"Tutup matamu. Jangan mengintip. Mulailah berhitung satu sampai seratus. Setelah itu kamu boleh membuka mata."
"Mama mau kemana?"
"Mama mau sembunyi. Dan kamu harus mencari Mama kalau nanti hitunganmu selesai."
"Tapi seratus terlalu banyak, Ma."
"Juju anak pintar. Kamu pasti bisa, Sayang. Ayo! Mulailah berhitung."
"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam. Sudah belum, Ma!"
"Belum, Sayang! Ayo teruslah berhitung. Eit! Jangan mengintip!"
"Tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, ..."
Senyap.
"Dua belas, tiga belas, empat belas, lima belas, ... udah belum, Ma?"
Tak ada jawaban. Suara berdebum yang teredam di suatu tempat mengacaukan hitungan Juju.
"Tiga puluh, ... , tiga puluh lima."
Udara seolah berhenti. Pekik tertahan dan rintihan pilu seolah meminta Juju membuka mata dan mencari suara itu. Tapi Juju sudah berjanji. Dia akan tetap menutup mata dan menyelesaikan hitungannya.
"Juju anak pintar. Kesayangan Mama, kesayangan teacher. Belajar yang rajin supaya nanti bisa punya perusahaan seperti Papa."
Seperti Papa. Bukan meneruskan perusahaan Papa. Itu harapan Mama sejak dulu.
"Sembilanpuluh sembilan, seratus! Ma! Juju buka mata, nih!"
Masih tak ada jawaban. Mungkin Mama sudah bersembunyi. Mungkin Mama bersiap mengejutkan Juju di suatu tempat. Mungkin Mama menunggu Juju menemukannya. Mungkin Mama akan berpura-pura mudah ditemukan, lalu dengan pekik terkejut Mama akan terlihat kecewa karena begitu pandainya Juju menemukan persembunyian Mama. Mama akan menghujaninya dengan ciuman, pujian, dan pelukan hangat.
Juju bergegas mencari Mama ke seisi rumah.
Ruang tamu dengan kursi berlapis kulit dan busa super empuk. Tubuh mungil Mama akan cocok jika bersembunyi di baliknya.
"BHA! Mama ketauan!" teriak Juju.
Tempat di balik kursi kosong. Tak ada siapa pun bersembunyi di sana. Juga di balik kursi yang lain. Bahkan di kolong meja yang tak mungkin menyembunyikan Mama, Juju tetap melongok ke bawahnya.
Juju berlari ke ruang rekreasi. Di sana ada sofa besar yang biasa digunakan Papa untuk membaca. Juga kursi empuk kecil yang di desain khusus untuk tubuh Juju. Mama tidak mungkin sembunyi di baliknya. Tapi di balik sofa, mungkin saja.
Juju melongok ke baliknya. Kosong.
Rasa jengkel mulai merayapi d**a Juju. Kali ini, Mama bersembunyi di tempat yang sulit.
Mungkin di lantai atas. Atau di ruang makan? Mungkin dapur?
Mata Juju memandang pintu penghubung antara ruang rekreasi dan ruang makan, lalu ganti memandang tangga melingkar menuju lantai atas.
Yang mana yang duluan akan dia tuju?
Sesuatu berbisik di kepalanya. Juga menggelitik di hatinya.
Ke atas! Kamar Mama.
Ke sanalah Juju menuju. Langkah lebar kaki-kaki kecilnya menapaki anak tangga satu per satu. Hingga ke atas.
Di anak tangga terakhir, Juju berhenti. Pintu kamar Mama yang biasanya tertutup rapat, terbuka sedikit. Embusan sejuk pendingin ruangan menerpa jari-jari kaki Juju saat dia berdiri di depan kamar Mama.
Saat itu, otak lima tahunnya tidak dapat mencerna dengan baik apa yang ada di hadapannya. Yang dia tahu, Mamanya terbaring di lantai dengan kepala terkulai tak wajar. Di samping Mama, Papa berdiri mematung dan menatap dingin tubuh Mama.
Juju tidak memahami apa yang sedang terjadi. Yang dia tahu, dia telah menemukan persembunyian Mama. Tapi hatinya mengatakan dia harus berlari dan memeluk tubuh Mama. Juju ingin melakukannya. Juju akan melakukannya. Tepat ketika kaki kanannya melangkah, Papa mulai tertawa. Awalnya perlahan, lalu mulai melengking.
Tawa menjijikkan yang terus menghantui Juju hingga kini.
"Hei! Kok, melamun, sih? Mikirin apa?"
Arjuna menatap perempuan di depannya. Mata bulatnya bersinar ingin tahu.
"Bukan urusan, lu," jawabnya acuh.
"Ya sudah kalau gitu. Aku pulang saja!"
"Eh, jangan! Tunggu, tunggu!" Arjuna menarik pergelangan Zea dan menahannya.
"Sorry. Gue minta maaf. Gue terbawa suasana sedikit."
"Ingat masa lalu?"
"Bukan u--."
Mata Zea melebar. Memberinya isyarat peringatan. "Ya. Sedikit masa lalu."
"Nggak nyangka orang seperti kamu punya masa lalu." Zea mencibir sinis.
"Setiap orang. Setiap benda. Semua punya masa lalu. Semua punya sejarah. Bukankah masa lalu bagian dari kenangan? "
"Tergantung. Bagian mana yang ingin kamu kenang? Dan tidak semua masa lalu meninggalkan jejak. Apalagi yang bersejarah."
"Lu sinis banget. Tanpa sejarah, gimana lu bisa menentukan masa depan?"
"Harus, ya kita bahas hal beginian? Sebenarnya kamu mau ngomong apaan, sih, Jun? Ribet banget kayaknya. Dibikin simpel ajalah!"
"Zea, lu pernah tanya apa gue pernah suka sama cewek. Ya, gue pernah sayang sama seseorang. Cuma dia satu-satunya cewek yang pernah deket ma gue. Satu-satunya."
Zea ingin menimpali dengan kata-kata yang sinis. Tapi wajah Arjuna tidak pernah terlihat seserius ini. Ada selaput abu-abu yang seolah melingkupi tubuhnya. Selaput duka yang teramat dalam. Maka Zea hanya menunggu. Menunggu Arjuna menyelesaikan ceritanya tanpa perlu didesak atau disela.
"Dia ..., dia ninggalin gue. Pergi untuk selamanya. Hhh!" Juna tersenyum sinis. "Ini nggak kayak yang lu pikirin. Gue patah hati. Bukan kayak gitu. Dia bukan pacar gue apalagi tunangan. Dia ...." Juna terdiam cukup lama sebelum akhirnya menarik napas dalam. "Dia nyokap gue," ujarnya lirih.
"Itulah sebabnya, bokap bebas mau berbuat apa aja. Nggak ada yang perlu dijaga perasaannya atau kehormatannya. Ah, tapi dia emang terlahir buat jadi b******n tengik. Dia nggak pernah peduli perasaan nyokap! Dia cuma peduli sama hartanya!" Tangan Arjuna mengepak di atas meja. Tubuhnya mengeras. Tatapannya penuh kebencian.
"Lu mau ngebunuh Margono, kan? Gue bantu. Gue dukung sepenuhnya. Gue modalin lu berapapun maunya! Tapi gue punya satu permintaan. Bunuh juga bokap gue. Baskoro."
~o0o~
Tidak ada yang salah dengan permintaan Arjuna. Untuk seorang anak yang dibesarkan dalam kebencian, sangat wajar jika suatu saat dia berkeinginan memusnahkan kebencian itu. Dan Zea memang membutuhkan sekutu. Dia sendirian. Berjuang sendirian tidaklah mudah. Selain itu, uangnya sudah mulai menipis. Ibunya perlu beberapa kali lagi kemoterapi sebelum dokter menyatakan sel-sel kanker telah bersih dari tubuhnya. Sayangnya Hastuti seolah enggan menjalani kemo yang baginya terasa menyakitkan. Tubuhnya beberapa kali harus dirawat di rumah sakit. Keinginannya saat ini cuma satu: kembali ke Jakarta.
Seperti perkiraan Zea sebelumnya, kedatangannya sudah diperkirakan Margono. Sejak dia mendarat di bandara, orang-orang Margono sudah mengikutinya. Tapi dia bisa meloloskan diri. Dan sepertinya, fokus Margono untuk melenyapkan ibunya sudah berpindah. Sekarang, fokus Margono tertuju padanya.
Zea meletakkan telepon genggamnya di atas meja. Matanya memandang pemukiman kumuh yang membentang di balik jendela kamarnya. Papa Wijat baru saja mengabarkan jika Ibunya kehilangan kesadaran lagi. Waktunya semakin tipis. Semakin lama, akan semakin sulit membawa tubuhnya ke Jakarta jika kondisinya terus menurun. Zea juga tidak mau mengambil resiko membawa Hastuti pulang ke Jakarta sebelum dia berhasil membunuh Margono. Keberadaan Hastuti di Jakarta akan membuatnya lemah dan sulit bergerak. Dia harus menyusun rencana baru. Tidak setiap saat Margono bisa keluar dari penjara dan bisa dengan mudah didekati. Kegagalannya di kepulauan seribu membuat penjagaan terhadap Margono makin diperketat. Wajahnya tertangkap kamera CCTV di pulau itu. Dan kini, dia merasa diikuti orang ke mana pun dia pergi.
"Juna, jangan hubungi aku di nomor ini lagi. Aku merasa tidak aman. Nanti aku hubungi kamu dengan nomor lain."
Zea membuang ponselnya ke tempat sampah terdekat dan mulai berjalan cepat dan zig zag di antara pejalan kaki di trotoar. Dia bisa merasakan langkah-langkah kaki yang berlari mengejarnya.
Tepat di depannya, di sebelah kanan trotoar, ada jalan kecil yang terbentuk dari dua gedung yang tegak menjulang. Jalan itu buntu. Hanya berupa lorong sempit dan gelap tempat barang-barang tak terpakai diletakkan begitu saja. Pada malam hari, beberapa tuna wisma menggelar alas tidur mereka di sana.
Sebuah rencana berkelebat cepat di kepala Zea. Tanpa pikir panjang, dia berbelok ke lorong tersebut dan mencari tempat yang sesuai untuk menyembunyikan tubuhnya. Di balik tumpukan palet yang bagian bawahnya mulai lapuk, Zea menyusupkan tubuhnya dan menunggu dalam diam. Sikapnya waspada. Dia menajamkan indera pendengarannya berkali lipat. Kedua tangannya menggenggam dan kakinya membentuk kuda-kuda kokoh.
'Srek!'
Langkah kaki satu, dua orang memasuki lorong dengan perlahan. Mereka mengendap-endap berusaha tidak menimbulkan suara yang terlalu berisik. Zea memejamkan mata. Tidak ada angin berhembus di lorong itu yang membuat dia bisa membaca keberadaan para penguntitnya. Tidak ada aroma tajam yang bisa dia endusi. Zea membungkukkan badannya sedikit. Memperkokoh kuda-kudanya agar bisa menyerang sewaktu-waktu.
"Tidak mungkin dia kemari. Terlalu bodoh untuk bersembunyi di tempat seperti ini," bisik seseorang.
"Kamu tidak tahu otak dia, sih! Dia bisa melakukan hal-hal yang tidak terpikirkan oleh orang lain!"
"Hoi, kalian! Cepatlah pergi dari situ. Barusan orang kita melihat sosok seperti Nomor Satu di Jalan Sudirman."
Langkah kaki bergegas terdengar meninggalkan tempat Zea bersembunyi. Untuk sesaat suasana hening kembali menyelimuti Zea. Entah siapa yang lebih beruntung saat ini. Dia? Atau para penguntitnya? Jika tadi mereka bentrok, Zea tak akan segan-segan menghabisi mereka semua. Tiga orang cecunguk barusan bukan tandingannya. Zea tahu kelemahan tiap-tiap orang suruhan Margono.
Sambil merapikan pakaiannya, Zea berjalan keluar dari tempat persembunyian dan berbaur dengan para pejalan kaki yang lain. Dia mengenakan kaca mata hitamnya dan berdiri di belakang bapak-bapak bertubuh gendut di halte bus. Aroma masam keringat bercampur matahari menguar dari balik lengan si bapak. Membuat Zea menutup hidung dan menahan keinginan untuk muntah. Tapi dia harus bertahan. Saat ini, berada di keramaian adalah pilihan terbaiknya.
~o0o~
"Jangan bilang kalau lu nggak punya rencana, Zea! Gue mau bokap gue mati secepatnya!"
Zea menyulut rokoknya dan melirik Arjuna sekilas. Mereka bertemu di sebuah motel kecil di pinggiran kota. Persis seperti pasangan kencan yang sedang berselingkuh dari pasangan masing-masing.
"Hampir tiap hari kamu punya kesempatan untuk membunuh bapakmu! Kenapa nggak kamu lakukan?"
"Gue nggak punya nyali. Lagian ..., gue nggak mau masuk penjara."
"Huh! Cemen."
"Lu nggak berhak ngatain gue begitu, ya! Kalau lu nggak mau gue bisa cari orang lain!"
"Hhh. Trus kamu mau bayar pake apa? Semua aset kamu, kan dibekukan sama bapakmu! Oh, ya, aku tau tentang hal itu Juna. Keuanganmu diawasi ketat oleh bapakmu. Kamu nggak bisa sembarangan mengeluarkan uang. Seperti pernah kubilang, untuk ukuran orang kaya, isi dompetmu menyedihkan." Zea mengembuskan asap rokoknya ke wajah Arjuna.
"Pernah nggak terpikir sama kamu, kalau bapakmu sengaja membuatmu jadi gay?" tanya Zea sinis.
Kemarahan menyala di mata Arjuna. Bayangan-bayangan buruk yang berusaha dia kubur bermunculan satu per satu. Dia tak suka diingatkan pada kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan itu. Tangan Arjuna terangkat hendak menampar pipi Zea. Namun dengan sigap Zea menahannya. Wajah mereka kini begitu dekat. Zea bisa mencium aroma segar obat cukur Arjuna. Zea mendekatkan bibirnya pada bibir Arjuna yang membuka sedikit dan melumatnya dengan lembut. Arjuna berusaha memundurkan tubuhnya namun Zea mencengkeram pergelangan tangannya. Menahannya agar jangan pergi.
Zea masih menciumi bibir Arjuna tanpa perlawanan. Kaku. Namun tidak dingin. Hanya ragu. Perlahan, Zea berusaha membuka bibir Arjuna dan menyelipkan lidahnya masuk. Arjuna tidak menolak tapi tidak juga membalas. Tapi Zea tahu, tubuh Arjuna bereaksi. Bagaimanapun dia laki-laki. Arjuna hanya belum tahu nikmatnya bersentuhan dengan perempuan.
Satu kecupan mesra dan dalam menyudahi ciuman Zea.
"Kita harus sering-sering melakukannya supaya kamu terbiasa. Aku yakin kamu bisa jadi partner seks yang seimbang." Zea mengedipkan mata dan mengisap rokoknya kembali.
"Dan, omong-omong ..., aku sudah punya rencana. Tadinya aku berharap kamu seperti yang kuperkirakan. Bisa memberiku cash money dalam waktu dekat. Aku butuh uang banyak saat ini. Tapi setelah kuselidiki account-mu, sungguh, aku hampir menangis dibuatnya. Bagaimana bisa pewaris tunggal kerajaan Baskoro bisa sedemikian kere? Ck! Kamu bikin aku kasihan. Jadi aku putuskan untuk membantumu secara cuma-cuma. Tapi tidak cuma-cuma banget. Aku tetap butuh informasi dari orang dalam sepertimu."
"Jelaskan rencanamu?"
"Nanti malam, aku akan merampok harta bapakmu."©