Sebelas

1505 Kata
Pencurian di rumah Baskoro telah mencoreng keamanan perumahan elit tersebut. Bagaimana bisa penjaga malam yang siaga penuh dan CCTV 24 jam tidak menangkap satu pun gerak-gerik yang mencurigakan? Pencurinya seolah makhluk kasat mata yang diterbangkan angin ke hadapan brankas Baskoro dan mengosongkan isinya tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Bahkan alarm tanda bahaya pun tidak berbunyi. Desas-desus yang berembus di antara orang bawahan Baskoro mengatakan: pencurinya mempunyai ilmu halimunan tingkat tinggi. "Bodoh! Kalian tidak becus semua! Kok bisa pencuri dengan seenaknya masuk dan keluar tanpa ketahuan sedikit pun?!!" Baskoro berteriak-teriak di hadapan bawahannya. Pencurinya tidak melewati pintu depan. Itu jelas. Satpam tidak bertemu langsung dengannya atau melihat sosok mencurigakan di sekitar rumah. Pencurinya masuk tanpa merusak pintu atau kaca jendela. Artinya dia punya kunci duplikat rumah atau dia bisa berjalan menembus tembok. Pembantu dan tukang kebun percaya opsi kedua. Sedangkan akal sehat, memilih opsi pertama. Polisi menggeledah seluruh ruangan rumah terutama kamar para pekerja. Polisi juga menginterogasi seluruh pekerja di rumah Baskoro. Satu per satu digiring ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Hanya Baskoro dan Arjuna yang luput dari interogasi dan kecurigaan polisi. Pada malam kejadian, Arjuna pulang dalam keadaan mabuk. Gerak-geriknya terekam beberapa kamera CCTV yang berada di rumahnya. Sebagian kejadian pada malam itu tidak bisa diingat oleh Arjuna. Hal yang bisa dia katakan pada polisi adalah dia minum sampai mabuk di sebuah klub dan tidak ingat bagaimana dia pulang. Dia terbangun keesokan harinya karena kegaduhan dan suara keras bapaknya yang menggema di seisi rumah. Sedangkan Baskoro, bekerja sampai larut di kamat tidur. Punggungnya begitu lelah malam itu, sehingga dia memilih menatap layar laptop di atas kasurnya yang empuk. Kamar tidur dan ruang kerjanya hanya dipisahkan satu dinding. Tapi dia bersumpah tak mendengar suara apapun dari sebelah. Entah karena dia yang terlalu tenggelam dalam angka-angka dan matriks atau memang pencuri itu sedemikian lihainya sehingga bisa bebas mengambil apapun di sebelah tanpa menimbulkan suara. "Tak mungkin seseorang bisa bebas keluar masuk tanpa terekam satupun kamera CCTV di rumah ini! Setan mana yang berani menyusup ke rumahku? Sial! Sial! Sial!" Baskoro berteriak-teriak geram sambil memperhatikan kondisi ruang kerjanya. Semua masih tertata rapi. Tak ada yang berubah atau bergeser, selain brankas yang sepertinya sengaja dibiarkan terbuka. Sebenarnya ada satu CCTV di ruang kerjanya, tapi pada malam kejadian, CCTV itu mati. Baskoro dan polisi yakin jika pencuri itu yang telah memutus kabelnya. Tapi mengapa alarm di brankas tidak berbunyi? Hanya satu orang yang mengetahui kombinasi kunci brankas dan itu adalah Baskoro. Bagaimana cara pencuri itu membukanya? Telepon rumah Baskoro berdering nyaring. Seorang pembantu rumah tangga tergopoh-gopoh menyampaikan pesan si penelepon. Baskoro menghampiri telepon di meja kerjanya, menekan tombol sambungan dan mendengarkan sesaat. Setelah dipastikan tak ada saluran terbuka yang bisa mendengarkan percakapan mereka, Baskoro menyapa peneleponnya. "Ya. Brankas dikosongkan. Tunai, perhiasan, saham, obligasi. Beberapa perjanjian." "Entahlah. Yang jelas bukan pencuri biasa." "Apa maksudmu? Tidak mungkin! Tidak, tidak. Dia mabuk. Tidak mungkin terlibat. Dia terlalu bodoh. Tapi ..., baiklah. Akan aku selidiki." Baskoro menutup teleponnya dan termenung sesaat. Informasi terbaru dari si penelepon mengusik perhatiannya. Pikirannya menerawang pada malam di Kepulauan Seribu. Dia berusaha mengingat perempuan yang datang bersama anaknya. Kalau tidak salah namanya Kusuma. Pada saat itu Baskoro merasa mengenal Kusuma. Wajahnya mengingatkan Baskoro pada seseorang. Tapi dia tidak terlalu mengambil peduli. Entah sudah berapa banyak perempuan yang dia kencani. Beberapa diantaranya pasti ada yang mirip. Dan Kusuma, mungkin mengingatkan dia pada seorang perempuan yang pernah dibawanya ke ranjang. Baru sekarang Baskoro menyadari. Kusuma mengingatkan dia pada Hastuti. Perempuan simpanan Margono yang bisa dibagi pada teman dekatnya. Beberapa minggu lalu dia memperoleh informasi jika Hastuti ternyata memiliki seorang anak perempuan. Dan anak perempuan itu mengincar Margono. Kabarnya si anak perempuan ini sangat lihai dan licin. Dia yang terbaik yang pernah dimiliki organisasi. Orang suruhan Margono yang diutus untuk menghabisinya, justru dihabisi si anak perempuan. Baskoro begidik ngeri membayangkan tubuh Cakra yang ditemukan telanjang bulat tak bernyawa dengan garpu tertancap di kerongkongannya. Dan dari hasil otopsi diketahui jika penyebab utama kematian Cakra adalah tersumbatnya beberapa aliran darah. Garpu di kerongkongan hanya sebagai pengalihan. Informasi dari si penelepon barusan mengatakan, jika si anak perempuan adalah seseorang yang terlihat bersama Arjuna di Kepulauan Seribu. "Kamu sudah sadar?" Baskoro masuk tanpa mengetuk pintu kamar Arjuna terlebih dahulu. "Harusnya Papa mengetuk pintu dulu. Jangan masuk begitu saja." Arjuna yang baru selesai mandi terlihat risih karena hanya berlilitkan handuk di tubuhnya. "Untuk apa? Ini rumahku. Semua pintu di rumah ini boleh kubuka. Lagi pula, aku sudah hapal bentuk tubuhmu Ju. Buat apa disembunyikan?" Tawa sinis berderai dari mulut Baskoro. Membuat Arjuna semakin benci pada Bapaknya. Cepat-cepat dia mengenakan pakaiannya yang tersampir di sandaran kursi. "Apa mau Papa?" tanya Arjuna sambil mengancingkan lengan kemejanya. "Di mana kamu semalam?" "Papa seperti polisi saja. Sudah saya bilang pada mereka kalau saya ada di klub. Mabuk." "Kedengarannya seperti kamu yang biasa." "Begitulah." "Sama siapa?" "Teman-teman biasa. Dan beberapa teman baru." "Siapa mereka? Teman barumu itu?" "Apa urusannya, sih, Pa? Biasanya juga Papa tidak pernah peduli dengan siapa saya berteman!" "Aku tidak peduli kalau itu laki-laki. Tapi kalau perempuan, aku mulai peduli." "Oh, baguslah! Karena semalam, tidak ada satu orang perempuan pun menemani saya." "Seperti kamu yang biasa." "Sepertinya begitu." "Dan ..., perempuan yang kamu bawa ke pulau tempo hari?" "Kami tidak cocok. Setelah malam itu, tidak pernah lagi ada hubungan di antara kami." "Hhm. Benar-benar kamu yang biasa." Baskoro memandangi sosok Arjuna di hadapannya lalu berbalik meninggalkannya. Di ambang pintu kamar, Baskoro berhenti sejenak. "Ingat satu hal Juju. Aku mengawasimu lebih ketat mulai sekarang." ~o0o~ Awalnya, Zea hanya bermaksud mengambil cash money dari brankas Baskoro. Tapi melihat caranya menyegel beberapa surat perjanjian, timbul rasa ingin tahu yang sangat besar dalam diri Zea. Dia penasaran, perjanjian macam apa yang dibuat oleh Baskoro. Yang pasti bukan perjanjian biasa. Tidak ada yang biasa jika berhubungan dengan kaki tangan iblis. "Lu bener-bener bikin kekacauan di rumah gue. Bokap kelihatannya mencurigai sesuatu." "Oh ya? Trus dia nanya-nanya nggak sama kamu?" Tangan Zea masih sibuk membolak-balikkan lembar demi lembar perjanjian yang dia temukan. Dia mengacuhkan kedatangan Arjuna di penginapannya. "Dia sibuk mencari tahu dengan siapa dan kemana gue semalam." "Kamu punya alibi, kan? Nggak usah khawatir kalau begitu." "Zea, gue nggak mikirin diri gue. Gue mikirin elu! Lu pikir gue bisa tenang selama bawa elu di bagasi mobil? Gue takut lu ketauan!" "Tapi kan enggak. Kamu lihat, kan aku baik-baik saja." Satu berkas perjanjian diletakkan Zea begitu saja di meja. Kedua tangannya membentang lebar, memperlihatkan pada Arjuna jika tidak ada yang berubah dalam dirinya. "Dan aku tidak terluka sama sekali. Terima kasih, Ju udah mengkhawatirkan aku." "Jangan!" Zea menatap wajah Arjuna yang tiba-tiba menegang. "Kenapa? Apa yang salah?" "Jangan panggil gue dengan sebutan itu." "Apa? Juna?" "Bukan. Ju. Juju. Cuma Mama yang boleh memanggilku begitu." "Oh! Kirain apa. Kamu mengagetkan aku saja," kata Zea. Matanya sibuk mencari-cari berkas yang ingin dipelajari. "Dengar, Zea!" Tiba-tiba saja tangan Arjuna sudah mencengkeram lengan Zea. Membuatnya meringis kesakitan. "Lu harus segera ngebunuh bokap gue. Gue udah muak ngeliat pandangannya yang selalu ngeremehin gue. Bertahun-tahun gue berusaha menghapus bayangan dia di kepala gue tapi nggak pernah bisa. Dia harus mati Zea. Harus mati!" "Juna ...." Tangan Zea mengusap tangan Arjuna yang mencengkeramnya. Perlahan cengkeraman itu melonggar. Arjuna duduk bersimpuh di hadapan Zea dan menangis. Kedua lengannya menutupi kepala. "Juna ..., kamu bisa pegang janjiku. Keinginanmu akan segera terkabul," ujarnya sambil mengusap rambut hitam Arjuna. "Lu nggak tahu betapa jahatnya dia. Ama nyokap. Ama gue. Dia udah bikin hidup gue berantakan. Dia yang bikin gue jadi gay! Dia bukan bapak. Dia itu setan! Iblis!" teriaknya sambil berdiri dan berjalan mondar-mandir di kamar. "Lu tau? Dia udah ngebunuh nyokap. Dia udah ngumpanin gue ama temennya yang p*****l! Dan gue, gue nggak punya keberanian buat ngelawan dia. Gue pengecut! Sial!" Arjuna menjambak-jambak rambutnya. "Sudahlah. Cukup! Kamu nggak perlu jadi seperti ini dan menyalahkan diri sendiri! Cukup Juna!" Zea memeluk Arjuna dan menempelkan pipinya di punggung Arjuna yang bergetar. "Kita akan membalasnya. Dan menghancurkan organisasi k*****t mereka," bisik Zea. Arjuna membalikkan tubuh. Matanya yang basah menatap Zea. "Kita bisa? Cuma kita?" "Pasti bisa. Aku tahu seluk beluk organisasi itu. Aku lahir dan besar di sana Juna." Tangan Zea terulur dan menghapus air mata Arjuna. Arjuna melepaskan tangan Zea dari pipinya. Dorongan kuat kelelakiannya timbul ketika melihat wajah Zea yang teduh dan bibir Zea yang terbuka. Di matanya saat itu, Zea jauh lebih menarik dari laki-laki manapun yang pernah berkencan dengannya. Arjuna merasa dirinya gila. Tapi dia memang sudah lama hidup dalam dunia yang gila. Tanpa ragu-ragu, Arjuna mengulum bibir Zea dan memainkannya di mulutnya. Begitu lembut. Begitu hangat. Begitu tak berdaya. Rasanya menyenangkan ketika dia bisa mengintimidasi seseorang. Selama ini, dia terbiasa diintimidasi orang lain. Tak ada yang membiarkannya membuat pilihan-pilihan. Tak ada yang memberinya kesempatan memimpin dan membuat jalan. Kenapa dengan Zea terasa lebih mudah? Kenapa saat bersamanya semua kemustahilan menjadi mungkin? Kenapa rasanya dia memiliki keberanian yang tak pernah dia punya sebelumnya? Zea mendorong tubuh Arjuna agar menjauh. Dia kehabisan napas. Arjuna memberinya kesempatan sebentar untuk menarik udara segar, dan setelahnya, dia membawa Zea ke dalam pelukannya dan mengerjai bibir Zea habis-habisan.©
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN