"Adrian, ada yang nyariin tuh di... Adrian!! Udah dibilangin berapa kali, jangan main game sambil tiduran! Nanti mata kamu rusak" bentak seseorang yang dari suaranya aku tahu itu Shani.
"Eh, iya. Maaf, Shan.
Kenapa tadi?" tanyaku sambil beralih ke posisi duduk.
"Ada yang nyariin kamu tuh dibawah. Udah, berhenti dulu main game nya! Iihhh"
"Bentar, dikit lagi. Masa harus afk, ini aku lagi mabar sama koko kamu lho" balasku.
Ya, tadi aku di chat Henry untuk mengajakku mabar. Setelah pulang dari Jogja, Henry sering mengajakku mabar. Meskipun saat aku sedang tidak online, dia akan mengirim chat untuk memintaku online lalu kemudian diajak mabar.
"Ya udah. Buruan" kata Shani.
"Iya, mamah Shani" balasku.
Aku merasa kalau dia mempelototiku sambil mengembungkan sebelah pipinya walau mataku masih melihat ke layar HP.
"Hen, leren sek yo. Aku diceluk adikmu" chat ku pada Henry.
"Yo wis, suwun yo. Nitip adikku. Jogo en" balasnya.
"Pasti"
Aku meng-charge HP karena baterai nya sudah tinggal sedikit, lalu keluar kamar menyusul Shani.
"Ayo cepet!!" kata Shani lagi.
"Iya iya. Marah-marah mulu kenapa sih?" balasku sambil mencubit gemas sebelah pipinya yang tadi dia kembungkan.
"Aduuh,... sakit. Kena jerawat aku" katanya sambil memegangi sebelah pipinya.
"Ehh,.. maaf" kataku sambil ikut mengelus pipinya.
"Iih. Modus!" katanya sambil mencubit punggung tanganku yang mengelus pipinya.
"Aduh, Shan. Kok modus sih, temennya 'median' sama 'mean' dong" kataku sedikit bercanda sambil mengelus punggung tanganku yang tadi dia cubit.
Shani tidak menanggapinya dan berjalan duluan.
Gampang banget marahnya sih. Udah mirip sama,.. Ah udahlah, pikirku.
"Itu jerawat gara-gara mikirin aku ya" celetukku.
Shani tiba-tiba menghentikan langkahnya sejenak lalu kemudian kembali berjalan lagi dengan langkah yang dipercepat.
.
.
.
.
.
"OKTA?!!" kataku kaget.
"Hai" sapanya.
"Lo yang nyariin gue?"
"Bukan. Tapi ini, yang lagi sembunyi dibelakang gue nih"
Oh! Aku baru sadar kalau ada seseorang yang bersembunyi di belakang Okta.
"T-thacil"
"H-hai, kak" sapa Vanka.
Jadi ini alasan kenapa Shani marah-marah lagi barusan. Pasti dia cemburu gara-gara dua orang ini datang.
"Aku cuma nganterin doang" kata Okta.
"Makanya, jangan kebanyakan main game. Minus kamu makin parah kan. Masa segede itu gak keliatan" omel Shani sambil menaruh brownies di meja.
Tuh kan, marah lagi.
"Duduk dulu, Cil, Ta" tawarku. "Dari tadi gak kamu tawarin duduk, Shan?" tanyaku pada Shani.
"Udah kok, mereka yang gak mau" jawab Shani.
"Bukan gak mau, ci. Tapi ini ada yang lagi tiduran di sofa"
Lah, nih anak belum pulang ternyata. Mana tiduran sambil pake earphone lagi, batinku.
Aku menarik earphone dari salah satu telinganya.
"Ehh!! Lho?! Okta. Thacil. Kapan dateng?" kata Gracia sambil bangkit duduk.
"Dari tadi kali, Gre. Aku kira kamu lagi di kamar aku" kata Shani
"Yee,.. ngatain orang matanya minus. Kamu sendiri gak lihat apa tadi waktu naruh brownies?" kataku menyindir Shani yang langsung dibalas dengan ekspresi cemberut di wajahnya.
"Ngapain masih pada berdiri. Sini duduk!" kata Gracia menawari Okta dan Vanka duduk.
"Dari tadi juga mau duduk, tapi ada yang lagi asyik tiduran" kataku menyindirnya.
"Oh ya? Siapa?" tanya Gracia polos.
Ya ampun nih anak ya. Kalo lagi lemot, ngeselinnya minta ampun ternyata, pikirku.
"Udah udah, ayo duduk" ajak Shani.
Okta dan Vanka duduk di sebelah Gracia, di sofa panjang yang memang muat untuk 3 orang.
Sedangkan aku, aku duduk di sofa yang muat satu orang dan Shani duduk di pinggiran sofa yang sedang ku duduki.
"Kamu aja yang duduk sini, Shan" kataku sambil bangkit berdiri, tapi Shani langsung mencegahku.
"Gak usah, gapapa. Aku disini aja" balasnya.
"Duduk sini lho, ci" tawar Gracia.
"Gak usah" tolak Shani.
"Gapapa. Duduk sini, biar aku duduk di pangkuannya kak Ads" kata Gracia sambil tersenyum.
Lah, nih anak. Perasaan tadi pagi canggung banget, sekarang malah godain lagi.
Terang-terangan di depan Shani lagi godainnya, batinku.
"Gak mau!" tolak Shani dengan suara sedikit keras. "Aku mau disini, deket Adrian" kata Shani manja sambil memeluk lenganku seperti ingin menunjukkan pada ketiga gadis yang sedang duduk berjejer ini kalau aku adalah miliknya. (Cie, Adrian miliknya Shani)
"Ya udah, ci Shani duduk disitu, aku duduk di pangkuannya kak Ads aja ya" kata Gracia lagi.
"Gak boleh! Cukup kemaren malem aja" kata Shani.
"Apa sih ini. Bisa udahan gak" kataku mulai emosi.
Vanka dan Okta seperti kebingungan melihat tingkah mereka berdua. Apalagi kalimat terakhir Shani itu sedikit ambigu.
Apa sebenarnya yang mereka sembunyikan?
"Jadi,.. kenapa nyariin gue?"
Akhirnya aku bisa mulai menanyakan maksud kedatangan Vanka dan Okta kemari.
"Eh, anu.. Kak Ian, aku,.. aku kesini,... aku mau minta maaf. Emang selama ini aku yang salah, emang aku yang kekanak-kanakan. Dan aku sadar gak seharusnya terlalu kebawa perasaan" kata Vanka.
"Udah?" tanyaku.
Vanka hanya mengangguk dan menundukkan kepalanya.
"OK. Trus lo, Ta? Gak mungkin lo cuma sekedar nganterin doang, kan" kataku.
"Gue,.. gue cuma mau nanya. Kenapa lo kemaren nanyain alamat kost-nya Gracia?
Trus kenapa Gracia ada di sini sekarang?
Trus dari cerita Thacil, lo katanya sekarang tinggal ama ci Shani?"
"Bentar ya, Ta. Satu-satu.
OK, pertama kenapa gue nanya alamatnya Gracia. Itu karena gue lagi nyariin Shani. Kan gue udah cerita waktu di telfon"
"Kan, gue gak fokus. Lo pake ngerayu-rayu segala sih" kata Okta dengan wajah memerah.
Shani langsung menjewer ku setelah Okta selesai bicara.
"Aduh duh, Shan. Kalo lo gak dirayu, belum tentu Okta mau ngasih tau alamatnya Gracia. Aku gak bisa nemuin kamu dong" kataku sambil meringis kesakitan.
Setelah aku bicara begitu, Shani langsung melepaskan telingaku.
Ini satu tim pada baperan sih, gue yang kena jewer kan, batinku.
"Pertanyaan kedua, kenapa Gracia disini. Tanya Gracia sendiri aja" kataku sambil mengelus-elus telingaku sendiri.
Okta lalu menoleh ke Gracia.
"Aku di ajak nginep sama kak Ads" kata Gracia sambil memasang wajah polos.
"Heh, jangan ngarang cerita" kataku.
"Hehehe" Gracia cengengesan.
"Lanjut pertanyaan ketiga. Soal gue ama Shani tinggal serumah... bentar, sebelum kesitu. Cil, gue mau ngomong serius" kataku dengan nada serius.
Vanka yang dari tadi tertunduk langsung mengangkat kepalanya hingga aku bisa melihat wajahnya yang sendu.
"Setelah gue pikir, kayaknya kita harus udahin hubungan kita deh" lanjutku.
"Maksudnya, kak?" tanya Vanka.
"Iya, kita gak perlu jalanin hubungan itu lagi. Percuma kalo dilanjutin, gak ada jaminan kedepannya lo gak bakal baper lagi. Udah 2 kali lo kayak gitu" kataku memberi penjelasan.
"T-tapi..."
"Lagian, gue gak bisa juga punya hubungan kayak gitu, gue ama Shani udah dijodohin"
"HAAHH!!"
Okta dan Vanka tampak kaget.
Tunggu, Gracia juga?
"Kenapa diceritain? Kamu bilang jangan diceritain" kata Shani sambil memukul bahuku pelan.
"Lho, Gracia belum tau? Aku kira kamu udah cerita, jadi.. aku kira kalo diceritain gak masalah" kataku pada Shani.
"Aku cuma cerita kalo kita ini saudara sepupu, tapi... tapi kita saling suka. Gitu aja, gak sampe bagian jodoh-jodohin" kata Shani dengan wajah memerah.
"Ya.. ya udah lah pada akhirnya juga bakal tau juga kan"
"Ka-kalo gitu, aku rela kok jadi istri yang kedua" teriak Okta.
"Eh! Gak bisa gitu dong, Ta" bantah Vanka.
"Bisa lah, lagian kamu kan udah gak ada hubungan lagi sama Adrian" kata Okta.
"Justru itu, justru karna aku sekarang udah gak keiket hubungan tanpa perasaan itu. Jadi aku bisa jalin hubungan yang dengan perasaan sama kak Ian" balas Vanka.
Eh, ada benernya juga ya, pikirku.
"Tapi kan aku udah ngasih kesucian aku sama Adrian"
"Kak Ian! Sekarang pilih! Siapa yang mau kakak jadiin istri kedua" teriak Vanka.
"Bisa berhenti teriak gak!" kataku tegas.
Akhirnya mereka diam.
Ini apa sih? Mereka gak mikir apa?
Aku ini masih mahasiswa, punya pekerjaan aja belum. Udah dikasih kisi-kisi buat nafkahin lebih dari satu anak orang. Mau dikasih makan apa?
Lagipula kan harus ada ijin dari Shani juga.
Shan, kamu ngijinin gak kira-kira?, batinku sambil menatap Shani.
Shani membalas tatapanku dengan melotot seperti tahu apa isi hatiku. Dia seperti memberi jawaban 'Awas aja kalo berani' melalui tatapannya itu.
"Jangan-jangan yang jadi istri kedua itu Gracia?" kata Okta saat aku dan Shani sedang saling tatap.
"Aku saat ini cuma jadi pengamat kok" jawab Gracia cepat.
Pengamat?
Apa maksudnya?
Tunggu dulu, dia tadi bilang 'saat ini'? Maksudnya nanti dia...
"Cukup! Cuma aku yang nanti jadi istrinya Adrian" kata Shani menegaskan.
Sepertinya Shani tidak tahan hanya berdiam diri saja melihat perebutan posisi kedua.
"Ci Shani kan jadi istrinya kak Ads ya, kalo ada yang nyalonin jadi pacarnya kak Ads boleh, ci?" tanya Gracia tiba-tiba sambil mengacungkan tangannya seperti seorang murid yang sedang bertanya gurunya.
"Gree..." Shani seperti mau marah.
"Aku lebih berhak jadi pacarnya Adrian tau, Gre" kata Okta.
"Eh, kok marah, Ta? Aku kan cuma nanya kalo ada yang nyalonin, bukan berarti aku yang nyalonin lho ya" jawab Gracia sekenanya.
"Lagian asal kamu tahu ya, aku udah 2 tahun nyimpen perasaan ke Adrian"
Drama banget nih anak, batinku.
"Terus kenapa?" potong Shani "Aku udah nungguin Adrian 15 tahun" kata Shani tak mau kalah.
Duh, kalo dibiarin lama-lama bisa cakar-cakaran nih, batinku.
Lagipula bukannya yang menunggu selama 15 tahun itu aku ya, menunggu jawaban Shani atas lamaranku.
"Eh, Ta. Gak kamu ceritain yang kemaren?" kata Vanka sambil menggoyang bahu Okta.
"Oh iya, hampir lupa" kata Okta sambil menepuk keningnya. "Yan, kemaren gue ama Thacil liat-"
"Sst" potongku menyuruhnya diam sebentar.
Aku seperti mendengar sesuatu.
Dari atas.
"Kenapa, kak Ian?" tanya Vanka.
"Eh,... enggak. Itu, kayaknya Hp gue bunyi" kataku.
"Eh, aku gak denger apa-apa kok" kata Shani.
"Mata aku emang minus, Shan. Tapi pendengaran aku ini tajem. Kalo gak, malem itu aku gak bakal nemuin nih anak di toilet" kataku sambil menunjuk Thacil. "Dan,.. aku juga denger kok percakapan kamu sama Gracia waktu dirumahnya sesaat sebelum aku ngetuk pintu" kataku lagi.
Wajah Shani tampak memerah.
"Kamu aja yang jelasin masalah 'perjodohan' ya, Shan. Aku mau angkat telfon dulu"
"Kok aku yang jelasin? Kamu jangan lepas tanggung jawab dong!" kata Shani mengeluh.
Aku tidak menjawab keluhan Shani dan memilih untuk segera keatas. Ke kamarku.
"Udah ya, aku ke atas dulu. Yang akur, jangan cakar-cakaran" kataku sambil menaiki tangga.
.
.
.
.
.
•
...manakah kau?~
Kini kita, tinggal kenangan~
•
"Tapi tak apa, karena kita
Masih bisa berjumpa~"
Lah, malah gue sahutin. Keseringan dengerin lagu ini, secara gak sadar jadi hafal gue, batinku.
"Siapa sih yang nelfon"
Aku melihat layar HP.
Shania?
Kangen kali nih anak, batinku PD.
"Halo, Shan" sapaku mengangkat telfon.
"Heh, lo dimana?" tanya Shania.
"Dirumah lah. Kenapa?"
"Lo gak di Jember?" tanya Shania lagi.
"Ngapain?" tanyaku balik.
"Heh, lo udah gak ngasih kado ulang tahun buat gue. Gak dateng ke bilik gue pas HS tadaima kemaren buat minta maaf, malah ke biliknya Stef-"
"Trus apa hubungannya?" tanyaku lagi.
"Jangan dipotong dulu!" bentaknya.
"Ya udah. Lanjutin" kataku.
"Lo gak merasa bersalah gitu gak ngerayain ulang tahun sahabat lo?"
"Gak. Lo sendiri gak ngasih gue kado ulang tahun" balasku.
"Kan emang ulang tahun lo masih bulan depan"
Lah, dia inget ternyata.
"..Gue gak mau tau. Berarti lo harus ada di Malang besok" kata Shania.
"Emang harus?" tanyaku.
"Harus, kalo gak-"
"Lo bakal laporin ke ibu gue kan" potongku. "Ketebak, Shan. Laporin aja, gue gak takut"
Ya, gak takut lah. Untuk apa?
Aku punya alasan kuat. Lagipula ibu ku pasti lebih setuju aku tetap di Jakarta bersama Shani dan,.. pastinya tidak akan ada lagi ancaman untuk disuruh pulang kampung.
"Eh! G-gue laporin beneran lho, gue laporin kalo lo-"
Tut~ tut~ tut~
Aku memutus sambungan telefon. Aku tidak ingin lama-lama mendengarkan ocehan Shania.
Segera aku kembali ke bawah.
.
.
.
.
.
"Ini brownies beli dimana, Ci?" tanya Okta.
"Aku sama Adrian yang bikin" jawab Shani.
"Kenapa? Bilang aja kalo gak enak" kataku.
"Eh! Udah balik, Yan. Gak kok. Enak kok. Tuh buktinya Thacil habis banyak" kata Okta sambil menunjuk Vanka.
Perasaan tadi mereka ribut, ditinggal bentar udah akrab lagi. Apa gara-gara brownies ya?
"Kalo Thacil mah, emang doyan makan" potong Gracia.
"Tapi gendutan lo" kataku sambil menunjuk Gracia.
Mendengarku mengatakan hal tersebut, Gracia langsung sok memasang wajah cemberut.
"Tapi emang kurang enak kan brownies nya" kataku lagi. "Kamu sih, Shan. Aku kan udah bilang, harusnya adonannya itu didiemin dulu beberapa jam" tambahku.
"Bukan. Harusnya waktu udah selesai dipanggang, kamu hias pake cream" balas Shani tidak mau kalah.
"Emangnya ini tart? Ini brownies, Shan. Gak perlu pake dihias. Lagian apa urusannya? Kalo dihias jadi enak gitu?" kataku.
"Bilang aja kamu gak bisa ngehiasnya. Gitu katanya jago gambar" ledek Shani.
"Aku anak desain Shan, bukan anak tata boga" kataku melakukan pembelaan. "Lagian gambar di kertas sama di komputer atau laptop aja itu beda, apalagi ini di kue"
"Ihh, debatnya udah kayak suami istri aja" sela Gracia.
"Greee..." Shani seperti ingin memarahi Gracia karena malu.
Mana ada pasangan suami istri yang memperdebatkan tentang rasa brownies, batinku.
"Lagian, kak Ads. Didiemin kan gak enak" kata Gracia lagi.
"Iya gak enak, aku pernah didiemin sama Adrian. Rasanya gak enak banget" keluh Okta.
"Tapi akhirnya dapet enak kan" kata Thacil sambil menyenggol bahu Okta.
"I-iya sih" jawab Okta dengan wajah memerah.
Tunggu, itu maksudnya...
"Ini ngomongin apa sih?" tanyaku.
"Rahasia cewek. Cowok gak boleh tau" kata mereka berempat kompak.
Kapan latihannya?
Bisa kompak gitu.
Eh, mereka setiap hari latihan ya.
Tapi itu kan latihan yang lain.
Udah lah bodo amat.
"Oh iya Ta, lo tadi mau ngomong apa?" tanyaku.
"Ah,.. Eh,... Itu,.." Okta seperti bingung ingin menjawab apa.
Kenapa dia jadi kebingungan?
Bukankah dia tadi yang justru ingin memberitahukan sesuatu padaku.
Aku memandang ke arah Vanka, mungkin dia mau menjawab pertanyaanku. Tapi,.. dia malah pura-pura konsentrasi makan brownies.
Kenapa aku bilang pura-pura konsentrasi?
Karena dia makannya pelan-pelan, sedikit-sedikit. Seakan-akan dia menghayati setiap rasa dari setiap remahan brownies itu dengan detail.
Aku beralih memandang Gracia, mungkin dia tahu sesuatu. Tapi,.. dia malah sok-sok an seperti sedang bersiul tetapi tidak mengeluarkan suara. Dia melakukan itu karena dia tidak bisa beralasan seperti Vanka, brownies yang disuguhkan Shani sudah habis. Mereka cepat juga makannya ya.
Bukan itu yang jadi pertanyaan saat ini, pertanyaannya adalah,..
Kenapa mereka seperti menyembunyikan sesuatu dariku?
Shani,..
Oh iya, mungkin Shani mau menjawab pertanyaanku.
"Eh, tadi siapa yang nelfon?" tanya Shani tiba-tiba.
"Ah,.. Oh, itu.. Shania" balasku singkat.
"Ada perlu apa?" tanya Shani lagi.
"Minta, ehhh... lebih tepatnya maksa sih. Dia maksa aku ke Malang, tapi aku tolak" ajakku.
"Lho kenapa?" tanyanya.
"Ya, mendingan aku disini aja sama kamu. Lagian dia paling cuma minta ditemenin jalan-jalan"
"Lho, kok. Nanti kalo kak Shania marah gimana?" kata Shani sambil mengedip-ngedipkan sebelah matanya kepada ketiga orang yang tadi menghindari pertanyaanku seakan memberi kode.
Mereka benar-benar menyembunyikan sesuatu,.. tapi apa?
"I-iya, kak. Mendingan diturutin aja, kak Shania kalo ngamuk kan... Hiiihhhh ngeri bayangin nya" kali ini Vanka yang bicara, dia berbicara sambil bergidik ngeri.
"Lo kayak gak kenal kak Shania aja" kata Okta.
"Kak Ads cari masalah ih" tambah Gracia.
"Terus aku harus gimana?" tanyaku bingung.
"Kok pake nanya sih. Telfon kak Shania, minta maaf, bilang kamu bakal ke Malang. Trus pesen tiket sama pesen Gojek. Cepetaann!" perintah Shani tegas.
"I-iya Shan" kataku lalu kembali keatas.
"Jangan lupa packing!!" teriak Shani lagi.
Dari tangga aku masih bisa mendengar celetukan Vanka yang berkata 'Wah, ci Shani hebat. Kak Ian langsung nurut' ditambah suara tawa ceikikan dari Gracia dan Okta melihat adeganku dengan Shani yang seperti seorang ibu yang sedang memarahi anaknya yang ketahuan berbuat nakal.
Ada apa dengan mereka sih?
Kenapa mereka bersikap seperti itu?
Apa mereka ingin mengusirku?
Apa mereka ingin aku pergi ke Malang?
Tapi kenapa?
Apa benar hanya gara-gara Shania?
Kenapa mereka setakut itu jika sampai Shania marah?
Apa Shania sudah berubah menjadi sosok yang ditakuti di JKT setelah Melody graduate?
Bodo amat lah.
.
.
.
"Halo, Shan" sapaku ditelfon.
Telfonku diangkat, tapi tidak ada jawaban. Yang aku dengar hanya suara sesenggukan.
"Shan?" sapaku lagi.
Tetap tidak ada jawaban.
Mungkin aku harus menunggu sebentar.
Satu.
Dua.
Tiga.
Empat.
Lima.
Enam.
Tujuh.
Delapan.
Ok, lebih dari 5 detik itu kelamaan. Lagian ngapain gue ngitung sampe 8, kayak senam aja, batinku.
"Heh, Shan. Kalo lo gak mau ngomong gue tutup nih" kataku.
"JANGAAANN!!" teriaknya mengagetkanku.
"Suara lo kenapa, Shan? Lo habis nangis?" tanyaku yang mendengar suaranya tadi sedikit serak seperti orang yang baru menangis.
"Gak! Siapa juga yang nangisin lo" katanya sewot.
"Eh?! Nangisin gue? Gue tanyanya lo habis nangis apa gak" balasku.
"Ah, itu.. AARRGGGHH!! NGAPAIN NELFON LAGI?" katanya dengan nada tinggi yang memekakan telinga. Aku sampai menjauhkan HP-ku dari telinga.
"Gak usah sok ngambek, Shan. Kalo lo beneran marah sama gue, gak mungkin telfon gue lo angkat" kataku santai.
"Ya iya lah, gak mungkin gue bisa marah sama lo" kata Shania pelan.
"Gimana-gimana?" tanyaku ingin membenarkan apa yang baru saja kudengar.
"Ah, udah lah. Mau apa lagi sih?" tanyanya berusaha terdengar sewot.
"Gue mau minta maaf, tadi mutus telfon lo seenaknya" kataku dengan nada menyesal.
"Trus?" balasnya masih dengan nada sewot.
Membayangkan wajahnya mengatakan 'Trus?' secara langsung di depanku membuatku jengkel sendiri dan ingin memutus sambungan telfon ini lagi. Tapi mengingat 'perintah' Shani tadi, membuatku harus mengurungkan niatku.
"Lo maafin gue gak? Kalo lo maafin gue, gue besok ke Malang deh" kataku.
"Hari ini" balasnya.
"Hah..?"
"Hari ini! Biar besok udah nyampe di Malang" katanya.
"Buru-buru amat sih. Kenapa? Kangen?"
"IYAAA!!!" teriak Shania lalu menutup sambungan telfon.
"Aduh, kuping gue"
.
.
.
.
.
"Gimana?" tanya Shani yang muncul di ambang pintu kamarku.
"Aku udah pesen tiket kereta, udah packing juga. Ini,.. baru aja selesai pesen Gojek" jawabku.
"Kamu,.. kamu nanti jangan macem-macem ya" kata Shani dengan wajah murung.
"Gak lah. Palingan cuma semacem" balasku bercanda.
"Ihh, aku serius Adrian" kata Shani.
Aku menghampiri Shani dan memegang kedua tangannya.
"Kalo kamu gak percaya sama aku, aku batalin aja. Aku tetep disini, nanti aku jelasin ke Shania, karna sekarang, kamu prioritas utama aku" kataku sambil menatap dalam matanya.
Shani tidak langsung menjawab, dia malah memalingkan wajahnya menghindari tatapanku.
"B-bukan gitu,.." katanya pelan.
"Lihat aku!" kataku sambil meraih dagunya dan kembali membuatnya melihat kearah ku.
"Aku bingung"
"Kenapa?"
"Kamu,... kamu harus,.. kamu harus pergi dulu ke Malang, tapi aku,.. aku gak mau jauh dari kamu. Aku takut,.. aku takut kehilangan kamu lagi kayak dulu" kata Shani dengan tatapan sayu.
"Gak akan, Shan. Aku janji, kemanapun aku pergi, pada akhirnya aku akan balik ke kamu lagi" kataku sambil mengelus rambutnya. "Karna apa kamu tau?" tanyaku.
Shani hanya menggeleng pelan.
"Karna kamu adalah pencuri cinta pertama ku" kataku lagi.
"Berarti sama, kamu juga pencuri cinta pertama aku" balas Shani sambil tersenyum manis. Manis sekali.
Aku masih mengelus rambutnya, kemudian secara perlahan ku selipkan sebagian rambutnya ke belakang telinganya. Sekarang aku membelai pipinya. Shani kemudian memejamkan matanya, aku mendekatkan wajahku dan,...
"E'hem!"
"G-gree?! S-sejak kapan disitu?" tanya Shani panik.
Gracia entah sejak kapan, sudah berada di depan kamarku.
"Baru kok. Palingan sejak 'Aku bingung', hehehe" jawab Gracia sambil menirukan Shani kemudian tertawa kecil.
"E-ehhh!" Shani semakin panik, pipinya mulai memerah.
"Serius? 3 kali?" kataku.
"3 kali? Apanya?" tanya Gracia polos.
Wajah polosnya itu lho, pengen banget nampol, tapi habis nampol, langsung pengen nafkahin.
Eh, mikir apa gue barusan, batinku.
"Udah lah, lupain. Ada apa?" tanyaku.
"Gojek-nya udah dateng, kak Ads" jawab Gracia.
"Ya udah, bentar" kataku lalu mengambil ransel ku.
"Itu tadi serius? Pencuri cinta pertama? Aku kira kak Ads bakal bilang 'Kamu adalah dunia ku', gitu" kata Gracia.
"Kalo Shani 'dunia aku', berarti cuma ada 2 pilihan dong. Kalo gak bulet, ya datar" jawabku setengah bercanda. "Udah, jangan godain Shani terus" kataku sambil berjalan keluar kamar.
.
.
.
.
.
.
.
"Ngapain diikutin sih?" tanyaku saat hendak membuka pintu depan dan melihat dibelakangku ada 4 orang mengikutiku.
"Ini namanya 'mengantar kepergian', Yan" kata Okta.
"Tauk nih, kak Ian gitu aja gak ngerti" kata Vanka menimpali.
"Lagian, nih! Bekel kamu belum kamu bawa" kata Shani sambil menyodorkan paper bag berisi bekal ku.
"Kayak anak kecil aja pake dibuatin bekel segala, Shan" kataku seakan menolak tapi tanganku menerima .
"Awas, jangan sampe ilang! Tupperware itu" kata Shani memperingatkan. "Kalo ilang, gak usah pulang kamu" kata Shani lagi dengan wajah berusaha 'diseram-seramkan' tapi malah bikin gemes.
Lah, Tupperware lebih berharga daripada gue nih ceritanya?, pikirku.
"Ci Shani udah kayak emak-emak aja" kata Gracia sambil menutup mulutnya menahan tawa.
"Kalo bercanda jangan kebangetan, Shan. Lagian kalo aku beneran gak pulang, kamu nanti nangis lagi" kataku sambil menjawil hidungnya.
"Emang aku anak kecil" bantah Shani.
"Aku masih inget lho percakapan kalian tadi di kamar, perlu ada adegan ulang?" kata Gracia menggoda Shani.
"Udah udah, aku berangkat ya. Gracia, lo nginep lagi aja. Nemenin Shani"
.
.
.
"Lah, mas. Ini gak salah? Di aplikasi nama drivernya 'Boy' lho" tanyaku memastikan 'kebenaran' dari driver Gojek yang datang karena wajah dan nama tidak sesuai sama sekali alias tidak cocok. Gak pantes!
Namanya lebih keren dari namaku lagi. Apa-apa'an ini?
Aku kira yang jadi driver wajahnya mirip-mirip bintang sinetron itu, tapi kalo yang ini sih emang pantas hidup di jalanan kayaknya.
"Bener kok, mas" jawabnya cengengesan.
Lihat dia cengenngesan, jadi pengen nampol mukanya. Tapi kalo yang satu ini, habis ditampol enaknya dibakar hidup-hidup.
"Gimana caranya nama sama muka gak sesuai gitu? Situ pake aplikasi Gojek MOD ya" kataku sedikit bercanda.
"Yang unlimited bintang nya dong mas" balasnya juga bercanda.
"Bukan nama asli ya?" tanyaku.
"Hehehe, iya. Bukan. Itu cuma nama panggilan" jawabnya.
"Nama aslinya siapa kalo boleh tau?"
"Bastian Oscar Yunior. Disingkat BOY"
Nyesel gue nanya, batinku.
Bahkan nama aslinya lebih keren lagi.
Padahal tadinya, jika aku mengetahui nama asli si abang Gojek ini, aku berniat mengganti adegan percakapanku dengannya.
Karena selama ini saat ada adegan percakapanku dengannya, aku selalu menulis 'kata si Abang Gojek' itu kan terlalu panjang, tapi daripada aku muntah sendiri membayangkan wajahnya yang 'boros' ini dengan panggilan 'BOY' (Huek,.. Tuh, kan muntah). Lebih baik aku tetap menulis 'si abang Gojek'.
"Lagian, seriusan ini? Situ lagi? Ini gak ada driver Gojek lain apa gimana?" tanyaku pada abang Gojek yang merupakan orang yang sama yang pernah mengantar paket ke rumahku dan 'membawa kabur' Shani.
"Itu ada trik tersendiri, mas. Hehehe. Ngomong-ngomong..." jawabnya cengengesan lalu menunjuk kearah dibelakangku.
Spontan (uhuy) aku menengok kebelakang.
"Lah, ngapain masih diikutin sih" tanyaku pada 4 orang yang masih saja mengikutiku seperti anak ayam mengikuti induknya.
"Tangan" kata Shani singkat dan,.. gak jelas.
"Hah?" tanyaku.
"Tangan!" kata Shani lagi lebih keras.
Aku pun reflek menyodorkan tangan kananku seperti anak kecil yang sedang minta uang jajan pada ibunya.
"Kebalik" kata Shani.
Aku pun menarik kembali tangan kananku, memindahkan paper bag dari tangan kiri ke tangan kanan dan menyodorkan tangan kiriku.
"Kebalik. Bukan salah tangan" kata Shani lagi.
Aku pun mengulangi adegan diatas tapi terbalik seakan ada yang menekan tombol rewind. Tapi sekarang posisi tanganku terbalik dengan punggung tangan menghadap ke atas.
Shani kemudian menarik tanganku dan menundukkan kepalanya, dia,.. dia,... Shani,... Shani mencium tanganku. Dia salim. (Bukan dia ganti nama jadi 'salim' lho ya, tapi dia cium tangan)
Shani mencium tanganku.
Aku melirik kepada 2 orang disamping Gracia yang memandangi ku dengan pandangan mata berbinar.
Aku bisa menebak jalan pikiran mereka.
"Cie cie, ci Shani. Pake salim segala. Kayak sama suaminya aja" kata Gracia menyenggol bahu Shani.
Shani berusaha menutupi wajahnya yang memerah dengan kedua tangannya.
"Sekarang ak-"
"Duo baper gak usah ikut-ikutan ya" kataku memotong perkataan Vanka.
Wajah Vanka dan Okta yang sebelumnya tampak bersemangat pun langsung berubah lesu.
"Ya udah, aku aja" celetuk Gracia yang tiba-tiba maju kedepan dan memelukku.
Bukan hanya aku. Shani, Vanka, dan Okta bahkan mungkin si abang Gojek juga terkaget dengan tindakan Gracia yang tiba-tiba itu. Khusus si abang Gojek, mungkin dia terkaget dengan mulut terbuka dan kedua tangan ada di pipinya. (*Peringatan: Jangan dibayangin!!).
Satu detik.
Dua detik..
Tiga detik...
Gracia masih memelukku.
Empat detik.
Lima detik..
Enam detik...
Tujuh detik....
Gracia masih saja memelukku, dan aku masih menghitung berapa lama pelukan ini berlangsung sambil sedikit menikmatinya.
Delapan detik.
Sembilan detik..
Sepuluh detik...
Ok, cukup. Aku tidak akan berhitung lagi, aku hanya bisa berhitung sampai sepuluh . Hehe bercanda, yang bener sampe 20 . Ya gak lah. Ini bahas apa sih. Efek dipeluk Gracia jadi gesrek gini.
Gracia akhirnya melepaskan pelukannya di detik kesekian kemudian menatapku dan berkata,..
"Tuh! Ngatain orang baperan, kakak sendiri baperan" kata Gracia sambil menunjukku.
"E-enggak! S-siapa yang baper" kataku menyangkal.
"Adrian, muka kamu merah tauk" kata Shani dengan ekspresi seperti menahan marah.
"Lagian, tau gak ci. Tadi aku denger suara detak jantungnya kak Ads kenceeenng banget" kata Gracia.
"M-mas mas, helm mas!" kataku pada si abang Gojek untuk menghindari situasi yang semakin lama semakin memojokkanku ini.
Si abang Gojek hanya cengengesan sambil menyerahkan helm padaku. Aku pun naik ke motornya setelah menerima dan memakai helm dari si abang Gojek, tapi dia tidak langsung berangkat malah berkata,..
"Ajarin dong, mas biar punya cewek banyak tapi akur gitu"
"Itu ada trik tersendiri" jawabku sedikit menirukan kata-katanya tadi. "Sekarang jalan!" kataku pada si abang Gojek. "Aku berangkat ya" kataku lagi sambil melambaikan tangan pada 4 orang yang sedari tadi mengikutiku.
Dan,.. si abang Gojek tetap saja tidak langsung berangkat malah berkata,
"Ini yang Stepani Stepani itu kok gak ada"
"Udah, cepetan jalan kok" kataku sambil menepuk punggungnya.
Lagian, namanya itu Stephanie, batinku.
"Eh, tunggu kak Ads" kata Gracia menunda keberangkatanku.
"Apa lagi?" tanyaku.
"Yang tiga kali itu,.." kata Gracia sedikit menggantung. "..usaha kakak buat nyium ci Shani yang aku gagalin ya?" tanyanya polos.
Nih, anak ya. Lemot sih lemot, tapi jangan connect waktu keadaan kayak gini dong.
"Yaaann"
"Kak Iaaann"
"Berangkat, mas! Berangkat!"
.
.
.
.
.
.
.
Akhirnya aku sampai di stasiun tepat beberapa menit sebelum keretaku berangkat. Aku pun segera menukarkan tiket di loket dan langsung menuju ke keretaku.
Tepat setelah aku duduk di dalam kereta, HP-ku berbunyi. Saat kulihat ternyata video call dari Shani. Segeralah kuangkat.
"Hai, Shan" sapaku. "Kenapa muka kamu cemberut?" tanyaku yang menyadari ekspresinya yang seperti tidak senang.
"Kamu ke Malang bukan karna ada Stefi disana kan" kata Shani.
"Enggaklah" bantahku.
Ya, mungkin sebenarnya iya sih. Gadis satu itu masih membuatku penasaran. Tapi, mungkin aku harus menyelesaikan 'masalah' dengan Shania dulu.
"Itu duo baper masih belum pulang juga?" tanyaku menyindir keberadaan Okta dan Vanka di samping Shani. "Lho, Gracia mana?" tanyaku lagi mencari keberadaan Gracia.
"Tuh, kan. Aku dicariin. Masih baper ya kak?" kata Gracia yang ternyata berada di sana, hanya saja dia tidak muncul di layar.
"Adriaaann" kata Shani seperti akan marah lagi.
"Gak Shan, enggak. Udah dulu ya, keretanya mau berangkat" kataku.
"Tunggu, aku pengen liat kamu makan bekelnya" kata Shani. "Itu yang bikin kita berempat lho. Mahakarya"
"Eh?"
"Iya, Yan. Gue pengen liat juga" kata Okta.
"Aku juga, aku juga" kata Vanka.
"G-gak usahlah" kataku menolak. "Ngapain coba liatin orang makan, apa serunya?" tanyaku.
"Gre,.. suruh Adrian makan bekelnya sekarang" kata Shani pada Gracia.
"OK, ci" jawab Gracia sambil mengacungkan jempolnya, setelahnya dia melihat kearah layar. Ke arahku. "Kak Ads~" panggilnya manja. "Bekelnya dimakan sekarang ya" kata Gracia sambil mengedip-ngedipkan kedua matanya beberapa kali.
"I-iya deh, aku makan" kataku akhirnya.
Udah waktunya jam makan siang juga kok, pikirku.
"Huuu,... kalo Gracia aja langsung dituruti" kata Vanka sambil cemberut.
"Tauk lo, Yan. Gue di gantungin doang, malah sekarang ke Gracia" kata Okta.
Melihat tingkah kedua temannya itu, Gracia hanya tertawa kecil. Tawa yang sungguh menggemaskan.
Sedangkan Shani tidak berbicara apapun, dia hanya diam sambil menatapku tajam. Tapi tatapannya itu sungguh mengintimidasi.
"B-bukan gitu, kalo tadi Shani mintanya baik-baik kayak Gracia barusan, mungkin gue juga langsung mau" kataku beralasan.
Aku jadi merasa seperti Raisa. Serba salah, pikirku.
Aku lalu menyandarkan HP-ku dan mengambil bekalku.
Saat kubuka, isinya sungguh,.. mewah!
Ada nasi putih, chicken katsu, telur dadar, sosis dan.. yeiks wortel.
Tapi tunggu,..
Itu artinya, yang 'benar-benar mereka masak' hanyalah telur dadar nya? Dan wortel sih. Wortelnya hanya dipotong-potong memanjang dan mungkin mereka merebusnya.
Mahakarya apanya, batinku.
"Tapi aku belum cuci tangan" kataku.
"Ya itu kan ada sendoknya" kata Shani.
Oh, ada sendoknya ternyata.
"Tapi kalo kamu mau makan pake tangan juga gapapa" kata Shani lagi.
"Pake tangan? Gak pake mulut? Hayo, yang bener pake tangan apa pake mulut" tanyaku bercanda.
"Kak Ads ada-ada aja, malah main tebak-tebakan" kata Gracia.
"Tauk, nih. Cepet dimakan" kata Shani.
Aku lalu membalasnya dengan acungan jempol.
"Wortelnya juga dimakan ya"
Mendengar hal itu, seketika jempolku turun secara perlahan. Mereka berempat hanya tertawa melihat reaksiku itu.
Akhirnya aku mulai makan, baru makan satu sendok,..
Tunggu, kenapa mereka tertawa melihat aku makan?
Eh, ternyata saat aku mulai makan, saat itu juga bersamaan dengan kereta yang mulai berangkat.
OK Malang, I'm coming.
Ralat.
Shania, I'm coming.
Ralat lagi.
Shania & Stefi, I'm coming.
(Stefi sebagai bonus, kalo ketemu ya syukur. Kalo gak ketemu ya dicari sampe ketemu).