Part 20: TTM

3685 Kata
"Hoaaamm~. Mana sih nih anak? Nyuruh dateng cepet-cepet, dia sendiri belum dateng. Ditelfon gak diangkat lagi" gumamku menggerutu. Lah, kenapa tiba-tiba jadi gelap? Apa karena terlalu lama menunggu, aku sampai tidak sadar kalau sudah malam? "Hayo tebak, ini siapa?" Suara cewek. Sebenarnya aku tahu ini siapa, aku sangat kenal dengan suara ini. Tapi biar seru aja, jadi... "Ini siapa ya? Ngapain pake gini segala?!" "Coba tebak. Clue nya, mantan terindah" "Mantan terindah? Raisa?" "Kok Raisa? Bukan" "Lah, lagunya Raisa ada yang judulnya 'Mantan Terindah' kan" "Ya udah, ganti clue. Mantan" "Raisa" "Lho, kok Raisa lagi?" "Raisa emang mantan gue. Sebelum direbut sama bang Hamish, hehehe" "Yee, ngimpi" "Isyana?" "Maunya" "Pevita?" "Ngarep" "Chelsea Islan? Pasti Chelsea Islan, satu-satunya cewek yang bisa bikin gue berpaling dari MU, ya cuma Chelsea Islan" "Apa'an sih. Bukan!" "Oh, itu. Yang jadi Milea, siapa namanya,.. Chacha Chacha, anu, itu, Vanessa" "Bukan juga. Emang lo Iqbal" "He, pacarnya Chacha itu Adipati ya, bukan Iqbal" "Udahlah, gak penting. Itu tadi juga apa coba 'Chacha Chacha' sok akrab banget. Tebak! Siapa?" Iya ya, sok akrab banget kesannya. Chacha. Chacha Handika kali. "Tedi?" "Heh? Itu kan nama cowok!" Oh iya, benar juga. Ngapain juga yang kesebut Tedi, kan ada Samuel . "Man..." "Man?" "Man...tan gue siapa lagi ya?" Sialan, hampir kesebut. "Tebak dong" "Ya udah ya udah. Fani? Eh, kok Fani. Wanda maksud gue, bener gak?" "Heh?! Fani? Fani itu yang mana?" tanya orang itu sambil melepaskan tangannya. "Ya,... itu lo nya aja yang gak tau. Lagian, kalo petunjuknya 'Mantan', emang seorang Shania Junianantha pernah jadi mantan gue? Pacaran aja gak pernah" kataku sambil berbalik. Ya, orang yang menutup mataku tadi adalah Shania. Suaranya familiar banget. "Siapa juga yang mau jadi mantan lo" kata Shania berusaha judes tapi dengan wajah yang memerah membuat kesan judesnya hilang. "Oh, lo maunya kalo kita nanti pacaran, gak usah putus biar gak jadi mantan. Gitu?" tanyaku menggodanya. "A-apa'an sih. Siapa yang mau pacaran sama lo" balasnya masih berusaha judes. "Trus lo maunya apa? Langsung nikah?" tanyaku terus menggodanya. Shania tidak menjawab, dia malah pergi meninggalkanku. "Hei, Shan. Tunggu" . . . . . "Ini beneran lo mau ditemenin jalan-jalan ke Jatim Park?" tanyaku. "Ya iya lah. Kita janjian di depan Jatim Park kok, masa gue minta ditemenin ke Dufan? Kejauhan" balas Shania. "Bocah" celetukku. "Biarin, umur 20 kan emang masih ada sisa-sisa ABG-nya" balasnya. Perasaan gue tadi bilang 'bocah' deh, batinku. "Yang penting gue udah 20, emangnya lo" "Sebulan lagi gue juga 20" kataku. "Belum lah, kan sekarang masih tanggal 4. Sebulan lagi lo masih belum 20" "Tanggal 4? Berarti sekarang-" "Apa!" potongnya. "Iya sekarang emang udah bukan ulang tahun gue tapi ulang tahunnya Sinka, lo maunya jalan-jalan sama Sinka? Gitu?" "Kok jadi ngelantur sih, kok malah bahas Sinka? Maksud gue sekarang hari kemerdekaan Amerika kan" Shania malah melotot ke arahku. "Alesan aja, lo. Udah lah, ayo masuk!" ajaknya sambil menarik tanganku. Haduh, ikutin aja deh maunya apa. Daripada dia ngomel-ngomel lagi, batinku. . . . . . "Ini kita mau naik apa lagi?" tanyaku. "T-terserah. Y-yang penting j-jangan roller coaster atau swinger lagi" kata Shania dengan kaki gemetaran. "Ya udah, itu aja" kataku sambil menunjuk salah satu wahana. "Pendulum?! Gila ya lo" bentak Shania cukup keras hingga membuat beberapa orang yang lewat di dekat kami jadi melihat kearah kami. "Cupu, Shan. Gitu aja takut" ejekku. "Siapa yang gak takut kalo menyangkut nyawa" balasnya. "Lebay lo" kataku. "Kalo ada apa-apa gimana?! Lo pengen gue mati? Lo bunuh aja gue sekalian" katanya sedikit emosi. "Kan lo naiknya bareng gue. Kalo ada apa-apa, ya gue juga kena imbasnya. Lagian gue juga gak mungkin ngebiarin lo sampe kenapa-kenapa, soalnya..." kataku menggantung. Shania tidak menjawab, mungkin emosinya mulai reda, mungkin juga tidak. Entahlah, yang pasti Shania sekarang sedang menatapku seakan menungguku melanjutkan kata-kataku yang menggantung tadi. "Kalo lo kenapa-kenapa, gue yang repot. Lo jadi tanggung jawab gue disini" lanjutku. "Lo bilang ke staff kalo lo jalan sama gue kan" Shania hanya mengangguk pelan. "Nah, jadi percaya aja sama gue, gue akan jagain lo disini. Ya udah, sekarang kita kemana?" tanyaku lagi. "Situ aja" kata Shania sambil menunjuk ke salah satu wahana. "Rumah hantu?" tanyaku memastikan. "Iya. Kenapa takut ya. Huu~ Cemen" ledeknya. Sepertinya dia sudah tidak emosi lagi. Ya baguslah, ya kali di kota orang aku masih saja kena marah olehnya. "Siapa bilang gue takut, gue cuma males aja. Buat apa coba?" kataku. "Yee, alasan" ledeknya lagi. "Itu sama aja kayak lo ke bioskop buat nonton film horor, bayar buat ditakut-takutin doang. Esensinya dimana?" kataku lagi. "Ya udah ah, malah ngelantur kemana-mana ngomongnya. Intinya lo mau gak nemenin gue masuk kesana?" tanyanya lagi. "Mau. Pokoknya asal itu sama lo, gue mau kok" jawabku. Shania seperti bingung harus bersikap bagaimana, karena dia sekarang sepertinya benar-benar malu. Dalam hati aku tertawa, melihat Shania yang tadi sempat marah-marah tapi sekarang sudah berubah malu-malu dan salah tingkah seperti saat ini merupakan hiburan tersendiri bagiku. . . . . . . . "Habis ini kita ngapain?" tanyaku saat kami sedang makan siang. "Renang yuk. Kan ada kolam renangnya disini" ajak Shania. "Gak deh. Gue gak bawa baju ganti" balasku. "Emang lo bawa?" "Gak bawa juga sih. Trus ngapain dong?" tanyanya. Nih anak kok ngeselin ya, trus kita berenang gak pake apa-apa gitu?, batinku. "Masuk rumah hantu lagi?" tawarku. "Gak ah, serem" balasnya. "Heeh,... siapa yang tadi ngatain gue penakut ya" ledekku menyindirnya. Shania hanya menatapku tajam dan aku hanya membalasnya dengan tersenyum mengejek. Sebenarnya aku juga tidak serius mengajaknya masuk rumah hantu lagi, males. Antriannya panjang banget. Yang aku bingung, kenapa ada banyak orang mengantri panjang-panjang hanya untuk ditakut-takuti? Dan kenapa juga Shania termasuk salah satu diantara orang-orang itu? "Kenapa takut sih? Kan ada gue, lo bisa meluk-meluk gue lagi kok kalo takut. Kayak tadi" kataku sambil tersenyum dan menaik-naikkan alisku. Shania memalingkan wajahnya kemudian berkata pelan, "Bilang aja sih, kalo pengen dipeluk. Nanti juga gue kasih" katanya pelan. "Ya udah, gue pengen dipeluk" kataku kemudian. "E-eh. K-kedengeran?" tanyanya panik. "Jelas banget" jawabku. "Gimana? Katanya kalo gue minta, lo kasih" kataku lagi. "A-apa sih. Ini kita mau kemana habis ini?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. "Oh iya, Shan. Gue lupa nanya, emang lo gapapa, jalan-jalan sama gue disini?. Lo gak ada visit ke radio atau meet & greet atau DS gitu?" tanyaku. "Ada sih jadwal ke radio, tapi bukan gue yang berangkat, ada Gaby, Feni sama Yupi" balas Shania. "Meet & greet?" tanyaku lagi. "Ada juga, tapi nanti jam 5 an. Gue udah dapet ijin kok" jawabnya lagi. "Ohh,.. menyalahgunakan jabatan ceritanya?" sindirku. "Mentang-mentang kapten gitu" tambahku. "Apa sih. Malah nuduh. Aku melihat jam tanganku. Cukuplah waktunya, pikirku. "Ke museum angkut aja, yuk" ajakku akhirnya. "M-mau ngapain disana?" tanyanya. "Jalan-jalan aja. Ngabisin waktu berdua" balasku. Aku yakin kalau wajah Shania sekarang sudah benar-benar merah seperti rapor anak SD yang malas belajar. Sepertinya aku terlalu berlebihan menggodanya. Duh, bagaimana jika dia tau aku sekarang tinggal bersama Shani ya? Apalagi jika sampai dia tahu aku dan Shani 'dijodohkan'. Bisa-bisa bukan memiliki buku nikah tapi buku yasin . Pusing aku memikirkannya. "Udah ah, ngobrol terus kapan selesai makannya?" balasnya. "Gue udah selesai kok" jawabku. "Gimana ceritanya?" kaget Shania. "Daritadi kita ngobrol kok tiba-tiba makanan lo udah habis?" tanyanya. "Kita gak ngobrol terus kok. Kadang lo nunduk, kadang liat ke arah lain, kadang mainin sendok" kataku blak-blakan. "E-EHH!!" "Mau gue suapin biar cepet?" godaku. "Gak usah. Apa'an sih" tolaknya lalu mulai melanjutkan makannya. "Shan, aku boleh jujur? Ada yang harus aku omongin ke kamu" kataku tiba-tiba yang membuat Shania menghentikan kegiatan makannya sejenak dan menatapku. "S-soal apa?" tanyanya. "Aku.. a-aku... haduh gimana ngomongnya ya" "Ng-ngomong aja, j-jangan bikin penasaran dong" kata Shania terbata-bata. "Shan, sebenernya... Ah, jangan deh, Shan. Malu" "M-malu?" "Aku takut, kamu nantinya ngejauhin aku" "Mau ngomongin apa sih?" "Tapi aku mau kamu janji dulu, Shan" kataku sambil menggenggam tangan kirinya dan menatapnya dalam-dalam. Shania menghindari tatapanku. "Shan, tatap aku" kataku. Shania masih tidak mau menatapku. "Shan" panggilku. "Ng-ngomong aja. Tinggal ngomong kan" jawabnya. "Tatap aku" kataku sekali lagi. Dia masih tidak mau menatapku. "Nia,.." panggilku lagi. Entah Shania sadar atau tidak, tapi yang pasti dia sekarang sudah melihat ke arahku. "Nah gitu dong. Kan enak, aku jadi bisa lihat muka kamu" kataku saat Shania sudah menatapku. "Udah cepetan mau ngomong apa?" tanya Shania. "Janji dulu. Jangan marah ya" kataku. "Iya" "Sebenernya aku.. sebenernya... sebenernya aku gak nyiapin kado buat kamu. Maaf ya" "Heh?! Cuma mau ngomong itu?" tanya Shania. "Iya lah. Emang lo pikir gue mau ngomong apa?" tanyaku balik. "Habisnya lo tadi pake 'Aku-Kamu', gue kan jadi..." "Emang kenapa?" potongku. "Lo kan juga pernah gitu. Pake 'Aku-Kamu' ya kan" "Eh, kapan? Waktu di theater itu? Itu kan formalitas biar fans gak curiga" elak Shania. "Sehabis gue nginep di rumah lo, yang habis gue nemenin lo jalan-jalan" balasku cepat. "Eh!" "Kenapa? Lo pikir gue gak sadar apa?" Shania tidak menjawab dan memilih menghindari pertanyaanku dengan melanjutkan makannya. "Tapi kenapa lo besoknya tiba-tiba balik pake 'Lo-Gue'?" tanyaku lagi. Shania masih diam. "Gak mau jawab? Oke. Gue tebak aja" kataku sok keren. Padahal kan emang keren. PD aja dulu. "Saran dari kak Kinal kan" tebakku. "Uhuk uhuk" Shania sepertinya kaget dan terbatuk. "Ketebak ya" kataku dengan senyum mengejek. "Apa sih. Gue cuma keselek" elak Shania. "Lo curhat ke Kak Kinal, Kak Kinal nyaranin biar lo balik bersikap biasa. Trus lo ikutin sarannya" kataku lagi memberi penjelasan dari tebakanku. "Apa sih. Mengada-ada deh. Atas dasar apa lo nuduh gitu" kata Shania sewot. Aku tidak menjawabnya, aku hanya melihat tanganku yang tadi menggenggam tangannya. Tapi sekarang, malah tangan Shania yang menggenggam tanganku. Aku langsung menatapnya dengan tatapan, 'kalo lo marah, tangan gue lepasin dong'. Shania yang menyadarinya langsung menyentak tanganku hingga tanganku membentur meja. "Habis dari rumah latihan, lo pulang bareng kak Kinal kan. Jadi pasti waktu itu lo curhat sama dia" kataku lagi sambil mengelus-elus tanganku. Shania tidak menjawab. "Dari ekspresi lo, kayaknya tebakan gue bener sih" kataku sambil tersenyum. "Apa sih" bentak Shania. "Trus kenapa kalo gue pulang sama kak Kinal? Yang jadi pertanyaan itu, lo waktu itu kenapa mau aja nganterin Stefi pulang hah?" tanyanya "Gue gak ada hubungan apa-apa sama Stefi" balasku singkat. "Trus kemaren,.. waktu HS,... kenapa,... kenapa lo pake dateng ke biliknya dia?" Shania seperti mau menangis. "Lo lihat sendiri gue ke biliknya dia? Gak kan" kataku yang tidak mau mengakui dan juga tidak berusaha membohongi Shania. Shania terdiam seperti memikirkan sesuatu. "Trus kenapa... kenapa Stefi putus sama pacarnya setelah kemarennya lo anterin dia pulang?" tanya Shania menahan tangis. "Dia,..." Aku tidak melanjutkan kata-kataku. Jika kulanjutkan, jika aku memberitahu Shania kalau Stefi sebenarnya sudah putus sebelum kejadian aku mengantarnya pulang. Shania pasti akan curiga. Dia mungkin akan bertanya, 'Lo tau darimana kalo ternyata dia putus bukan karena lo?'. "Gue gak tau, Shan" balasku datar. Shania memandangku tajam. "Yang gue tau, beberapa hari setelah gue nginep di rumah lo. Lo putus dari Bobby" kataku lagi yang membuat dia terkaget. Ya, sekarang kalian tahu kalau aku sudah membuat Shania putus dari pacarnya. Aku mengetahuinya dari Vanka saat dia belum 'sok-sokan' ngambek. Kenapa aku bisa menyimpulkan kalau aku yang membuat Shania putus? Kalian tidak ingat? Pada saat aku menginap dirumah Shania, dia bilang kalau dia sedang punya masalah dengan pacarnya, dan disana ada aku yang 'menghiburnya'. Jika beberapa hari kemudian mereka putus, sudah bisa dipastikan aku penyebabnya. Shania diam dan sepertinya kaget karena aku tahu dia sudah putus. "L-lo tau darimana?" tanya Shania. "Gak penting gue tau darimana" balasku. "T-tapi Stefi-" "Ssstt" potongku menyuruhnya diam sambil menempelkan telunjukku ke bibirnya. "Kalo lo pengen tau kenapa Stefi putus, kenapa gak lo tanya aja sendiri ke Stefi nya" kataku. Shania hanya diam. "Udah makannya? Yuk berangkat" ajakku. . . . . . . . "Lo gak bawa kamera?" tanya Shania. "Gak. Kenapa?" tanyaku balik. "HP gue mati, masa di museum angkut gak foto-foto" kata Shania. "Bukannya mati daritadi ya. Tadi gue telfon gak bisa" kataku. "Eh, emang lo nelfon?" tanya Shania. Aku hanya membalasnya dengan anggukan kecil. "Berarti kemaren gue lupa ngecas. Gak bisa foto deh" kata Shania menyesal. "Udah lah. Kan yang penting momennya, bukan foto-fotonya" kataku sambil tersenyum. "Bisa aja, playboy cap tupai" kata Shania. "Eh, gue gak playboy ya. Pacar aja gak punya" kataku tidak terima dengan tuduhannya. Ya, aku dan Shani memang belum berpacaran bukan. Lagipula cap tupai itu apa maksudnya? Yang aku tahu Cap Lang dan Cap Badak. Lah, kok malah promosi, di endorse aja enggak. "Tapi gebetannya banyak" kata Shania. "Kalo gebetannya banyak itu bad boy bukan playboy. Beda tau, Shan" kataku. "Berarti lo bad boy" tuduh Shania "Enak aja" kataku membantah. Aku sedikit malas dengan julukan yang ada kata-kata 'BOY' nya. "Kan lo tadi yang bilang bad boy itu gebetannya banyak. Gebetan lo kan emang banyak, ada Thacil, Stefi, gue" kata Shania dengan suara pelan saat menyebut kata 'gue'. "Itu yang gue tau. Jangan-jangan masih ada lagi" "Apa'an gue ama Thacil gak ada apa-apa, sekarang aja udah gak begitu deket lagi" kataku. "Stefi?" tanya Shania. "Eh,.." Aku agak ragu ingin menjawab apa. "Kan tadi udah gue bilang, gue gak ada apa-apa sama Stefi kok masih ditanyain lagi sih?" "Gue cuma pengen mastiin aja. Beneran kan, lo gak ada apa-apa sama Stefi?" tanyanya lagi memastikan. "Enggak, Shan" jawabku meyakinkannya. Shania sedikit tersenyum mendengar jawabanku. "Mungkin belum" lanjutku. "HAH?!" "Bercanda, Shan bercanda. Udah, jangan marah-marah mulu, cepet tua lo entar. Sekarang aja tampang lo udah kayak,.." "APA? APA?! APA?!!" Aku hanya diam, tidak menjawab pertanyaannya. "Malah diem" "Gue naik level lagi nih" tanyaku tiba-tiba. "Maksudnya?" tanyanya bingung. "Emang lo gebetan gue?" tanyaku lagi. "Hah?" Shania kaget dengan pertanyaanku. "Lo pikir gue gak denger tadi. Lo bilang, 'Gebetan lo kan emang banyak. Thacil, Stefi, gue' iya kan" desakku. "Ah,.. itu,..." "Lagian, ngapain bahas mereka sih? Yang ada disini kan aku sama kamu" kataku sambil sedikit mendekat ke arahnya dan menatap matanya. "Ng-ngapain lo deket-deket? G-gak,.. gak akan berpengaruh ke gue" katanya sambil berusaha membalas tatapanku tapi dia tampak sedikit ragu. "Yakin?" "M-mana HP lo, gue pinjem buat foto-foto" kata Shania tanpa menjawab pertanyaannya ku. Sial! Shania tidak boleh meminjam HP-ku, bagaimana reaksinya jika mengetahui wallpaper HP-ku adalah foto Shani, bisa-bisa dia curiga lagi. Dan,.. mempertahankan ekspresiku agar seperti tidak terlihat kaget ternyata cukup susah. "Shan" panggilku. "A-apa?!" "Aku mau ngomong sesuatu sama kamu" kataku tiba-tiba. "Ng-ngomong apa lagi sih?! Gak usah pake 'Aku-Kamu' bisa gak sih?" Aku tidak memperdulikan perkataannya dan memilih untuk tetap melanjutkan perkataanku. "Shan, sebenernya aku mau ngomong ini dari tadi. Tapi aku nunggu momen dan waktu yang pas, dan mungkin sekarang lah momen dan waktu yang pas itu,..." "L-lo sebenernya mau ngomong apa sih?" "Shania Junianantha, maukah kamu me-" "Mau" jawab Shania cepat tapi dengan suara pelan tanpa menungguku menyelesaikan kata-kataku. "Ya udah" kataku sambil berjalan menjauh. "Hei, lo mau kemana?" tanya Shania sambil sedikit berlari menyusulku. "Toilet. Kenapa? Lo mau ikut?" tanyaku. "Kok tiba-tiba,.." "Gue kan tadi mau bilang 'maukah kamu menunggu diriku ini yang akan pergi ke toilet?'. Emang lo pikir gue mau nanya apa?" "Lo tuh ya!" katanya sambil menunjukku. "Udah, cepetan!" perintahnya kemudian sambil mendorongku. Aku hanya bisa tersenyum sendiri, tapi kali ini penyebabnya bukan karena melihat Shania salah tingkah. Penyebabnya adalah saat tadi Shania menanyakan perihal hubunganku dengan Stefi. Entah kenapa saat mengingat Stefi aku merasa bahagia, terutama saat mengingat senyumannya. . . . . . . . "Udah, sana! Nanti lo telat, nyalahin gue lagi" kataku pada Shania saat taksi online pesanannya sampai. "Tau aja lo. Yakin nih, lo gak mau bareng?" tawar Shania saat sudah masuk ke dalam mobil. "Ah, gak usahlah. Ngerepotin" tolakku. "Gak repot kok" kata Shania. "Gue yang repot" jawabku. "Yee, malah sok. Ya udah, hati-hati ya nanti lo balik hotelnya" kata Shania. "Lo nginep di hotel mana sih?" tanyanya lagi. "Iya" kataku pada Shania tanpa menjawab pertanyaannya. "Pak, jangan sampe lecet ya" himbauku pada si supir taksi online. "Tenang aja, mas. Saya anterin mbaknya sampe tujuan. Pasti aman, saya jamin" jawab si bapak supir taksi. "Maksud saya mobilnya, lho. Mobilnya jangan sampe lecet. Sayang soalnya, mobil bagus" kataku. Shania yang tadi sempat tersenyum-senyum malu langsung menatapku dan sepertinya ingin marah. Melihat hal itu, aku langsung menyuruh si bapak supir taksi untuk segera berangkat. "Cepetan berangkat, pak" perintahku pada si bapak supir taksi. Huft~ Aku sedikit menghela nafas saat melihat mobil yang dinaiki Shania semakin lama semakin menjauh. Selamet selamet. Gak kena marah Shania, batinku. Eh iya, tapi beneran lho tadi. Aku jadi kerepotan gara-gara Shania. Kenapa? Pertama, karena kemarin dia tiba-tiba menelfonku dan memaksa ku untuk berangkat ke Malang. Ya, kalian pasti sudah tahu akan hal itu sih. Aku hanya mengingatkan saja, karena masalahnya adalah aku harus berangkat hari itu juga dan, kalian tahu aku sampai di Malang jam berapa? Tengah malam. Untung masih ada taksi, supir taksinya baik lagi. Karena aku tidak tahu hotel yang bagus di Malang itu yang dimana, dia merekomendasikan salah satu hotel yang cukup bagus dengan harga yang cukup terjangkau juga, hotel itu juga cukup dekat dengan tempat event Circus besok. Jadi, aku cukup beruntung. Kedua, Shania pagi-pagi sudah menelfonku meminta untuk menemuinya di Jatim Park 1. Aku yang sedang nyenyak-nyenyaknya tidur terpaksa harus bangun. OK, mungkin gitu aja. Sekarang, pesen Gojek buat ke hotel. Mudah-mudahan bukan si BOY lagi. Kebangetan sih, kalo ketemu BOY disini. . . . . . . . "Sampe juga dikamar" gumamku yang langsung merebahkan diri di atas kasur hotel. Kampret, nih kasur hotel empuk banget. Bisa betah gue, batinku. • Sudah berakhir Wahai sayangku, dimanakah kau?~ • Duuuhh, siapa lagi, sih?, batinku. Kulihat nama yang tertera di layar HP-ku. Udah kangen lagi nih, anak?, pikirku bingung. "Halo" sapaku setelah mengangkat telfon. "Halo, kak Ads~" balas suara di seberang telfon. Lho, kok suara Gracia?, pikirku. Kulihat lagi layar HP-ku, ternyata nama yang tertera adalah nama Shani. Mungkin Gracia menelfon menggunakan HP Shani. "Gracia?" tanyaku memastikan. "Iya, kak" jawabnya. "Kenapa nelfon? Shani mana?" tanyaku. "Ci Shan lagi beberes rumah" jawabnya.l singkat. "Terus,... lo kenapa nelfon?" tanyaku lagi. "Oh iya, lupa. Hehehe" jawabnya cengengesan. Lah, gimana sih nih anak? Kan dia yang telfon duluan. "Aku mau laporan, kak. Tadi ada yang nyariin kak Ads kayaknya" "Kok kayaknya?" tanyaku. "Iya, soalnya tadi ada yang dateng kan mencet bel gitu, kan aku yang nemuin ke depan kan, trus trus waktu aku tanya 'cari siapa ya kak'. Eh, dianya malah lari masuk ke mobilnya, terus pergi deh" jelas Gracia. Sepertinya aku tahu siapa yang dimaksud Gracia, dan saat aku kembali dari Malang nanti, orang yang dimaksud Gracia itu akan menginterogasiku dan meledekku habis-habisan. Ya, benar. Pasti orang itu adalah Rafli. Tapi aku harus memastikannya dulu, jangan langsung menuduh. "Barusan atau,.." "Tadi pagi, kak" "Kenapa baru laporan sekarang?" "Baru inget. Hehehe" "Ciri-cirinya gimana?" tanyaku. "Apanya?" tanyanya balik. "Orang tadi. Ciri-cirinya gimana?" tanyaku lagi. Ya ampun, nih anak pola pikirnya gimana sih?, batinku. "Ooooohhh,..... Aku gak merhatiin sih tapi kayaknya aku pernah liat orang itu deh" katanya. "Dimana ya kak?" tanyanya. Lah, kenapa dia malah bertanya padaku? Tapi sepertinya orang yang dimaksud Gracia itu memang Rafli, Gracia pasti pernah melihatnya saat event Handshake. Rafli pernah cerita kalau dia Handshake dengan Gracia kan. "Ah, aku inget kak!" teriak Gracia tiba-tiba sehingga membuatku kaget. Untung lagi jauh ya, kalo deket udah gue jitak lo. Ngaget-ngagetin orang aja, batinku. "Ciri-cirinya itu, orangnya pokoknya gaya pakaiannya ala ala boyband korea gitu" Lah, aku kira yang dia ingat itu adalah tempat dimana dia pernah bertemu dengan orang itu, tapi ternyata malah ciri-cirinya. Bener-bener yah nih anak. Tapi udah fix, orang itu Rafli. Gayanya sok keren seperti itu. Ada perlu apa Rafli mencariku? Dan jika kejadiannya tadi pagi, kenapa dia tidak menelfonku? "Mirip sama gaya pakaiannya kakak" tambah Gracia. "Lah kok gue?" tanyaku. "Emang iya, kan" jawabnya. "Itu temen kakak ya? Gaya pakaiannya sama gitu" tanyanya. "Iya mungkin" jawabku. "Ada lagi yang nyariin?" tanyaku. "Halo, Adrian?" sapa suara yang berbeda, ini pasti suara,.. "S-Shani?" "Iya. Ini Shani, calon istri kamu" jawabnya. "Hai, Shan. Kenapa pake ngomong kayak gitu?" tanyaku. "Biar kamu masih inget kalo kamu itu punya aku dan aku calon istri kamu ini, masih nungguin kamu" jawabnya menjelaskan. "Shan, Aku kangen" "Gak usah gombal. Belum tentu, 'Shan' yang kamu maksud itu aku" "Kok kamu ngomongnya gitu sih?" "Gimana? Enak ya telfonan sama Gracia?" "Eh?! Kok?" "Gimana? Udah dibicarain sama kak Shania?" tanyanya lagi. Oh iya, aku sampai lupa. Lupa? Lupa atau takut? Tapi,.. kenapa aku harus takut? Kemarin aku bisa dengan santainya memberitahu tiga orang sekaligus, Vanka, Okta, dan Gracia perihal hubunganku dengan Shani. Tapi hari ini, kenapa aku tidak bisa, padahal aku hanya perlu memberitahu satu orang, Shania. "Adrian" "Ah,.. iya, Shan, itu,.. B-belum" jawabku. "Ya udah, gapapa. Kamu udah makan?" tanyanya. Saat Shani bertanya seperti itu, tiba-tiba saja,.. Kruyuuuk... "Lah iya, aku belum makan malem" jawabku. "Jangan telat makan dong, kalo kamu sakit nanti,.." kata Shani menggantung. "Kalo aku sakit kenapa?" tanyaku. "Kalo kak Ads sakit, siapa yang nyakitin ci Shani?" lanjut suara yang aku tahu itu pasti Gracia. "Ini kalian loudspeaker ya?" "Dari awal kak Ads" kata Gracia lagi. "Ya udah, aku makan dulu ya. Dah" "Dah" jawab mereka berbarengan lalu memutus sambungan telfon. Huft~ Turun lagi deh, batinku. . . . Aku berjalan menyusuri lorong hotel menuju ke arah lift untuk turun ke bawah dan mencari makanan. "Perasaan gue aja, atau emang rame banget ya" kataku sendiri saat menyusuri lorong dan mendengar berbagai macam suara dari kamar-kamar yang kulewati. Bruk!! Aku menabrak seseorang yang tiba-tiba muncul dari belokan ke arah lift. Secara reflek aku menahan tubuhnya yang kehilangan keseimbangan dan akan terjatuh kebelakang. "Eh, lo gapapa?" tanya seorang gadis yang ada disamping orang yang aku tabrak barusan. Mungkin temannya. "Gapapa kok" jawab orang yang baru kutabrak. Seorang gadis dan kalau diperhatikan, bening nih anak. "Makanya ati-ati" kata temannya. "Iya-iya" jawab gadis itu pada temannya. "Maaf ya, kak" katanya padaku. "I-iya" kataku yang setengah gugup karena kami masih diposisi yang sama dimana aku menahan tubuhnya. Setelah sekali lagi meminta maaf, gadis itu dan temannya kemudian pergi menuju ke arah dibelakangku. Kayak pernah liat deh sebelumnya, pikirku saat mengingat-ingat wajah gadis tadi. Aku menoleh ke belakang berusaha melihatnya lagi dan ternyata, gadis tadi juga sedang melihat ke arahku. "Ayo, Jul" panggil temannya. "Eh, i-iya" jawabnya. Aku masuk ke lift dan menekan tombol mengarah ke lobby. Tapi masih ada yang menggangu pikiranku. Gadis tadi. Siapa ya?

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN