kasih,"
Mince memandang tubuh pak Hilman hilang di balik pintu. Ia kembali menekuri pekerjaanya. Ia harus melewati fase kesedihan ini dengan rutinitas sehari-hari. Ia mendengar suara interkom berbunyi, ia mengangkat panggilan itu,
"Iya halo,"
"Katanya lo udah masuk !,"
Mince tersenyum mendengar suara cempreng temannya di balik speaker ponselnya.
"Dari mana lo tau?,"
"Dari pak Igar,"
Mince tersenyum membenarkan, ia kemarin sudah memberitahu Igar bahwa dirinya hari ini sudah bisa masuk kerja, "Iya nih, gue baru masuk,"
"Oiya, lo udah liat GM baru ?,"
"Belom sih, emang kenapa?,"
"Masih muda, keren gitu,"
"Kirain seumuran pak Adi,"
"Ya enggak lah, ini masih muda, nanti deh lo liat sendiri. Kerjaan lo banyak enggak?," tanya Dina.
"Lumayan, kenapa?,"
"Temenin gue ke accounting dong, gue mau ngasih laporan,"
"Habis jam makan siang aja deh,"
"Ih, gue mau sekarang, jam makan siang masih lama neng,"
"Tapi ...,"
"Hayuukk, bentar aja !, gue enggak enak kalau sendirian di sana. Sekarang gue ke office lo ya,"
Mince menarik nafas, ia tidak bisa menolak jika seperti ini, "Hemmm, Oke,"
Beberapa menit kemudian, ia memandang ke arah pintu, menatap Dina yang berada di dekat daun pintu dengan berkas ditangannya. Ia tersenyum dan berjalan mendekati Dina. Sebenarnya ia enggan berkeliaran di hotel dalam keadaan berduka seperti ini. Mince dan Dina melangkah menuju ruang accounting yan berada di lantai dasar dekat lobby.
Mince menghentikan langkahnya, seketika jantungnya maraton, perasaan tidak nyaman menyelimuti hati. Dia masih tetap sama seperti yang dulu. Terlihat berwibawa dan berkharisma, setelan jas hitam yang dikenakannya. Seketika iris mata elang itu membalas tatapannya. Dia adalah orang yang paling membekas di ingatannya bahkan sulit dihapuskan.
Sirkuit otak seakan kembali menyala dan membara seperti kembang api. Mince menelan ludah, bingung berinteraksi dan menafsirkan senyum tipis itu. Dia tidak sendiri di sana, melainkan bersama executiv lainnya. Mereka baru saja keluar dari ruang meeting, ia mengalihkan pandangannya ke arah pak Hilman yang berada di sampingnya.
Ia memutar memori nya kembali, ternyata GM baru yang bernama Arnold itu adalah Arnold yang pernah mengisi hatinya. Oh Tuhan, ia tidak tahu akan berbuat apa ketika dia berada tepat dia. Laki-laki itu sama sekali tidak berubah ketika pertama kali bertemu, hanya saja rambut yang dulu gondrong kini di pangkas. Dia terlihat lebih rapi dari yang dulu.
"Ini admin saya, yang saya ceritakan kemarin sama bapak. Namanya Minara Cendana,"
"Minara ini GM baru kita di hotel," ucap pak Hilman.
Arnold tersenyum simpul memperhatikan Minara Cendana. Wanita itu tampak cantik dengan balutan baju kerja yang dikenakannya. Dia terlihat seperti wanita karir kebanyakan. Namun di sisi lain ada terbesit rindu menyelimuti hati karena ada sedikit rasa sayang ingin kembali.
"Hai, Minara senang berkenalan dengan anda," Arnold mengulurkan tangan ke arah Mince.
Mince menatap uluran tangan kokoh itu mengarah ke arah dirinya. Ia menarik nafas, mengalihkan pandangannya ke arah iris mata elang itu dengan berani. Lihatlah dia dalam keadaan baik-baik saja. Di lihat dari tatapan itu, dia seakan menyombongkan diri atas pencapaian yang telah ia lewati selama setahun. Ia akui dia begitu hebat, bisa mengisi jabatan orang nomor satu di hotel ini. Ia tidak habis pikir, bagaimana dia mendapatkannya.
Mince membalas uluran tangan itu, dan ia dapat merasakan permukaan tangan kasar itu menggenggamnya erat. Ini adalah hal yang paling kursial yang pernah ia hadapi selama ia bekerja di hotel. Setelah ini, mungkin ia akan resign mencari kerjaan baru. Ia tidak ingin Arnold menghantui mimpi indahnya yang belum kelar. Sudah satu tahun berlalu, tapi perasaan di dalam hati ini masih tetap sama.
"Saya juga pak," ucap Mince, melirik Dina yang hanya diam memandang Arnold dengan tatapan memuja. Ia melepaskan uluran tangan itu, berusaha setenang mungkin.
"Saya turut berduka cita atas kepergian ibu kamu,"
"Terima kasih pak,"
"Semoga kamu sabar dan kuat, kerjalah yang baik,"
"Iya,"
Arnold lalu melangkah meninggalkan Mince begitu saja. Masalahnya ia di sini tidak sendiri, banyak beberapa pasang mata memperhatikannya. Ia tidak ingin yang lain bertanya-tanya jika ia tiba-tiba memeluk Mince dan memberinya dukungan, atas kepergian ibunya. Ia tidak perlu tergesa-gesa untuk mendapatkan hati itu kembali. Ia yakin dia masih wanita yang sama, dengan perasaan yang sama.
Pertemuan ini belum berakhir begitu saja, entah karena masih cinta atau hal yang masih mengganjal di hati. Ia masih menyimpan kenangan tentang ia dan dia. Sedikit banyak apresiasi hubungan yang dapat dikenang, terlebih berada di satu atap yang sama. Semoga ini menjadi bertanda baik atas hubungannya. Harapan tentu saja wanita itu membuka pintu hati untuk dirinya.
***