Bab 3

1278 Kata
Happy reading **** Susuatu yang berharga baru terasa bernilai, jika sudah tiada. Seperti kehilangan orang tua, ini lah ia baru sadar bahwa ia terlahir dan dibesarkan oleh orang tua. Orang tua memiliki peranan yang tidak dapat tergantikan dalam hidup ini. Rasa sedih luar biasa, tidak ada yang menggantikan kehangatan seorang ibu. Mengenai rasa cinta anak kepada orang tua, yang mewakili setiap anak di dunia. Ia menyesal karena dulu pernah melawan ibunya, karena hal-hal sepele dalam urusan makanan, pakaian yang terlalu sexy. Sering sekali ia berdebat masalah-masalah sepele seperti itu. Oh Tuhan, ia sungguh menyayangi bunda lebih dari apapun.  Ia hanya bisa terisak melihat dokter menutup kain pada tubuh beliau. Tanpa bunda ia tidak bisa menghirup udara kehidupan, dan berteman bersama dunia. Ia teringat ketika saat ia sakit merasakan kasih sayang bunda begitu besar, merawat dan menjaganya hingga sembuh. Benar kata orang bahwa kasih ibu itu sepanjang masa, setiap kali ia ada masalah bunda selalu ada dan memberi nasehat untuk dirinya. Bunda tidak pernah meninggalkan dirinya dalam keadaan terpuruk, selalu bersedia memberi dukungan. Beliau juga selalu menjadi penguat bagi dirinya. Namun bunda kini telah pergi, menyisakan rindu yang tidak tertahankan. Senyum bunda selalu ada di saat siang dan malam, tak sedikitpun menghentikan langkahnya untuk memberi harapan baru. Ia meminta maaf, karena selalu membuat bunda sedih dan khawatir. Saat ini ia menyesal karena kurang membahagiakan bunda. Satu hal yang harus ia ketahui pada dirinya bahwa orang pertama yang ia cintai adalah bunda. Beliau lah orang pertama yang berkorban banyak untuknya. Beliau adalah satu-satunya orang yang tidak pernah ada tandingan rasa sayang untuknya.  Ia masih ingat ketika kecil dulu bunda selalu membela di hadapan teman-temannya. Kini bunda telah pergi, raganya telah terkubur di dalam tanah merah yang basah. Beliau adalah harta terindah di dunia ini. Air mata yang mengalir tidak cukup rela melepas kepergian bunda. Ia tahu bahwa kematian adalah suatu hal yang paling menyakitkan di dunia ini. Tentu saja kepedihan hebat karena kehilangan orang tua. Ia manatap satu persatu pada tetangga, teman ayah dan teman-teman kerjanya datang, turut berduka cita atas kepedihan yang menimpanya. Ia memandang ayah tak kalah pedihnya, beliau hanya tidak menangis tersedu-sedu seperti dirinya. Ia memandang Igar yang berada disampingnya. Laki-laki itu sudah menemaninya dari kemarin, bahkan ia menangis dipelukkan tubuh bidang itu. Suasa rumah tampak sepi tanpa bunda, ia melihat Sinem sedang duduk di sofa. Ia tahu Sinem juga tak kalah berdukanya, karena dia dan bunda begitu akrab, sering berbelanja bersama, menonton, bahkan masak bersama. Wanita itulah yang menemani bunda kemanapun berada. Ia memandang foto bunda, ayah dan dirinya di dinding. Foto itu diambil ketika ia wisuda, senyum bahagia bunda terpancar di sana. Oh Tuhan, ia tidak menyangka bahwa bunda telah meninggalkannya secepat ini. Ia menatap Igar, menyerahkan tisu untuknya. Ia mengambil tisu itu dan mengusap air mata yang kesekian kalinya jatuh. "Minara ...," "Hemmm," "Relakanlah yang pantas dilepas, semua makhluk yang bernyawa pastikan akan kembali kepadanya," gumam Igar, ia berkata seperti ini untuk menguatkan Mince. "Do'a-do'a yang kamu panjatkan kepada semesta akan sampai kepadanya. Beliau tersenyum kepadamu di surga, karena bangga memiliki anak sepertimu," "Setiap kepergian, kesedihan yang ditinggal, pasti menyisakan luka yang menggores hati. Hidup kita memang tidak sama, ada yang datang lalu pergi. Selanjutnya lanjutkan hari-harimu, lalu langkahkan kaki menjalani hidup," "Iya," "Di sini ada aku, ayahmu, dan Sinem yang akan menemanimu," "Percayalah hari-harimu akan lebih indah dari pelangi," "Semesta akan selalu bersamamu," Mince mengangguk membenarkan ucapan Igar, ia menyandarkan punggungnya. Kepalanya berdenyut hebat karena dari kemarin ia tidak berhenti menangis.  "Iya," Igar memberanikan diri menyentuh wajah Mince, menatap iris mata bening itu, "Jangan menangis lagi," "Iya, makasih ya, Gar," "Iya," Igar melirik jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 12.45 menit. Ia tidak bisa meninggalkan hotel terlalu lama, terlebih ada GM baru. Ia mengelus puncak kepala Mince, memberi ketenangan pada wanitanya. "Aku harus kembali ke hotel, nanti malam aku ke sini lagi," "Aku tahu kamu tegar, dan kuat," "Iya," Igar menegakkan punggungnya, menatap Mince dengan perasaan cemas. Ia berharap wanitanya baik-baik saja, setelah kepergian bundanya. Ah, ia semakin tidak tega melihat wanita itu terpuruk seperti ini. Ia berjanji akan membuat dia bahagia, agar melihat senyum cantiknya lagi. "Tidurlah, agar kamu lebih tenang," Mince mengangguk, ia tidak tahu akan berkata apa lagi selain, "Iya," "Aku sayang kamu,"  Igar melangkahkan kakinya menuju pintu, ia menatap sekali lagi kamar yang di d******i warna kuning itu. Ia menoleh, memandang Mince masih di posisi yang sama menatapnya. Iris mata itu seolah mengatakan dia baik-baik saja. Ia lalu menutup pintu kamar meninggalkan Mince begitu saja. *** "Maaf saya baru datang pak, tadi saya ke rumah teman. Orang tuanya meninggal," ucap Igar memandang laki-laki berjas hitam itu. Ia tahu bahwa beliau mencarinya, karena ada beberapa panggilan masuk dari nomor kantor. "Iya tidak apa-apa, tapi dalam keadaan ada event seperti ini kamu jangan meninggalkan area," Ia menatap para tamu undangan sudah memadati ballroom. Ia tidak suka karena executive housekeeper meninggalkan area dalam keadaan ramai seperti ini, karena seluruh area hotel adalah tanggung jawabnya. "Iya pak," "Orang tua siapa yang meninggal?," tanyanya penasaran. "Teman saya, dia admin HRD di sini," "Ternyata karyawan di sini, iya tidak apa-apa, lanjutkan lagi pekerjaan kamu," Arnold mencoba memahami, ia memandang sekali lagi pria berkaca mata itu. "Iya pak," Igar lalu masuj ke dalam ballroom memastikan area aman dan terkendali. Menjadi GM memang tidaklah mudah, ia dituntut untuk bekerja cepat, efisien dan professional. Ia harus optimis menetapkan target revenue bulanan ataupun tahunan. Terget marketing dari jangka pendek dan panjang. Ia juga harus bisa memutuskan kerja sama dengan pihak terkait yang demi menguntungkan demi mengurangi kerugian perusahaan. Ia akan menolak setiap masukan dari berbagai head departemen yang tidak sesuai kebijakan di perhotelan. Ia mengesahkan semua keputusan menyangkut tentang kepentingan perhotelan. Ia dituntut mengontrol operational harian perusahaan, agar terciptanya iklim kerja harmonis. Bekerja sesuai dengan visi dan misi demi mencapai tujuan tertentu. Tentu saja ia akan bekerja dengan loyalitas tinggi dan penuh skill professionalisme yang relevan. Arnold menarik nafas, ia melanjutkan langkahnya menuju lift diikuti oleh sekeretarinya yang bernama Keysa. Wanita cantik dengan tubuh proporsional, tampak cerdas dengan stelan jas hitam yang di kenakannya. "Siapa admin HRD yang orang tuanya meninggal?," tanya Arnold penasaran, karena itu adalah salah satu karyawan yang tidak ia tahu namanya. "Minara, pak," Arnold lalu menoleh menatap Keysa setelah mendengar kata Minara. Sudah lama sekali ia tidak mendengar nama Minara. Wanita yang dulu pernah mengisi hatinya, sejujurnya dia adalah alasan dirinya pindah ke Jakarta demi menata hati. Mungkin di dunia ini banyak sekali wanita yang bernama Minara. Tapi tidak menutup kemungkinan Minara itulah yang dimaksud. "Kalau boleh tau, siapa nama kepanjangannya?," Arnold melangkah keluar dari elevator. Entahlah hatinya seketika berdesir mendengar kata Minara, semoga dialah wanita yang ingin ia labuhkan hatinya. Ini merupakan satu tahun mereka tidak bertemu. Terkahir mereka berpisah di cafe aroma, tanpa kata dan membiarkan wanitanya pergi begitu saja. Jika ia ingin egois, ia bisa saja mencegahnya pergi, lalu mempercayakannya bahwa ia benar-benar tulus mencintainya. Tapi apalah daya ia tidak cukup nyali melakukannya, karena ia membenarkan statusnya yang dulu. "Saya tidak tahu pak nama kepanjangannya, tapi semua karyawan memanggilnya Mince," Arnold menghentikan langkahnya, terdiam sesaat. Pikiran seketika berkecamuk, antara percaya atau tidak. Hingga saat ini tidak ada satu wanitapun yang menggantikan posisi dia di hatinya. Mince nama yang unik selalu terngiang-ngiang dikepalanya hingga saat ini. "Kenapa pak?," tanya Keysa. Arnold menyadarkan lamunannya, ia berusaha tenang. Inginnya sih ia berlari meninggalkan area hotel ini, lalu berlalu ke rumah Mince. Ingin memastikan wanita itu baik-baik saja. Ia tahu bagaimana terpukulnya kehilangan salah satu orang tua. "Ah tidak apa-apa saya hanya ingin tahu," Arnold lalu meneruskan langkahnya, dengan pikiran yang berkecamuk. Ada sebuah harapan menuju temu, yang kini menyisakan kenangan. Ia berharap ada sebuah harapan baru di dalam jarak, yakni sebuah pertemuan dan kenyataan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN