◍•◍•✿•◍•◍❤◍•◍•✿•◍•◍
Esoknya, Maisha sibuk mengemas snack, cupcakes dan s**u kotak untuk dibagikan pada teman-teman Khai di kompleks rumahnya. Kurang dari dua puluh bingkisan, karena itu Maisha memilih mengerjakannya sendiri.
Tepat jam sepuluh pagi Khai dan teman-temannya sudah berkumpul di ruang tamu. Mereka dengan riang menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Maisha dengan senyum mengembang sibuk merekam kegiatan tersebut lantas mengirimkannya pada orang tua dan kakak-kakaknya di Malang untuk mengikis rindu.
Tak sampai satu jam acara sudah selesai dan Khai sudah sibuk membuka hadiah dari teman sepermainannya. Hingga satu suara berat seorang pria memanggil namanya dari balik pagar.
“ Assalamu'alaikum Khai, wah om telat yaa?” panggil suara tersebut.
Maisha cepat-cepat menyambar kerudung dan keluar melihat tamunya, karena ia tak merasa mengundang siapapun selain teman-teman Khai. Bahkan mantan suaminya pun tak ingat ulang tahun anaknya, jadi ia sedikit penasaran dengan sosok yang memanggil anaknya.
“Om ciapa ya? Bundaaa ada tamu.” pekik bocah kecil itu.
“Fer-Ferdian?” Maisha membelalak melihat pria yang semalam mengantarnya pulang kini sudah ada di teras rumahnya, lengkap dengan bingkisan besar yang ia yakini berisi kado untuk Khai.
“Gak disuruh masuk nih?” senyum manis Ferdian mengembang membuat Maisha merinding seketika.
“Eh iya, masuk dulu Fer.” Maisha mempersilahkan masuk.
“Khai, ini om Ferdian temenya bunda, yang semalem nganter khai pulang, salim yuk.” sambungnya memperkenalkan Ferdi pada putranya yang hanya dijawab dengan ooo panjang.
Tak butuh waktu lama bocah kecil itu langsung menyambar punggung tangan Ferdi dan mengecupnya hingga berputar-putar.
“Ini kado buat aku ya om?” tembak bocah itu tepat sasaran.
“iya doong... nih, langsung buka gapapa.” jawab Ferdi langsung memberikan box besarnya pada Khai.
Maisha hanya tertegun sejenak melihat pemandangan akrab didepannya, ya.. dari kecil Khai memang tipe anak yang sangat mudah berbaur, termasuk dengan orang yang baru dikenalnya sekalipun.
“Yeayyyy.... makaciiiiii Om.” teriak Khai sambil melompat kegirangan, disambut anggukan Ferdi yang mengacak-acak rambut lebat bocah dihadapannya.
“Ngapain repot-repot sih Fer?” bisik Maisha pelan, tentu ia merasa aneh dengan sikap Ferdian yang terlihat caper dengan putranya.
Karena setau Maisha, Ferdian pun sudah berkeluarga, istrinya teman kuliahnya sendiri, dan mereka sudah dikaruniai seorang putra. Tentu saja Maisha tau hal itu karena dia sangat aktif berselancar di dunia maya.
“Kan kemaren aku belom sempat kenalan sama anak kamu, ini hadiah ultah sekalian buat perkenalan, iya kan anak ganteng?” ucap Ferdi sambil tersenyum lebar hingga menampakkan lesung pipitnya.
Maisha segera menunduk begitu mengingat lesung pipit yang dulu sangat disukainya itu, berusaha menghentikan kenangannya tentang Ferdi yang sekilas mencuat lagi dalam benaknya.
“Iya kali om, Khai gak inget.” seloroh balita itu polos.
Maisha segera beranjak ke dapur sambil merapikan letak kerudung yang dipakainya asal. Mengambil beberapa potongan cheese cake dan air dingin dari kulkasnya untuk Ferdi. Kembali ke ruang tamu ia mendapati putra nya sudah tertawa cekikikan dipangkuan Ferdi sambil memainkan robot hadiahnya tadi.
“Nih Fer, diincip dulu cake nya.” Maisha menyodorkan piring kue ke atas meja mungil dihadapan mereka.
“Makasihm” jawabnya langsung menggigit habis satu slice cheese cake.
“Temen-temen Khai mana? Udah selesai acaranya?” tanya Ferdian setelah meneguk minuman didepannya, yang hanya dibalas anggukan Maisha.
“Cuma anak-anak sekomplek ini kok, gak banyak, tadi abis dibagiin kue langsung bubar.” jawab Maisha sambil terkekeh.
“Eh, kabar keluarga kamu gimana Fer? masih di Malang ya?”tanya Maisha lagi
“Mereka baik,semalem kan udah aku jawab.” seloroh Ferdian cuek, seraya bersandar pada sofa.
“Anak kamu? Udah berapa?”
Ferdi menarik nafas panjang dan menatap mata Maisha penuh selidik.
“Kamu beneran gak tau? Gak pernah ngobrol-ngobrol sama Donce atau siapa gitu?”kata Ferdi balik bertanya. Donce yang dimaksud adalah Dona, sahabat Maisha saat SMP, dan menjadi sahabat dekat Ferdi ketika SMA.
“Nggak tuh, sejak pindah dari Malang aku jarang banget ketemu temen-temen lama, apalagi sama Dona, nomornya aja gak punya.”
Sesaat Ferdi hanya terdiam, nampak mengambil nafas dalam-dalam dan mengusap wajahnya. Maisha yang melihatnya hanya bingung dan menaikkan salah satu alisnya heran.
“Mereka udah gak ada.” kalimat Ferdian menggantung.
“Maksudnya?” tuntut Maisha penasaran.
“Kecelakaan." Ferdi diam sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Imelda dan putra kami meninggal hampir dua tahun lalu.” lirih Ferdi yang sontak membuat mata Maisha membelalak dan spontan menutup mulut dengan kedua tangannya seolah tak percaya.
“Innalillahhi wa inna illaihi Roji’un. Ma-maaf Fer, aku beneran gak tau, sumpah.” gagap Maisha.
“Udah ah gapapa, toh udah kejadian lama juga, mereka udah tenang disana, yang masih hidup disini harus tetep melanjutkan hidup buat mereka juga kan??” Ferdi menegakkan punggungnya sambil mengulas senyum yang terkesan dipaksakan.
Maisha yang duduk tak jauh darinya hanya termenung dan mengangguk pelan. Ia masih terlalu shock hingga membuatnya tak bisa berkata-kata mendengar cerita singkat Ferdian.
Hening setelah percakapan itu, hanya terdengar suara riuh Khai yang masih sibuk dengan mainan barunya.
Ddddrrrrttt....
Dddrrttt...
Terdengar suara ponsel Ferdian memecah lamunan mereka.
“Assalamu’alaikum”
“...”
“Oh iya pak, ingat... oke pak, jam dua saya tunggu ya.” lanjut Ferdi kemudian menutup telponnya.
“Rum, aku pamit dulu ya, nanti ada janji sama tukang service AC.” ucap Ferdi hanya dijawab anggukan Maisha.
“Masih sekitar dua jam lagi siih... tapi aku belum beresin rumah, taulah gimana berantakkannya kalo cowok tinggal sendiri.” lanjut Ferdi berdiri sambil mengusap puncak kepala Khai.
“Iya, makasih banyak ya, udah sempetin kasih kado ke Khai.” jawab Maisha, sambil mengekor dibelakang Ferd
“Hmm.... nanti malam aku boleh telpon?” tanya Ferdi, sambil membalikkan badannya seketika, membuat Maisha yang tepat dibelakangnya terkejut dan hampir terjatuh kebelakang jika saja tak segera ditahan lengan Ferdi.
“Boleh.”jawab Maisha singkat.
▪️▪️▪️
Malam harinya Maisha gusar memikirkan perkataan Ferdian tadi siang, bergegas ia scrolling akun instagramnya, mengetik nama Ferdian di kolom pencarian, namun hasilnya nihil. Ferdian memang punya akun i********: tapi postingannya hanya satu, foto saat main basket dan itupun sudah beberapa tahun lalu.
Ferdian memang sangat asing dengan dunia sosial media, ia menggunakan akunnya hanya untuk browsing akun-akun lain. Berkebalikan dengan maisha yang sangat aktif dengan sosial media karena bisnis online yang ia tekuni.
Tak mau makin penasaran akhirnya memutuskan mengetik nama istri Ferdian dikolom pencarian, begitu menemukan akun yang sesuai segera ia scrolling naik turun, namun matanya tertahan pada postingan terakhir wanita itu yang banyak sekali dihujani ucapan duka cita. Maisha menegakkan posisi duduknya dan menggeleng pelan seolah tak percaya, ia amati lagi tanggal yang tertera di foto selfie wanita cantik itu, sudah lebih dari dua tahun yang lalu.
Konsentrasinya tiba-tiba buyar ketika ada panggilan masuk, Ferdi. Maisha langsung mengatur nafasnya sebelum menjawab telpon tersebut.
“Assalamualaikum.” sapa Maisha.
“Wa’alaikumsalam, lagi ngapain Rum? Jangan bilang lagi stalking aku.” kekeh Ferdi dari seberang.
“Pede banget ya Tuhan, lagi ngrekap orderan aja.” jawab Maisha sambil menggigit bibir bawahnya mencoba tenang, ia memang sedang merekap orderan parfum sebelum akhirnya bosan dan memutuskan berselancar di i********: tadi.
“Khai udah tidur kok sepi?” tanya Ferdi lagi tak ingin kehabisan bahan pembicaraan
“Udah dari tadi, gak kuat melek malem dia, belom jam delapan udah tidur.”
“Ooo..” Ferdi hanya ber-oo ria.
“Rum, kamu tinggal berdua sama anakmu gitu gapapa? Perumahan kamu kayaknya masih sepi. Aman gak?” Ferdi tak kuasa menahan kekhawatirannya.
Maisha tak langsung menjawabnya, ia masih menyusun kata-kata yang tepat agar tak terlihat terlalu percaya diri begitu mendengar Ferdi mengkhawatirkan keadaannya.
“Ya gapapa laah, insyaAllah aman kok, lagian aku udah hampir empat tahun disini, udah kenal baik sama orang-orang sini.”
“Syukurlah kalo aman. Hmm... kenapa, kenapa gak pulang ke Malang aja yang banyak keluargamu? ”
“Nggak lah, aku bukan anak kecil lagi. Gak mau ngrepotin orang tua yang udah sepuh. Kalo aku stay disana yang ada mereka makin sedih denger gunjingan kanan kiri tentang status ku sekarang.” seloroh Maisha.
Sejak bercerai dengan Arga memang banyak tetangga bergunjing tentang perpisahan mereka. Banyak yang menyayangkan, apalagi mereka bercerai ketika baru tiga tahun menikah. Tragis, sering Maisha mengutuki nasibnya sendiri.
“Hmm gitu, sebenernya, minggu depan aku ada acara di Malang, kakakku pindah rumah. Kali aja kamu mau sekalian ikut kesana? Siapa tau kamu pengen berkunjung ke orang tuamu, nanti aku barengin baliknya juga.” akhirnya terucap juga tujuan Ferdian menghubungi Maisha dari tadi.
“Maaf, kayaknya nggak bisa Fer, baru juga seminggu yang lalu orang tua aku kesini.” tolak Maisha sopan.
Sebenarnya ia pun merindukan kedua orang tuanya meskipun minggu lalu sudah bertemu, tapi ia tak ingin membuat keluarganya heboh dengan kedatangannya yang tiba-tiba, apalagi jika harus diantar seorang laki-laki.
“Oh gitu, yaudah gapapa nyantai aja, kirain mau.” oceh Ferdi masih dengan senyum nya
”Yaudah kamu buruan istirahat gih, cewek gak boleh banyak begadang.” lanjut Ferdi mencoba tenang.
“Iya, makasih ya udah nawarin tumpangan, next time maybe.”
“Nyantai aja. Sudah saba buruan tidur sana aku tutup ya.. Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam.” Maisha langsung mematikan ponselnya.
Benaknya masih menerawang kemana-mana, mencoba menerka maksud Ferdian yang sepertinya mendekatinya. Sudah dua tahun lebih Maisha menjadi orang tua tunggal dan dia sudah hafal betul bagaimana gelagat pria yang mencoba mengambil hatinya.
Bahkan beberapa kali ia menjaga jarak dengan sejumlah pria yang mencoba mendekatinya, bahkan orang tuanya berkali-kali mencoba menjodohkannya dengan pria kenalan mereka.
Ditempat lain, Ferdian pun masih bimbang dengan hatinya, ia bahkan menatap lama layar ponselnya yang menampilkan foto profil Maisha dari salah satu akun sosial medianya. Sudah lama ia menutup hati sejak kepergian mendiang Imelda.
Tapi dua hari yang lalu ia merasakan getaran yang berbeda sejak bertemu lagi dengan Maisha, cinta dimasa remajanya. Begitu tau Maisha sudah berpisah dengan pasangannya, ia makin gusar tak karuan, ada rasa sesak sekaligus rasa ingin melindungi pada wanita manis itu.
*Bersambung ( ˘ ³˘)♥