“Jangan merusak suasana. Ezra bagian dari keluarga dan ini makan malam keluarga,” tegas Herry. Hal itu semakin membuat Nadya sangat kesal karena suami dan anaknya membela Ezra. Senyum mengembang diwajah Ezra melihat kekalahan Nadya.
“Aku dan Alma sedang ada pertemuan tadi di dekat sini, jadi aku membawanya untuk diperkenalkan supaya para keluarga tahu dan mengenalnya,” kata Ezra memperkenalkan Alma. Sedangkan Alma merasa gugup, namun tetap tersenyum. “Alma silahkan duduk, ikut saja makan dengan kita. Niken juga sering ikut makan malam dengan kita,” kata Ezra mempersilahkan.
Ezra mencium puncak kepala putrinya dan Tasya juga mencium pipi Ezra lalu pria itu duduk di samping Karin, kursi yang memang disediakan untuknya. Sedangkan Alma duduk di ujung dekat dengan Tasya. Karin langsung saja tersenyum menyambut suaminya itu, ketika duduk Karin mencium pipi Ezra dan Ezra hanya membalasnya dengan senyuman kecil tak membalas seperti yang dilakukan oleh Karin.
Karin dengan sigap menyiapkan makanan untuk sang suami, lalu mengelus paha pria itu sambil tersenyum. Terakhir Karin menggenggam tangan kiri Ezra dengan erat. Semua hal itu dilihat oleh Alma. Tangan Alma seketika terkepal karena merasa tak suka.
Bagaimanapun Alma merasa cemburu melihat Ezra bersmesraan dengan Karin. Seharusnya hal itu tak boleh terjadi, tapi Alma mempunyai perasaan dan mencintai Ezra. Sebisa mungkin Alma mengendalikan dirinya sendiri. Sedangkan Ezra mencoba menahan perasaan Alma yang sedang bersamanya itu.
Selesai makan malam, Alma menemani Tasya dan keponakan Ezra yang lainnya untuk bermain. Sedangkan para orangtua masih berada di meja makan bicara mengenai pekerjaan dan keluarga. Nadya jelas tak suka dengan situasi pada saat itu.
“Bagaimana pekerjaan di kantor? Apakah semuanya aman?” tanya Herry pada kedua anaknya Raffi dan Ezra.
“Semua baik Pa, emang Papa nggak salah pilih menjadikan Ezra sebagai CEO yang bisa memimpin perusahaan kita. Dia sangat bisa diandalkan, mungkin kalau aku yang menjadi CEO belum tentu bisa melakukan hal itu,” puji Raffi.
“Seharusnya kamu yang jadi CEO karena kamu anak pertama bukan dia,” sindir Nadya.
“Mama,” tegur Raffi. “Ini bukan tentang siapa anak pertama atau anak ke dua, aku yakin Papa mempercayakan Ezra karena Papa tahu kemampuan Ezra untuk mengelola perusahaan. Seharusnya kita bersyukur dan beterima kasih sama Ezra, kalau bukan karena Ezra mungkin kita nggak akan seperti sekarang. Ezra banyak menyelamatkan perusaan dan bisa sebesar ini juga karena Ezra. Kalau bukan karena Ezra, Mama mungkin nggak bisa hidup enak dan belanja enak sampai sekarang,” jelas Raffi.
“Ini jelas karena Papa kamu, perusahaan ini punya Papa kamu. Kalau bukan Papa kamu kita nggak bisa sampai sekarang, Mama yang menemani Papa kamu berjuang dari nol. Mama yang melihat bagaimana kerja kerasnya Papa kamu untuk ini semua, bukan karena di…”
“Tapi untuk kelanjutannya Papa sudah nggak bisa, ‘kan? Papa butuh penerus dan yang mengembangkan itu semua bisa sampai sekarang Ezra bukan Papa. Kalau nggak ada Ezra belum tentu perusahaan Papa sebesar sekarang. Aku saja belum bisa melakukannya, Mama harus mengakui kehebatan Ezra. Lagi pula Ezra itu juga anak Mama, jadi Mama har…”
“Mama hanya punya anak satu bukan dua,” tegas Nadya membuat Herry marah dan mengentakkan meja.
“Berhenti membuat suasana semakin rusak. Kamu harus menerima apa yang sudah saya putuskan saat ini, kalau kamu tidak terima kamu bisa meninggalkan semua fasilitas yang kamu terima,” tegas Herry membuat Nadya mengepalkan tangannya kesal. “Ini alasan saya malas untuk pulang dan tinggal di sini, kamu hanya bisa marah dan menuntut. Kamu nggak bisa menjadi istri yang baik dan manis yang bisa menyenangkan suami,” kata Herry membuat Nadya semakin kesal.
“Keadaan perusahaan sedang baik, banyak keuntungan yang diperoleh. Bahkan kita juga baru dapat investor baru untuk kita buka cabang dan mulai bisnis baru lagi. Saat ini lagi tahap pencarian tempat dan sedang mempersiapkan proposal yang ada. Mudah-mudahan semuanya bisa berjalan dengan baik,” kata Ezra tiba-tiba membahas pekerjaan supaya suasana pada saat itu berubah. Ezra tak mau suasana saat itu buruk hanya karena kedatangannya.
“Nah Papa dengar, Ezra emang keren. Aku harus banyak belajar dari Ezra,” puji Raffi.
Walaupun Ezra merupakan anak kedua, tetapi posisi Ezra lebih tinggi dibandingkan Raffi yang merupakan anak pertama. Raffi tak pernah mempersalahkan hal itu, ia tetap terima keputusan Herry yang menjadikannya sebagai wakil saja. Nadya memilih untuk pergi dari sana meninggalkan keluarga tersebut.
“Kamu benar-benar hebat Mas, aku bangga banget sama kamu,” puji Karin sambil mengusap paha dalam Ezra. “Tasya juga pasti bangga banget punya Papa seperti kamu. I love you Mas,” ucap Karin mesra pada suaminya itu. Ezra hanya membalasnya dengan senyuman.
Setelah pembicaraan itu selesai mereka memilih bubar. Karin dan Ezra menjemput anaknya yang sedang bermain itu. Ezra melihat bagaimana Alma terlihat sangat dekat dengan Tasya, hal itu membuat Ezra tersenyum sennag. Tasya berada di atas pangkuan Alma dan keduanya sambil bermain. Ezra semakin mencintai Alma melihat kedekatan keduanya.
“Tasya, ayo kita pulang,” ajak Karin membuat keduanya kompak menoleh. Pandangan mata Alma dan Ezra bertemu. Tasya langsung saja bangkit berdiri menghampiri Ezra.
“Papa hari ini pulang ke rumah, ‘kan?” tanya Tasya sambil menggenggam tangan Ezra. Pria itu tertawa lalu mengusap puncak kepala Tasya. Pandangan mata pria itu seketika melihat ke arah Alma yang sedang melihatnya.
“Iya Papa pulang.”
“Yeaayyy, hari ini aku mau tidur sama Papa ya Ma?” tanya Tasya pada Karin.
“Kalau Papa tidur sama kamu, Mama tidur sama siapa? Mama juga kangen banget sama Papa, Mama juga mau tidur sama Papa,” kata Karin manja sambil menggandeng lengan suaminya itu.
“Yaudah kalau gitu kita tidur bertiga malam ini, gapapa Ma?” tanya Tasya.
“Boleh, nanti kamu tidur sama Papa dan Mama di kamar ya,” jawab Ezra cepat.
“Mas,” protes Karin tak suka dengan jawaban suaminya itu. “Aku mau kita b******a malam ini Mas,” rengek Karin sambil berbisik. “Aku kangen sama kamu, kamu udah beberapa hari ini nggak pulang,” rengek Karin lagi. Alma melihat bagaimana Karin merengek dan berbisik pada Ezra. Alma penasaran dengan apa yang sedang dibisikkannya pada Ezra.
“Prioritaskan Tasya, kamu bukan anak kecil lagi,” sindir Ezra. “Ayo kita pulang,” kata Ezra sambil menggandeng tangan Tasya.
“Sebentar Mas,” kata Karin menahan suaminya itu. “Alma, kamu ikut pulang dengan kita?” tanya Karin.
“Saya bisa pulang sendiri aja Bu,” jawab Alma.
“Kamu bis…”
“Oh yaudah kalau kamu mau pulang sendiri, naik taksi saja nanti minta diklaim sama kantor. Oh iya minta tolong fotoin kita di sini dong, kita jarang bisa bertiga seperti ini,” kata Karin sambil mengeluarkan handphonenya. Alma bangkit berdiri dan mendekat.
“Buat apa foto sih?” tanya Ezra tak suka.
“Kita jarang bisa ikut kumpul keluarga seperti ini Mas, jadi harus diabadikan. Ayo Mas sebelah sini kayaknya lebih bagus,” kata Karin dan menyerahkan handphonenya pada Alma. Ezra menggendong Tasya lalu Karin menggandeng lengan Ezra.
“Satu, dua, tiga,” kata Alma mengarahkan.
“Sekali lagi,” pinta Karin. Wanita itu mencium pipi Ezra dan memeluk pria itu semakin membuat Alma merasa sakit hati. Tak sadar air matanya mengalir membuat Ezra terkejut. Alma segera meletakkan handphonenya di lantai begitu saja.
“Saya permisi pamit pulang ya Pak, Bu, kata Alma sambil mengambil tasnya dan lari dari sana. Wanita itu menyembunyikan wajahnya agar tak terlihat sedang menangis, Alma langsung saja pergi dari sana membuat Karin merasa bingung.
“Sekretaris kamu itu kenapa Mas?” tanya Karin.
“Nggak tahu,” jawab Ezra.
“Kayaknya tadi Tante Alma nangis,” lirih Tasya.
“Nangis?” tanya Karin bingung.
“Ayo, kita pulang saja,” ajak Ezra sambil berjalan keluar. Padahal hatinya tak tenang karena Alma pergi dengan keadaan menangis.
***
“Kamu sibuk banget sama handphone terus Mas. Kenapa sih?” tanya Karin kesal.
Tasya sudah tidur di antara mereka dengan nyenyak. Sedangkan Ezra dari tadi sibuk dengan ponselnya karena sedang menunggu pesan dari Alma. Pria itu juga sudah berusaha menghubungi Alma namun juga tak diangkat.
“Lagi ada kerjaan sebentar. Kalau kamu mau tidur yaudah tidur aja,” kata Ezra kesal.
“Kamu lagi nungguin pesan siapa sih Mas?” tanya Karin penasaran sambil berusaha mengintip.
“Apa sih, bisa berhenti penasaran nggak? Jangan ganggu aku atau ikut campur sama urusan aku,” kata Ezra kesal membuat Karin terdiam.
“Kamu makin kesini makin sibuk dan nggak ada waktu buat aku sama Tasya,” lirih Karin membuat Ezra menghela napasnya kasar.