"Maaf. Maaf..
Ku tak bisa melindungimu, lekaslah sembuh.
Maaf. Maaf..
Lupakanlah aku, meski pilu.~
Janji untuk bersama slamanya.
Kini sudah tak ada.
Tak mampu menjagamu.
Maafkan..~"
"Masih pagi udah nyanyi-nyanyi galau aja, mikirin siapa sih?" tanya suara dibelakangku.
"Eh, Shani. Udah bangun? Sarapan dulu yuk, aku buatin nasi goreng nih" kataku saat menoleh ke belakang lalu mengajaknya sarapan.
Ya, dia adalah Shani. Shani Indria Natio.
Kenapa pagi ini aku bersama dengan Shani? Ya, karena sekarang kami berada di rumahku. Eits, jangan berfikir macam-macam dulu, aku tidak melakukan hal aneh-aneh padanya.
Lalu apa yang telah terjadi?
Baiklah, akan ku ceritakan apa yang sudah terjadi saat aku berada di Jogja.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Saat ini aku ada di rumah pakde Sony tengah melampiaskan kekesalanku pada kedua orang tuaku dengan cara menyantap makanan sebanyak-banyaknya di acara halal bihalal yang di ceritakan ibu ku tempo hari.
Rumahnya memang besar. Pantes, cukup buat nampung hampir semua saudaraku. Hampir semua karna ada yang tidak bisa datang.
Kenapa aku kesal? Karena mereka 'sedikit' berbohong padaku, katanya mobil diservice. Ya, memang diservice sih. Tapi saat akan ke rumah pakde Sony, ya mobilnya sudah selesai di service. Lalu untuk apa aku macet-macet bawa mobil?
Bodo lah.
Saat aku ingin mengambil makanan lagi, aku sepintas melihat sosok perempuan yang sepertinya aku kenal. Saat ingin memastikan,
"Hey, Adrian. Sini bentar!" panggil ayahku.
"Iya, yah" balasku yang langsung menghampiri ayahku.
Ayah dan ibu ku sedang bersama dengan seorang bapak-bapak dan seorang ibu-ibu yang tak kukenal(?).
"Hey, Adrian! Masih kenal sama om?" kata bapak-bapak tersebut saat aku sudah sampai di dekat mereka.
"Hehe, lupa" jawabku jujur apa adanya. "Siapa ya, om?" tanyaku.
"Kamu masa lupa, Adrian" sekarang si ibu-ibu itu yang pasti adalah istrinya yang bicara.
"Maaf, tante. Saya beneran lupa" kataku.
"Maklumlah, pas kecil kan dia ikut pindah ke Jakarta" kata ibu ku.
"Iya, harap maklum" kata ayah ku.
"Tapi sama anak tante gak lupa, kan" kata ibu-ibu itu lagi.
"Gak mungkin lupa lah, kan pernah dilamar. Hahaha" kata ayah ku sembari tertawa.
"Hahaha, iya" kata ibu ku yang juga ikut tertawa.
Tunggu, sedang membicarakan apa ini? Lamar? Memangnya aku pernah melamar seseorang? Melamar pekerjaan saja aku belum pernah.
"Kowe lali toh, le? Yo wis, bu. Celuk cah e mrene!" kata bapak-bapak itu pada istrinya.
"Shani, rene nduk!!" kata ibu itu memanggil seseorang.
Tunggu dulu! Shani? Jangan-jangan.
"Iya, bu" sosok yang dipanggil langsung menghampiri kami.
Oh sial, dugaan ku benar! Shani yang itu? Iya, yang itu. Jadi, perempuan yang kulihat sepintas tadi adalah... Shani?
Kenapa Shani ada disini? Di acara halal bihalal keluarga besarku? Apa jangan-jangan Shani dan aku bersaudara?
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Ya, aku dan Shani memang bersaudara. Saudara jauh. Jadi begini penjelasannya, kakak laki-laki ibu ku menikahi seorang wanita, kita sebut wanita itu sebagai bude ku. Bude ku ini memiliki saudara perempuan, dialah ibu nya Shani. Nah, sudah jelas kan. Kalau masih bingung, baca paragraf ini lagi. Kalian pikir aku sendiri langsung mengerti begitu mengetahui fakta bahwa aku dan Shani bersaudara.
Entah mau bagaimana lagi semesta menuliskan cerita dihidupku ini. (Lebih tepatnya terserah si penulis sih).
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Kami sekarang tengah duduk lesehan di ruang tengah. Posisi duduk kami berhadapan antar keluarga, tapi bertukar anak. Jadi, aku diapit oleh kedua orang tua Shani, dan Shani diapit kedua orang tua ku. Lucunya, ayahku yang sepertinya selalu ingin menyentuh Shani, entah itu merangkul atau memegang tangannya tapi selalu sukses juga dihalangi ibu ku.
"Hahaha, ancen e lucu awakmu iku, le. Jek bocah wis main lamar-lamar anak e wong" kata ayah Shani.
"Hahaha, siapa dulu bapaknya" kata ayah ku yang berusaha merangkul Shani lagi tapi kembali gagal.
Lah, malah bangga nih orang.
Rasain, lo! Gak bisa jaga kelakuan sih kalo lihat cewek cantik.
"Coba, reka ulang pas kowe ngelamar cah ayu iki" kata ibu ku yang sedang merangkul Shani.
"Apa sih, bu. Itu kan masih kecil belum ngerti apa-apa" kataku.
"Belum ngerti apa-apa tapi udah berani ngelamar anak orang" balas ibu ku.
Haduh, kenapa aku terjebak dalam situasi akward begini? Masalahnya aku kenal Shani yang notabene anggota JKT48, grup yang aku idolakan. Dan Shani mungkin juga mengenaliku yang merupakan temannya Shania, apalagi aku sering menonton perform nya di theater, bukan perform nya saja sih, tapi seluruh anggota K3. Dan sekarang orang tua kami seperti menjodoh-jodohkan kami(?).
"Iya, tante kan masih kecil waktu itu" kata Shani pada ibu ku.
"Haduh jangan panggil tante, dong. Panggil aja mama, mama Dian" kata ibu ku.
Anak sendiri disuruh manggil dia 'ibu', biar gak manja katanya. Anak orang disuruh manggil 'mama', (Shania dan Shani contohnya). Anak sendiri gak boleh manja, anak orang dimanja-manjain.
"Iya tan eh, ma" balas Shani sambil tertunduk. Malu(?).
"Nah, gitu. Itung-itung latihan jadi menantu mama. Hahaha" kata ibu ku.
"Waktu itu kejadiannya pas nikahannya Ali ya" kata ibu Shani.
"Iya, bu. Kalo gak salah kata-katanya itu gini 'Suatu hari nanti, kita yang akan duduk disana' sambil nunjuk arah pelaminan nih anak" kata ayah Shani mengingatkan kami semua pada kejadian itu.
Mendengar itu, aku langsung ingat. Aku ingat saat kecil dulu, saat berusia 5 atau 6 tahun. Aku bertemu dengan seorang gadis yang sangat cantik menurutku di pernikahan adik ibu ku saat itu. Dan saat itu pula, aku 'melamarnya'. Sial!!!
Entah kenapa saat ini aku ingin memiliki mesin waktu untuk kembali ke masa itu dan menjitak diriku sendiri sebelum aku melamar Shani. Bikin malu aja.
"Itu maksudnya,.. ehmm... Ya duduk disitu kan maksudnya nikah, tapi kan gantian duduk nya, sama pasangan masing-masing maksudnya" kataku membela diri.
Lagipula kenapa aku bisa sampai bicara begitu?
Apakah itu salah satu firasat?
"Wis ra usah gantian, bareng wae. Cocok kok" kata ibu ku.
"Iya, cocok. Ganteng tenan cah lanang" kata ibu Shani sambil mencubit pipiku gemas.
"Hahaha, siapa dulu bapaknya" kata ayah ku lagi, kembali membanggakan dirinya.
"Lulus kuliah aja belom, masa udah ngomongin soal nikah" kataku beralasan.
"Ya gapapa, ibu yakin kamu pasti lulus tepat waktu kok" kata ibu ku.
Apa'an!! Kalo di depan orang aja ngomong kayak gitu, padahal kan,.. Haduhhh.
"Tapi kan, bukannya kita ini saudaraan kan, ya kan" kataku berusaha mengingatkan mereka.
"Bukan saudara kandung aja, gapapa lah" kata ayah Shani. "Sekarang gini aja, om tanya sama kamu, mau gak jadi menantu om?" tanya ayah Shani sambil menepuk bahuku.
Ditanya seperti itu, aku hanya bisa menatap ayahnya Shani. Aku tidak berani melihat ke arah Shani, aku bisa tambah salah tingkah.
Dari sorot mata ayah Shani, sepertinya dia benar-benar serius menanyakan hal tersebut. Aku pun reflek langsung mengangguk dengan mantap dan berkata dengan tegas,
"Mau" singkat, padat, jelas. Gak munafik juga.
"Bagus, jadi laki-laki harus tegas. Nah, sekarang coba kamu lamar lagi Shani" kata aya Shani. "Waktu kalian kecil itu kan, lamarannya belum resmi" tambahnya.
"Hah?" kagetku.
Sial, kalau harus melakukannya sekarang. Jujur, aku belum siap. Dan waktu kecil dulu, Shani tidak menjawab 'lamaran'ku, kalau sekarang malah ditolak bagaimana. Mau ditaruh dimana nih muka.
"Bapak, jangan gitu. Udah, gapapa Adrian. Nanti-nanti aja, pasti diterima kok sama Shani. Soalnya kamu itu cowok yang dicari Shani dari dulu. Selama ini, dia selalu mikirin anak cowok yang 'ngelamar' dia" kata ibu Shani.
"Ihh, ibu! Apa'an sih!" kata Shani dengan wajah memerah. Apakah dia malu(?).
"Wong kowe dewe sing curhat nang ibu ngunu lho, piye toh" kata ibu Shani.
Tunggu, berarti selama ini Shani menyukaiku?
Baiklah aku tidak jadi meminta mesin waktu. Kalau keadaannya begini, ternyata pintar juga diriku yang dulu .
"Oh, iya kamu harus mulai ngafalin nama calon istri kamu ini! Biar pas ijab kabul nanti gak salah" kata ayah ku yang lagi-lagi berusaha merangkul Shani, tapi lagi-lagi juga dia gagal berkat ibu ku. "Nama nya lumayan panjang. Emang nama kamu, cuma 'Adriansyah' aja" kata ayah ku lagi.
Lah, gimana sih. Kan yang ngasih nama dia. Perasaan dulu gak gini kelakuannya. Apa waktu di Jogja kepalanya terbentur sesuatu. Kok agak geser otak nih orang.
"Lho, emang namanya Adrian itu 'Adriansyah' aja?" tanya ayah Shani.
"Iya, dulu waktu baru lahir, malah cuma 'Adrian' aja. Tapi akhirnya ditambah 'Syah' biar agak beda" kata ibu ku.
Agak beda? Beda sama siapa?, pikirku.
"Lho, trus kenapa 'waktu itu' gak diganti jadi 'Muhammad Adriansyah' aja?" tanya ibu Shani.
"Ibu nya gak setuju kalo ada nama nabi nya. Nanti beban katanya" jawab ayahku.
"Ya, itu kan salah ayah. Masa namanya Adrian malah mau diubah jadi 'Muhammad Yusuf Ibrahimusa' kan kasihan" kata ibu ku.
Lah, beban banget nanti hidup gue mengemban 4 nama nabi. 'Adrian' nya ilang lagi.
"Waduh, beban itu" kata ayah Shani.
"Tapi 'Adriansyah' itu ada artinya, lho. Lupa saya, artinya apa, pak?" tanya ibu ku pada ayah ku.
Lah, gimana sih. Dia gak tau arti nama anaknya sendiri. Orang tua macam apa kalian ini?!
"Sebenernya bukan arti. Tapi nama dia itu singkatan dari 'Anak Dari Rico Dan Dian Yang Sudah Syah', itu" kata ayah ku.
Tunggu, aku sendiri baru tahu kalau itu singkatan. Eh, apa itu tadi? 'Yang Sudah Syah'?
"Emang ada anak dari hasil yang belum syah? Hahaha" tanya ayah Shani sambil tertawa.
"Hahaha, mungkin. Hahaha" balas ayah ku.
Mungkin?
Woi, apa-apaan ini?
Apa aku punya kakak?
Kalau iya kakak laki-laki atau perempuan?
Kalau perempuan apa jangan-jangan, dia juga..?
"Hahaha, bisa aja" kata ayah Shani masih dengan tertawa.
Lah, ini duo bapak-bapak otaknya sama-sama geser apa gimana sih?
"Ngomong-ngomong soal nama, nanti anak kalian mau dinamain siapa?" tanya ibu ku sambil melihatku dan Shani bergantian.
Pertanyaan apa ini?
Nikah aja belum, bikin anaknya aja belum. Udah di tanyain nama anaknya.
"Kalo Shani kayaknya gak mikirin nama anak. Yang dipikirin Shani itu, 'di kasih anak berapa?'. Shani itu pengen punya anak 8 katanya" tutur ibu Shani.
"Ibuuu!!" kata Shani.
"Kenapa? Kan kamu yang cerita sendiri kalo pengen punya anak cewek, trus cowok, trus kembar cewek, kembar cowok, trus yang terakhir kembar cewek cowok. Total 8 kan" kata ibu Shani.
"Wah,.. harus punya stamina yang kuat kamu, Adrian. Ibu Shani itu haduh... mungkin nurun juga ke anaknya" kata ayah Shani yang memang terdengar tidak jelas tapi aku mengerti maksudnya .
Sepertinya ayah Shani sudah terkontaminasi oleh ke'absurd'an ayah ku.
"Hahaha, emang gitu ya?" tanya ayahku.
"Heh, bapak!! Eh, Shani. Koko sama adek kamu dimana?" tanya ibu Shani mengalihkan pembicaraan.
"Tadi sih di teras, biasa lagi main game" kata Shani.
"Tuh anak dua, gak bosen-bosen apa main game? Biar bapak tegur" kata ayah Shani yang kemudian berdiri.
"Ibu ikut, pak. Shani kamu disini dulu ya" kata ibu Shani lalu ikut berdiri.
Sekarang hanya tinggal aku, kedua orang tua ku dan Shani. Tapi hal itu tak berlangsung lama.
"Pak, ibu laper" kata ibu ku.
"Ya udah, ayo makan! Biar bapak suapin ibu" kata ayahku dengan suara diberat-beratkan agar terdengar gagah.
"Uuhhh, so sweet~" kata ibu ku dengan nada manja.
Aku benar-benar malu melihat kelakuan mereka. Sedangkan mereka terlihat santai-santai saja berkelakuan seperti itu.
Shani? Dia hanya bisa menahan tawa melihat kelakuan dua calon mertua eh, dua orang tua ku maksudnya.
Aku sendiri bingung, kenapa kelakuan dua orang tua ku sekarang seperti ini. Dulu waktu kami masih tinggal bersama di Jakarta gak gini lho. Sumpah.
.
.
.
.
.
"Aku gak nyangka kalo ternyata pencuri cinta pertama aku itu kakak" kata Shani tiba-tiba saat kami tinggal berdua dengan nada pelan.
"Eh! Kenapa, Shan?" tanyaku memastikan apa yang baru saja aku dengar.
"Ah, itu.. aku gak nyangka, kalo temennya kak Shania itu saudara aku" kata Shani. "Cowok yang ngebuat aku baper malem itu. Bahkan sampe hari ini" tambahnya dengan nada pelan di kalimat terakhir.
"Ehh! Bercanda doang, Shan. Jangan terlalu dipikirin lah. Namanya juga masih anak-anak waktu itu" kataku. "Oh iya, gimana di JKT? Ciyee, yang tahun lalu peringkat satu" kataku menggodanya dan berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Ya, gitu lah. Masa kakak gak tau kan sering liatin aku di theater" katanya.
"Ehh, aku gak cuma ngeliatin kamu ya. Aku lihat seluruh team" kataku.
"Emang oshi nya siapa, kak?" tanyanya.
"Belum ada" balasku.
"Masa? Kak Shania pernah bilang kakak punya oshi kok" katanya.
"Iya, tapi sekarang udah grad" kataku.
"Siapa-siapa? Kak Veranda? Kak Melody? Kak Ha-"
"Dua-duanya" potongku.
"Wow, kenapa oshiin mereka?" tanyanya. "Oh, aku tau, udah jelas sekarang. Oshi kakak itu selalu peringkat satu di sousenkyo. Makanya sekarang kakak suka liat K3 karna ada aku yang tahun lalu peringkat satu, ya kan" katanya menarik kesimpulan.
"Eh, gak gitu" elakku.
"Udah ngaku aja, kakak tadi juga nyinggung-nyinggung soal aku yang tahun lalu peringkat satu kan. Fix kakak itu oshinya aku" katanya. "Hmm, tahun ini aku harus peringkat satu lagi" tambahnya dengan suara pelan.
"Eh, kenapa?" tanyaku.
"Gak gapapa, itu aku cuma mikir. Penampilan kakak banyak berubah ya, beda dari waktu kecil dulu" katanya.
"Oh ya, salah satunya?" tanyaku.
"Itu. Yang paling mencolok ya rambutnya" kata Shani sambil menunjuk rambutku.
"Oh, iya. Dulu lebih rapi ya, sekarang agak gondrong" kataku sambil sedikit merapikan rambutku.
"Bukan itu maksudku, tapi-"
"Shan, ini siapa?" tanya seorang laki-laki yang tiba-tiba datang bersama dengan laki-laki yang lebih pendek darinya.
"Eh, koko" kata Shani.
Oh, ternyata kakaknya Shani. Dan yang satunya pasti adiknya.
"Kenalin, ini Adrian" kata Shani memperkenalkan diriku.
Aku pun lalu mengulurkan tanganku.
"Oh, ini yang namanya Adrian. Yang tadi diceritain ibu" kata kakaknya Shani sambil menyambut uluran tanganku.
"Calon kakak ipar, ya" kata adik Shani saat giliran aku yang menyalaminya.
"Adek, apa'an sih" kata Shani.
"Kalo mau jadi kakak ipar aku, ada persyaratannya" kata adik Shani.
"Ya, ada syaratnya" kata kakak Shani.
"EHH!!" kataku dan Shani bersamaan.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Krishna, cover!" kata Henri.
"Gak usah! Udah, gue heal aja. Krishna fokus ama lawan aja" kataku.
"Oke, kak Adrian" balas Krishna.
"Henri serangan terakhir!" teriakku.
"Siap!!" teriak Henri.
"Hore! Menang lagi!!" teriak Krishna.
"Kemenangan yang kelima secara beruntut ditambah udah bantu Krishna push ranked. Selamat datang di keluarga kami" kata Henri sambil menyalamiku.
"Tunggu, aku belum MVP. Masa koko sama kak Adrian terus yang MVP daritadi" kata Krishna.
"Udahlah dek, kan ini biar kita akrab aja sama Adrian" kata Henri.
"Lho katanya tadi ini syarat biar jadi ipar kalian" kata ayahku.
Ya, seperti yang kalian pikirkan. Kami memang main game moba berlima, aku, Henri (kakak Shani), Krishna (adik Shani), dan duo bapak-bapak absurd (ayah ku dan ayah Shani). Aku sempat kaget saat Henri dan Krishna mengatakan tentang 'syarat'. Apalagi syaratnya adalah harus 'jago ML'. Bukan! Bukan ML yang itu tapi jago main game yang inisialnya ML maksudnya (kalian pasti tahu lah), sebenarnya aku tidak begitu suka game ini, maksudku MOBA KOK TOUCHSCREEN. (Emangnya bisa main game moba di Hp nokia jadul?). Game ini ada di Hp-ku saja karena temanku yang selalu mengajak mabar menginstalnya.
Tapi demi mengakrabkan diri dengan saudara, maksudku kami memang saudara kan. Akhirnya aku mengiyakan 'syarat' dari mereka. Sepanjang permainan kami benar-benar membuat gaduh teras rumah dengan suara kami. Ayahku yang mengetahui ada suara gaduh dari arah teras, menghampiri dan malah ikutan main. Anehnya, ayah Shani juga ikutan setelah diajak ayahku. Benar-benar membawa pengaruh buruk ayah ku ini.
"Hey, om belum masuk mode serius, lho. Ayo main lagi! Akan om tunjukkan kehebatan om" kata ayah ku.
Oke, kalimat terakhir itu benar-benar ambigu, jadi abaikan saja. Lagipula, apa itu tadi? Dia ikutan karna tau ini adalah sebuah 'syarat'? Dia ingin mencalonkan diri jadi suami Shani? Bener-bener geser otak nih orang. Lagian, dia daritadi hanya menyusahkan kami karna mudah dibunuh oleh musuh.
"Gak bisa, Hp udah lowbat" kataku dan Henri bersamaan kemudian pandangan kami bertemu, sepertinya pikiran kami sama 'jangan mau main game sama bapak-bapak satu ini'.
"Powerbank juga udah habis" kata Krishna yang sepertinya juga tidak minat melanjutkan karena ayahku yang mengajak.
"Udah. Kapan-kapan lagi aja, sekarang kau latihan dulu" kata ayah Shani
Apa'an! Nyuruh latihan? Dia juga tidak jauh beda dengan ayahku. Bahkan melawan para minion saja dia kewalahan. Lagipula aku bingung, di Hp mereka sudah ada game ini dan peringkat mereka juga tidak terlalu buruk, tapi kenapa mereka mainnya kacau?
Beli akun joki apa gimana?
"Adrian, sini ibu mau ngomong sebentar" panggil ibu ku yang tengah duduk di kursi yang ada di teras rumah. Sedangkan kami para cowok yang tadi main game duduk lesehan di teras.
"Ya, bu. Ada apa?" tanyaku sambil meminum es buah yang ada di meja dekat kursi.
"Kamu nanti di Jakarta tinggal bareng Shani, ya" kata ibu ku.
Aku yang tengah minum es buah pun jadi tersedak,
Uhuk,.. uhuk. "Apa?! Gimana-gimana?" tanyaku.
"Tadi ibu sudah ngobrol sama Shani dan ibunya. Maksudnya daripada Shani bayar uang kos kan mending uangnya ditabung, Shani nya tinggal di rumah kita di Jakarta" kata ibu ku.
"Tapi-"
"Shani udah setuju kok. Orang tua nya juga. Ya kan" kata ibu ku.
"Iyaa" kata orang tua Shani bersamaan.
Saat aku ingin meminta pendapat ayahku, dia malah sibuk menatap layar Hp-nya. Sibuk 'berlatih'. Ya, percumajuga sih minta pendapat nya, gak akan nolong.
"Itung-itung buat latihan kalian tinggal serumah" kata ibu ku lagi.
"Tap-"
"Kan kamu yang bilang tadi, kita kan saudara. Apa yang kamu takutin?" tanya Shani yang memotong omonganku.
Benar juga, apa yang ku takutkan.
"Ya udah, iya" kataku yang akhirnya menyetujuinya.
"Nanti sekalian balik ke Jakarta nya bareng aja" kata ibu ku.
Oh, jadi ini alasannya aku disuruh bawa mobil.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Oh iya, meskipun aku dan Shani tinggal satu rumah, tapi kami tidak tidur satu kamar kok. Shani tidur di kamar bekas orang tua ku.
Kenapa? Surat dibawah meja?
Tenang saja, Shani sepertinya tidak akan menemukannya. Jadi biarkan saja surat itu disana. Lagipula jika seandainya Shani menemukannya, sepertinya dia tidak akan melihat isinya. Shani bukan tipe orang yang lancang, tidak seperti Vanka.
"Kamu lagi galau? Galauin siapa sih?" tanya Shani saat kami tengah sarapan.
Ya, Shani tak lagi memanggilku dengan embel-embel 'kak' atau 'kakak'. Dia menggunakan 'Aku-Kamu' semenjak tinggal serumah denganku. Duh, baper nya hati ini di'Aku-Kamu'in sama Shani . Ya, meski pertama kali Shani menggunakan 'Aku-Kamu' adalah saat di teras rumah pakde Sony. Tapi aku baru menyadarinya saat kami sudah berada di rumah ku. Kurang peka ya .
"Ah, gak. Gak galauin siapa-siapa kok" kataku. "Cuma pengen nyanyi aja. Mengisi kekosongan aja. Hehe" tambahku.
Tunggu, tapi jika aku hanya ingin bernyanyi kenapa lagu itu yang kunyanyikan?
Maksudku ada banyak lagu di dunia ini. Kenapa harus lagu itu yang terlintas di pikiranku?
Lagu yang sering ku nyanyikan saat baru putus dari Manda. Manda lagi?
Aahh, sial! Ayolah, Adrian! Tidak perlu lagi kau pikirkan gadis itu. Di depanmu sekarang ada seorang gadis yang suatu saat akan menjadi istrimu.
Eh! Kenapa?
Kalian protes?
Orang tua kami sudah setuju kok, tinggal masalah waktu saja.
Ya, mungkin aku memang tidak pantas untuk Shani. Belum. Tapi ini adalah salah satu mimpiku, maksudku meskipun aku sudah menyetubuhi banyak gadis tapi tetap saja aku ingin mendapatkan istri yang masih perawan. b******n banget ya .
Tapi tak apalah, ambil sisi positifnya. Aku akan berjuang untuk meraih mimpiku ini. Jadi, aku tidak akan mengapa-apakan Shani sebelum waktunya tiba. Waktunya kapan? Malam setelah resepsi pernikahan kami .
Jadi, jangan minta update eksekusi Shani . (Penulis, camkan itu!).
"Bener ya, kata mama Dian. Kamu jago masak" kata Shani.
"Yaelah, Shan. Cuma nasi goreng ini" kataku merendah.
"Udah satu minggu ya aku serumah sama kamu. Dan aku selalu makan masakan kamu, semuanya enak" kata Shani memujiku.
"Mau aku ajarin? Biar bisa jadi istri yang baik" kataku.
"Tergantung" katanya.
"Tergantung dari?" tanyaku.
"Kamu pengen punya istri yang jago masak atau gak?" tanyanya balik.
"Lah, apa hubungannya?" tanyaku.
"Kan aku nanti yang jadi istri kamu. Oh, aku mulai belajar manggil kamu pake 'mas' aja ya, biar nanti gak canggung lagi" kata Shani.
"Shan, kita kan udah bahas soal itu" kataku.
"Kenapa? Soal golden rules? Kita kan gak pacaran. Anggep aja kita itu tunangan" kata Shani lagi.
Tuh kan, gayung sudah bersambut. Tinggal masalah waktu aja. Tunggu undangan dari kami ya .
"Tunangan? Aku belum ngasih cincin ke kamu lho" kataku mengingatkannya.
"Ya makanya, cepet-cepet kasih aku cincin" kata Shani manja.
"Iya iya, tunggu ya. Tapi jangan sampai member lain tau lho. Bisa repot nanti" kataku.
Masalahnya, jika satu member saja tau aku 'tunangan' dengan Shani bisa-bisa menyebar ke member yang lain, seperti Vanka / Stefi / Okta / Shania .
Kenapa? Soal Vanka mungkin aku bisa mengatasinya tapi Stefi dan Okta? Yang satu 'katanya' putus dari pacarnya setelah ena2 denganku, yang satu lagi sudah menyatakan perasaannya padaku dan kutolak dengan 'alasan' kalau dia seorang member. Soal nama terakhir, aku tidak ingin membahasnya. Jika dia sudah marah,... Wassalam.
"Iya, aku gak akan bilang. Oh iya, tadi om nelfon aku, ngabarin kalo uang buat bulan depan udah ditransfer. Dipercepat katanya, itung-itung THR" kata Shani.
Ini nih! Ini yang aku masih bingung dari Shani. Dia kalau memanggil ibu ku menggunakan 'Mama', sementara manggil ayah ku menggunakan 'Om'. Terlihat seperti anak broken home yang ibunya menikah lagi dan si anak masih tidak mau menerima si bapak tiri naik pangkat dari 'Om' jadi 'Ayah'. Yah, semacam itulah.
"Nanti anterin aku latihan ya" pintanya.
"Iya, calon istriku" kataku setengah bercanda.
"Iihhhh.." katanya sambil berusaha mencubit ku.
Lah, dia yang tadi bilang mau jadi istriku, begitu ku tanggapi malah,..
Tunggu, tadi Shani bilang sudah satu minggu dia disini. Berarti sekarang tanggal...
Besok ulang tahun Vanka.
Ah, bodo amatlah.
Tunggu, berarti kemarin ulang tahun Shania.
Aku belum mengucapkan selamat padanya.
Siap-siap kena marah lagi kan.