Benar-benar Keterlaluan!

1341 Kata
"Tidak, saya tidak mau pergi dari rumah ini. Rumah ini milik saya, pemberian dari putra saya. Kamu jangan serakah, Rini. Butik sudah kamu kuasai, sekarang rumah ini mau kamu kuasai juga? Dasar mandul!" teriak Ibu memaki wanita yang masih berstatus istri sahku itu. Rini hanya menanggapinya dengan senyum dingin. Sorot kebencian terlihat jelas di mata perempuan yang sudah mendampingi hidupku selama lima tahun tersebut, merasa puas melihat Ibu terus saja menangis. Bruk! Dia mulai merobohkan tembok depan rumah. Tangis Ibu semakin histeris apalagi ketika bunga-bunga wijayakusuma yang sedang mekar merekah mulai dijarah oleh ibu-ibu komplek yang menonton tindakan anarkis Rini. "Makanya, Bu Rossa. Jadi mertua jangan dzalim. Punya mantu baik dan kaya kayak Mbak Rini tapi malah disia-siakan dan menyuruh anaknya menikah lagi sama perempuan yang nggak jelas asal-usulnya. Mengizinkan anaknya berzina pula!" ucap salah seorang ibu sambil menatap mencemooh ke arah kami. "Iya. Kirain Mas Hakam benar-benar kaya. Ternyata cuma laki-laki kere yang menumpang hidup sama istri, bertingkah pula!" timpal perempuan berdaster bunga-bunga serta berkacamata yang sedang menjarah salah satu bunga koleksi Ibu. "Diam kalian!" sentak Ibu murka. Rini sudah berhasil membuat Ibu malu di depan warga komplek yang selalu menyanjung dia karena menganggap telah berhasil membesarkan anak-anaknya terutama aku hingga sukses dan bisa membelikan dia rumah. Jahat. Tega. Entah umpatan apalagi yang pantas dilontarkan kepada wanita tanpa perasaan tersebut. Tidak lama kemudian Rini kembali masuk ke dalam rumah lalu keluar membawa koper besar berisi pakaian Ibu. Astaga, Rini. Di mana nurani kamu sehingga tega mengusir serta mempermalukan mertua kamu sendiri. "Silakan bawa pergi barang-barang Ibu dan jangan pernah kembali lagi!" Rini meletakkan dengan kasar koper tersebut di depan kami, lalu kembali menyilang tangan di depan d**a. "Dasar perempuan gila. Kenapa kamu mengusir saya dari rumah saya sendiri?!" pekik Ibu. Ya Tuhan. Bahkan sampai Ibu berteriak serta menangis tersedu hati Rini tidak jua tergerak. Dia tetap bersikeras mengusir kami pergi meninggalkan rumah yang sudah ditempati Ibu selama tiga tahun setengah. "Rumah Ibu? Jangan mimpi. Rumah ini milik mendiang Ayah dan aku akan menjadikannya penampungan anak-anak jalanan serta yatim piatu." "Kenapa kamu lebih mementingkan orang lain daripada kami, keluarga kamu sendiri, Rini?!" Mau tidak mau aku ikut angkat bicara. "Apa, keluarga sendiri? Coba kamu tanya sama ibu kamu, selama kita hidup bersama, pernah nggak dia menganggap aku sebagai keluarga? Tidak 'kan? Ibu selalu menganggap aku sebagai parasit, padahal dia dan kamulah yang menggerogoti harta aku. Numpang hidup sama aku, tapi tidak pernah menganggap aku ini ada. Bahkan Ibu sampai mencarikan kamu istri baru karena takut aku menghabiskan uang aku sendiri. 'Kan lucu!" Rini mengangkat satu ujung bibir. "Sudahlah, Rin. Itu kan masa lalu. Sekarang Ibu sudah tahu kalau rumah serta harta yang ada ini milik kamu. Aku yakin Ibu pasti bakalan berubah dan sayang sama kamu kok!" Terus berusaha melunakkan hati Rini, siapa tahu lambat laun dia akan sadar dan mau menerimaku juga keluargaku. "Ya iyalah. Pasti dia bakalan sayang sama aku karena tahu aku kaya dan anak yang selalu dia banggakan tidak memiliki apa-apa." Semakin nyelekit saja ucapan wanita itu. Andai saja bukan wanita, sudah kutabok mulutnya, bila perlu kuremas bibir seksinya hingga hancur dan tidak lagi bisa berbicara. "Sudah, Bu. Ayo kita pergi dari rumah ini. Percuma berbicara dengan perempuan tidak berperasaan. Kita tidak akan menang melawan wanita congkak seperti Andarini." Mencekal lengan Ibu kemudian mengajaknya pergi dari rumah berlantai dua yang sudah dikuasai Rini. "Enggak, Kam. Ibu nggak mau. Ibu nggak mau kembali tinggal di rumah jelek!" "Tapi kita juga nggak mungkin tinggal di rumah ini terus. Ini rumah ayahnya Rini. Ibu tenang saja. Aku juga masih mampu membiayai hidup Ibu kok!" Sambil menyusut air mata yang berlomba-lomba meluncur dari pelupuk, Ibu berjalan perlahan menuju mobilku yang terparkir di luar pagar. Perih serta sakit melihat orang yang telah melahirkanku terus saja menuangkan air mata. Nyeri hingga meresap ke dalam pori-pori. Aku harus membuat perhitungan dengan Rini. Dia harus membayar semua perbuatan yang telah dilakukan kepadaku beserta Ibu. "Kam, Ibu mau tetap tinggal di rumah itu...," rengeknya seperti anak kecil yang kehilangan mainan kesayangan. "Iya, Bu. Aku akan memperjuangkan supaya rumah itu bisa balik lagi ke kita. Ibu doakan saja!" Ibu terus saja memegangi kepalanya saat hendak masuk ke dalam mobil, wajah perempuan itu terlihat pucat pasi, dan tidak lama kemudian tubuh Ibu ambruk tidak sadarkan diri. Semuanya gara-gara Rini. Jika saja dia tidak egois, Ibu tidak akan sampai pingsan seperti ini. "Rin, tolong bantu Mas. Bawa Ibu ke rumah sakit. Dia pingsan, Rini!" ucapku terus saja mengiba. Bingung. Sebab sudah tidak mempunyai uang sepeser pun. "Lha, Mas. Dia 'kan Ibu kamu. Aku ini orang lain. Kenapa tidak meminta bantuan kepada Ratih?" Dahi perempuan berwajah ayu itu berkerut-kerut menatapku dengan mimik aneh. Pasti dia tidak akan membantuku. "Kamu itu kejam banget, Rin. Ibu sakit saja nggak mau nolong. Di mana hati nurani kamu sebagai seorang menantu?" Rini malah terkekeh-kekeh. Sepertinya dia memang sudah tidak waras gara-gara berpisah dengan diriku. Kasihan sekali kamu, Rini. Cantik. Namun sayang sudah gi-la. Tanpa lagi menoleh dia masuk ke dalam mobilnya, meninggalkan pekarangan rumah yang ditinggali Ibu bersama si satpam tidak tahu diri itu. Aku berdiri tertegun menatap mobil istri yang terlihat kian menjauh, lalu beralih menatap rumah yang sebagian pagarnya sudah dia robohkan. Argh!! Mengacak-acak rambut. Pusing dengan keadaan yang sedang menimpa. Aku akhirnya memutuskan membiarkan Ibu hingga membuka mata sendiri karena tidak mungkin membawanya berobat. *** Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sembilan malam. Aku masih saja duduk di dalam mobil, bingung hendak membawa Ibu pergi ke mana. Mau mencari kontrakan untuk tempat tinggal sementara, saldo dalam rekening tinggal lima puluh ribu saja. Mau masuk ke dalam rumah antek-antek Rini juga terus saja berjaga dan tidak memberi celah untuk aku masuk ke dalam. "Kam. Apa kita mau di sini terus? Ibu sudah pegel. Pengen tidur-tiduran di kasur," rengek Ibu sembari memegangi pinggang. "Bagaimana bisa masuk, Bu. Orang dijaga ketat begitu!" sungutku mulai terpancing emosi akibat rasa lelah yang mendera. Bagaimana tidak, hampir seharian duduk di dalam mobil menunggu anak buah Rini lengah, tapi jumlah mereka malah semakin banyak saja. Dering ponsel yang sejak tadi tergeletak di atas dasboard membuatku sedikit berjengit kaget. Ada panggilan masuk dari Seila--adik bungsuku yang sedang kuliah di Jogja. "Ada apa, Seil?" sapaku mencoba melembutkan nada bicara, tidak mau menunjukkan kalau saat ini sedang dilanda masalah besar. "Transfer uang dong, Mas. Sepuluh juta saja ya. Buat bayaran uang semester sama kos-kosan, juga buat makan serta jajan aku sehari-hari," ucapnya dengan nada manja. Aku menghela napas berat. Dari mana aku mendapat uang sebanyak itu. Biasanya 'kan yang membiayai kuliah serta hidup adik-adikku itu Rini. Aku bisa apa tanpa dia. "Mas, kok diem?" "Oh, iya, Seil. Nanti Mas transfer." Segera menutup sambungan telepon kemudian meletakkan ponsel di jok mobil. Ah, pusing. Semuanya gara-gara Rini. Dia yang sudah membuat hidup aku susah. Menyuruh Ibu keluar dan menunggu di pos ronda, menggerakkan kendaraan roda empatku menuju butik milik Rini. Biasanya kalau jam segini butik dalam keadaan kosong. Aku akan mengambil uang setoran hari ini untuk membayar kuliah Seila juga mencari kontrakan untuk tempat tinggal sementara. Sial! Di butik juga ada yang menjaga. Biasanya Rini tidak pernah menyewa orang untuk mengawasi butik, tapi mengapa sekarang malah dijaga ketat seperti ini? Apa dia tahu kalau aku akan datang ke sini? Shit!! Memukul stir sekuat tenaga. Kesal karena Rini sudah keterlaluan dan menutup semua akses untuk masuk. Ting! Sebuah notifikasi pesan masuk ke gawaiku. Gegas mengambil benda pipih persegi berukuran lima inchi dari dalam saku celana, mengintip siapa yang mengirimkan pesan. Dari Rini. [Bagaimana, Mas? Nggak enakkan hidup tanpa aku. Makanya jangan main-main sama Andarini. Jangan kamu pikir karena aku begitu mencintai kamu, jadi kamu bisa berbuat sesuka hati. Aku masih maklum jika keluarga kamu tidak pernah mengakui keberadaanku. Tidak pernah menganggap aku ada. Tapi tidak bisa mentolerir jika kamu sudah mengkhianati cinta aku. Jangan harap juga kamu bisa membobol dan mencuri uang yang ada di butik. Aku tidak rela uangku dipakai untuk membiayai hidup keluarga kamu yang sudah mendukung perselingkuhan serta perzinaan, apalagi untuk gundik kamu itu.] Membanting ponsel setelah membaca pesan dari Rini. Bre*gsek! Kenapa dia bisa tahu aku ada di sini?

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN