Untuk Radolf

1100 Kata
Beberapa hari sudah mereka tinggal di Pulau Alamandra, Danur bahagia sekali, karena sepertinya Radolf cocok dengan suasana, udara, dan rumah ini. Radolf tidak menunjukkan gejala sakit, penyesuaian yang berlebihan, kuat sudah tekad Rahmat dan Danur untuk merombak tempat ini menjadi rumah tinggal buat Radolf ketika dia sudah dewasa, kelak. Rahmat juga berpikir untuk membangun lab sederhananya di sini, “Udara yang dingin seperti ini, cocok sekali untuk melakukan beberapa percobaan, menggunakan bahan alami yang ada di sini.” Dan hari itu, Rahmat juga Gazi mulai mencicil untuk membeli barang-barang keperluan pembangunan rumah kaca, “Target kita, ketika kembali nanti ke Bandar Lampung, rumah kaca minimal sudah berdiri tegak. Sekali lagi kita ke sini, untuk membeli tanah dan juga bibit-bibit sayur dan buah yang akan kita tanam.” Ucap Gazi ke Rahmat, dan keduanya sudah sepakat mengenai hal ini. Selain mengukur berapa rumah kaca yang akan mereka bangun di lahan yang tersisa di bagian belakang rumah ini, Rahmat dan Gazi juga harus memperhitungkan faktor-faktor seperti masuknya sinar matahari agar tidak terlalu panas yang berpotensi merusak tanaman di dalamnya, juga tidak kurang, agar kelembaban di ruangan ini pas. Selain itu, tanaman-tanaman yang akan ditanam di sini adalah tanaman yang dari semua musim, tidak hanya berbuah dan tumbuh pada musim tertentu saja, juga harus aman dari serangan hama. Gazi dan Rahmat mencari tahu beberapa referensi untuk membangun rumah kaca atau bahasa kerennya Green house, “Jadi, kita mau bangun rumah kaca yang model bagaimana, Rahmat? Tipe tunnel, piggy back atau multispan. Tapi, menurutku, kalo melihat kondisi cuacanya, piggy back dan multispan kurang cocok. Daerah sini dingin, jadi saranku kita coba rancang aja dulu untuk yang tipe tunnel, gimana?” Rahmat mencoba mengukur kemungkinan besarnya rumah kaca yang akan dibuat. Rahmat dan Gazi berbagi tugas, Rahmat yang akan mengurus mengenai bangunan, luasnya, jenis bahan yang akan dipakai, sementara Gazi akan mencoba untuk menuliskan tanaman apa saja yang nantinya akan ditanam di rumah kaca ini, “Usahakan yang tidak cepat busuk. Tapi juga yang ekstrak dan airnya banyak.” Begitu pesan Rahmat ke Gazi. Setelah menentukan ukuran rumah kaca, lalu jenis tanaman yang mau ditanam, mereka bergegas untuk ke pasar yang menyediakan bahan-bahan bangunan yang mereka butuhkan. Lalu mereka mengerjakan bagian tugas masing-masing. Danur yang melihat ini sangat bahagia, karena di depan matanya sudah terbentang angan-angan bahwa kelak Radolf, bisa main, belajar, dan berlaku sebagai anak-anak kecil pada umumnya. Danur juga sudah berencana untuk menata sedikit demi sedikit setiap pojok ruangan yang ada di rumah ini. Kamar di rumah ini ada empat, tapi luas ruangan di masing-masing kamar sangat besar, jadi Danur harus mencicil mengerjakannya, tidak bisa sekaligus. Dapur adalah ruangan pertama yang akan dia bereskan, “Jadi kalo mau masak atau beraktivitas di dapur, sudah nyaman.” Begitu ucapnya pada Rahmat. Hampir seharian ini juga Radolf tidak rewel, mungkin dia tau, ketiga orang dewasa yang ada di depannya ini sedang sibuk mempersiapkan rumah yang layak untuk dia tinggali. Setelah dapur, kamar mandi adalah sasaran kedua Danur, dia juga sudah memesan beberapa peralatan kebersihan, pewangi lantai, dan pewangi kamar mandi ke Rahmat dan Gazi ketika mereka keluar membeli bahan-bahan untuk kebutuhan membangun rumah kaca, “Aku butuh kain pel, sapu biasa, sapu lidi, lalu lap kaca, pewangi ruangan, deterjen lantai, dan jangan lupa juga beli panci, kuali, sekalian spatulanya. Itu saja dulu yang urgent, untuk kebutuhan lainnya, nanti biar aku yang belanja. Kalian lelaki pasti bakal banyak bertanya kalo aku gak ikut.” Rahmat dan Gazi nyengir ketika Danur bicara seperti itu. Tidak lupa juga, Rahmat menyekat satu kamar tidur yang akan dipakai oleh dia dan Danur beserta Radolf, jika Danur atau Radolf sedang kambuh. * Tiga bulan berlalu sejak terakhir Rahmat, Danur, dan Gazi saling bergantian mengunjungi rumah yang sedang mereka renovasi di Pulau Alamandra. Pulau Alamandra ini tidak terlalu banyak penduduknya, hanya sekitar lima ratus orang saja, karena akses ke pulau ini juga tidak banyak, hanya beberapa kali saja transportasi jalan menuju pulau ini dan dari luar pulau ke sini. Kepala desanya juga merupakan tetua yang memang sudah turun temurun ada di desa ini. Kondisi desa yang aman, tenang, dan nyaman, dan tidak saling openan satu sama lain. Tapi begitu, tetap terasa rasa kekeluargaannya, namun masing-masing dari tetangga yang ada di sini tau batasan-batasan yang bisa mereka ikut di dalamnya atau menarik diri ketika sudah memasuki ranah pribadi, mereka tau batasan dan tidak ikut campur. Selama mempersiapkan rumah di Pulau Alamandra ini, Danur adalah orang yang paling bahagia, “Aku bisa menyembunyikan keadaan Radolf, tapi sekaligus bisa membebaskan dia untuk tumbuh, main, dan belajar seperti anak-anak seusianya, kelak. Karena tetangga di sini baik-baik, tapi gak cerewet dan kepo urusan orang lain.” Ucap Danur ke Rahmat, dan Rahmat juga setuju akan hal ini. Mengenai perkembangan Radolf, karena masih kecil, ketika kambuh, tidak terlalu berbahaya bagi yang menggendongnya, hanya saja Rahmat dan Danur tetap berjaga. Radolf juga jarang dibawa keluar, hal ini dimaksudkan agar tidak banyak tetangga yang penasaran dengan kehadirannya, sesekali saja Radolf dibawa keluar dan berjemur di halaman depan. Frekuensi kambuhnya Radolf juga tidak terlalu sering, dalam enam bulan ini, terhitung hanya lima kali kambuh, itu juga dikarenakan udara yang sangat panas, dan lama kambuhnya juga hanya beberapa jam saja, tidak selama Danur atau Gazi ketika mereka kambuh. Jadi sejauh ini, kondisi Radolf tidak terlalu mengkhawatirkan, yang pasti, ketika sedang kambuh harus ada yang menggendongnya dan mencegahnya untuk berontak atau bergerak yang tidak terkendali. Karena pernah sekali waktu, ketika kambuh dan tidak ketahuan Radolf sudah berada di pinggir ranjang, untung saja ketahuan oleh Danur kalo tidak, tinggal beberapa inci lagi, Radolf sudah menggelinding ke bawah. Hal-hal seperti ini yang membuat Danur semakin over protective ke Radolf, anak lelaki pertamanya itu, ditambah lagi, belum habis rasanya air mata yang jatuh setiap malam, mengingat keadaan Radolf sekarang, “Gimana nanti Radolf kalo sudah dewasa, ya, Pak. Apakah lingkungannya nanti bisa menerimanya, apakah akan ada teman yang ngajak dia main, nanti. Apakah akan ada wanita yang mau menikah dengannya?” Rahmat yang mendengar hal ini, bukan ikut sedih, justru tertawa, “Oalah, Bu-bu. Itu anakmu masih belom bisa jalan, masih ngandelin ASI kamu untuk minum, kamu udah jauh banget mikirnya, sampe ke pernikahan Radolf. Kamu gak mau nambah anak, Bu? Biar nanti Radolf ada temannya?” demi mendengar hal tersebut, Danur mencubit lengan Rahmat, “Kamu itu, aku ini lagi bicara serius, malah dibecandain. Radolf masih enam bulan, masa udah mau dikasih adek?” Lalu Rahmat menimpali “Lah, itu. Kamu loh, Radolf masih kecil, kamu udah mikirin gimana dia gedenya nanti.” Akhirnya mereka tertawa bersama, Rahmat dan Danur, dua makhluk yang saling melengkapi, Danur yang grasak-grusuk, sementara Rahmat yang tenang, tidak gelisahan, klop.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN