Radolf yang Dihina

1100 Kata
Waktu berlalu, banyak kejadian yang terjadi selama ini, Rahmat yang masih selalu berusaha untuk menemukan formula terbaik untuk menciptakan kapsul yang bisa diminum dan membuat peminumnya tahan tidak makan dan minum beberapa hari, aman untuk lambung dan yang pasti aman juga diminum untuk anak seusia Radolf. Hari ini cuaca terlihat cerah, dan Danur mengajak Radolf untuk bermain bersama di taman. Saat ini udara terasa sangat sejuk, dan Danur merasa akan aman saja mengajak Radolf bermain di luar, karena memang beberapa hari ini udara sejuk, bisa membuat Radolf aman. Mereka pun mempersiapkan segala keperluan perjalanan piknik ke sebuah taman. Ditambah hari ini bertepatan dengan usia Radolf yang bertambah, yaitu tiga tahun. "Selamat ulang tahun, Radolf sayang. Ini Bapak siapkan hadiah istimewa buatmu." Sebuah mobil-mobilan mini digenggam erat oleh Radolf yang merasa sangat gembira. Sedangkan Danur menyiapkan nasi kuning beserta lauknya yang sebagian akan dibagikannya pada beberapa tetangga terdekat. Radolf pun mulai asyik bermain mobil-mobilan hadiah dari Rahmat, bapaknya. Tanpa Rahmat dan Danur sadari, Radolf bermain keluar. Karena Rahmat masih sibuk menyiapkan perlengkapan piknik, sedangkan Danur memasak lauk nasi kuning. Di luar rumah, banyak anak-anak sebaya Radolf bermain. Radolf merasa sangat senang, seolah disambut oleh banyak orang. Radolf pun menunjukkan hadiah mainannya pada beberapa anak yang ingin turut bermain bersama. "Ih! Bagus banget mobilannya! Radolf beli di mana?" tanya seorang tetangga pada Radolf yang masih asyik bermain sambil pamer. "Ini dari Bapak, Tante," jawab Radolf. Saat anak-anak bermain, tiba-tiba ada satu teman Radolf yang merebut mainannya. Radolf tidak terima dan segera mengejar teman tersebut. Tanpa diduga, suhu tubuh Radolf mendadak meningkat tinggi. Napas Radolf memburu. Matanya merah, seolah memancarkan sinar laser dan membuat beberapa anak ketakutan. Namun, tidak dengan ibu-ibu mereka yang justru mengolok Radolf. "Ih! Radolf kayak monster matanya!" celetuk seorang Ibu. "Iya, kayak vampir! Serem, ih!" komentar Ibu lainnya. Mata Radolf semakin merah dengan gigi tajam keluar secara perlahan. Betul-betul menyerupai drakula dalam film tertentu. Saat semua orang mengejek, Radolf pun hilang kendali dan menyerang semua yang ada di sekitarnya. Suasana di sekitar rumah Radolf pun seketika ramai oleh teriakan panik. Tak sedikit juga yang masih mengolok-olok Radolf. Hingga akhirnya Radolf menyerang seorang anak dengan giginya yang tajam. "Aduh! Mama! Aku digigit sama Radolf!" Anak itu berteriak histeris, karena terkena serangan dari Radolf yang marah karena mainannya direbut. Tak terima dengan perilaku Radolf, orang tua anak tersebut mendatangi rumah Rahmat dan Danur. "Heh! Bu Danur dan Pak Rahmat! Liat ini ulah Radolf, si Anak Monster! Anak saya lagi main digigit sampai berdarah gini! Gimana, dong? Saya minta kalian bertanggung jawab atas ulah Radolf!" cecar si Ibu sambil menyeret anak yang terkena serangan Radolf. Rahmat dan Danur terkejut, lalu segera mencari Radolf yang masih dikelilingi oleh sebagian anak juga orang tua. Anak-anak yang usianya di atas Radolf pun turut membully. Radolf semakin tak terkendali dan menyerang seorang anak bertubuh besar yang usianya terpaut dua tahun. "Aduh!" pekik anak tersebut memegang tangannya. "Ih! Anak ini beneran monster! Pantesan aja banyak yang jauhin. Awas! Jangan dekat-dekat sama monster Radolf!" teriak yang lain. Rahmat dan Danur segera menghampiri Radolf, lalu menariknya dan membawanya ke rumah dan masuk ke dalam kamar yang selama ini biasanya digunakan untuk Rahmat menjaga Radolf jika sedang kambuh. Ibu dari anak yang terkena serangan Radolf masih berdiri, menuntut pengobatan pada Rahmat dan Danur. "Saya mau anak ini dibawa ke dokter spesialis yang bagus! Karena bisa saja gigitan Radolf ini beracun yang bisa membahayakan anak saya. Radolf juga harus dibawa ke psikiater sekalian! Biar dia enggak jadi monster lagi kayak gini! Mana bisa tenang anak-anak kami main kalau di sini ada monster kecil yang berbahaya!" Hati Danur terasa sakit sekali. Danur ingin membalas komentar pedas tersebut, tetapi Rahmat menahannya sambil menggelengkan kepala. "Kami minta maaf, Bu. Kami akan tetap bertanggungjawab atas perbuatan Radolf. Tapi kami ingin bertanya dulu alasan Radolf yang tiba-tiba menyerang. Karena tidak ada akibat tanpa sebab," ujar Rahmat. "Maksud kalian, anak saya duluan yang nakal? Enak saja kalian malah balik nuduh dengan playing victim! Saya bisa tuntut kalian kalau sampai tidak bertanggungjawab!" ancam Ibu tersebut. Radolf yang mulai sedikit tenang pun ditanya oleh Rahmat. Sedangkan Danur terduduk lesu setelah mengobati anak yang menjadi sasaran amuk Radolf. Harapan dan rencana hari ini untuk merayakan ulang tahun Radolf seketika gagal. Nasi kuning yang sudah dimasak serta lauknya, terlihat penuh di atas meja. Hanya tinggal dibagikan saja pada tetangga sekitar. "Itu nasi kuning buat apaan, Bu Danur?" tanya Ibu yang masih masing menunggu Rahmat. Matanya melihat sekeliling, dan tertuju pada nasi kuning serta lauk. "Tadinya saya berencana mau kirim nasi kuning ke semua tetangga dan ajak Radolf jalan-jalan, Bu. Hari ini tepat tiga tahun usia Radolf, tapi sepertinya tidak jadi," tutur Danur dengan nada sedih. Matanya berembun karena air yang hendak turun akibat dari kesedihan dalam hati Danur. "Hah! Kalau abis ini masih mikir jalan-jalan keterlaluan banget namanya!" Danur tidak menanggapi dan hanya duduk menatap nasi yang sudah dipersiapkan dengan hati nelangsa. "Kata Radolf, mainannya direbut sama anak Ibu. Jadi Radolf marah dan mengejar anak Ibu. Karena Radolf membalas, maka kami tetap akan bertanggungjawab walau ini bermula dari anak Ibu," terang Rahmat dengan diplomatis. Ibu itu melotot tajam, dan hendak marah, tetapi Danur memotongnya dengan memberi bungkusan nasi kuning. "Enak saja! Apa-apaan ini! Mau nyogok saya pakai nasi kuning? Sori, ya! Saya yang lihat kejadian sebenarnya, jadi berhak memberi hukuman pada Radolf. Kalau kalian mau bertanggungjawab jangan setengah-setengah. Kalian harus bawa anak saya ke rumah sakit besar! Saya tidak mau tahu!" pekik si Ibu. Nasi bungkus yang Danur serahkan ditepis sehingga jatuh berserakan di lantai. Melihat itu, air mata Danur akhirnya menetes. Danur berusaha untuk tidak marah dan menahan diri semaksimal mungkin. "Ibu tidak dengar tadi saya bilang apa? Kami akan bertanggungjawab!" tegas Rahmat dengan wajah merah. Napasnya mulai memburu dengan detak jantung yang terus berpacu. Ibu tersebut hendak membantah, tetapi diurungkan. Karena melihat perubahan pada wajah Rahmat dan Danur. Seketika nyali Ibu tersebut menciut. Anaknya yang sejak tadi merengek pulang karena terlalu lama menunggu. Radolf sendiri sudah dikurung Rahmat di kamarnya demi menghindari keributan di ruang tamu. Setelah meredakan emosi, Rahmat segera mengajak Ibu dan anaknya ke klinik terdekat. Walau si Ibu masih terus mengoceh meminta anaknya ke rumah sakit. Namun, Rahmat tidak mengacuhkan ocehan tersebut dan terus mengantar ke klinik terdekat dari rumah mereka. "Ibu harusnya bersyukur, kami bawa anak ini ke klinik. Walau luka gigitannya tidak seberapa." Ibu tersebut akhirnya diam dan tidak memprotes lagi. Rahmat sedikit lega walau hatinya sedih melihat Radolf dan Danur menjadi sasaran kemarahan para tetangga. Di rumah, Danur tetap menyiapkan nasi kuning sesuai dengan rencana awal. Hanya saja mereka tidak jadi bepergian ke taman seperti rencana semula. Musibah memang tak pernah bisa diprediksi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN