Hari ini aku datang ke Sekolah pagi-pagi dengan membawa dua tepak. Ingat …. DUA. Satu tepak untuk makan siangku dengan Mila, dan satu lagi untuk Hesa. Sebagai tanda terima kasih karena sudah membuatku mendapat kecupan dari Mama. Kemarin Mama langsung memeluk, dan mengecup keningku berkali-kali begitu aku memberikan lembar jawab Matematika ku. Mama sempat bingung sebelumnya, menatap kertas itu, lalu menatapku, kembali menatap kertas, lalu balik menatapku. Aku saja serasa mimpi kemarin, apalagi Mama.
“ Ini beneran Sila ? kok bukan bebek terbang lagi ?“ tanya Mama dengan nada tidak percaya yang tidak ditutup-tutupi. Tuh kan, Mama aja hapal nilai matematiku selama ini selalu bebek terbang. Aku cemberut.
“ Mama ih … anaknya dapat nilai enam kok malah nyari bebek terbang. Bebeknya udah di panggang kata Pak Abra,“ jawabku kesal. Mama langsung tertawa keras dengan binar bahagia di kedua bola mata wanita itu. Dalam hati aku mengucap syukur. Pada akhirnya, bisa melihat binar itu lagi di kedua manik hitam Mama. Wanita hebat, dan kuat yang menjadi kebanggaan, sekaligus panutanku. Wanita yang berjuang keras demi anaknya, sekalipun dalam keadaan serba terbatas--atau bahkan bisa dibilang kekurangan.
“ Ih … anak Mama sekarang udah pinter ternyata.“ Mama menoel-noel pipiku. Binar di kedua manik mata wanita yang sudah melahirkanku itu masih menyala, membuat hatiku menghangat seketika. Kalau dengan memberi Mama nilan enam saja sudah bisa membuat wanita itu tersenyum bahagia, seharusnya aku sudah dari dulu belajar giat. Sekarang aku benar-benar harus berterima kasih pada cowok yang selama ini aku anggap musuh. Karena dia, aku mendapatkan senyum Mama. Bahagia rasanya.
“ Besok Fisika bebeknya jangan dipelihara juga ya sayang. Minta dipanggang juga sama pak Ali. Oke sayang ?!!!“ pesan Mama, sebelum akhirnya berjalan masuk ke dalam rumah, dengan lembar jawabku masih berada di tangannya.
“ Harus di pigura ini Sila … !!“ teriak Mama dari dalam rumah. Aku langsung tersenyum lebar. Mama memang selalu tahu isi pikiranku. Kami berdua memang sehati.
“ Iya Ma … Sila mau beli pigura habis ini. Di pajang di ruang tamu ya, Ma ? “ pintaku iseng. Mama langsung berbalik dan melotot ke arahku. Senyum di wajah Mama sudah menghilang seketika. Aku meringis ngeri.
“ Angka 100 baru boleh di pajang di ruang tamu. Yang ini pajang saja di kamarmu.“ Mama melambai-lambaikan kertas itu padaku. Segera kuhampiri Mama, dan kuambil kertas itu dari tangan Mama. Kuelus kertas itu penuh sayang, lalu kukecup. Mama menggelengkan kepala melihat tingkah usilku. Yah ... mau bagaimana lagi. Aku sedang senang saat ini. Nilai enam lho ini. Bukan main-main hasil kerja kerasku beberapa waktu terakhir ini. Sekalipun disertai rasa kesal, sebal, marah, dan segala rasa sejenisnya pada cowok yang aku anggap tidak punya perikemanusiaan saat memintaku mengerjakan soal. Tidak peduli bagaimana moodku saat itu, ketika jadwal belajar bersama, dia tidak akan memberikan kelonggaran padaku dengan alasan apa pun. Hesa memang se kaku itu prinsipnya. Tapi ternyata, sekarang aku bisa merasakan hasilnya.
***
Sampai di depan sekolah, gerbang bahkan belum di buka. Aku memang sengaja datang pagi sekali. Aku tidak ingin berhadapan dengan Hesa saat memberikan tepak ini. Aku sudah menulis memo yang kutempel di atas tutup tepak. Kulihat sekeliling, … sepi. Tidak ada seorang pun yang terlihat. Kutarik rok sekolahku ke atas ( untung aku selalu memakai celana pendek untuk dalaman ), lalu kupanjat pagar sekolah. Memanjat pagar setinggi 1.5 meter bukan hal yang sulit buatku. Aku bisa memanjat pohon mangga depan rumah. Pohon jambu samping rumah, serta pohon rambutan di halaman tetangga ku. Mungkin, kalau aku mau mencoba, pohon kelapa pun akan sanggup kupanjat. Setelah melompat ke bawah, segera kurapikan kembali pakaianku, lalu berjalan cepat masuk ke dalam sekolah. Aku memukul keningku sendiri. Lupa … kalau ruang kelas pasti juga masih di kunci. Kulihat jam di pergelangan tanganku. Pukul 06.10. Aku segera berjalan cepat ke gedung belakang kelas I, tempat penjaga sekolah tinggal. Begitu sampai di depan rumah, segera kuketuk pintunya tiga kali. Aku menunggu beberapa saat. Istri Pak Rahmat terkejut melihatku saat membuka pintu. Kupasang senyum semanis mungkin.
“ Mau minta tolong buka kelas III IPA ya, Bu.“ Aku sudah memasang senyum lebar, sementara istri Pak Rahmat masih menatapku lekat--dengan dahi yang mengernyit.
“ Pagi sekali datangnya. Rajin banget, Dek,“ katanya kemudian, sambil melirik jam yang tertempel di dinding rumahnya. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk.
“ Sebentar … Ibu panggil Bapak dulu. Biar sekalian di buka semua kelas,“ kata istri Pak Rahmat, sebelum berbalik masuk ke dalam rumah. Tak lama, Pak Rahmat keluar dengan segepok kunci di tangannya. Wajah pria paruh baya itu sudah terlihat segar. Sepertinya Pak Rahmat baru selesai mandi. Rambut pria itu masih setengah basah.
“ Mau ngerjain PR dulu ya … makanya datang pagi-pagi gini,“ gumam Pak Rahmat, sembari melewatiku. Aku cemberut. Langkahku terhela mengikuti beliau.
“ Mau belajar Bapak … biar tambah pintar,“ sahutku dengan menahan kesal. Langkah Pak Rahmat terhenti tiba-tiba--membuatku kaget hingga nyaris menubruk tubuhnya. Oughh ... enggak banget beradegan seperti di film-film romantis dengan pria berumur. Sudah punya istri pula. Pak Rahmat memutar tubuhnya, lalu menatapku.
“ Emang …. gimana masuk gerbangnya tadi ?“ tanya pria itu heran. Matanya memicing ke arahku. Aku meringis.
“ Lompat pagar, Pak,“ jawabku jujur. Kedua mata Pak Rahmat membola beberapa detik, lalu ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Menatap penampilanku dari atas sampai bawah sembari megeluarkan decakan dari mulutnya.
“ Untung nggak jatuh,“ katanya, lalu kembali menutar tubuh, melanjutkan berjalan ke arah kelasku, sementara aku mengekori di belakang pria itu. Letak kelasku tidak terlalu jauh dari deretan kelas satu. Begitu tiba di depan kelasku, Pak Rahmat mengangkat satu gepok kunci, mengamati satu-persatu sebelum akhirnya mengambil satu anak kunci, kemudian memasukkannya ke dalam lubang kunci. Memutar anak kunci ke kanan sebanyak dua kali, kemudian memutar gagang pintu. Aku bernafas lega begitu pintu terbuka. Kuucapkan terima kasih, lalu segera masuk ke dalam kelas. Tujuanku yang pertama adalah meja tempat Hesa. Segera kuambil tepak biru dari dalam tas ku, lalu kumasukkan tepak warna biru tua itu ke laci meja yang ditempati Hesa. Kutarik nafas Panjang. ‘ misi selesai ‘ gumamku.
Dengan langkah ringan, aku berjalan menuju tempat duduk ku. Menyimpan tas , lalu merebahkan kepala di atas meja. Masih ada waktu untuk memejamkan mata sejenak. Aku masih mengantuk setelah semalaman memikirkan apa yang akan kuberikan pada Hesa sebagai rasa terima kasihku. Lalu harus bangun pagi-pagi untuk menyiapkan isi dalam tepak biru itu.
“ Sil … Sila … bangun … sebentar lagi bu Aisyah masuk kelas !! “ Sayup kudengar suara seseorang memanggilku, tapi aku masih menikmati mimpi indahku. Lalu goyangan keras di lengan kurasakan. Tak lama, jitakan di kepala yang membuatku mengaduh, dan langsung membuka mata. Padahal aku sedang mimpi indah, bertemu cowok ganteng yang jago basket. Mataku langsung membulat sempurna begitu mengingat wajah dalam mimpiku. Bisa-bisanya aku mimpiin si culun. Kupukul pelan kepalaku sendiri. Membuang jauh-jauh wajah si culun dari dalam otak ku. Kok bisa cowok itu masuk ke dalam mimpiku. Tidak cukup hanya di dunia nyata dia mengganggu ketentramanku, cowok itu juga mengejarku hingga ke alam mimpi. Sial sekali nasibku bertemu cowok model seperti itu.
“ Udah ngumpul nyawanya ? “ tanya Imam, yang ternyata menjadi pelaku penganiayaan yang membuyarkan mimpiku. Kuregangkan kedua tanganku sambil menguap lebar, membuat cowok di depanku mengernyitkan hidung.
“ Tutup itu mulutnya. Cewek kok nggak ada anggun-anggunnya.“ Imam menggelengkan kepalanya saat melihatku menguap. Tidak kutanggapi perkataan cowok itu. Aku menoleh ke samping, dan tidak mendapati sahabat sebangku ku. Kutatap Imam dengan sorot mata bertanya.
“ Kok Mila belum datang ya … tumben,“ gumamku pada akhirnya saat meliat Imam yang hanya diam. Tidak paham dengan arti tatapan yang kuberikan pada cowok itu.
“ Nyari sohib lho? tuh …. lagi di ruang BP,“ jawab cowok itu yang membuatku terkejut.
“ Hah …. ?!“ aku memajukan badanku supaya lebih dekat pada Imam. “ Kok bisa …. emang apa yang terjadi ?“ tanyaku bingung. Bukannya menjawab, Imam malah mengedikkan kedua bahunya acuh. Anang, teman sebangku Imam menoleh.
“ Kena razia tata tertib sekolah. Pake rok mini,“ bisiknya, yang masih bisa kudengar dengan jelas. Aku melotot. Demi apa coba dia pakai rok mini lagi ke sekolah. Belum kapok rupanya anak itu sudah berkali-kali masuk ruang BP hanya karena memakai rok mini. Aku menggelengkan kepala. Mila benar-benar cari penyakit. Bayangan wajah garang Bu Nur membuatku bergidik ngeri.
Akhirnya, jam pelajaran pertama kulewati tanpa Mila. Sahabatku itu baru masuk sesaat sebelum jam pelajaran ke dua dimulai. Dengan wajah cemberut dia berjalan ke arahku. Aku tertawa kecil bersama Imam, dan Anang. Entah rok siapa yang Mila pakai, tapi rok itu bahkan menyentuh mata kakinya … bukan Mila banget. Dia melotot pada kami, sesaat sebelum duduk di kursi sebelahku. Wajahnya masih tertekuk.
“ Berhenti ketawa !! “ katanya galak sambil kembali melotot ke arah kami bertiga secara bergantian.
“ Kamu pakai rok siapa itu memangnya ?” Aku menunjuk rok panjang yang Mila kenakan.
“ Tahu deh … Bu Nur yang kasih.“ jawabnya dengan wajah kesal.
“ Lagian, ngapain sih kamu pakai rok mini lagi. Cari penyakit saja,“ gerutuku pada cewek yang sudah kembali memelototkan bola matanya. Bisa-bisa bola mata sahabatku itu bisa menggelinding keluar kalau kebanyakan melotot. Aku menahan kekehanku. Takut Mila tersinggung.
“ Kotor Sila …. kemarin aku jatuh. Di got. Sama si Arif.“ Tawaku langsung pecah begitu saja, membayangkan Mila dan Arif yang jatuh di got. Mila mengetok kepalaku hingga aku mengaduh, meski tawa masih belum bisa berhenti sempurna.
“ Temen kena musibah, bukannya prihatin malah ngetawain. Temen macam apa coba,“ keluh Mila. Aku meminta maaf tanpa suara, saat kulihat Bu Nasri sudah melangkah masuk ke dalam kelas.
***
Setelah pelajaran hari ini selesai, kami bersiap untuk pelajaran tambahan Kimia. Ada waktu lima belas menit untuk beristirahat, sebelum pelajaran tambahan dimulai. Aku mengambil tepak di laci, dan mengeluarkannya. Mila dengan sigap langsung mengambil satu sendok. Seperti biasa, aku selalu membawa dua sendok karena tujuanku membawa tepak memang untuk makan bersama sahabatku.
“ Apa menu makan siang kita hari ini ?” tanya Mila tidak sabar.
“ Nasi goreng sosis,“ jawabku sembari membuka tutup tepak.
“ Nggak ada sisa bebek goreng semalam ?“ tanya Mila yang langsung kupelototi. Sedangkan yang kupelototi malah memperlihatkan cengirannya.
“ Nggak ada !!! kalau nggak mau ya sudah. Aku makan sendiri !!“ kataku galak. Mila langsung memajukan bibirnya dua centi.
“ Ya kan aku cuma nanya Sil … kamu bawa nasi sambel aja aku tetep makan kok,“ katanya diikuti dengan kekehan ala Mila. Aku baru akan menyuap, saat sebuah tepak berwarna biru tua disodorkan di depanku. Aku mendongak, menemukan wajah datar si culun yang sayangnya berubah jadi keren saat di lapangan basket.
“ Sama-sama,“ kata cowok itu sambil mengangsurkan tepak biru tua itu. Aku segera mengambilnya. Kulirik sekitar. Teman-teman tentu saja sedang memperhatikan kami. Mungkin mereka serasa sedang melihat tayangan drama. Aku tersenyum kikuk.
“ Enak. Besok bawain lagi ya. Lumayan …. Irit. Aku nggak perlu jajan,“ lanjutnya bersuara, lalu berbalik dan kembali melangkah ke tempat duduknya. Setelah kepergian Hesa, Mila menatapku penuh tanya. Lalu beralih menatap tepak biru tua ditanganku.
“ Cie … Cie … ada yang baru jadian nih kayaknya.“