Part 10: Macet

1830 Kata
Setelah Okta kembali masuk ke kamarku, aku lalu menutup pintu. Aku menuju kasur dan langsung merebahkan diri. Mencoba untuk langsung tidur, tapi perasaanku masih tidak enak. Aku tidak bisa tenang. Akhirnya aku bangun dan duduk di kursi di depan meja rias. Aku meraba ke bawah meja, menarik secarik kertas yang memang sengaja ku selipkan disana. Bukan kertas biasa, ini sebuah surat. Surat ini sangat penting bagiku, aku sengaja tidak menaruhnya di kamarku sendiri agar tidak ada orang lain yang menemukannya. Maksudku, tidak mungkin ada yang memeriksa 'kamar kosong' bukan. Surat ini dari seseorang yang spesial, orang yang pertama kali berani menyatakan perasaannya padaku. Setiap memegang surat ini, entah kenapa perasaan ku menjadi tenang. Surat ini berisi ketulusan, kerendahan hati, kebaikan, kasih sayang, dan yang pasti kejujuran. Aku memandang surat itu lalu beralih memandang ke arah jendela, berharap orang yang menulis surat ini juga menatap langit yang sama. "Kamu sekarang ada dimana?" . . . Besoknya aku tetap tidak sahur karena terlalu kelelahan, tapi aku tetap puasa kok. Setelah mandi dan membangunkan Okta, aku mengantarnya pulang ke kost-an nya menggunakan motor kesayanganku. Setelah itu aku berangkat kuliah. Selesai kuliah, aku yang sedang menuju parkiran berhenti sejenak karena Hp-ku tiba-tiba berbunyi. Shania menelpon. Ada perlu apa lagi nih Anak?, pikirku. "Halo, apa'an Shan?" sapa ku. Suara Shania yang memekakkan telinga langsung terdengar "Hei, b*****t!! Lo apain si Stefi kemaren hah?" teriaknya. "Hah, apa'an? Gak gue apa-apain kok" jawabku sok polos. "Dia tadi cerita kalo udah putus sama cowoknya" "Hah?" jawabku kaget. Sial, sepertinya kemarin aku salah bicara. Tunggu Shania sepertinya sudah tidak menggunakan 'Aku- Kamu'. Baguslah jika dia sudah kembali ke dirinya yang semula, bahaya jika tiba-tiba dia suka padaku. Hehe, kepedean ya. Sip lah, satu masalah sudah selesai. Tapi, tadi dia memanggil ku 'b*****t'? Emang namaku ini Satria apa? Dan juga apa ini? Stefi memutuskan pacarnya? Gara-gara aku? Haduh, masalah Manda belum kuselesaikan. Ada masalah lain lagi. Bingung harus menjawab apa, akhirnya,.. "Shan gue mau masuk kelas, udah dulu ya" kataku langsung memutuskan pembicaraan tersebut. "Hei, Adria.." suara Shania masih tertinggal saat aku menekan tombol merah di layar Hp-ku. Sial! Baru puasa hari pertama aku sudah berbohong. Bodo amat lah. Gak bikin batal juga kan, cuma ngurangin pahala aja. . . "Duh, macet bener. Gini nih malesnya kalo naik mobil" kataku yang mengeluh di tengah kemacetan. Ya, aku sedang naik mobil, menyetir sendiri. Mobil siapa? Mobil ku sendiri, mobil ayahku sih. Ayahku tidak membawanya ke kampung halaman katanya untuk kupakai saja, padahal aku lebih sering memakai motor. Lalu kenapa aku sekarang naik mobil? Ini karena kemarin. . . . . . . . . . . . • Sudah berakhir Wahai sayangku, dimanakah kau?~ • Suara dering Hp-ku membangunkan ku di pagi hari. Kenapa bunyinya begitu? Ya, itu karena diganti oleh Jose. Dia bilang 'Nada dering ini biar lo gak lupa kalo lo jomblo. Jadi, kalo Hp lo bunyi, lo harus inget kalo yang nelfon pasti bukan pacar lo'. Kampret tuh anak emang. "Halo.. siapa nih?" kataku saat mengangkat telfon tanpa melihat siapa yang menelfon. "Hey, Adrian! Bangun! Udah jam berapa ini! Kamu itu tinggal sendiri malah males-malesan. Gimana mau cepet lulus kuliah!!" kata suara di seberang. Tunggu! Suara ini. Aku menjauhkan Hp dari telinga ku dan melihat nama yang terpampang disana. 'Nenek Lampir'. "Ibu?" tanyaku pada suara di seberang sana. "Iya lah. Masa Chelsea Islan, ya sebelas dua belas sih" kata ibu ku penuh kepercayaan diri. "Bangun!" bentak ibu ku. Ya, memang aku menamainya 'Nenek Lampir' di Hp-ku. Itu semenjak pertengahan puasa beliau sering menelfonku hanya untuk 'memberi ceramah' agar aku fokus kuliahnya, padahal aku kan sudah mulai fokus kuliah kan. Ya, kan. PD banget lagi tadi dia, mirip Chelsea Islan katanya? Duh, untung ibu sendiri. "Iya, bu ini juga udah bangun, kalo gak bangun telfon ibu gak aku angkat" kataku sambil menahan kantuk gara-gara semalam begadang mengerjakan tugas kuliah yang harus ku serahkan siang nanti. "Jam segini baru bangun?!! Gimana mau cepet lulus kuliah" bentaknya dengan suara cempreng nya yang menggangu telinga. "Masih pagi juga kok" balasku. "Pagi apa? Udah siang ini!!" kata ibu ku. "Jam 8 itu masih pagi, bu" balasku setelah melihat ke arah jam di meja belajarku. "Iya, tapi buat bangun tidur, udah siang ini" kata ibu ku lagi. "Ada apa sih, pagi-pagi nelfon marah-marah? Mau ngasih kultum tentang perkuliahan lagi?" sindirku. "Kamu itu jawab aja kalo dikasih tau. Ibu nelfon mau nanyain-" "Kapan lulus? Masih lama, bu. Baru juga semester 4" potongku. "Ibu belum selesai ngomong. Kamu itu besok jadi pulang kan?" tanya ibu ku. Ternyata ibu ku menanyakan tentang aku yang jadi pulang kampung atau tidak. Aku saja yang suudzon. Hehe. Maaf ya, bu. "Jadi kok, tahun lalu kan juga gitu. Ya masa lebaran sendirian bu, sedih amat" balasku. Udah jomblo, lebaran sendirian. Ngenes bener nih hidup. "Ya udah, kamu pake mobil ya ke sini nya" kata ibu ku. "Ah, males ah. Macet nanti. Pake motor aja, tahun lalu kan juga gitu. Kalo ibu khawatir, aku naik kereta aja deh" tolakku. "Pake mobil aja, soalnya mobilnya mau kita pake buat ke rumahnya pakde Sony, ada acara halal bihalal keluarga besar" jelas ibu ku. "Kan disana ada mobil juga, pake mobil yang itu aja" tolakku lagi. "Lagi di service" jawab ibuku singkat. "Haduh, iya deh iya" kataku mengalah. "Pokoknya kamu gak akan nyesel deh, nanti ikut ke acara halal bihalal itu" kata ibu ku. . . . . . . . . . Nah, gitu ceritanya. Dan, disinilah aku sekarang. Terjebak macet. Bikin males aja, mana masih jauh lagi. Huft~ Oke, untuk menghilangkan rasa bosan karena macet, aku akan menceritakan tentang apa saja yang terjadi satu bulan terakhir. Pertama, Manda. Dia benar-benar keluar dari JKT48. Dia mengundurkan diri dengan alasan ingin fokus pendidikan (Halah, alasan klasik, Man). Ya, apapun alasannya, intinya dia sudah bukan member JKT lagi. (Lho, udah gak terikat golden rules dong). Kedua, ada reshuffle team. Dan Vanka, dia termasuk dalam member yang di reshuffle. Dia dipindahkan ke team T. Okta juga kembali masuk team, dia dan Vanka berada di team yang sama. Benar kan kataku, Okta akan kembali lagi ke team. Oh iya, ngomong-ngomong soal team. Team K3 sekarang centernya adalah Gracia, dan Yupi dipindahkan ke team J dan menjadi center disana. Lah, kan tulisan ini ditulisnya emang pas udah kejadian. Mereka yang baca pasti udah tau lah. Bodo amat, lah. Kan biar tulisannya keliatan banyak aja . Oh, iya soal permasalahan-permasalahan ku. Sedikit demi sedikit sudah teratasi semua. Ya, meski Manda tetap grad sih. Tepat seminggu setelah Okta memberi tahu ku. Masalahnya, ketika aku ingin menanyakan kebenaran tentang dia yang akan grad, dia selalu menghindar dariku dan tidak bisa ku hubungi. Bahkan, akun IG-nya yang baru sudah memblokir akunku duluan sebelum aku mulai menfollow akunnya. (Bukan berarti aku ingin menfollow-nya ya). Lalu Okta, dia sekarang tidak akan memaksaku lagi untuk menjadikannya pacarku. Ya, setelah aku ancam kalau dia memaksa lagi, aku akan menjauhinya. Jadi dia menurutiku. Pada dasarnya dia memang mudah diatur, tidak seperti si tukang ngelapor itu. Vanka? Dia gak jelas, dia masih (sok-sokan) marah padaku. Tapi, pada kesempatan kali ini aku akan memberitahu pada kalian kenapa aku bersikap seperti itu pada Vanka waktu itu agar kalian tidak salah paham. Pertama, dari awal aku sedikit kesal ke dia karena mengutak-atik komputerku. Privasi bos. Kedua, aku memang sudah punya firasat tidak enak, kurasa dia mulai membawa-bawa perasaan di hubungan kami. Itu tidak boleh kan. Ketiga, soal dia yang ingin menanyakan masalah pribadi ku, itu terlalu sensitif,.. karena.. • Sudah berakhir Wahai sayangku~ • "Ini siapa juga, pake nelfon-nelfon segala, ganggu orang aja" Kulihat nama yang tertera di layar Hp-ku. 'Nenek Lampir'. Ya ampun, apa lagi sih?, batinku. "Halo, assalamualaikum. Ada apa, bu" kataku menjawab telfon itu. (*Peringatan! Tidak untuk ditiru. Jangan menyetir sambil menelfon) "Kamu kapan nyampe nya?" tanya ibu ku. Nih orang gak jawab salam dulu, malah langsung tanya aja. "Ya, ini lagi di jalan. Masih macet" jawabku. "Pake mobil kan?" tanyanya. "Emang naik kereta ada macetnya gitu?" tanyaku balik. "Ya udahlah. Ini, ibu kemaren lupa nanya. Kamu sama Shania itu ada hubungan apa sih sebenernya?" tanya ibu ku. Tunggu dulu! Apa Shania sudah 'melapor' pada ibu ku? "K-kok tiba-tiba nanya gitu? Shania nelfon ibu? Dia gak ngomong aneh-aneh kan" tanyaku sedikit panik. "Gak. Shania gak nelfon ibu, kok. Kenapa emangnya?" tanya ibu ku lagi "Y-ya, habisnya.. ibu tiba-tiba bahas Shania" "Kamu sama Shania sebenernya pacaran apa enggak sih?" tanya ibuku. "Hah? Enggaklah, kok ibu mikirnya gitu?" tanyaku balik. "Kamu kan sering jalan sama dia" "Itu kan dulu, bu. Waktu itu ada urusan yang... Udah lah, bu. Udah lama juga kan kejadiannya, udah setaun kan" "Sekarang udah gak pernah jalan bareng lagi?" "Masih, sih. Tapi jarang. Lagian kenapa jadi bahas ginian sih? Ibu gak suka kalo aku deket sama Shania? Kan ibu sendiri yang nyuruh Shania buat 'ngawasin' aku" Lagipula bukannya bagus ya, kalo kita dekat dengan teman masa kecil. Diluar sana banyak orang-orang yang ingin reuni dengan teman-temannya tapi tidak bisa dikarenakan kesibukan masing-masing. Ah, udah lah. "Sebenernya bukan gitu. Shania itu anaknya baik, makanya ibu nyuruh Shania buat ngawasin kamu. Tapi kamu tau kan permasalahan ayah sama kakek kamu kenapa? Ibu takutnya kalo kamu terlalu deket sama Shania nanti jadinya,.." "Iya, bu. Iya, aku ngerti" kataku akhirnya. Sebenarnya aku sedikit bersyukur dengan keputusan ayah saat itu. Jika aku tidak 'pindah', mungkin hubunganku dengan Shania tidak akan sedekat sekarang. Maksudku, ada kemungkinan hubunganku dan Shania saat itu akan jadi jauh 'lebih dekat' dan 'sangat dekat'. Tapi belum tentu juga kami bisa terus menjaga hubungan itu kan. Jika semisal hubungan yang 'sangat dekat' itu berakhir, apakah aku dan Shania bisa tetap dekat seperti sekarang? "Ya udah. Pokoknya kamu jangan pacaran dulu, fokus kuliah!" Lah, malah nyinggung ke perkuliahan lagi, batinku. "Assalamualaikum" kata ibu ku lalu menutup telfon. "Wa-wa'alaikumsalam" jawabku. Apa'an sih, aneh-aneh aja, batinku. OK, lanjut. Sampai mana tadi? Vanka? Oh iya, ya udah lah ya, gak akan berpengaruh buruk juga dihidupku. Lagipula, hubungan kami dari awal memang bukan hubungan yang serius kan. Mungkin aku harus merelakannya untuk mendapatkan pengganti yang lebih baik. Mungkin. Sekarang soal.. Stefi. Ya, Stefi. Shania yang mengatasinya. Shania bilang kalau dia memberi 'ceramah' soal 'keburukan-keburukan' ku agar Stefi 'tidak mau' denganku, begitu yang diceritakan Shania padaku. Padahal aku sendiri belum tahu alasan Stefi putus dengan pacarnya apa memang karena diriku atau bukan. Bahkan sampai detik ini. Firasatku sih mengatakan kalau aku tidak ada sangkut pautnya dengan hal itu. Oh iya, ngomong-ngomong soal Stefi, mungkin karena Stefi juga lah alasanku 'mengusir' Vanka. Bukan. Jangan salah paham dulu, aku hanya tidak mau Vanka tahu aku dan Stefi pernah melakukan hal 'itu' juga. Mau ditaruh dimana muka Stefi nanti, jika Vanka tahu dia pernah gituan di bioskop. Entah kenapa.. aku hanya ingin melindungi harga dirinya saja. Ya, baiklah. Jadi sekarang masalah ku tinggal satu. Masalah awal. Cari oshi baru! Eh, tunggu. Masalahku ada dua. Eh, memangnya yang satu itu bisa disebut 'masalah'?. Entahlah. OK, kembali ke kemacetan. . . . . . . . Setelah berjam-jam macet-macetan ria, akhirnya aku sampai disini. Di kampung halaman ku. Di Jogja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN