“Bilang sama saya kalau kamu mau keluar. Paham?”
Atalia mengangguk sambil memeluk leher Alvano. Menenggelamkan wajahnya di ceruk leher pria itu tatkala tubuhnya dinaik turunkan oleh pria yang kini menggigit telinganya. “Atalia, kamu dengar saya gak?”
“Dengar, Pak. Saya paham….,” ucapnya dengan suara yang tersendat, menahan desahan kenikmatan di bawah sana hingga akhirnya Atalia mendapatkan kembali puncaknya bersamaan dengan Alvano yang mengeluarkan kehangatannya di dalam tubuh Atalia.
Keduanya terengah, tapi sepertinya Alvano masih belum puas. Jika saja ponselnya tidak mendapatkan notifikasi pesan, Alvano pasti akan menggempur Atalia lagi. Ketika tangan Alvano membuka ponselnya, tangannya yang lain mencengkram pinggang Atalia.
Dimana perempuan itu hanya bisa bersandar pada bahu suaminya merasakan kelelahan dengan posisi yang tidak nyaman karena mereka masih menyatu.
Menikmati waktu bersama dengan Alvano. Kapan lagi Atalia bisa memeluk suaminya seperti ini? mengusap tengkuknya dengan kelembutan. Andaikan saja Alvano memiliki perasaan yang sama, pasti akan menyenangkan menyambut euphoria kesenangan ini bersama sama.
Namun tanpa diduga, Alvano mengatakan, “Turun dari pangkuan saya.”
Yang membuat Atalia menegakan tubuhnya.
“Turun, saya ada urusan.”
Atalia langsung melakukannya, dia mengambil pakaiannya yang berserakan dan mengenakan kembali dengan tatapan terpaku pada Alvano yang sibuk merapikan pakaiannya.
“Cepat keluar,” ucap Alvano lagi yang mana membuat Atalia semakin terburu-buru.
“Bapak hari ini pulang tidak?”
“Keluar, Atalia.”
“Hari ini bapak juga gak ngajar? Mau pergi?”
“Atalia.”
“Iya, saya keluar,” ucapnya kembali fokus merapikan rambutnya. Atalia mengeluarkan surat di dalam sakunya. “Buat bapak, surat cinta dari saya.”
Tidak peduli Alvano menganggapnya bagaimana, apakah dirinya sudah tidak tau malu atau bagaimana, yang Atalia inginkan hanyalah Alvano yang mengetahui perasaannya. Untuk mengembalikan kesegarannya, Atalia membasuh wajah terlebih dahulu di kamar mandi sebelum masuk ke kelas.
“Sayangkuuuu, Ataliaaaa,” ucap sang sahabat yang merentangkan tangan menyambut kedatangan Atalia. “Kenapa lesu gitu wajahnya? Lu gadang ya semalem? Abis main sama kita lu langsung kemana itu?”
“Aduh berisik,” ucap Atalia merebahkan kepalanya di bangku. “Gue mau tidur.”
“Jangan tidur, hari ini bagian Pak Alvano. Lu mau dimarahin?”
“Hari ini dia gak bakalan masuk.”
“Sok tau, udah kayak istrinya aja.” shofa masih tetap berusaha membangunkan Atalia. “Ih, bangun. Nanti lu dimarahin terus dikasih tugas baru sama Pak Alvano.”
“Dia gak bakalan masuk,” ucap Atalia menghempaskan tangan Shofa.
Sampai focus Shofa teralihkan pada suara ketukan dari arah pintu. “Ketua kelas di sini siapa?” Tanya pria yang bekerja di bagian kemahasiswaan itu. “Ada tugas dari Pak Alvano, hari ini dia gak bisa masuk. Ketua kelasnya silahkan menghadap saya.”
Pernyataan itu membuat Shofa menatap sahabatnya tidak percaya. “Bisa kebetulan gitu ya? lu kok tau kalau Pak Al gak akan masuk hari ini?”
***
Alvano melangkah dengan tergesa-gesa saat dia mendapatkan kabar kalau Nandia mengalami keadaan yang kritis secara tiba-tiba. Ketika Alvano masuk ke dalam ruang inap sang kekasih, dia sudah mendapati Ellen di sana.
“Hallo, Pak,” sapa wanita itu dengan raut wajah yang sinis.
“Gimana keadaannya sekarang?”
“Dia udah baik baik aja, mungkin gak akan ketahuan kalau gue gak ada di sini.”
Ellen adalah sahabat Nandia, dan Nandia berteman baik dengan Alvano hingga mereka bertiga tumbuh bersama-sama dalam menggapai mimpi.
“Kemana perawat yang harusnya jaga di sini?”
“Dia keluar karena ada urusan pribadi. Lain kali lu harus ngasih kerjaan ke orang yang bertanggung jawab.”
Alvano tidak mendengarkan, dia focus menggenggam tangan Nandia yang sudah cukup lama terlelap. Menciumnya keningnya lama dan menarik napas dalam.
“Lu juga gak bisa dihubungin sebelumnya, apa lu sibuk sama istri lu itu?”
“Gak usah bawa-bawa dia, apalagi di tempat Nandia.”
“Inget, Al, Nandia gak punya siapa-siapa. Lu jangan gila mau ninggalin dia Cuma karena punya pengganti dia di apartemen.”
“Nandia gak akan pernah tergantikan.”
“Gue harap gitu, gue mau siapin bahan buat lu meeting dulu,” ucapnya kemudian merubah gerakan tubuh menjadi lebih sopan. “Saya permisi, Pak.”
Melirik kepergian Ellen, sosok itu tumbuh bersama dengan Nandia di panti asuhan. Ketika Ellen diadopsi oleh keluarga kaya, Nandia sendirian di panti asuhan. Ellen selalu berusaha membuat kedua orangtuanya mengadopsi Nandia juga, tapi mereka memilih memberikan dukungan materi daripada mengangkatnya menjadi anak. Selain terlalu banyak anak di rumah, tanggung jawab juga bertambah.
Ellen dan Nandia sudah melalui banyak hal bersama-sama, suka dan duka mereka lewati melebihi kedekatan saudara kandung. Itu yang membuat Ellen sangat sensitive jika bersangkutan dengan Atalia. Ellen tau bagaimana sang sahabat menyebut Alvano rumah, dia tidak ingin Nandia kehilangan rumah yang bahkan belum pernah dia dapatkan sebelumnya.
“Cepat bangun, Sayang,” ucapnya demikian.
Yang dimiliki Nandia hanyalah Alvano dan juga Ellen sebagai sahabatnya. Tidak akan Alvano biarkan Nandia pergi begitu saja.
“Aku udah janji bakalan ajak kamu keliling dunia, dimana kamu bisa jadi pianis di sebuah pertunjukan besar. Kamu bisa menjadi bintang. Ayo bangun.”
Nandia adalah seorang pianis, dia bercita-cita melakukan perjalanan keliling dunia dan tampil di hadapan banyak orang. Dan Alvano menjanjikan itu jika mereka menikah.
“Maaf mengganggu, Pak. Saya perawat baru yang menggantikan perawat Nida.”
“Berapa orang?”
“Tiga orang termasuk saya.”
“Jangan lengah, jaga dia selama 24 jam dan laporkan setiap perkembangannya,” ucap Alvano.
Setelah dari rumah sakit, Alvano langsung kembali ke perusahaannya untuk mengurusi beberapa hal. Bersama dengan Ellen yang menjadi sekretaris pribadinya yang mampu membantu.
Ketika Alvano sibuk dengan berkas-berkas di meja, pintu diketuk kemudian Ellen masuk. “Semua pekerjaan sudah beres, Pak. Ini berkas dari perusahaan di Pantai timur yang menawarkan kerja sama.”
Alvano menerimanya. “Langsung pulang?”
Tau kalau jam bekerja sudah selesai, Ellen mengatakan, “Hari ini mau jaga Nandia gak?”
“Kayaknya enggak, ada berkas yang harus diperiksa.”
“Bukan karena ada cewek di apartemen?”
“Please, Cuma Nandia yang gue suka. Lu tau itu.”
“Jangan pernah berpaling dari Nandia, lu tau dia nyampe nunda mimpinya buat nikah sama lu.” Ellen menarik napasnya dalam. “Sebagai sahabat Nandia, gue Cuma gak mau sahabat gue tersakiti,” ucapnya kemudian membungkuk dan berjalan keluar dari tempat tersebut.
***
Alvano kembali ke apartemen untuk beristirahat. Hari yang terasa sangat melelahkan untuknya. Ketika kembali di jam ini, biasanya Alvano akan mendapati dapur yang sibuk dengan Atalia yang memasak. Namun sekarang Alvano tidak menemukan sosok tersebut.
Memeriksa ke kamar dan ternyata mendapati Atalia yang sedang berbaring di sana. awalnya, Alvano pikir tidak ada yang aneh dengan Atalia, dirinya pergi kemar mandi dan membasuh dirinya sendiri.
Saat keluar, Alvano sudah tidak mendapati Atalia di sana. ternyata sosok itu sedang membuat teh hangat untuk dirinya sendiri di dapur sambil meringis keskaitan.
“Kenapa kamu?” Tanya Alvano.
Atalia menoleh. “Sakit datang bulan,” ucapnya yang membuat Alvano terdiam sejenak selama beberapa saat. “Obat saya abis, Pak. Bisa tolong anterin saya ke rumah sakit gak buat beli?”
“Minta orang lain beliin.”
“Sekalian saya mau diperiksa, soalnya ini kramnya gak normal. Aw,” ucapnya memegang perutnya sendiri. “Ya, Pak?”
“Naik taksi,” ucap Alvano kemudian melangkah menuju ke ruangan kerjanya. Alvano mencoba untuk focus di ruangannya, tapi beberapa kali dia mendengar suara barang yang jatuh. Ketika memeriksa lagi, dia melihat Atalia yang menahan sakit dengan memegang perutnya dan terlihat meringis ke sakitan.
Alvano menarik napasnya dalam sebelum mengambil jaket untuknya dan Atalia. “Pake itu, ayo ke rumah sakit.”
Sayangnya, Atalia harus berusaha sendirian. Melangkah tanpa dibantu oleh Alvano yang melangkah lebih dulu. ketika masuk ke dalam mobil, Atalia bisa menarik napasnya lega karena dia bisa beristirahat di sana.
“Pak, bisa bantu saya gak. Kaki saya lemes banget,” ucapnya begitu sampai di rumah sakit. Bukan acting, Atalia benar benar merasa pusing dan lemas. Jadi dia meminta bantuan Alvano.
Ketika menoleh, Alvano memang mendapati Atalia yang terlihat mengenaskan, karenanya dia membantu Atalia berjalan dengan menggenggam tangannya ketika melangkah masuk.
Beruntungnya tidak ada antrian, Atalia masuk sendiri karena Alvano enggan untuk ikut ke dalam. Di dalam, Atalia berbincang dengan dokter. Masalahnya memang selalu sama setiap bulannya, tapi kali ini terasa sangat parah bahkan darahnya berwarna pekat.
Mendapatkan penjelasan selama beberapa menit, Atalia akhirnya merasa tenang. Dia mendapatkan resep dokter dan segera keluar.
Ketika mengedarkan pandangan, Atalia tidak mendapati Alvano. “Kemana si bapak?” gumamnya memilih untuk mengambil obat dahulu.
Kemudian meminumnya untuk mengurangi rasa sakit. Sambil duduk di sana, Atalia menelpon Alvano untuk menanyakan keberadaan sang suami. Namun dua panggilannya tidak dijawab, sampai akhirnya sebuah pesan masuk berisikan kalimat
Kesayangan Atalia: Kamu pulang naik taksi, saya ada urusan.
Yang mampu membuat senyuman Atalia memudar saat itu juga.