Part 9: Attack On Titan(?)

4991 Kata
Stefi diam saja seperti memikirkan sesuatu. Aku pun lalu pamit pulang. Tapi Stefi menahanku lalu kembali mengecup ringan bibirku sekali lagi. "Hati-hati ya" katanya padaku setelah mengecupku. Aku pun lalu pulang dengan perasaan lega. Tapi perasaan lega itu tidak bertahan lama, tiba-tiba firasatku menjadi tidak enak. Seakan mengatakan kalau lebih baik aku jangan pulang dulu. Apa mungkin karena aku sudah terlalu kelewatan pada Stefi tadi?, pikirku. Tidak. Sepertinya bukan itu, lagipula Stefi juga tidak terlalu mempermasalahkannya kan dan juga berhubung aku sudah cukup lelah aku pun tetap langsung pulang. Semakin dekat jarak menuju rumah, firasat tidak enak ini semakin menjadi-jadi. Tapi sepertinya bukan karena Stefi. Ada hal lain. . . . Sesampainya di rumah, firasat tidak enak yang daritadi kurasakan sepertinya akan menjadi kenyataan. Ada seorang gadis berdiri di depan pagar rumahku. Sepertinya dia menungguku. Masalahnya, gadis ini sangat tidak ingin kutemui saat ini. "Darimana aja?" tanyanya. Tak ku jawab. Aku membuka pagar dan memasukkan motorku ke dalam garasi tanpa memperdulikannya, seakan menganggapnya tidak ada. "Hey, jawab gue!! Lo habis ngapain aja sama Stefi? Kok baru pulang? Tadi katanya cuma nganter pulang? Tapi tadi Stefi gue chat baru sampe rumah katanya. Ada hubungan apa lo sama Stefi?" Tetap tak ku jawab. "Lo mau buat Stefi jadi trainee juga? "Bisa diem gak sih, Ta?" pada akhirnya aku menanggapi nya juga. "Kalo lo dateng cuma mau marah-marah aja, mending lo pulang" kataku mengusirnya. "Gue gak mau Stefi jadi korban lo kayak gue sama Manda" katanya. "Lo sebenernya mau apa sih?" tanyaku berusaha untuk kembali tenang. "Gue mau ngomongin soal Manda" katanya lagi. "Ngomong di dalem aja, gak enak sama tetangga" kataku mengajaknya masuk. Dia adalah Okta, Ayu Safira Oktaviani. Member yang 'ku turunkan statusnya' menjadi trainee bersama dengan Manda. "Duduk dulu" kataku menyuruhnya duduk di sofa. "Gara-gara lo hubungan gue sama Manda jadi agak renggang" katanya kembali mengomeli ku setelah duduk. Tidak kuladeni omelannya, "Mau minum apa?" tanyaku. "Terserah, kalo bisa es sirup aja lagi emosi gue" jawabnya masih dengan emosi. "Apa tujuan lo deketin Stefi?" tanyanya lagi. "OK" balasku tanpa menjawab pertanyaannya dan lalu menuju dapur membuatkannya minuman. "Diantara semua member, cuma gue sama Stefi yang tau hubungan lo sama Manda, apa karena itu lo mau nurunin dia jadi trainee?" omelnya tanpa henti. "Gue lagi di dapur lho, ada pisau lho disini" kataku yang mulai hilang kesabaran lagi. "Kok lo gitu ngancemnya?" balasnya sedikit panik. "Makanya diem, gue udah baik lho. Ngebolehin lo masuk, nawarin minuman. Tapi lo masih aja ngomel" bentakku. "I-iya maaf" balasnya. "Nih!" kataku menyerahkan segelas es sirup padanya dan kemudian duduk di sampingnya. Dia langsung mengambil gelas yang ada di tanganku kemudian meminumnya dengan cepat, seperti kelelahan setelah lari marathon. Gak ada 'makasih' nya nih anak. "Haahhh,... capek juga ya. Padahal cuma ngomel doang" katanya setelah menghabiskan sirup tersebut. "Katanya mau ngomongin soal Manda, ada apa emang?" tanyaku. "Manda tadi bilang sama gue kalo dia mau grad" kata Okta. "Bercanda lo kelewatan" kataku yang tak percaya pada omongannya. "Yaudah, terserah" balas Okta. "Ini beneran? Kenapa? kok bisa?" tanyaku lagi. "Gatau, dia tadi cuma bilang 'Gue udah capek, gue mau grad aja. Lo tetep semangat ya disini' gitu katanya" jelas Okta sambil menirukan kata-kata Manda beserta gaya bicaranya. Aku hampir tidak bisa menahan tawa saat Okta menirukan gaya bicara Manda, mengingat suara dia yang sedikit berat sedangkan suara Manda yang cempreng-cempreng renyah gitu, apalagi pas dia desah, ups! "Kalo mau ketawa, ketawa aja gak usah ditahan. Gue tau suara gue gak seenak suara desahannya Manda" kata dia. "Hah?!!" kataku terkaget. "Gak usah kaget, gue tau gaya pacaran lo sama Manda itu gimana. Dia cerita semuanya, termasuk 'proses' kalian putus. Dia sampe nangis-nangis di kost-an gue pagi-pagi" jelas Okta. Oh, pantes Manda ilang pagi itu, batinku. "Cuma lo yang diceritain?" tanyaku. "Gak tau" balas Okta. Berarti ada kemungkinan Manda cerita juga pada Stefi. Mungkin karena itu Stefi.. Ah, sudahlah. "Cerita apa aja dia emang?" tanyaku. "Banyak. Males gue jelasinnya" balas Okta "Oh, iya. Trus lo tadi gak nanya alesan Manda mau grad?" tanyaku lagi. "Gak, gue gak nanya. Dia cerita waktu gue lagi beresin barang-barang gue. Dia bahkan gak nengok ke arah gue pas ngomong tadi, habis ngomong dia nya langsung pergi" jelas Okta. "Yaudah deh, gue mau mandi dulu ya" kataku sambil bangkit berdiri. "Pantesan dari tadi bau" ledeknya. "Gue nyalain TV ya,..." teriak Okta. Padahal aku belum terlalu jauh. . . . . . "Apa gue juga harus grad juga aja ya?" kata Okta sambil memandang TV tapi tatapannya kosong. "Kok lo mikir gitu?" tanyaku saat telah selesai mandi dan duduk di sebelahnya. "Habisnya gue gak balik-balik lagi ke team" kata Okta dengan nada lesu. "Sabar, Ta. Pasti ada waktunya nanti. Tetep berjuang aja" kataku mencoba menyemangatinya. "Orang sabar juga ada batasnya kali" kata Okta sekarang dengan penuh emosi. "Sabar, coba liat Viny. Balik lagi kan akhirnya dia setelah jadi trainee, itu karna perjuangan dia juga" nasihatku pada Okta mencoba menenangkannya. "Halah, itu karna kak Viny fans-nya banyak aja makanya manajemen gak ngeluarin dia, cuma ngasih hukuman jadi trainee tapi gak lama dibalikkin lagi ke team. Kalo kak Viny gak bikin skandal sebelumnya, pasti hukuman gue sama Manda itu dikeluarin bukan diturunin jadi trainee. Gara-gara member yang punya banyak fans bikin skandal duluan terus diturunin jadi trainee, jadi hukuman selanjutnya jadi trainee semua. Biar fans gak curiga aja 'yang ini jadi trainee, yang ini kok dikeluarin'. Lagian member-member kayak gue sama Manda punya peluang sebesar apa buat balik ke team" cerocos Okta panjang lebar. Sepertinya dia benar-benar emosi. "Ta kalo soal fans, mungkin Manda emang gak punya banyak, tapi lo? Sekarang gue tanya. Peringkat Viny di sousenkyo tahun lalu berapa?" tanyaku. "22" "Peringkat lo?" "17" "Nah, kan. Fans lo udah berjuang buat 'ngangkat' lo. Jangan lo sia-siain, member yang masuk 32 besar di sousenkyo itu punya banyak fans yang setia dukung mereka. Gue yakin itu. Manda mungkin nyerah karna fans-nya gak berjuang banyak buat dia" Setelah mengatakan hal tersebut, aku jadi sadar perkataan Manda malam itu ada benarnya. Dia tidak sekuat yang aku pikirkan. Kenapa aku tidak bisa langsung peka? "Jadi jangan gampang nyerah cuma karna turun jadi trainee" lanjutku yang sempat berhenti bicara. "Tapi kak Dena masuk 32 besar, turun jadi trainee trus keluar juga" balas Okta. "Dia kan keluar karna mau nikah" kataku. "Tapi kan tapi,..." kata Okta sedikit menggantung. "Udah, gak usah pake tapi-tapian lagi. Lo pasti belum makan kan. Laper. Perut kosong. Makanya gak bisa mikir jernih. Mau gue masakin sesuatu?" "..." "Heh, malah bengong. Mau gak?" "Nasi telur" gumam Okta pelan. "Hah?" kataku yang kurang jelas mendengar perkataan Okta. "Nasi telur!!" teriaknya yang langsung membuatku kaget. "Manda pernah cerita, nasi telur buatan lo enak. Gue pengen nyoba" lanjut Okta dengan suara kembali dipelankan. "Ohh, nasi telur yang itu. Kirain nasi putih sama telor mata sapi atau telor dadar. Ya udah tunggu dulu ya" kataku langsung beranjak ke dapur. Sebenarnya makanan yang dimaksud Okta bukan bernama nasi telur, namanya adalah 'Furikake Gohan' atau bahasa gampangnya nasi berbumbu. (Untuk lebih jelasnya silahkan cari tau sendiri di internet). Sebenarnya aku hanya menirukan masakan dari salah satu anime favoritku. Ehh, ternyata berhasil dan rasanya enak, meskipun tidak menimbulkan 'efek desahan' dari orang yang memakannya. Mungkin Manda hanya melihatnya sebagai semangkuk nasi dengan telur kocok diatasnya, jadi dia menyebutnya nasi telur. Dan untuk ke depannya, kita sebut saja masakan ini dengan nama 'Nasi Telur'. Biar gampang. Tidak sampai setengah jam masakanku pun siap. "Nih!! Awas, ati-ati masih panas" kataku seraya memberikan semangkuk porsi 'nasi telur' beserta sumpit pada Okta. Aku lalu duduk disampingnya dan mulai makan 'nasi telur' juga. "Oh kayak masakan ala-ala jepang gitu ya" katanya sambil menerimanya. "Wooh!! beneran enak!" serunya saat mulai memakan 'nasi telur' ku. Tuh kan, tidak ada 'efek desahan' nya. Tapi belum tentu aku tidak bisa membuatnya mendesah setelah ini. Tunggu, pemikiran macam apa itu tadi? Kenapa aku jadi berfikir ke sana? "Bumbunya sih, udah pas. Tapi kalo cuma telur kayaknya agak kurang, harusnya daging sapi atau ayam" kata Okta lagi. Seingat ku dia belom bilang 'makasih' lho. Tapi sudah mulai berkomentar tentang masakanku. "Cepet habisin, trus lo pulang. Soal Manda biar gue yang ngomong sama dia, gak usah lo pikirin" kataku. "Ngusir, nih?" kata Okta yang langsung menghentikan makannya. Ayolah, Ta. Ini bukan pengusiran. Ini demi kebaikan dirimu juga, aku sudah bukan Adrian yang kau kenal semenjak... Semenjak kapan aku jadi b******n? Apa penyebab aku menjadi sebajingan ini? Intinya sekarang, berbahaya jika Okta berlama-lama berada disini. "Tambah!" katanya sambil menyerahkan mangkok yang sudah kosong saat aku sedang memikirkan jawaban yang tepat saat dia mengira aku mengusirnya. "Hah? Apa'an?" kataku yang berhenti mengunyah karena belum langsung connect dengan perkataannya barusan. "Tambah, Yan. Tambah!" katanya sambil memberikan penekanan di setiap kata yang dia ucapkan. "Gak. Gak ada lagi, gue bikin cuma 2 porsi" jawabku. "Ya udah, ini aja" katanya sambil merebut mangkok berisi 'nasi telur' dan sumpit dari tanganku. Aku hanya pasrah lalu menatapnya tajam. Sinis. Saat dia mulai memakan jatahku. "Nih, aaa..." katanya sambil berusaha menyuapi ku. "Apa'an nih?!!" kataku yang kaget karena dia tiba-tiba hendak menyuapi ku. "Gue masih laper, ini kita makan berdua ya" katanya memutuskan sepihak. "Kalo lo gak mau gue habisin sendiri" tambahnya. "Gue bisa makan sendiri" kataku berusaha menolaknya. "Ihh, ribet kalo gantian satu-satu. Kalo lo nyuruh gue makan duluan, gue gak janji bakal nyisain. Dan berhubung ini lo yang masak jadi gue aja yang nyuapin. Lo tinggal kunyah-kunyah aja" jelas Okta panjang lebar. "Dibagi dua aja, sebagian taruh mangkok lo tadi" kataku masih berusaha menolaknya. "Kelamaan, udah sini!! Aaa...." katanya sambil kembali berusaha menyuapiku. Aku yang sudah tidak kepikiran alasan lain akhirnya menerima suapan darinya. Romantis? Tidak. Momen itu tidak bisa digambarkan dengan kata 'romantis', bagaimana bisa dikatakan romantis jika aku yang baru makan satu suapan, dia sudah makan 2 suapan, begitu seterusnya. Alhasil, aku hanya makan sekitar seperempat porsi dan dia makan sisanya. Meskipun sisa, rapi banyakan dia lho. "Huuu~ kenyang gue" Lo kenyang, gue masih laper, batinku. "Udah kenyang kan? Sana pulang!" kataku. "Lo gak suka ya gue lama-lama disini?" balas Okta dengan ekspresi cemberut. "Yaudah kalo lo masih mau di sini, pokok jangan pulang malem-malem. Gue mau cuci mangkok dulu" kataku. Ya iyalah, cuci mangkok. Kan yang di pake mangkok bukan piring. Selesai 'cuci mangkok' kulihat Okta tengah mengonta-ganti saluran televisi mencari acara yang ingin dia tonton. "Mau nonton apa sih?" tanyaku yang kini telah kembali duduk disampingnya. "Gak tau, gak ada acara yang bagus. Lo punya DVD film yang bagus gak?" tanyanya. "Cari aja sendiri di bawah TV tuh!" kataku. Tunggu, kalau tidak salah masih ada DVD porno milik Jose disana. Sial! Tidak henti-hentinya pacarnya Chika ini menimbulkan masalah untukku. Padahal aku sudah ingin mengembalikan DVD itu padanya, tapi dia malah tidak masuk kuliah kemarin dan tidak ada dirumah. Pasti dia bolos entah kemana lagi, alhasil aku membawa DVD tersebut kembali kerumahku dan menaruhnya sembarangan. Jangan sampai Okta menemukannya. "Ta, tung-" "Ini apa?" tanyanya sambil memperlihatkan DVD itu. Terlambat! "Eh, itu.. anu... itu..." "Semenjak lo putus sama Manda, kelakuan lo gini? Lo berusaha cari kepuasan sendiri dengan cara nonton beginian?" tanyanya memojokkanku. "Itu bukan punya gue, punya nya Jose" balasku berusaha membela diri. "Tapi sekarang ada di rumah lo, kan" kata Okta yang mulai mendekatiku. "Kalo lo lagi pengen, kenapa gak hubungin gue aja, gue mau kok" kata Okta lagi yang sekarang mulai mendekat ke arahku. "Lo kenapa, Ta? Gue gak salah masukkin bumbu kan tadi?" tanyaku yang mulai kebingungan dengan perubahan sikap Okta. Maksudku, tadi dia datang dengan marah-marah dan sekarang dia tiba-tiba bersikap seperti ini. Jangankan kalian yang membacanya, penulis pun bingung dengan tulisannya sendiri. "Jujur, Yan. Gue udah lama punya rasa sama lo, Tapi lo waktu itu punyanya Manda, gak mungkin kan gue rebut pacar temen gue sendiri. Tapi sekarang lo bukan punya nya siapa-siapa, berarti ada kesempatan buat gue kan" kata Okta yang mengutarakan perasaannya padaku. Sial!! Kenapa aku bisa melupakan soal Okta yang memendam perasaan terhadap ku? Aku bukanlah tipe cowok yang 'tidak peka'. Ya, aku sudah mengetahui tentang perasaan Okta. Dari dulu. Dulu, bahkan sebelum aku dan Manda masih berhubungan. Itulah alasanku menjaga jarak darinya selama ini. Tapi tadi, aku membiarkannya masuk ke rumahku karena dia ingin membicarakan tentang Manda. Harusnya aku langsung menyuruhnya pulang saat kami selesai membicarakan tentang Manda. Memang benar firasatku tadi, bisa berbahaya jika Okta berlama-lama berada disini. . . Udah sikat aja, kapan lagi lo bisa nyicipin Okta? Dia yang ngajak juga kan. Udahlah sikaaaat. Adrian, jangan. Ingat, besok sudah memasuki bulan suci. Apakah engkau mau mengawali bulan suci dengan melakukan hal yang tidak senonoh? Yaelah, justru karna itu bro! Mulai besok lo udah gak bisa ena2 lagi selama sebulan. Anggep aja ini penutupan. Adrian, jangan. Sisi jahatmu berusaha mempengaruhimu ke jalan yang salah. Salah dimananya coba?! Pikirin sekali lagi deh. Tadi pagi, Adrian 'sarapan' Shania, 'makan siang' Stefi, sekarang 'makan malam'nya Okta. Kan jadi SSS. Kenapa SSS? Bukankah seharusnya SSO? Shania Stefi Okta. Namanya Okta kan ada 'Safira' nya. Ya, anggep saja SSS. Hmm... Begitu. Aku memang benci mengakuinya, tapi setelah kupikir. Dia ada benarnya. Nah, kan. Sekali-kali kompakan lah, men. Kan asik. . . Pertentangan batin macam apa tadi itu. Secara tiba-tiba Okta mencium bibirku dan melumatnya. Aku berusaha melepaskan ciumannya. "Perawanin gue, Yan. Gue milik lo seutuhnya malam ini" kata Okta setelah menciumku. OK sisi jahat, kau menang. Aku tidak bisa menolak jika ada seorang gadis yang meminta untuk di perawani. Meskipun aku sendiri belum yakin kalau Okta memang masih perawan, aku harus membuktikannya sendiri. Kali ini aku yang mencium Okta yang langsung dibalas olehnya. Sehingga kini kami berciuman dengan liar dan berpagutan di atas sofa. Bahkan kedua lidah kami beberapa kali saling bersentuhan. Beberapa saat setelah itu, tiba-tiba Okta melepaskan dirinya dari ku. "Sebentar. Mending kita pindah ke kamar aja yuk. Gue mau momen lepasnya perawan gue jadi momen yang romantis" kata Okta. Sebenarnya aku tidak masalah melakukannya dimana saja. Tapi yang jelas, memang lebih nikmat untuk melakukannya di dalam kamar. Setelah kami masuk kamar, kembali Okta mencium bibirku. Kali ini aku tidak menolak lagi malah kubalas dengan ciuman yang tak kalah hangatnya. Sejenak kami berpagutan sambil melakukan french kissing, bibir bertemu bibir, lidah bertemu lidah. Setelah puas, aku beralih menciumi leher Okta sambil mengecup-ngecup. Kemudian, aku menekan tubuh Okta sampai akhirnya ia tertidur ke atas ranjangku. Kini dengan leluasa aku menindihnya dan terus mengecup-ngecup leher Okta bergantian kiri dan kanan. Sampai di lehernya membekas kemerahan bekas kecupanku. Setelah itu mulai tanganku bergerilya meraba-raba seluruh bagian tubuh Okta, terutama paha dan dadanya. Kuraba dan kuremas-remas dengan lembut kedua dadanya bergantian. Tak puas sebelum ku jelajahi setiap inchi tubuhnya, tangan ku menuju ke pinggangnya, meraih sabuk yang dikenakan dan seketika melepaskannya. Segera ku buka retsleting celana Okta dan meloloskannya sehingga nampaklah pahanya yang putih ditumbuhi sedikit bulu-bulu halus dan celana dalamnya berwarna biru muda menutupi bagian rahasianya. Tak puas dengan itu, kubuka kaos yang dikenakan Okta. Okta benar-benar pasrah saat kuperlakukan seperti itu. Kini nampaklah di depanku tubuh Okta yang terbaring pasrah dengan hanya bagian-bagian terpentingnya yang masih tertutup. Bra-nya juga berwarna biru muda yang coraknya sama dengan celana dalamnya, akan tetapi itu takkan berlangsung lama. Karena sesaat kemudian ku bangunkan tubuh Okta dan tanpa basa basi lagi segera tanganku merengkuh punggung Okta untuk melepaskan kait bra-nya. Hingga kini, dengan bebasnya dapat ku lihat p******a Okta. Hmm, sungguh indah. Sangat sesuai dengan tubuh tingginya. Bentuknya sempurna dan kencang berdiri dengan tegaknya. Wilayah areolanya tidak terlalu besar namun putingnya menonjol. Kulit dadanya yang putih mulus kontras dengan kedua putingnya yang merah muda. Sementara Okta hanya menatap pasrah dengan wajah sendunya. Segera aku mencoba kekenyalan p******a Okta itu. Kedua tanganku merengkuh kedua payudaranya, meraba-rabanya, dan meremas-remasnya dengan lembut. Hmm, benar-benar kenyal dan padat. Sepertinya memang belum ada laki-laki lain yang menyentuhnya sebelumnya, dan aku adalah yang pertama. Apalagi gadis ini bukanlah gadis biasa namun idol yang rajin merawat tubuhnya demi tetap tampil menawan. Sementara itu, Okta sepertinya sudah sangat terangsang. Meskipun ini adalah pengalaman pertamanya, bagaimana pun juga ia tetap gadis normal yang tentunya menjadi terangsang dengan sentuhan-sentuhan erotis dariku. Apalagi mengingat aku adalah laki-laki yang disukainya, tentu dia pasti senang ku perlakukan seperti itu. Okta mulai mendesah-desah ketika ku raba-raba dan ku remas-remas payudaranya yang sungguh kencang, kenyal dan padat berisi. Aku segera membungkam desahannya dengan mencium bibirnya yang langsung dibalas juga olehnya. Jari ku mulai menggesek-gesek putingnya. Sepertinya p****g Okta adalah titik sensitifnya, sama seperti Stefi. Setelah beberapa saat aku melakukannya, Okta pun melenguh mendapatkan o*****e pertama dalam hidupnya. Beberapa saat lamanya kunikmati bibir dan p******a Okta. Sementara Okta juga menikmati sentuhan-sentuhan dariku. Setelah itu aku melepaskan tanganku dan menuju ke celana dalam Okta. Sekali lagi, tanpa basa basi lagi, kuturunkan celana dalam biru tersebut menuruni paha, lutut, kaki bagian bawah, sampai telapak kaki, dan akhirnya kulemparkan ke lantai. Seluruh baju yang semula dikenakan Okta kini nampak berserakan di lantai. Dari kaos, celana, bra, dan juga cd-nya. Pandanganku kini terfokus ke v****a Okta. Bulu-bulu k*********a ternyata lebat juga. Vaginanya yang kemerahan nampak rapat, untuk dapat melihat vaginanya dengan lebih jelas, aku sengaja membuka kedua kaki Okta lebar-lebar. Nampak terlihat vaginanya yang masih tertutup rapat serta klitorisnya. Vaginanya berwarna kemerahan segar, dibawah bulu vaginanya yang lebat. Dan Okta membiarkanku melihat vaginanya seperti ingin aku melihat selaput daranya. Okta benar-benar telah pasrah dihadapanku. Dia membiarkan saja apa pun perlakuanku terhadapnya. Setelah itu giliranku membuka seluruh pakaianku. Okta nampak kaget saat melihat penisku. Mungkin karena dia tak pernah melihat p***s laki-laki dewasa sebelumnya. Dan juga karena penisku kini berdiri dengan tegaknya. Aku tak memberi kesempatan Okta lebih lama untuk melihat penisku, karena aku telah terselimuti oleh nafsu birahi yang menggelora untuk segera merebut kesuciannya. Kutindih tubuh Okta dan kuciumi bibirnya. Bibirku merasakan nikmatnya bibir Okta, dadaku yang bidang menempel ke p******a Okta yang padat berisi dengan putingnya yang kemerahan. Sementara penisku menempel di bulu-bulu v****a Okta yang lebat, seakan bagaikan bantal empuk yang menyangga penisku yang menegang sangat keras itu. Dan sebagian buah pelirku menempel ke lubang v****a Okta. Kedua tangan Okta memeluk punggungku seolah tak ingin melepaskanku. Sejenak kami saling memagut, saling meraba dan saling merangsang. Aku kembali bergerilya ke tubuh Okta, kali ini dengan menggunakan mulut. Aku mulai mengecupi leher dan kedua pundak Okta. Namun yang menjadi sasaran utamaku adalah payudaranya, karena memang bagian inilah yang aku sukai dari setiap gadis yang ku setubuhi. Mula-mula kukecup bagian pangkal payudaranya, setelah itu bergerak makin ke atas sampai akhirnya sampai di putingnya. Kedua putingnya yang kemerahan membuatku gemas. Segera aku kecup, kenyot dan jilat. Awalnya lidahku melingkar-lingkar di sekeliling putingnya, kemudian lidahku benar-benar menjilat kedua putingnya sambil sesekali kuselingi oleh kecupan-kecupan hangat. Akibat perbuatanku tersebut Okta menggelinjang kegelian, bergerak kesana kemari. Okta mengeluarkan suara mendesah-desah dengan cukup keras, "Ohhh.. Ahhhhh... Ahhhhhh..", yang membuatku makin bernafsu memainkan payudaranya. Sementara v****a Okta jadi semakin basah kuyup. "Ahhhh,... ahhhhhhh,.. emmhhhhhh..", desah Okta sambil kedua tangannya memeluk erat tubuhku sambil membuka kakinya lebar-lebar dan mendesak-desakkan vaginanya ke badanku. Aku yang mengerti akan body language Okta segera memulai bergerilya ke bawah. Mula-mula kukecupi pahanya terutama bagian pangkalnya. Setelah itu tanganku bergerak ke tengah menuju ke antara kedua pahanya. Vaginanya kuraba-raba dan klitorisnya ku gesek-gesek. "Ohhhhh, Yan, ohhhhh, Adrian, ohhhhhhhh, ohhhhhhhhh" Aku merasakan tanganku yang jadi berlendir. Dalam hati aku tersenyum gembira. Rupanya Okta sudah terangsang hebat. Namun aku tak langsung melakukannya. Toh tinggal masalah waktu saja. Lalu ku jilati vaginanya, menyedot-nyedot, dan memainkan lidahku di sekitar sana. Sampai lalu ku jilati klitorisnya yang tentu saja membuat v****a Okta jadi makin basah kuyup. Aku tidak selalu mau berbuat begini. Namun terhadap Okta yang masih perawan, aku harus banyak-banyak merangsangnya. Sama seperti saat aku merebut kesucian Manda, di kamar ini juga. Sementara tanganku tak mau ketinggalan segera merengkuh p******a Okta, meremas-remasnya dan kembali memainkan jari jemariku ke kedua putingnya. "Ahhhhh,.. ahhhhhhh,.. ohhhhhh,... aaahhhhhhhhhhhhh..." Tubuh Okta jadi menggelinjang-gelinjang kenikmatan. Akhirnya aku menghentikan aksiku. Kubuka kaki Okta lebar-lebar. Aku telah siap dengan hadiah utamanya. Kemudian kuposisikan penisku diantara kedua paha Okta. Sementara Okta telah sangat pasrah total dengan apapun yang akan kulakukan. Melihat Okta yang telah pasrah seperti itu, segera ku tempelkan penisku ke bibir vaginanya. Dan kemudian kudorong pinggulku ke depan, memasukkan penisku ke dalam v****a Okta. Uggh, sempitnya. Namun dengan dorongan yang kedua yang lebih kuat sebagian kepala penisku telah berhasil masuk ke dalam. Kudorong sekali lagi, kini seluruh kepala penisku amblas ke dalam v****a Okta. Dan, Bleessh. Dengan sekali dorongan lagi, seluruh penisku masuk ke dalam v****a Okta. Setelah berhasil memerawani Okta, Ku diamkan dulu beberapa saat, lalu, Cleeb, cleeeb, cleeeb, dengan gaya missionaris segera ku maju mundurkan penisku, kukocok di dalam v****a Okta, merasakan jepitan vaginanya yang sempit. Tubuh Okta kutindih dan kukocok-kocok, sementara kedua tangan Okta memeluk punggungku. Payudaranya bergerak berputar-putar akibat kocokanku. Aku pun merasa gemas juga untuk meremas-remasnya. Okta jadi meracau tak karuan. Dia sudah lupa segalanya. Aku sungguh menikmati vaginanya yang sempit yang baru kuperawani. Dan, inilah kelakuan salah satu gadis idola idaman para VVOTA!! Setelah petting yang kulakukan sebelumnya, rupanya tak perlu waktu lama lagi bagiku untuk membuat Okta o*****e. Tubuh Okta jadi menggelinjang-gelinjang. Sementara aku mengocoknya terus beberapa saat dengan irama yang tetap. Tubuh Okta berguncang-guncang. Payudaranya bergerak berputar-putar mengikuti arah maju mundur kocokan penisku. Sampai akhirnya tanpa dapat dicegah lagi, "OHhhhhhhh, aahhhhhhhh, Yaannn ooohhhhh, yesssssss, ahhhhhhhhhhhh, Yaaannnn, ahhhhhhhhhhhhh” Okta mencapai orgasmenya. Sementara aku masih terus mengocok penisku, membiarkan Okta menikmati turunnya ritme setelah puncak orgasmenya sambil aku merasakan nikmatnya jepitan liang vaginanya yang sempit. Setelah Okta sudah mulai tenang, segera aku berhenti dan menarik penisku keluar. Aku masih belum selesai dan belum cukup puas menikmati Okta yang baru saja kuperawani dan kubuat o*****e itu. Aku melihat adanya sedikit darah dari v****a Okta. Sungguh bangga hatiku, maksudku aku telah menyetubuhi 5 gadis idola yang 2 diantaranya masih perawan saat aku pertama kali menyetubuhinya, aku yang hanya seorang laki-laki biasa ini berhasil melakukan hal tersebut. Setelah itu kembali aku 'menghajar' Okta dengan menyetubuhinya ala doggy style. Penisku menembus maju mundur liang v****a Okta. Membuat seluruh tubuh Okta terguncang keras dan payudaranya bergerak-gerak dengan lebih hebat lagi. Kini malah seluruh ranjang jadi ikut bergoyang-goyang. "Ahhh, ahhhhhhhhhhhh, Yaaann, ahhhhhhhhhhhh," Okta mendesah-desah. Lalu berganti posisi, kutelentangkan Okta di atas ranjang dan kuangkat kedua kakinya lalu kutaruh di pundakku. Kemudian kumasukkan penisku ke v****a Okta dan menggempurnya kembali. Tapi itu tak berlangsung lama, karena aku ingin Okta memainkan penisku. Kuarahkan tangan Okta untuk meraih batang penisku, mulai dari buah zakarku sampai ke ujung kepala penisku. Rupanya gadis ini walaupun pemula namun cukup 'berbakat' untuk hal semacam ini. Terbukti tak lama kemudian jari-jemarinya bergerak sendiri dengan cekatan mengelus-elus dan memijit-mijit seluruh bagian penisku. Sepertinya dia sangat menyayangi penisku yang sebelumnya telah memberikan kepuasan tiada tara kepadanya. Jari-jarinya yang halus kini bergerak-gerak disekeliling leher penisku, dilanjutkan dengan ibu jari dan telunjuknya yang meraba-raba kepala penisku. Kemudian dia mengocok-ngocok dengan tangannya, meremas-remasnya, sampai-sampai membuatku menahan supaya tidak keluar. Tak puas dengan itu, aku ingin supaya Okta, yang beberapa saat sebelumnya masih perawan itu, untuk meng-oral penisku. Namun sebelum itu, kujepitkan penisku diantara p******a Okta. Kugosok-gosok penisku di tengah-tengah d**a kenyal Okta. Kugerakkan maju mundur di antara dua bukit itu. Setelah itu, kudekatkan penisku yang basah ke dekat mulut Okta. Mula-mula Okta menolaknya. Namun aku tetap menyuruhnya untuk 'mencobanya'. "Anggep aja kayak es krim" kataku sambil mengelus-elus rambut Okta. Akhirnya Okta mau juga mengulum penisku. Dan rupanya, dia tak perlu terlalu lama diajari urusan seperti ini. Membuatku merasakan kenikmatan luar biasa saat penisku dikulum di dalam mulut gadis ini. Lidahnya di dalam mulut dengan lincahnya bermain-main di sekitar leher penisku. Wajahnya menatapku dengan sendunya, sementara mulutnya sedang asyik mengulum penisku yang sebelumnya telah menembus vaginanya untuk pertama kali dan memberikan o*****e kepadanya. Sementara kedua tanganku tak mau menganggur, segera meremas-remas buah d**a Okta. Sehingga kami saling merangsang satu sama lain. Wajah Okta menatapku dengan polosnya ketika mulut dan lidahnya sibuk memainkan penisku. Sungguh indah sekali pemandangan itu! Sampai akhirnya aku tak bisa menahan lebih lama lagi. Dengan memberi isyarat kepada Okta untuk mengocok penisku dengan tangannya di luar mulutnya, akhirnya tak lama kemudian. Crrooot, crooottt, croooot… Dengan perasaan penuh kepuasan, muncratlah spermaku dalam jumlah yang cukup banyak. Sebagian besar mengenai wajah Okta, sebagian lagi ke rambutnya yang panjang. Okta kini jadi belepotan. Namun Okta dengan patuh terus mengocok penisku sampai seluruh spermaku habis keluar. Sebagian spermaku mengalir ke bawah membasahi leher dan d**a Okta. Kemudian aku menyuruh Okta untuk membersihkan spermaku yang berada di dadanya dan juga penisku, dan sepertinya dia sangat menyukai spermaku. Terbukti dari cara dia membersihkan penisku, dia menyedotnya sangat kuat seperti menginginkan agar spermaku keluar lagi. Perlakuannya itu membuatku ngilu. Sesaat setelah 'pertempuran' itu, kami berbaring dengan napas masih terengah-engah. Hatiku penuh rasa puas karena berhasil memerawani Okta. Sementara Okta, nampak sangat bahagia. Okta kemudian memelukku sedangkan aku membelai-belai rambutnya. "Gue gak nyangka, kalo lo beneran merawanin gue" katanya dengan nafas terengah-engah. "Gue juga gak nyangka kalo lo beneran masih perawan. Hehehe" kataku sambil cengengesan. "Ihh, apa'an sih!" katanya sambil melotot dan memukul ku pelan. "Gue gak jadi mau grad deh, gue udah ngerelain 'sesuatu yang berharga' jadi gue yakin kalo bakal dapet sesuatu yang lebih baik" katanya lagi kali ini dia tersenyum lalu memejamkan mata. "Gak lama lagi, lo pasti balik lagi ke team kok, Ta. Gue yakin" kataku meyakinkannya. "Oh ya? Kenapa?" tanyanya. "Attitude lo itu bagus, lo jadi contoh yang baik buat trainee yang lain kan. Gue denger-denger lo juga jadi panutan buat member-member team T" kataku. "Contoh yang baik? Nyerahin sesuatu yang harusnya buat suami gue kelak itu contoh yang baik?" kata Okta seakan menyindirku. "Ehh! Lo yang minta duluan ya, lagian lo suka kan. Emang lo nyesel?" kataku menggodanya. "Gue gak nyesel kok, dan iya gue suka. Oh iya, setelah ini gue pengen kejelasan hubungan kita ya, lo udah ngambil 'V' gue. Jangan tinggalin gue" kata Okta. "Katanya tadi udah rela udah ikhlas" kataku. "Tapi,.." kata Okta yang belum sempat menyelesaikan kata-katanya langsung ku potong. "Ta, lo tau gue gak bisa. Gue gak mau sampe teledor dan ngulangin kesalahan yang sama lagi" jelasku. "Jadiin gue oshi lo aja, kan semenjak kak Me-" "Eh, udah!" potongku. "Jangan ingetin gue sama mantan oshi gue lagi. Lagian apa tadi? Oshiin lo? Ogah! Masa oshi gue trainee" kataku setengah bercanda. "Malah ngeledekin" kata Okta sambil memasang ekspresi cemberut. "Oh iya, ngomong-ngomong lo tadi kok jadi aneh sih, bukannya Viny itu member panutan lo ya. Kok lo tadi ngomongnya gitu" "Eh, itu,... sebenernya gue bukan kesel sama kak Viny tapi kesel sama staff aja yang kayak pilih kasih gitu. Kelakuan staff kan gak semuanya yang bagus" kata Okta dengan nada lirih. Kelakuan staff ya, aku jadi teringat kejadian setahun lalu. Atau mungkin lebih dari setahun ya? Ah sudahlah. Sudah berlalu juga. "Udahlah, kelakuan staff sekarang gak seburuk dulu kok" kataku sambil melepaskan pelukannya. "Tapi kan-" "Udah, banyakan tapi lo hari ini. Tidur gih" kataku sambil bangkit dari kasur dan menarik selimut menutupi tubuhnya. "Ehh?!! Udah mau tidur?" tanyanya heran. "Iya lah, lo mau pulang? Udah jam berapa ini? Nginep sini aja dulu" kataku sambil mengambil pakaianku yang tergeletak dilantai. "Gak mau nambah lagi?" tanyanya menggodaku. Lah, malah nagih dianya. "Gak!! Nanti mesti sahur, sekarang istirahat dulu" kataku. "Ya udah, sambil nunggu waktu sahur, kita-" "Gak!!" kataku kembali memotong perkataannya. "Besok gue ada kuliah. Lagian gue capek dari kemaren udah.." kata-kataku terhenti. "Udah apa?" tanyanya penasaran. "Udah.. Ah, gak penting juga. Tidur gih!" kataku lagi sambil berjalan keluar kamar. "Hei, Yan!! Lo mau kemana?" tanya Okta. "Gue tidur di kamar sebelah, lo tidur sini aja. Kalo mau mandi dulu juga gapapa" kataku. "Hmm,.. Tapi cerita dulu yang tadi itu, lo kemaren udah apa? Gue penasaran" bentaknya. "Males, gue ngantuk! Hoam" kataku sambil berlagak menguap. Tidak mungkin aku menceritakan pada Okta kalau kemarin sehabis jalan-jalan dengan Shania, berlanjut aku menyetubuhi Shania di rumahnya. Lalu tadi pagi, siang tadi, dan malam ini. Total aku sudah menyetubuhi 3 gadis dalam sehari. "Yan~" panggil Okta lagi. "Apa lagi sih?" "Y-yakin gak mau nambah lagi?" tanyanya malu-malu. "GAK!" jawabku singkat sambil menutup pintu agak keras. Aku melangkah menuju kamar sebelah, kamar bekas orang tua ku. Aku masuk ke kamar dan menyender di pintu. Kamar ini memang tidak terkunci, agar aku tidak repot jika ingin membersihkannya. Dan 2 hari yang lalu, kamar ini baru ku bersihkan. Jadi sekarang tidak terlalu berdebu. "Huft~" Aku sedikit menghela nafas. "Apa yang sudah kulakukan pada Okta?" tanyaku pada diri sendiri. Aku melemparkan pakaianku ke kasur lalu masuk ke kamar mandi. Begitu sampai di dalam kamar mandi aku langsung menyalakan shower dan berdiri dibawahnya membasahi diriku, berharap semua dosa ku ikut turun bersama dengan air yang mengalir membasahi tubuh. Meskipun itu percuma, tidak mungkin dosa-dosa ku hilang begitu saja. Aku melihat ke bawah, masih ada sedikit darah perawan Okta di penisku. "Memang penyesalan selalu datang di akhir ya?" gumamku sendiri. Sial. Pengen sok keren dengan cuma mandi air dingin, malah jadi kedinginan. Aku lalu memutar kran shower, mengaturnya agar air hangat yang keluar. "Kampret. Kepanasan, ini kok ribet ya. Kamar mandi di kamar gue gak seribet ini" gerutuku. Bikin kesel aja, orang lagi mau sedih juga, batinku. Setelah merasa 'bersih', aku berjalan ke arah wastafel, membersihkan embun yang ada di kaca nya. "Jadi ini? Ini wajah b******n yang sudah banyak menodai para gadis idola?" kataku sambil tersenyum pahit. Apa yang membuatku berubah menjadi seperti ini? Sejak kapan aku jadi begini? Apa karena tidak ada Manda? Tidak memiliki kekasih, tidak ada orang yang kucintai, pikirku. "Heh. Jangankan orang untuk dicintai, orang untuk didukung (oshi) saja aku tidak punya" gumamku sendiri. Apa aku bisa kembali ke diriku yang dulu?, tanyaku pada diri sendiri. TOK TOK "Yan.." Ada perlu apa lagi Okta?, pikirku TOK TOK "Yan.." "Iya, bentar!" jawabku yang sedang keluar kamar mandi lalu memakai boxer ku. TOK TOK "Yan.." "Sabar, Ta" jawabku lagi. "Ada perlu apa sih?" tanyaku saat membuka pintu. Okta tidak menjawab malah hanya diam membisu melihat tubuhku. "Oi, Ta" kataku menyandarkan dari lamunan. "Ah, eh, itu, anu.. Ehmm.. G-gak ada,... ehmm. Gak ada ciuman selamat malam?" tanyanya. "GAK" balasku singkat lalu menutup pintu. Hmm, kepikir ada apa, batinku. Tapi tak lama kemudian aku kembali membuka pintu. "Selamat tidur" kataku singkat pada Okta yang masih berdiri disana. "Ah,.. I-iya, selamat tidur!" balasnya kemudian tersenyum.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN