Mungkin yang membuatnya semakin lebih baik adalah kedua orangtuanya. Dimana sekarang Atalia sedang melakukan panggilan video call bersama dengan Ibunya. “Kenapa sih tiap Ala nelpon Amel selalu tidur.”
“Ya namanya juga capek, Nak. Dia tadi abis kemoterapi lagi, kakinya sekarang mulai lumpuh.”
“Bu….,” ucap Atalia dengan penuh kekhawatiran.
“Jangan cemas, Ayah kamu tadi abis ngomong sama Alvano via telpon. Kayaknya mereka lagi ngomongin bisnis. Makasih ya, Nak. Berkat kamu, kita semua jadi tertolong,” ucap Kiara menatap sang anak dengan penuh perasaan bangga.
Dan Atalia hanya bisa tersenyum dengan miris, kehidupannya jauh berbeda dengan sebelumnya. Lebih bahagia untuknya mengagumi Alvano dari kejauhan daripada memilikinya namun tidak dengan hatinya.
“Ibu denger dari Bunda mertua kamu kalau Nandia gak mungkin bangun lagi. Gimana hubungan kamu sendiri sama Alvano?”
Ibunya tau bagaimana Atalia sangat mencintai Alvano. Bahkan kalimat yang diucapkan Atalia ketika pulang di hari pertama ospek adalah, “Ibu, aku udah move on dan gak akan nginget nginget mantan aku lagi karena sekarang aku udah jatuh cinta sama Pak Alvano. Dia bikin jantung Ala berdetak lebih cepat melebihi mantan pacar terakhir Ala.”
Dan sejak saat itu, Atalia selalu bercerita dan meminta tips pada Kiara tentang bagaimana cara mendapatkan hati Alvano supaya bisa menjadi miliknya. Selama setahun lebih ibunya senantiasa mendengarkan bagaimana sang anak terus mengejar pria itu.
“Sekarang pria yang kamu suka itu jadi suami kamu,” ucap sang Ibu membawa Kiara kembali dari wisata pikiran di masa lalu.
“Iya, tapi hatinya bukan milik Ala, Bu. Dia masih mempertahankan Nandia, dia jarang pulang ke rumah. dan itu sangat sulit buat Ala. Di sini.” menunjuk dadanya sendiri. “Rasanya begitu sakit, Bu.”
“Bertahan ya, Nak. Gak akan ada yang bisa gantiin posisi kamu sebagai istri dari Alvano. Hanya kamu seorang.”
Atalia tersenyum miris dan berkata, “Boleh gak kalau Ala nyerah dan pulang ke Ibu sama Ayah?”
Terlihat jelas tatapan Kiara yang kehilangan kebahagiaannya. Dengan nada sedih dia mengatakan, “Ibu gak mau kamu menderita. Gak papa kalau kamu mau berhenti dan pulang. Tapi tunggu sebentar ya, karena Alvano membantu kita juga karena kamu. Ibu dan Ayah juga masih belum bisa mengembalikan semua uang yang dia berikan pada kita.”
Ah, ternyata ini alasannya. Atalia tau jika dirinya meninggalkan Alvani begitu saja maka keluarganya akan dalam masalah. “Perlahan saja dapatkan hatinya, dan dia akan luluh, Atalia.”
“Ini udah satu bulan lebih, Bu.”
“Ya, ini baru satu bulan dimana Alvano akan terus berusaha buat bangunin Nandia dari koma-nya. Ibu yakin jika sudah memasuki bulan ke-enam, Alvano akan melepaskan Nandia dan pulang padamu.”
Atalia enggan untuk berharap dan membahas hal itu, jadi dia memilih mengakhiri percakapan dan berkata kalau dirinya ingin istirahat. Setelahnya Atalia masuk ke kamar dan berbaring di sana, ditinggalkan oleh Alvano dan pria itu menghilang tanpa kabar.
Ketika Atalia hendak terlelap, telponnya kembali berbunyi. Itu dari Ayahnya, Atalia mengangkat dan berbicara dengan sosok tersebut. ternyata isi percakapan itu adalah Ayahnya yang meminta Atalia untuk bertahan. Selain kesepakatan dengan Alvano yang akan tercapai, mereka juga belum bisa membayar uang bekas pengobatan Amelia.
Jadi Atalia hanya mengangguk dan berkata, “Atalia paham, Yah. Atalia akan bertahan, sekarang Atalia mau istirahat. Atalia tutup telponnya ya?”
***
Pagi harinya, Atalia dikejutkan dengan kedatangan Bunda mertuanya. Yang datang untuk membuatkan sarapan. Atalia kaget, kenapa Bundanya berada di sini sepagi ini?
“Eh ya ampun! Bunda kaget, sejak kapan kamu berdiri di sana?”
“Baru aja, Bunda kok di sini? kenapa gak bilang mau datang?”
“Sengaja, Bunda denger kamu sakit jadinya mau jengukin ke sini.”
“Tau dari siapa, Bun?”
“Duduk dulu, Nak.”
Atalia menurut dan menatap mertuanya yang kini menyimpan roti panggang dan juga s**u di meja depannya sebelum dia ikut duduk dan menyantap bagiannya. “Kemarin Bunda nelpon Alvano, katanya dia baru pulang dari rumah sakit nganterin kamu berobat.”
“Cuma sakit datang bulan kok, Bun. Bunda ketemu sama Pak Alvano?”
“Enggak, nelpon tadi malam. Alvano harus ke luar kota buat urusan bisnis, mungkin satu minggu.”
Atalia terdiam sejenak sebelum akhirnya mengatakan, “Dia gak bilang apa apa sama Atalia.”
Yang mana membuat lawan bicaranya bisa merasakan bagaimana kesedihan itu. Bunda Seira menggenggam tangan Atalia. “Bersabar ya, Bunda juga pasti bantuin kok. Bunda bakalan ngomong sama Alvano pelan-pelan. Bukannya Bunda mau Nandia meninggal, tapi dia memang gak punya harapan buat bangun lagi. Cuma kamu yang dimiliki sama Alvano dan bakalan jadi satu satunya suatu saat nanti. Kamu Cuma harus sabar ya.”
Tiga orang yang mengatakan hal yang sama, Atalia hanya mengangguk. Namun bagaimanapun dukungan orang terdekat, Atalia tetap berjuang sendirian. Bunda Seira tidak berlama lama di apartemen. Suaminya sudah menjemput di lobi.
“Sebenernya Ayah mertua kamu mau ke luar Negara buat bangun sekolah internasional. Jadi Bunda sekarang mau ikut sama dia buat nganterin. Paling Bunda pulang ke sini lagi sebulan kemudian. Kalau disana gak dibutuhin, seminggu sekali juga pulang. Kamu butuh pembantu gak? Buat nemenin kamu di sini? takutnya ada apa apa?”
Atalia menggelengkan kepala, pasti Alvano akan marah jika ada orang asing di sini.
“Jangan gitu dong, Bunda khawatir kalau harus ninggalin kamu sendirian.”
“Gak papa kok, Bun. Sekarang udah mendingan, udah baik baik aja,” ucap Atalia meyakinkan.
Sepergian mertuanya, Atalia membereskan bekas sarapan sebelum mandi dan berbaring. Atalia memutuskan untuk tidak masuk kuliah. Dirinya terlalu lelah oleh berbagai hal. Scroll ponsel sampai akhirnya terdiam menatap room chat bersama dengan suaminya.
Memberanikan diri untuk mengirim pesan.
ME: Pak, lagi keluar kota ya? kapan pulang?
ME: Hati hati di jalannya ya, Pak. Kasih kabar kalau ada apa apa. Tadi Bunda ke sini, katanya dia mau ke LN nganterin Ayah.
Atalia tersenyum miris dengan pesannya yang diabaikan begitu saja, padahal Alvano membacanya. “Gak papa, yang penting Bapak udah tau kalau saya peduli sama bapak.”
Kemudian memejamkan matanya lagi. Perut Atalia masih terasa sakit, kepalanya juga demikian, dia butuh beristirahat.
Tertidur sekitar tiga jam, Atalia terbangunkan oleh suara bel yang berbunyi berulang kali. Dia segera berlari dan membukanya. Ternyata Ellen di sana.
“Bagus ya, daritadi saya panggil panggil. Minggir,” ucapnya masuk begitu saja.
“Gak sopan masuk rumah orang.”
Tapi Ellen tidak mendengarkan, dia masuk ke ruangan kerja Alvano untuk memotret salah satu berkas. Kemudian menelpon Alvano. “Sudah saya kirimkan, Pak. Maaf terlambat, istrinya ternyata sedang tidur dan passwordnya diganti.”
Atalia membelalak matanya, dia tidak pernah mengganti password apartemennya.
Selesai menelpon, Ellen langsung mengatakan, “Sepertinya kamu harus siap siap menerima kemarahan suami kamu nanti. Kamu udah bikin dia telat dalam agendanya. Saya ingatkan lagi, kamu bukan Nyonya di sini,” ucap Ellen dengan tajam.
***
Ketika mencari tau siapa yang mengganti password apartemennya, ternyata itu adalah Bunda Seira. Dan sosok itu baru memberitahunya ketika sampai di Amerika dengan kalimat, “Bunda ubah password apartemen kamu biar kamu makin aman. Gak tau aja Bunda mau ubah ke tanggal pernikahan kalian biar Alvano sendiri selalu inget terus tentang kalian.”
Ini bukan langkah yang baik, Atalia tau itu. namun dia tidak bisa menyalahkan sang mertua dan hanya tersenyum menanggapinya. Tidak lupa Atalia memberikan penjelasan kepala Alvano lewat chat kalau Bundanya yang merubah password apartemen. Dan seperti biasa, tidak ada balasan yang dia dapatkan.
Dan sudah terhitung hampir satu minggu kalau Alvano belum kunjung pulang, tidak ada kabar. Atalia hanya menjalani hari-harinya seperti biasa sendirian. Makan sendiri, dan pergi ke kampus tanpa semangat.
Setiap pagi, dirinya tetap pergi ke ruangan Alvano untuk menyelipkan surat cintanya ke sana. lalu Atalia kembali ke kelas bergabung bersama dengan yang lain.
“Weekend nih, mau gabung gak, Al?” Tanya Shofa.
“Gak dulu deh, gue lagi mau dirumah aja.”
“Akhir akhir ini lu keliatan ngehindar dari kita kita. Biasanya hangout tiap malem. Mana ku gak mau nunjukin rumah lu sekarang, tega banget gak sih? kentara banget gak sih?”
“Nanti kalau saatnya tiba, gue pasti cerita sama lu.”
“Tuhkan! Pasti lu punya rahasia! Cepet cerita sama gue!” teriak Shofa yang mulutnya langsung dibekap oleh Atalia.
“Jangan berisik ih!”
“Lu harus cerita.”
“Iya nanti kalau gue nya mau. Sekarang gue gak mau.”
“Kapan maunya? Mending sekarang mumpung Pak Al belum masuk.”
“Dia gak akan masuk, lagi di luar kota.”
“Dari mana lu tau?” Tanya Shofa, sedetik kemudian dia membekap mulutnya sendiri. “Ya ampun, pasti lu mata-matain Pak Al ya selama ini? nyampe lu sibuk dan gak ada waktu buat kita? Iya kan? Bilang sama gue, Atalia!”
“Berisik, gak gitu! Tadi gue denger dari kelas sebelah. Udah jangan banyak bacot,” ucap Atalia membekap mulut sang sahabat.
Hingga pikiran Shofa teralihkan karena dosen mulai mengajar dan memberikan tugas. Sampai pada akhir perkuliahan, Atalia meminta Shofa untuk mengantarnya ke rumah sakit.
“Udah beres haid nya?”
“Udah, makannya mau minta anter sama lu. Soalnya ini kram mulu perut.”
Permasalahan yang sama setiap bulannya. Sepulang kuliah saat jam makan siang, Shofa mengantar Atalia ke rumah sakit dan menemui dokter yang biasa ditemui oleh Atalia.
Ketika sedang menunggu di ruang tunggu, Atalia melihat sosok yang tidak asing sedang membawa buket bunga dan berjalan ke arah resepsionis.
“Itu bukannya pak Alvano ya?” Tanya Shofa.
Pria itu melangkah melewati Atalia, bahkan tanpa meliriknya sedikitpun. Menganggap Atalia tidak ada di sana, padahal Atalia yakin kalau Alvano menyadari keberadaannya.