Bab 5

1225 Kata
Happy reading *** Well, sekarang ia bertemu sang mantan dengan profesi barunya. Ia sebenarnya bingung antara percaya atau tidak. Seorang chef kini beralih menjadi General manage. Ah, ia semakin sulit konsentrasi jika Arnold masih berkeliaran di dekatnya. Dia hilang setahun lamanya di antah-berantah saja ia sulit melupakan dia. Apalagi yang dekat seperti ini. Mencari pekerjaan baru merupakan solusi yang tepat, karena berada di lingkungan kerja bersama sang mantan, pastilah akan membuat kinerja dan produktifitas menurun. Ini merupakan masalah pengabaian, yang akan menjadi masalah besar mengancam hati dan jiwa. Sebagai keryawan, ia tentu saja kurang nyaman dengan lingkungan kerja. Ada yang membuatnya tidak berdaya di kantor, karena mata elang itu seakan memperhatikannya. Entahlah pertemuan tadi jantungnya berdebar-debar tidak karuan hingga saat, bahkan sulit dikendalikan. Mince menggigit bibir bawah, ia berharap tidak akan bertatap muka kepada laki-laki itu lagi. Mince memandang ke arah layar ponsel ia membuka aplikasi linkedln, ia mulai berpikir keras, memilih antara menjauh dan resign? Ah, ini menjadi dilema karir dirinya yang baru dimulai. Membuat kepalanya pusing tujuh keliling. Ia melihat postingan lowongan pekerjaan pada akunnya. We're hiring HR Coordinator Placement in Jakarta Requirements : Min Diploma Degree Min 3 years of experience in the same position (At least 1 year of experience in animation) Please register on.arch.software/jobs Or send your application to anas@archipelagointernational.com Sepertinya lowongan pekerjaan diatas, cocok untuk dirinya. Ia menscreen shoot pada gambar, agar sewaktu-waktu jika ingin melamar pekerjaan tersebut. Ia melirik jam melingkar ditangannya menunjukkan pukul 17.12 menit. Sudah seharusnya ia pulang, ia melirik ruangan pak Hilman masih tertutup rapat. Tadi beliau mengatakan bahwa ada meeting dengan GM yang baru. Ia mematikan power komputer, ia melangkahkan kaki keluar. Mince menghentikan langkahnya, memandang lurus kedepan. Ia menatap Igar yang berjalan mendekat. Lihatlah laki-laki itu tampan seperti biasa, senyumnya begitu manis. "Hai, udah mau pulang?," Mince tersenyum simpul, "Iya, ini mau pulang," "Enggak ngopi dulu?," "Hemm," "Ngopi dulu yuk di resto, bentar aja, aku mau ngobrol-ngobrol sama kamu," Sebenarnya ia ingin menolak permintaan Igar, tapi berhubung Igar sudah banyak membantunya, jadi ia tidak enak menolak permintaan itu. Jika hanya sekedar ngopi di resto sebentar, iya tidak masalah. "Iya," Igar tersenyum, ia meneruskan langkahnya di ikuti Mince di sampingnya. Wanita itu masih tetap sama, dia terlihat sangat menarik. Sulit sekali menaklukan hati seorang Mince, ia berharap tidak akan gagal kedua kalinya. "Ayah kamu pulang ke Padang?," "Iya, pergi ke rumah keluarga, kalau di rumah kebawaan sedih mulu, ingat bunda," "Kamu enggak ikut?," "Cuti aku habis," "Pakek cuti aku aja, masih full," Mince lalu tertawa, ia melirik Igar tersenyum kepadanya, "Kalau bisa aku pakek, enggak nolak deh," Lihatlah senyum dan tawa wanita cantik itu begitu menarik, tidak ada lagi terlihat wajah murung, cemas dan sedih yang di perlihatkan seperti kemarin. "Senyum kamu tuh manis banget ya," "Gula kali, manis," Mince terkekeh. "Lebih manis dari gula," "Jangan dilihatin, nanti kamu diabetes," Tawa Igar lalu pecah, pada dasarnya ia menginginkan bahasa cinta untuk ditunjukkan. Ia ingin menghabiskan waktu berdua, dan menjadi pendengar yang baik untuk wanitanya. Ia akan berpikir positf, semoga saja Mince memberi sepotong hati untuk dirinya. "Kalau diabetes nanti aku ubah pola makan, agar tetap hidup sehat," "Uh dasar kamu !," Mince mengedarkan pandangannya kesegala penjuru area resto yang terlihat sepi. Mereka memilih duduk di salah sudut ruangan. Ia menatap Igar memesan coffee kepada salah satu bartender. Sejujurnya ia jarang sekali ke restoran, karena ini bukanlah area kerjanya. Ia menelan ludah, ketika menatap sepasang mata elang yang berada di ujung sana. Jantungnya kali ini tidak bisa di ajak kompromi, ia bingung akan berbuat apa selain duduk menenangkan hati. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lampu gantung. Ia berharap laki-laki itu tidak berjalan mendekat. Sialnya dugaan itu salah, dia malah datang menghampiri. "Pak Igar," Mince merasa bersyukur bahwa dia menyebut nama Igar bukan dirinya. Ia memilih diam berusaha setenang mungkin, ia melirik Igar mendekati Arnold. "Iya pak," Igar tersenyum memandang Arnold. "Bagaimana persiapan wedding besok ?," Arnold melirik Mince, yang tidak jauh darinya. Wanita itu hanya diam memandang lampu tidak berguna itu. "Persiapan sudah beres pak, nanti akan saya cek lagi kegiatan di ballroom," "Oke, bagus," Arnold menarik nafas ia berjalan mendekati wanita duduk sambil menunggu secangkir kopi. Mince menyadari kehadirannya, iris mata bening itu lah yang ia rindukan. "Hai, Minara," Mince tahu betul siapa pemilik suara berat yang menyebut namanya itu. Ia tidak mungkin mengabaikan sapaan seorang GM di hotel, terlebih ada Igar disini. Ia menarik nafas, menoleh menatap laki-laki itu tepat berada di sampingnya. Ia menelan ludah menatap iris mata elang yang selalu menarik perhatiannya. Ia sungguh malas sekali berhubungan dengan laki-laki ini lagi. Ia hanya takut terpikat kedua kalinya. "Pak Arnold," Arnold menyungging senyum, terlihat jelas wajah cemas di perlihatkan pada wajah cantik itu. "Bisa ngobrol sebentar," hanya itu lah yang terlintas dipikirannya. Mince mengerutkan dahi, ia melirik Igar yang masih memperhatikannya. Arnold menatap Igar, mungkin laki-laki itu akan bertanya-tanya kenapa ia ingin berbicara empat mata kepada wanita ini, "Hanya urusan pekerjaan," Arnold mencoba menjelaskan. Mince mengusap tengkuknya yang tidak gatal. Sesungguhnya ia tidak suka berhubungan dengan laki-laki ini lagi. Tapi jika seperti ini, ia juga tidak bisa menolak. Dia tahu dimana posisinya saat ini, oh Tuhan kenapa cepat sekali dipertemukan dengan si b******k ini. "Ikut saya," Ia mengikuti langkah Arnold, ia tidak tahu apa yang akan di bicarakan Arnold kepadanya. Toh, mereka tidak memiliki hubungan apa-apa lagi, selain bekerja di tempat yang sama. Arnold menghentikan langkahnya tepat di area yang tidak terlalu ramai. Ia hanya tidak ingin Igar mendengar percakapannya, "Ada apa ?," ucap Mince, sepertinya ia tidak perlu berbasa-basi lagi. "Bagaimana keadaan kamu?," "Baik," "Sejak kapan kamu bekerja di sini?," "Satu tahun yang lalu," "Dia pacar kamu?," "Siapa?," "Igar?," "Iya," "Bukan, hanya teman," Arnold merasa lega ternyata Igar bukanlah kekasih Mince, ia memicingkan mata menatap Igar yang masih memperhatikannya. Sesungguhnya ia tidak suka Mince memiliki hubungan dengan Igar, apalagi dengan laki-laki lainnya di luar sana. Oke, ini merupakan tindakan yang tidak masuk akal. Untuk apa ia melarang-larang, Mince dekat dengan pria di luar sana. Terlebih ia tidak memiliki hubungan apa-apa. Hanya sebatas mantan kekasih, bahkan mereka belum sempat berkencan. "Kamu senang bekerja di sini?," "Senang atau tidak senang, tetap aku jalani demi bertahan hidup," "Bagaimana keadaan ayah kamu?," "Baik," "Aku ingin bertemu dengan ayah mu?," "Untuk apa kamu mau bertemu dengan ayah?," Arnold menarik nafas, ia menatap intes iris mata itu, saling terdiam satu sama lain. "Aku mau mengatakan kepada beliau, bahwa hingga saat ini aku masih belum melupakan putri kecilnya," Bibir Mince nyaris menganga, ternyata Arnold masih tidak berubah. Dia sama seperti yang dulu, bermulut manis. Lihatlah dengan santainya mengatakan bahwa dia tidak melupakannya. Gombalan macam apa seperti itu !. Arnold benar-benar racun, yang sulit sekali dikendalikan. Ia tidak ingin kejadian setahun yang lalu terulang lagi atas rayuan mautnya. Mince mengatur nafasnya yang sulit diatur, ia tidak bisa berkata-kata dan meninggalkan Arnold begitu saja. Ia tidak peduli akan di anggap tidak sopan terhadap atasan. "Dasar, sama sekali tidak berubah !," gerutu Mince kesal luar biasa. Arnold menatap Mince menjauh, ia dengan cepat menarik lengan itu. Otomatis wanita itu menoleh ke arahnya, "Apaan lagi sih !," "Ada yang harus kamu ketahui, ini penting," Mince melepas cekalan itu, ia tidak ingin ada kontak fisik antara ia dan Arnold, "Apa !,"  Arnold menarik nafas, terlihat jelas tatapan tidak suka. Ia memasukan tangannya di saku celana, berusaha setenang mungkin. "Aku sudah bercerai, lebih tepatnya sudah satu tahun berlalu, sejak kamu memutuskan hubungan itu," ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN