Rencana Pindah Rumah

1085 Kata
Setelah insiden yang terjadi baru saja beberapa waktu tadi, Danur terpekur di kamar sambil tetap memberikan perhatian ke Radolf yang masih berjuang untuk mengalahkan sakitnya di ruangan khusus itu. Danur yang sedang sakit hatinya, karena Radolf, anaknya dihina, dibilang monster, dikata-katain jahat, menyerang orang, mengingat apa yang terjadi tadi, air mata Danur kembali menetes. “Kenapa Tuhan memberikan cobaan yang begini berat untuk aku dan anakku?” lirih Danur berkata. Rahmat yang melihat kejadian ini, memeluk Danur dengan lembut dari belakang, “Jangan pernah menyalahkan Tuhan dalam hal ini. Kamu ingat, kan, bagaimana keadaanmu yang istimewa tersebut justru membuat kita saling mencintai dan sekarang menikah.” Danur yang sedikit terkejut karena kehadiran Rahmat yang tiba-tiba, tersenyum, “Kalo mengenai hal itu, aku tidak pernah menyesal. Aku hanya mengkhawatirkan Radolf, anakku. Begitu berat beban yang harus dia terima untuk anak seusianya.” Rahmat membelai rambut Danur, mesra. “Sabar. Nanti kita pikirkan lagi jalan keluarnya. Radolf sudah dibekali s**u?” Danur menganggukkan kepalanya. “Ada kejadian apa, sih? Kok barusan aku masuk ke dalam rumah, sepanjang perjalanan itu ibu-ibu rumpi pada nyebut-nyebut nama Radolf?” Gazi yang baru kembali dari bepergian, masuk ke dalam kamar Danur dan Rahmat. “Radolf menyerang beberapa anak, tadi, ketika sedang main di luar.” Rahmat mencoba menjelaskan. “Tapi gak mungkin tiba-tiba dia berubah seperti itu kalo gak ada penyebabnya, kan?” Danur dan Rahmat kompak menganggukkan kepala, “Terus, kenapa Radolf bisa berubah begitu?” Rahmat menarik tangan Gazi untuk keluar dari kamar. Rahmat tidak mau, penjelasan yang akan dia katakan mengenai pertanyaan Gazi membuat Danur kembali bersedih. Setelah berada di luar kamar, Rahmat lalu menceritakan kembali kejadian yang menimpa Radolf. Setelah mendengar penjelasan dari Rahmat, Gazi ikut tersulut emosinya, “Itu kan emang salah anak-anak mereka. Dengan semau-maunya merebut mainan Radolf. Emang dasar anak kampung, gak ngerti adab.” Gazi yang emosi, karena Radolf diperlakukan seperti itu ikut marah, “Tenangkan dirimu. Jangan ikut terbawa emosi. Nanti kamu malah ikutan kambuh.” Ucap Rahmat yang kemudian mencari tempat duduk di sudut ruangan dan menjatuhkan pantatnya di sana, “Aku belum berhasil juga menemukan formula yang tepat untuk menyiasati penyakit ini. Bagaimana nanti, jika tetangga tidak hanya mengucilkan Radolf tapi juga justru mengusir kita semua dari kampung ini karena dianggap berbahaya?” Rahmat yang frustasi, menjambak dan mengacak rambutnya sendiri. Gazi yang melihat Rahmat seperti itu, mengambil tempat di sebelahnya, lalu duduk. Mereka berdua saling diam, sama-sama sedang berjibaku dengan pemikiran mereka sendiri. “Bagaimana kalo Danur dan Radolf tinggal saja di Pulau Alamandra? Nanti kita yang bolak balik ke sana. Hanya untuk sementara waktu ini saja. Untuk meredakan kondisi dan keadaan yang sedang tidak kondusif.” Gazi tiba-tiba memberikan ide tersebut ke Rahmat. “Ide itu sempat terpikir olehku. Tapi, rasanya gak mungkin meninggalkan Danur di sana hanya berdua dengan Radolf. Kalo Radolf sedang tidak bisa dikendalikan atau Danur membutuhkan sesuatu, jarak yang harus ditempuh dari kota ke sana kan, lumayan.” Gazi menepuk pundak Rahmat, “Kamu temani Danur dan Radolf di sana. Aku bisa mengurus semua di sini, seorang diri, kamu jangan khawatir.” Rahmat tergelak, “Ninggalin kamu di sini sendirian? Tidak-tidak. Itu bukan ide bagus, gimana kalo kamu yang justru malah tersulut emosinya karena mendengar omongan tetangga, terus kamu kambuh, seorang diri. Siapa yang ngurus kamu, ngurus toko ini?” Rahmat dan Gazi kemudian saling berpandangan, lalu tertawa terbahak-bahak berdua, “Idup kita kok begini amat, ya, Gazi.” Gazi menganggukkan kepalanya, “Iya, aku juga heran. Padahal harusnya hanya aku saja yang nyusahin kamu, Rahmat. Tapi ternyata, Tuhan malah ngasih kamu tiga orang yang harus dijaga.” Rahmat menggelengkan kepalanya, “Tidak. Tuhan menghadirkan kalian bukan untuk ngerepotin aku, justru untuk membuatku lebih fokus dan gigih lagi untuk menciptakan formula yang tepat untuk membantu kalian agar segera bisa digunakan. Dan aku yakin, melihat perkembangan dan keadaan bumi yang semakin hari keadaannya semakin buruk, polusi udara ada di mana-mana, tingkat penimbunan sampah yang tidak terkendali dari hari ke hari. Suatu saat nanti, formula yang aku buat akan bermanfaat bagi banyak orang. Hanya saja, sekarang, Tuhan masih memberiku tiga orang yang harus segera aku selamatkan. Aku yakin, nanti, entah kapan, akan semakin banyak orang yang terinfeksi virus ini.” Rahmat dan Gazi berpegangan tangan untuk saling menguatkan. Setelah beberapa waktu mereka berada di ruangan tersebut, akhirnya Rahmat bangun dan beranjak untuk menuju ke kamarnya, memeriksa bagaimana keadaan Danur dan Radolf. “Menurutku, untuk sementara waktu, kamu sama Radolf ke Pulau Alamandra aja, dulu. Untuk menenangkan diri, juga untuk mengendapkan sementara waktu kesedihanmu. Juga membuat suasana dan kondisi di lingkungan ini kondusif. Semoga, jika nanti sudah lama, seiring berjalannya waktu, para tetangga sudah melupakan kejadian barusan. Atau minimal sudah tidak lagi meributkan keberadaan Radolf.” Aku berinisiatif untuk menyampaikan pendapat dan saranku tersebut ke Danur. Walaupun aku tau, saran ini akan ditolak oleh Danur, tapi minimal, menurutku ini adalah jalan keluar paling baik yang bisa terpikir olehku sementara ini. “Nanti kalo aku butuh kamu atau terjadi sesuatu di sana, gimana? Jarak Pulau Alamandra dan kota memakan waktu hampir seharian. Jika terjadi sesuatu, kamu gak bisa langsung sampai ke sini, kan?” aku bisa mendengar isak pelan yang keluar dari mulut Danur, aku tau, hatinya saat ini sedang tidak baik-baik saja. “Aku akan menemanimu di sana, mempersiapkan semuanya, sampai kamu benar-benar aman dan nyaman tinggal di sana bersama Radolf. Setelahnya, baru aku akan kembali ke sini. Karena aku tidak bisa meninggalkan Gazi sendirian di sini, terlalu beresiko. Toko kita juga butuh perhatian, karena ini satu-satunya sumber penghasilan dan pemasukan kita saat ini. Tolong kamu mengerti, ya, sayang. Ini demi kita.” Tidak ada sautan dari Danur, tapi isaknya masih terdengar. Aku tau, Danur masih butuh waktu untuk memikirkan semua ini. Jadi setelah memeluknya dan memberikan usapan penenang di punggungnya yang kecil, aku keluar dari kamar, menemui Gazi yang sedang melayani beberapa pembeli di toko. Dalam hatiku berkata, aku berjanji, akan secepatnya menemukan formula untuk Gazi dan Radolf agar mereka tidak hidup menderita seperti ini. Sambil terus mencari bahan, formula, dan juga komposisi yang bisa aku gunakan untuk membuat pil agar bisa diminum Gazi dan Radolf. Jadi ketika mereka kambuh, mereka tidak akan menderita begini. Sedang berpikir mengenai rencana ke depannya mau bagaimana, Danur datang menghampiriku, “Kapan kita akan ke Pulau Alamandra? Biar aku bisa menyiapkan semua keperluan Radolf dan aku selama di sana.” tanpa bicara banyak lagi, aku bangkit dari dudukku, dan memeluknya. “Terima kasih, ya, sayang atas pengertianmu. Kamu mau mengalah dan berkorban demi aku, demi Radolf, demi keluarga kita.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN