"Nyanyi apa, kak?" tanya Vanka tiba-tiba.
"Sorry, lo jadi kebangun ya?" tanyaku.
"Gapapa kok. Nyanyi bareng yuk" ajaknya.
"Emang tau lagunya?" tanyaku sambil tetap melihat jalanan tanpa menoleh ke arahnya.
"Mungkin" jawabnya polos.
Tidak kuhiraukan jawabannya dan melanjutkan nyanyianku.
"Baby baby, benci malam ini.
Baby baby, ku benci sendiri,~"
Aku menekankan suaraku di lirik 'benci malam ini'.
Tiba-tiba Vanka ikut bernyanyi di lirik berikutnya.
"Mari habiskan malam sepi ini bersama.
Melupakan semua dan nyanyi bersama.
Baby baby, ku benci sendiri,~"
Aku terbangun di kamarku pagi ini dan mendapati Vanka masih tertidur di sebelahku.
Ya, aku membawa Vanka pulang ke rumah. Masalahnya saat kami sampai didepan rumahnya, dia tertidur lagi dengan sangat pulas, karena tidak tega untuk membangunkannya dan tidak mungkin juga aku menggendongnya masuk ke dalam rumahnya.
Bagaimana reaksi orang tua nya nanti jika melihat anak gadisnya pulang malam dalam keadaan tertidur diantar seorang laki-laki?
Maka dari itu aku membawanya pulang. Aku juga sudah mengirim pesan ke orang tua Vanka lewat Hp-nya yang mengatakan kalau dia akan menginap di rumah temannya. Jadi tidak masalah untuk saat ini.
Untung tetep bisa bangun pagi gue, batinku. "Masih jam 7 kurang, sekarang mandi aja dulu, trus anter Thacil pulang deh. Mudah-mudahan Shani belum bangun" gumamku dan langsung bangkit ke kamar mandi.
.
.
.
.
.
Tidak sampai 15 menit aku telah selesai mandi. Cowok ngapain mandinya lama-lama?
Kalo lama, berarti yang disabunin satu tempat doang ya .
Saat aku keluar dari kamar mandi, Vanka sudah tak ada di ranjangku.
Tunggu,.. kemana dia?
Tunggu dulu, ada suara dua orang tertawa cekikikan dari arah bawah.
Jangan-jangan,....
Aku langsung berlari ke bawah walau masih hanya menggunakan handuk yang membalut tubuhku saking paniknya.
Dan, seperti yang aku pikirkan. Aku melihat Shani dan Vanka duduk di sofa ruang tengah sedang mengobrol dengan diselingi tawa membelakangiku.
"Kak Ian udah selesai mandinya?" tanya Vanka saat mengetahui kehadiranku.
"Udah selesai?" tanya Shani yang berbalik melihat ke arahku.
"IHHHH, MESUUUMMMM" teriak mereka berdua secara bersamaan.
"Pake baju dulu sana!!" teriak Shani lagi.
"Ih, kak Ian m***m. Emang yang semalem masih kurang ya?" kata Vanka sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya tapi masih mengintip lewat sela-sela jarinya.
Lalu hal yang tak terduga pun terjadi. Shani melemparku menggunakan bantal sofa dan lemparannya tersebut tepat mengenai wajahku dengan telak.
.
.
.
.
.
.
.
Mereka kok akrab ya? Kayak,.. kayak gak ada apa-apa gitu.
Tapi tadi Shani kok kasar banget, biasanya dia lemah lembut?
Kira-kira Vanka ngomong apa ke Shani?
Kenapa firasatku tidak enak mengenai hal ini?
Dan tadi kenapa Vanka seperti berusaha memamerkan apa yang terjadi semalam?
Selama ini dia tidak bersikap seperti itu didepan member JKT yang lain.
Berbagai pertanyaan memenuhi kepalaku saat aku sedang memakai baju di kamarku.
Aku kembali turun kebawah dan kulihat Shani sedang menyiapkan sarapan untuk kami bertiga.
"Makan dulu, udah aku masakin sup ayam. Pesenan kamu" kata Shani saat melihat ku turun.
Dari nada bicaranya, sepertinya Shani marah. (Ya pasti marah lah).
"Ayo, kak Ian. Enak lho" ajak Vanka yang sudah mulai makan duluan.
Lah, nih anak gak ada sopan-sopannya apa gimana sih? Dia malah udah makan duluan, yang punya rumah sama yang nyiapin makanan aja belum mulai,.. batinku.
"Nih, udah aku siapin satu mangkuk 'khusus' buat kamu" kata Shani sambil meletakkan semangkuk sup didepanku saat aku sudah duduk di meja makan.
"Makasih, Shan. Eh! Katanya sup ayam, ini ayamnya mana?" tanyaku saat melihat mangkukku kebanyakan berisi wortel.
Sial, aku tidak begitu suka wortel. Bukan berarti aku tidak suka sayur ya, hanya saja kita biasanya diajarkan dari kecil untuk makan sayuran hijau bukan. Dan wortel bukanlah sayuran hijau.
"Mata kamu kan minus, harus banyak makan wortel. Kamu kan gak mau pake kacamata" kata Shani.
Ya, tapi ini gak ada ayam nya sama sekali. Sungguh kejam, batinku.
Aku lalu mencicipi sup itu, dan...
Rasanya sungguh,..
Ehm, bagaimana mengatakannya ya.
Ini sungguh sangat...
"Gimana? Enak kan" kata Shani sambil tersenyum jahat.
Sial, meskipun dia tersenyum jahat, dia tetap cantik.
Kamu terlalu sempurna Shani.
Bukan waktunya mikir kayak gini, batinku.
"Enak lah, ci Shani gitu" kata Vanka memuji Shani. "Udah cantik, jago masak lagi. Istriable banget ya kan kak" kata Vanka yang kali ini ditujukan padaku.
"Tapi percuma kalo nanti yang jadi suaminya suka keluar sama cewek lain sampe malem" kata Shani menyindirku.
"Ohok ohok..."
Aku yang tengah minum pun langsung tersedak mendengar perkataan Shani.
"Kenapa kak?" tanya Vanka. "Gapapa kan?" tanya Vanka lagi.
"Gak usah buru-buru gitu, itu sup nya kalo kurang nanti aku tambahin. Habisin dulu tapi. Enak kan sup nya" kata Shani.
Aku hanya membalas perkataannya dengan anggukan dan senyum yang kupaksakan.
Sial, ini sup asin banget. Kamu pengen cepet-cepet dinikahin atau gimana sih, Shan, kataku dalam hati.
"Eh, nanti kalian ada acara kan. Mau aku anterin?" tanyaku hanya sebagai alasan agar aku bisa menunda makan sup asin ini.
"Aku udah janji berangkat bareng Gracia" jawab Shani.
"Yaudah, bareng Gracia aja sekalian" kataku.
"Aku mau pulang dulu, mau ambil baju ganti. Kan aku gak bawa" kata Vanka. "Lagian kak Ian masa mau nganterin kita, mobil nya kan pasti masih bau bekas semalem" kata Vanka lagi.
"Udah, jangan ngobrol dulu. Habisin dulu makanannya. Inget ya. Udah janji kan. HA-BIS-IN" kata Shani dengan menekankan setiap suku kata di akhir kalimatnya. "Lagian kamu mau dateng ke HS nanti? Bukannya kalo akhir pekan gini kamu suka ngurung diri di kamar nonton anime kesukaan kamu itu" tanya Shani.
"Itu hari minggu, ci. Sekarang kan sabtu. Anime kesukaan kak Ian itu tiap hari minggu keluarnya" jawab Vanka.
"Oh, kamu tau banyak ya soal Adrian" kata Shani.
"Ya iyalah, kan aku-"
"E'hem, katanya tadi jangan ngobrol" kataku memotong perkataan Vanka.
"Yaudah, habisin itu sup nya" kata Shani sambil melotot ke arahku.
Aku hanya bisa menelan ludah melihat Shani melotot dan berkata seperti itu
.
.
.
.
.
"Kak, anterin aku pulang ya" pinta Vanka saat kami selesai makan, khusus untuk diriku, aku harus bersusah payah menghabiskan sup asin itu. Tapi anehnya, aku tetap bisa menghabiskannya.
"Bentar, aku bilang Shani. Shan, aku,.."
"Udah anterin aja itu Thacil, gak usah buru-buru. Aku bisa kok ke rumah Gracia naik Gojek" kata Shani memotong kalimatku.
"Gak, aku bakal anterin kamu habis aku anterin Thacil" balasku.
"Yaudah ayo, kak" ajak Thacil sambil menarik lenganku.
"Gak ada yang ketinggalan?" tanyaku pada Vanka.
"Ada, hati aku ketinggalan di sini" kata Vanka sambil menunjuk dadaku.
Aku pun langsung menarik Vanka keluar untuk segera mengantarnya pulang. Aku tidak berani melihat Shani saat itu, dia sudah pasti melotot. Seperti tadi. Atau mungkin lebih melotot lagi.
"Assalamualaikum, Shan" teriakku.
.
.
.
.
.
.
.
Di perjalanan mengantar Vanka menuju rumahnya aku hanya diam saja. Aku tidak tahu harus berkata apa saat ini. Sampai akhirnya,..
"Kamu pikir, aku bakal nyerah? Walaupun harus saingan sama ci Shani?" tanyanya.
Sial! Vanka memanggilku menggunakan 'kamu', artinya dia sudah masuk mode serius.
"Cerita apa ke Shani?" kataku balik bertanya tanpa menjawab pertanyaannya.
Vanka tidak menjawab.
Kami kembali saling diam.
.
.
.
.
.
.
.
"Kenapa berhenti?" tanya Vanka ketus.
"Udah nyampe" jawabku datar.
Saat Vanka akan keluar mobil,
"Lo sebenernya mau hubungan kita ini kayak apa sih?" tanyaku padanya.
"Aku,.."
"Lo yang pertama ngajakin kita buat jadi partner s*x, harusnya kita gak perlu masukin perasaan kita disitu" kataku yang sekarang menghadap ke arahnya.
"Telat! Kebaikan kakak selama ini udah ngebuat ada rasa sama kakak" kata Vanka.
"Kalo gitu, gue cuma harus ngelakuin satu hal jahat ke lo, biar lo lupa sama semua kebaikan gue. Gitu kan" kataku cuek.
Umumnya manusia kan memang seperti itu. Sebanyak apapun kita berbuat baik, jika kita berbuat salah meskipun hanya sekali. Yang akan diingat hanyalah kesalahan kita. Ibarat kertas putih kosong, kita tidak akan terlalu memperhatikannya. Tapi jika ada satu titik kecil di kertas putih itu, kita akan fokus pada satu titik kecil tersebut.
Mungkin seperti itu analogi nya.
"Kamu gak ada perasaan apa-apa ke aku selama ini? Setelah semua yang kita lalui bersama?" tanya Vanka.
"Kita cuma sama-sama gak lebih dari 2 bulan. Bahkan ada 1 bulan terakhir kita jarang ketemu" balasku.
"Kamu selama ini cuma manfaatin tubuh aku?" tanya Vanka.
Aku hanya menatapnya heran.
"Gak usah dijawab" kata Vanka lagi.
Dia lalu keluar dari mobilku. Sebelum menutup pintu mobilku dia berkata,..
"Dasar cowok gak peka"
Lalu kemudian dia membanting pintu mobilku.
Tapi aku masih bersyukur dia mengucapkan 'makasih' saat sudah membanting pintu mobilku. Aku bisa melihat itu dari sudut bibirnya, aku asumsikan itu ucapan terima kasih karena sudah mengantarnya pulang.
Huft~
Aku sedikit menghela nafas.
Sebenarnya aku bukannya tidak peka, aku memang sudah punya firasat kalau Vanka mulai memiliki perasaan padaku. Tapi aku ingin memastikannya sendiri dengan cara memancingnya, tapi ternyata tindakanku salah.
Ya, begitulah aku. Cowok peka yang selalu mengandalkan firasat tapi selalu salah dalam bertindak. Rencana awalku yang hanya 'memancingnya' untuk menyatakan perasaannya padaku kemudian menolaknya dan terakhir mengantar dia pulang. Tapi rencana itu gagal karena aku sedikit terbawa suasana dan juga terlalu berlebihan semalam ditambah aku tidak memperkirakan masalah waktu.
Tapi sekarang aku sudah memastikan hal tersebut dan karena aku sudah berani melakukan pertaruhan, aku harus siap dengan segala resikonya.
OK. Sekarang pulang untuk mengantar Shani.
"Eh, tunggu.
Ini mobil bener-bener bau bekas semalem ya" kataku saat menyadari bau yang cukup menyengat hidung.
"Mampir ke minimarket dulu kali ya, beli parfum buat nutupin baunya sementara" kataku sambil mulai menjalankan mobil untuk pulang.
.
.
.
.
.
.
.
Sesampainya aku dirumah, Shani ada di depan pagar.
Aku memberhentikan mobil lalu keluar dan berjalan ke arahnya.
"Yuk, Shan. Aku anter" ajakku.
Shani tidak menjawab dan hanya diam saja menunduk sambil memandang Hp-nya.
"Shan, kamu marah sama aku? Aku bisa jelasin. Aku jelasin sambil jalan ya" ajakku lagi kali ini dengan mengulurkan tanganku.
Dia tetap tidak menjawab dan menepis tanganku.
"Shan, kasih aku kesempatan buat jelasin semuanya. Aku-"
PLAKK
Shani menamparku. Keras. Sangat keras. Ini bukan pertama kalinya aku ditampar. Waktu SMA dulu, ada seorang guru yang menamparku karena aku membantah tuduhannya yang bilang kalau aku ikut taruhan bola antar kelas. Lalu waktu kecil, ayah ku pernah menamparku karena aku selalu menjawab saat sedang dinasehati ibu ku dan mungkin masih banyak lagi momen-momen aku ditampar yang lain. Semua tamparan itu sangat keras, termasuk tamparan Shani ini. Tapi kali ini berbeda, sekarang aku tidak merasakan sakit apapun di pipiku. Justru aku merasakan sakit di dadaku. Sesak.
Kenapa?
Karena aku melihat Shani meneteskan air mata. Dia menangis. Dia menangis setelah menamparku. Tidak. Dia menangis karena sikapku.
Seumur hidup, baru kali ini aku membuat seorang gadis menangis setelah menamparku.
Aku tidak sanggup melihatnya, aku tidak sanggup untuk melihat Shani meneteskan air mata. Aku tidak berani, aku terlalu pengecut.
"Aku paling gak suka kalo dibohongi. Kenapa gak pernah cerita sebelumnya. Kenapa baru mau cerita waktu udah kayak gini" kata Shani sambil menangis.
Aku tidak bisa menjawabnya. Dia benar, kenapa aku harus berbohong padanya? Kenapa?
Aku pun tak tahu alasan sebenarnya. Aku hanya tidak mau Shani kecewa karena 'cowok idamannya' di masa kecil ternyata tidak sesempurna yang dia kira.
Apa itu alasannya?
Tidak, alasanku sebenarnya adalah karena aku tidak mau Shani jadi membenciku. Tapi justru karena tindakanku ini, Shani akan membenciku. Mungkin.
Mungkin? Tidak itu bukan sebuah kemungkinan, itu kepastian.
Pasti setelah ini Shani akan jadi membenciku.
"Pesanan Gojek atas nama mbak Shani" kata suara dibelakangku.
"Iya, bang" kata Shani sambil berjalan melewatiku.
"Mbak-nya tinggal disini? Saya kayak pernah kesini tapi yang tinggal beda" kata suara itu, sepertinya aku pernah mendengar suara itu sebelumnya.
"Tadinya, sekarang udah gak" jawab Shani.
"T-tunggu, Shan. M-maksud kamu apa?" kataku sambil berbalik badan.
"Oh, mas-nya. Mas... Adriansyah. Bener kan. Maaf soal waktu itu ya, saya lagi gak mood diajak bercanda soalnya. Oh iya, pertanyaan mas-nya belum saya jawab ya. Itu paketnya dari Stepani. Stepani Pricila" kata si abang Gojek yang ternyata orang yang sama yang mengantar paket dari Stefi.
Mendengar hal itu, Shani yang tanpa menoleh ke arahku berkata,..
"Masih ada lagi?" tanya Shani.
"Eh, eh, Shan. Itu, anu-" kataku gugup.
"Jalan, bang" kata Shani saat sudah menaiki motor si abang Gojek.
Lalu mereka pun pergi.
"Sial, kenapa harus si abang Gojek itu lagi sih" gerutu ku.
Sekarang aku harus mengejar Shani, ini berbeda dari kasus Vanka tadi. Aku tidak mau jika sampai Shani benar-benar marah dan akhirnya membenciku. Aku tidak mau itu.
"Akkkkhhhh!!" teriakku saat akan masuk ke mobil.
Aku sepertinya terlalu memaksakan diri menghabiskan sup tadi. Aku mencoba mengakali rasa asin nya dengan menambahkan sambal cukup banyak.
Sekarang akibatnya perutku terasa sakit.
Tapi kenapa efeknya baru muncul sekarang?
Kenapa?
Kenapa harus sekarang?