Ancaman Rini (POV Hakam)

1593 Kata
#Hakam Aku mengusap sudut bibir yang terasa nyeri serta mengeluarkan cairan merah akibat pukulan satpam sia*an itu. Bisa-bisanya Rini menyuruh orang untuk memukuli suaminya hingga babak belur seperti ini. Tidak punya perasaan. Sial banget hidupku sekarang. Sudah dibohongi oleh Ratih, dihadiahi bogem mentah pula oleh si Risman. Sambil meringis menahan sakit masuk ke dalam mobil, melajukannya dengan kecepatan rata-rata membelah kemacetan kota hingga perputaran keempat roda mobilku berhenti di halaman rumah yang ditinggali oleh Ibu. “Kamu kenapa, Kam? Kok wajah kamu babak belur begitu?” tanya Ibu seraya mengusap pipiku yang masih terasa berdenyut nyeri. “Bukan urusan Ibu!” Aku menjawab ketus, merasa kesal karena Ibu sudah bersekongkol dengan Ratih untuk membohongi diriku. “Kamu mulai berani sama Ibu?” Aku tidak menyahut dan terus saja berjalan melewati perempuan yang telah melahirkanku tiga puluh tahun yang lalu itu. Rasa kesal, malu juga marah bercampur menjadi satu. Jika saja tidak takut menjadi anak durhaka, sudah kucaci makin wanita berambut sebahu itu karena telah berani menjebakku sampai harus menikahi Ratih, dan sekarang rumah tanggaku dengan Rini sudah berada di ujung tanduk. Masuk ke dalam kamar, memasukkan barang-barang milik Ratih ke dalam koper lalu meletakkannya di depan pintu. Tidak akan ada lagi maaf untuk dia karena telah membohongi diriku. Berani-beraninya dia menipuku, mengatakan kalau ia sedang mengandung benih cintaku dan mempermalukan aku di depan Rini. Argh...! Mengacak-acak seprei, melempar semua yang ada di atas meja meluapkan emosi yang sudah memuncak di ubun-ubun. Dari pada nanti malah lepas kendali dan memarahi Ibu, lebih baik kulampiaskan kepada barang-barang yang tidak bersalah. “Kamu apa-apaan sih, Hakam? Kenapa barang-barang Ratih kamu letakkan di depan pintu? Kalau kamu sedang ada masalah mbok yo dibicarakan dengan kepala dingin. Jangan tersulut emosi seperti ini, Hakam!!” Ibu menatap wajahku dengan mimik terheran-heran. “Aku akan menyuruh Ratih angkat kaki dari rumah ini, Bu. Aku sudah tidak sudi hidup dengan penipu seperti dia!” “Penipu? Memangnya dia menipu apa? Apa dia membawa kabur uang kamu?” “Ini bukan masalah uang, Bu. Tapi kalian berdua telah menipu aku. Sebenarnya Ibu juga tahu ‘kan kalau Ratih hanya pura-pura hamil?” Mata lawan bicaraku membulat sempurna, seolah-olah kaget dengan berita yang tengah aku sampaikan. Padahal aku sangat yakin kalau sebenarnya Ibu mengetahui masalah ini, dan bahkan mungkin dia juga yang merencanakan semuanya. Aku tahu banget tabiat Ibu yang selalu menghalalkan segala cara demi obsesinya. “Kamu jangan bercanda, Hakam. Ratih itu benar-benar sedang mengandung!” “Tadi aku baru saja dari rumah sakit. Ratih pingsan dan setelah diperiksa oleh dokter ternyata dia tidak sedang hamil. Kenapa Ibu tega membohongi aku sampai rumah tangga aku dan Rini berantakan!” “Karena Ibu tidak pernah suka dengan Rini. Dia itu benalu yang hobinya menggerogoti harta milik kamu!” “Bu, harta yang aku miliki, mobil, rumah, bahkan rumah yang sedang kita tinggali ini milik almarhum ayahnya Rini, bukan punyaku. Aku ini kere, tidak punya apa-apa!” Mulai terpancing emosi. “Enggak. Rumah ini punya Ibu. Kamu sudah menghadiahkan rumah ini kepada Ibu. Mana sertifikatnya, Kam. Ibu tidak mau kalau sampai perempuan itu menguasai rumah ini!” Aku menyentak napas kasar. Susah bicara dengan Ibu karena hatinya sudah tertutup oleh sifat serakahnya. Kembali masuk ke dalam kamar, membanting pintu kemudian mengenyakkan bobot dengan kasar di atas kasur sambil memijat pelipis yang terasa mulai senut-senutan. Pusing memikirkan masalah yang tengah mendera. Sudah mengkhianati Rini demi anak yang dikandung Ratih, ternyata dia malah hamil angin doang. Bodoh sekali aku karena telah menukar berlian dengan sampah seperti dia. Malam kian beranjak larut. Aku masih saja terjaga, menatap langit-langit kamar sambil memikirkan bagaimana caranya bisa kembali bersama Rini. Aku tidak mau hidup susah. Apalagi saat ini masih memiliki cicilan mobil yang angsurannya lumayan cukup menguras dompet. Ah, si-alan! Kalau saja Ibu tidak membawa masuk Ratih ke dalam rumah tangga kami, mungkin saat ini hidupku serta Rini masih bahagia seperti dulu. Rumah tangga yang kami berdua bangun selama lima tahun tidak berantakan seperti sekarang. Duduk bersila di atas kasur, menguyar rambut frustrasi karena hampir tiga jam berpikir akan tetapi tidak juga menemukan solusi. “Daripada terus menerus memikirkan masalah ini, lebih baik mendatangi Rini dan menginap di sana. Aku ‘kan punya kunci cadangan. Aku akan menyusup ke dalam rumah itu dan berusaha kembali mengambil hati Rini!” berujar sendiri seraya turun dari ranjang, mengambil baju di dalam lemari dan lekas memakainya. Namun sial. Ketika aku sampai di rumah yang kutinggali selama beberapa tahun bersama Rini, sudah ada beberapa orang satpam yang menjaga, termasuk si Risman laki-laki beringas yang suka mencari perhatian di depan istri. Semoga saja mereka lekas bubar dan meninggalkan rumah Rini. ** Tin! Tin! Terkesiap kaget ketika mendengar suara klakson mobil yang begitu memekakkan telinga. Aku menoleh ke arah kanan serta kiri, dan ternyata aku parkir hampir di tengah-tengah jalanan kompleks sementara malam telah menjelma menjadi pagi. Sudah banyak kendaraan bermotor yang lalu lalang keluar, pun dengan mobil Rini yang sudah tidak lagi terlihat di parkiran rumah. Pasti dia sudah pergi bekerja. Kenapa aku bisa ketiduran di dalam mobil seperti ini? Ah, daripada tidak mendapatkan apa-apa, lebih baik masuk ke dalam rumah dan mengambil barang berharga milik Rini. Aku juga butuh uang. Persetan jika nanti dia marah atau memaki, karena tidak mencuri pun dia tetap saja mencaciku sebab Rini itu tipe perempuan tidak berakhlak serta tidak memiliki rasa hormat terhadap suami. Heran. Berpisah selama beberapa hari saja sudah mengubah sikapnya seratus delapan puluh derajat. Rini yang sekarang tidak selemah lembut ketika ia masih menjadi istriku. Keluar dari mobil, berusaha membuka pintu pagar rumah Rini akan tetapi ternyata wanita itu telah mengganti kuncinya. Benar-benar perempuan kejam tidak berperasaan. Kunci rumah saja sampai diganti. Memangnya dia pikir bakalan ada maling akan masuk dan mencuri? Berlebihan. Drrrttt .... Drrrttt .... Drrrttt .... Ponsel dalam saku celana terus saja bergetar. Ada panggilan masuk dari Ibu. Sengaja kuabaikan panggilan tersebut, sebab rasanya malas sekali berbicara dengan orang yang telah membohongi diriku. Lagi. Ponselku kembali berdering. Karena merasa terganggu akhirnya mau tidak mau menggeser tombol hijau, menjawab panggilan dari Ibu agar dia tidak terus menerus mengganggu. “Ada apa sih, Bu?!” tanyaku dengan nada sedikit meninggi, supaya Ibu tahu kalau saat ini aku masih marah kepadanya. “Buruan pulang. Rini datang ke rumah dan mengusir Ibu!” jawab wanita yang telah melahirkan serta membesarkanku seorang diri itu sambil menangis tersedu. Aku mengepalkan tangan di samping tubuh, merasa kesal sekaligus marah kepada istri karena dia selalu bertindak semena-mena terhadap keluargaku. Baru punya rumah dan beberapa butik saja sudah sombong. Dia bisa maju begitu juga karena campur tangan dari suaminya. Kalau aku tidak memberi restu serta dukungan, dia bukan siapa-siapa juga tidak memiliki apa-apa. Dengan perasaan marah yang sudah membuncah kulajukan kendaraan roda empatku menuju rumah Ibu, dan segera berlari masuk ketika melihat Rini beserta antek-anteknya sedang berdiri dengan congkaknya di halaman rumah. “Kamu tega mengusir Ibu, Rini?!” sentakku seraya menarik kasar lengan istri, sampai dia meringis kesakitan. “Iya! Memangnya kenapa? Tidak boleh?!” Dia menepis kasar tanganku sambil menatap menghunus wajahku penuh dengan kebencian. Entah mengapa Rini yang sekarang ini sudah tidak lagi seperti yang dulu. Sifat lemah lembutnya telah luntur. Tuhan telah menunjukkan sifat aslinya yang ternyata begitu kejam serta tidak berperasaan. “Kamu itu benar-benar kejam, Rini. Aku tidak menyangka kamu bisa mengusir mertua kamu sendiri. Dasar wanita mandul. Laknat. Apa kamu tidak takut dengan azab Tuhan karena sudah menzalimi keluarga kamu sendiri?” Sang pemilik bulu mata lentik itu tertawa terbahak. Sudah seperti orang kurang waras saja! “Tuhan itu Maha Melihat lagi Maha Mendengar, Mas. Dia tahu mana yang zalim dan mana yang terzalimi. Lagian Ibu itu bukan keluarga aku. Dia itu orang lain. Bukankah dia selalu berkata seperti itu kepadaku, Mas?” Aku mengangkat tangan hendak mendaratkannya di pipi Rini, akan tetapi seperti biasa dia malah menatap sinis kedua mataku, membuat nyaliku seketika menciut. Aku sedikit takut jika sampai menyakiti fisiknya, dia akan melaporkanku karena tindak kekerasan. Aku tidak mau dibui. “Kenapa? Takut?” “Sekarang juga, bawa antek-antek kamu keluar dari rumah ini. Aku dan Ibu tidak akan pindah sampai kapan pun. Ini rumah kami. Kamu sudah menghadiahkannya kepada kami!” “Aku tidak pernah menghadiahkan rumah ini kepada kalian. Aku hanya meminjaminya. Sebentar lagi kita akan berpisah dan sebelum kita resmi bercerai rumah ini harus sudah dikosongkan.” “Tidak bisa. Sampai mati pun saya tidak akan pernah pergi dari rumah ini!” jerit Ibu dengan air mata yang kian mengalir deras membasahi pipi. Ada rasa tersayat melihat ibu menangis histeris di depan banyak orang. Apalagi yang membuat dia menangis itu justru malah orang yang teramat kusayang. “Apa kamu tidak kasihan melihat Ibu menangis seperti itu, Rini?!” sentakku. “Nggak tuh, biasa saja!” Dia bersedekap sambil terus menyuruh anak buahnya merangsek masuk ke dalam rumah. Jemawa. “Sampai ada barang saya yang kamu sentuh, saya tidak akan segan-segan melaporkan kamu ke polisi, Rini. Kamu juga akan menderita seumur hidup karena sudah berani melawan saya!” ancam Ibu sambil menunjuk wajah sombong Rini. Wanita berambut kecokelatan itu langsung terdiam lalu memberi kode kepada antek-anteknya untuk keluar serta mundur. Ternyata pengecut juga dia. Sok jagoan, tapi baru diancam sedikit saja sudah takut. Aku tertawa puas melihat ekspresi Rini yang terlihat menciut seketika. Namun, baru saja melangkahkan kaki masuk, terdengar suara excavator mendekati rumah dan bergerak semakin mendekat. Ibu berteriak semakin histeris, sementara Rini dengan congkaknya berdiri menyandar di moncong mobil sambil tersenyum menatap ke arah kami. “Keluar dari rumah ini, atau aku akan merobohkannya sekarang juga!” ancam wanita gila itu sambil membetulkan kacamata hitam yang sedang dia kenakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN