Segera kuhubungi Om Risman, memintanya mengangkat tubuh Ratih dan membawanya ke rumah sakit terdekat dari rumah.
“Agak cepetan, Om. Aku takut terjadi sesuatu dengan kandungan Ratih,” ucapku gemetar. Bukannya takut karena tidak sengaja mendorong Ratih hingga perutnya terbentur, akan tetapi merasa bersalah kepada calon jabang bayi yang ada di perut wanita itu jika sampai terjadi apa-apa terhadapnya.
“Kenapa dia bisa pingsan seperti ini, Mbak?” tanya Om Risman sambil tetap fokus mengemudi.
“Tadi dia jambak aku dan nggak sengaja kedorong sama aku, Om. Perutnya kebentur meja!”
“Inalillahi.”
“Memangnya dia meninggal, Om? ‘Kan masih bernapas. Cuma pingsan doang!”
“Mengucap inalillahi itu bukan hanya ketika mendengar orang meninggal saja, Mbak. Tapi bisa diucapkan juga saat kita mendengar orang lain terkena musibah.”
“Berarti Om juga harus mengucap inalillahi sama aku karena dapet musibah suami parasit dan tukang selingkuh dong?” Menatap wajah Om Rusman dengan mimik serius.
Lelaki dengan jampang tipis serta kulit gelap tersebut terkekeh mendengar pertanyaanku.
“Memangnya ada yang lucu, Om?” Mengernyitkan dahi.
“Mbak Andar yang lucu! Ya beda dong kasusnya.”
“Ya sudah, nggak usah dibahas. Bikin hati tambah perih.”
“Siap, Mbak.”
Om Risman terus saja menatap ke arah jalan sambil memegang setir dan sesekali menerbitkan senyuman.
Setelah menembus perjalanan beberapa menit membelah kemacetan kota, akhirnya mobil yang dikemudikan Om Risman menepi di depan instalasi gawat darurat sebuah rumah sakit ibu dan anak. Om Risman kembali membopong tubuh Ratih, memanggil perawat lalu segera merebahkan wanita yang telah memorak-porandakan rumah tanggaku di atas brankar.
“Tolong selamatkan kandungannya, Dokter!” ucapku saat seorang dokter berjalan setengah berlari menghampiri dan dijawab dengan anggukan.
Karena Ratih sudah ditangani oleh tenaga medis, gegas mengambil ponsel menghubungi Mas Hakam. Biar bagaimanapun dia berhak tahu tentang keadaan gundiknya.
“Ada apa, Sayang? Tidak kuat ‘kan lama-lama berpisah sama aku?” sapa Mas Hakam dari ujung sambungan telepon. Kepedean.
“Buruan ke rumah sakit Bhakti Husada. Ratih pingsan!” Aku menjawab singkat, memutuskan sambungan telepon secara sepihak karena tidak mau lama-lama berbicara dengan lelaki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suami tersebut.
Tidak lama kemudian dokter bertubuh tinggi besar yang menangani Ratih keluar dari ruang periksa. Tergopoh aku berjalan menghampiri, menanyakan keadaan Ratih serta kandungannya.
“Kandungan?” Dokter dengan name tag Deni Saputra itu menautkan alis.
“Iya, Dokter. Dia sedang mengandung dan tadi perutnya terbentur meja,” jawabku sambil menatap mata dengan iris coklat milik sang dokter.
“Silakan ikut ke ruangan saya , Mbak. Biar saya jelaskan di sana.” Lelaki dengan almamater putih itu berjalan mendahului dan aku segera mengekor di belakangnya, memasuki sebuah ruangan bernuansa putih s**u berukuran empat kali empat meter.
“Begini, Mbak. Sebenarnya saya tidak enak menyampaikan ini sama Mbak. Saya sudah berkali-kali memeriksa pasien sampai melakukan pemeriksaan ultrasonografi dan ternyata pasien sedang tidak mengandung,” terang dokter setelah kami berdua duduk di kursi masing-masing membuatku sedikit kaget.
“Apa dokter sudah memeriksanya dengan teliti?”
“Iya, Mbak. Pasien memang sedang tidak mengandung. Kalau Mbak tidak percaya, nanti silakan periksakan teman Mbak ke dokter kandungan lainnya.”
Ah, kasihan sekali Mas Hakam. Membohongi aku demi gundiknya, tapi malah dia dibohongi.
“Ya sudah kalau begitu, Dok. Terima kasih informasinya. Saya permisi dulu.” Beranjak dari dudukku lalu segera keluar dari ruangan dokter.
“Kamu apakan Ratih, Rini?” Mas Hakam tiba-tiba menarik kasar lenganku ketika aku sedang berjalan di koridor rumah sakit hendak keluar menuju parkiran.
“Aku tidak melakukan apa-apa, Mas!” sahutku santai.
“Kamu sengaja ingin menyakiti calon anakku ‘kan? Kamu itu iri dengan Ratih karena dia bisa hamil tapi kamu tidak. Makanya jadi perempuan jangan mandul!” celanya dengan wajah memerah padam.
Plak!
Untuk kedua kalinya aku menampar wajah Mas Hakam. d**a laki-laki itu naik turun menahan amarah, mengangkat tangannya ingin membalas menampar wajahku namun dia urung melakukannya.
“Kenapa, Mas? Mau nampar? Tampar aja kalau berani. Jangan pikir aku bakalan takut sama laki-laki bodoh seperti kamu!” tantangku sambil menyondongkan wajah supaya dia lebih gampang jika hendak melakukannya.
“Jaga ucapan kamu, Rini. Biar bagaimanapun aku ini masih suami kamu. Kenapa sekarang kamu berubah menjadi kasar seperti ini? Ada apa? Apa diam-diam kamu sudah memiliki tambatan hati lain sehingga kamu begitu berani sama suami kamu. Kasihan sekali laki-laki yang sedang mendekati kamu karena harus mendapatkan wanita mandul, kasar pula. Tidak ada sopan-sopannya sama pasangan!”
“Yang kasihan itu kamu, Mas. Sudah mandul, gampang dibohongi pula.”
“Diam, Rini!” bentaknya.
“Tolong jangan hina aku terus. Aku tahu kalau aku ini miskin, hanya bisa jadi benalu. Tapi jangan pernah memojokkan aku seperti itu. Terima saja kalau kamu itu tidak sempurna. Jangan suka memutar balikan fakta. Kamu lihat ‘kan, sekarang Ratih sedang mengandung anakku. Jadi sudah terbukti kalau aku ini subur. Tidak mandul seperti yang kamu tuduhkan.”
Aku bersedekap seraya memidai wajah yang dulu selalu kukagumi. Pun dengan Mas Hakam. Kami saling berpandangan cukup lama, walaupun kali ini tidak denga cinta. Hanya kobaran api kemarahan yang menyala-nyala di mata lelaki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suami itu.
“Dengar baik-baik Bapak Hakam Zulfikar. Ratih itu tidak sedang mengandung. Kamu sudah dibohongi sama perempuan ulet bulu itu. Kalau kamu tidak percaya, kamu silakan tanya kepada dokter yang baru saja memeriksa.”
“Bilang saja kamu iri sama dia!”
Aku menyentak napas kasar. Segera kutarik paksa tangannya, menemui Dokter Saputra supaya pria sok kecakepan yang ada di hadapanku tahu kalau saat ini Ratih sedang membohonginya.
“Dokter, tolong jelaskan kepada laki-laki ini, seperti apa keadaan pasien bernama Ratih yang baru saja dokter tangani!” kataku ketika kami sudah berada di ruang dokter.
“Keadaan pasien baik-baik saja, Kok. Dia pingsan karena benturan keras di perutnya juga memang keadaan pasien sedang kurang fit.” Dokter Saputra menjelaskan.
“Terus, bagaimana keadaan calon bayinya, Dokter?” tanya Mas Hakam panik.
“Bukankah tadi saya sudah menjelaskan kepada Mbak, kalau pasien yang Mbak bawa ke sini tidak sedang mengandung?” Dokter Saputra menatap wajahku sekilas lalu kembali memindai wajah Mas Hakam.
“Nggak mungkin, Dokter. Istri kedua saya itu sedang mengandung tujuh minggu. Dokter pasti sudah sekongkol dengan istri pertama saya ini!” Pria dengan garis wajah tegas yang telah menorehkan luka begitu dalam di sanubari itu meninggikan nada bicara satu oktaf.
“Saya sudah melakukan pemeriksaan ultrasonografi juga, Pak. Dan pasien memang sedang tidak hamil. Kalau Bapak tidak percaya, silakan Bapak periksakan istri Bapak ke dokter kandungan yang lainnya.”
Mulut Mas Hakam menganga. Dia terlihat syok mendengar penuturan Dokter Saputra, terlebih lagi saat dokter dengan wajah penuh kharisma tersebut menunjukkan foto hasil USG yang dia lakukan.
“Untuk memastikannya, silakan Bapak ikut saya supaya bisa percaya kalau istri Bapak sedang tidak hamil.” Dokter Saputra beranjak dari duduknya kemudian meminta kami untuk mengikutinya ke kamar periksa.
Ratih langsung menangis tergugu saat melihat aku masuk bersama suami juga seorang dokter.
“Wanita mandul itu hampir membunuh anak kita, Mas!” ucap si ulet keket histeris.
Aku tersenyum sinis menatap wajahnya yang masih terlihat pucat pasi.
“Ayo, Dokter. Segera periksa kembali kandungannya, supaya kita tahu berapa usia kehamilan Ratih sekarang. Tadi ‘kan perutnya habis terbentur. Saya takut bayinya kenapa-kenapa.” Wajah Ratih terlihat pias saat aku menyuruh dokter Saputra memeriksa kandungannya.
“Nggak usah sok baik kamu, Rini. Aku dan bayi aku tidak apa-apa. Pasti kamu berharap aku sampai keguguran ‘kan?” sungutnya sambil mencebik bibir.
“Bayi goib, atau bayi genderuwo?”
“Ratih, apa benar kalau kamu tidak sedang hamil? Jawab jujur, Ratih!” Mas Hakam memindai wajah gundiknya dengan wajah memerah padam, kentara sekali kalau dia sedang menahan amarah.
“Mas, aku nggak pernah bohong sama kamu. Aku sedang hamil anak kamu,” elak si ulet bulu itu sambil menangis.
“Tapi dokter sudah melakukan pemeriksaan dan ternyata kamu tidak hamil, Ratih. Kenapa kamu membohongi aku?!” Kini amarah suami mulai meledak.
“Mas, aku bisa jelaskan.”
“Apanya yang mau dijelaskan?!”
“Dokter ini bekerja sama dengan Rini, Mas. Kamu jangan percaya sama mereka.”
“Diam! Aku sudah tidak percaya lagi sama ucapan kamu!” Lelaki bertubuh tegap itu mengepalkan tangan kemudian keluar dari kamar rawat Ratih.
Aku tersenyum puas melihat kehancuran orang yang telah mengkhianati diriku. Memangnya enak ditipu mentah-mentah oleh gundik serta ibunya?
Hari ini kamu dapat kejutan dari si jalang, besok aku juga akan memberikan kejutan yang tidak kalah serunya, Mas. Kamu tunggu saja dan nikmati kehancuran kamu secara perlahan.
“Breng-sek kamu, Rini. Aku akan membuat perhitungan sama kamu. Kamu tidak akan aku lepaskan. Kamu akan hancur sehancur-hancurnya!” jerit Ratih histeris.
“Aku tidak takut. Silakan berbuat sesuka hati kamu, karena aku yakin orang jahat pasti akan selalu kalah!” Memutar badan lalu melenggang keluar sambil tersenyum penuh kemenangan.
Terima kasih, Tuhan. Karena Engkau telah menunjukkan semua kebusukan Ratih di depan Mas Hakam. Setidaknya pengalaman ini akan membuat dia menyesali semua kelakuan buruknya dan nantinya tidak akan menyakiti hati perempuan yang mencintai dia.
*
Om Risman segera membukakan pintu ketika melihat aku menuruni undakan menuju mobil yang sedang terparkir. Namun langkah ini terhenti, ketika tiba-tiba Mas Hakam mencekal kedua kakiku serta bersimpuh sambil menangis meminta maaf.
“Aku menyesal karena sudah menduakan kamu dan percaya dengan Ratih, Rin. Maafkan aku. Tolong beri aku kesempatan sekali lagi. Aku berjanji tidak akan pernah lagi mengkhianati cinta kamu. Jangan gugat cerai aku. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu, Sayang!” ucap Mas Hakam penuh dengan permohonan.
“Aku sudah tidak percaya lagi sama kamu, Mas. Hati ini sudah terlalu sakit.” Mencoba melepaskan kaki ini namun Mas Hakam terus saja bersimpuh.
“Aku Cuma mengkhianati kamu sekali doang, Rin. Aku yakin juga kalau sebenarnya kamu masih sangat mencintai aku. Tolong beri aku kesempatan sekali lagi, Sayang. Aku mohon.”
“Laki-laki kalau sudah berkhianat, pasti dia akan ketagihan dan melakukannya lagi. Silakan kamu nikmati kehidupan kamu bersama istri baru kamu itu, dan jangan lupa juga periksakan kesuburan kamu supaya kamu tahu diri juga percaya kalau memang kamu yang mandul. Bukan aku.”
“Aku mana punya uang untuk periksa, Rin. Nanti tolong transfer sepuluh juta sama aku ya, Sayang. Agar aku bisa memeriksakan diri.”
Ya Tuhan. Untuk memeriksakan diri saja dia harus meminta uang kepadaku, pakai gaya-gayaan poligami. Kena tipu gundiknya pula. Untung saja tabir kebohongan si uler keket itu segera terbuka. Jadi, tidak ada lagi yang bisa dibanggakan dari dirinya, karena Ratih tidak sedang benar-benar mengandung.
“Om Risman. Tolong urus dia. Terserah mau Om apakan saya tidak peduli. Ini uang untuk ongkos Om pulang. Mobil biar aku yang kemudikan.” Menyodorkan sepuluh lembar uang merahan kemudian segera masuk ke dalam mobil setelah Om Rusman berhasil melepaskan kaki ini dari cekalan Mas Hakam.