Part 8. Pesta David

1956 Kata
Aku sedang berada di kamar, melakukan olah vocal dengan lagu overdose nya EXO yang lagi booming, ketika Mama mengetuk pintu kamar. Sempat kudiamkan beberapa saat, berharap Mama hanya iseng mengganggu aktivitasku. Namun ternyata, suara ketukan tak kunjung berhenti, bahkan justru semakin keras. Kukecilkan volume suara ponselku, lalu melompat turun dari ranjang dan berjalan ke arah daun pintu yang masih mengeluarkan bunyi karena ketukan dari tangan Mama. Aku yakin tangan Mama pasti sudah memerah sekarang. Begitu aku berhasil membuka daun pintu, Mama memperhatikanku dengan wajah bingung. Kuperhatikan wajah Mama. “ Kenapa Ma ? kok malah bengong ?... lupa ya mau ngomong apa ? “ tanyaku saat Mama tidak juga membuka mulutnya. Kedua mata wanita yang sudah melahirkanku itu justru memperhatikan penampilanku dari ujung kepala hingga telapak kakiku yang tak beralas. “ Kok penampilanmu ... kayak gini, sih ?” Mama menunjuk tank top, dan celana pendek yang kukenakan. Kepalaku bergerak menunduk, memperhatikan penampilanku sendiri. Emang kenapa dengan penampilanku ? aku tidak menemukan keanehan dengan apa yang kukenakan. Biasanya, di dalam rumah juga aku sering pakai tank top dan celana pendek. Hawa Jakarta nggak ada adem-ademnya, sementara di rumahku cuma ada kipas angin. Kuperhatikan penampilanku sekali lagi untuk meyakinkan diriku sendiri tidak ada yang salah denganku. Keningku mengernyit. Aku tetap tidak menemukan keanehan pada penampilanku. Kedua mata Mama memicing. “ Bukannya mau ke pesta ulang tahun, David ?“ tanya Mama yang langsung membuatku tersentak. “ Kok Mama tahu David ?” aku memicing memperhatikan Mamaku. Aku tidak pernah bercerita tentang David ke Mama. Hubunganku dengan David tidak sedekat itu, hingga harus cerita ke Mama. Jadi aneh saja kalau tiba-tiba Mama menyebut nama David. Apa Mama pernah bertemu dengan David di suatu tempat, dan lupa bercerita denganku? hanya itu kemungkinan yang terpikir oleh otakku. “ Lah itu … “ Kepala Mama berputar. Jari telunjukknya terangkat--menunjuk ke luar. “ Itu … ada temanmu, katanya mau jemput kamu ke ulang tahunnya David.“ jelas Mama membuyarkan lamunan akan kemungkinan Mama bertemu salah satu teman satu kelasku itu di suatu tempat. Aku langsung melongo. Kulongokkan kepalaku ke luar. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat wajah Ulin yang meringis ke arahku. Buru-buru kutarik kembali kepalaku ke dalam kamar. Gila . Itu anak bener-bener menjemputku? Aku kira dia cuma bercanda. Lagipula, aku juga tidak mengiyakan ajakannya di sekolah. Pembicaraan kami belum selesai, saat ada interupsi yang sempat membuatku mengumpatinya, meskipun setelah itu aku mendapat kabar baik. Setelah kejadian itu, kami belum membahasnya lagi. “ Dia pakai motor, atau mobil, Ma ?“ tanyaku setelah menarik Mama untuk ikut masuk ke dalam kamar. “ Mobil … Mama aja tadi kaget. Kirain ada tamu siapa pakai mobil masuk ke rumah kita,“ jawab Mama sembari terkekeh pelan. Aku tertawa kecil. Ulin beneran menepati omongannya untuk menjemputku memakai mobil Papanya. “ Mobil bokapnya itu, Ma. Ya udah, minta dia nunggu bentar ya, Ma. Sila mau mandi dulu trus siap-siap.“ Aku segera melangkah lebih masuk ke dalam kamar, menuju lemari. Mengambil handuk dan pakaian sebelum melesat keluar kamar dengan menutupkan handuk besar ke tubuhku, menuju kamar mandi di bagian belakang rumah. Aku bukan tipe cewek yang ribet saat mandi. Berlama-lama di dalam kamar mandi, bukan kebiasaanku. Hanya butuh waktu lima belas menit, aku sudah berdiri di depan Ulin yang terperangah menatapku. “ Lo mandi apaan Sil … “ ia melihat jam di pergelangan tangan kirinya. “ Gila … Lima belas menit. Jangan-jangan lo nggak mandi lagi.“ ia menjepit hidung dengan dua jarinya. Kupukul lengannya yang tidak seberapa besar itu. Enak aja ngatain aku nggak mandi. Badan udah wangi gini. Udah kuguyur pakai minyak wangi juga. “ Enak aja. Mandi dong … cium nih … wangi. “ Kudekatkan lenganku ke hidungnya yang langsung ia tangkis dengan kasar. Cowok itu malah mencebik ke arahku. Rasanya aku ingin sekali mengetok kepala salah satu teman satu kelas yang cukup dekat denganku ini. Tapi, saat ini tentu saja aku tidak melakukannya. Ada Mama yang pasti akan segera memberiku ceramah sepanjang jalan kenangan kalau melihatku melakukan kekerasan. “ Udah ah … ayo jalan. Entar kita telat.“ kutarik tangannya hingga Ulin berdiri, lalu kudorong tubuh krempeng Ulin ke luar rumah.  “ Ma … Sila pergi dulu!!“ aku berteriak dari luar rumah. Kulihat Mama tergopoh keluar.  “ Hati-hati di jalan. Jangan ngebut ya Mas Ulin. Kalau Sila minta ngebut, turunin aja di jalan," pesan Mama yang membuarku cemberut. Ulin langsung tertawa, sementara aku hanya bisa semakin menekuk wajah sembari melangkah menghampiri Mama. Kucium tangan Mama, sebelum benar-benar pergi. Sekalipun kadang-kadang Mama bikin aku kesal, tapi hal itu tidak mengurangi cintaku pada wanita yang sudah mengorbankan hidupnya untukku. Setelah Ulin ikut berpamitan, kami berdua berjalan beriringan menuju sebuah mobil sedan yang terparkir di depan rumah Mama. Aku berdecak memperhatikan mobil yang terlihat bersih mengkilap. " Ckckck ... lalat pasti kepeleset kalau berani mendarat di sini." Kutunjuk mobil di hadapanku. Ulin tertawa. "Nggak tahu aja lo Sil, berapa lama gue ngebersihinnya tadi. Ampe mau jemper nih tangan." Kugelengkan kepala sembari melepaskan tawa yang sudah tidak bisa kutahan. "Yuk, ah." Kuangguki ajakan Ulin. Aku segera membuka pintu mobil, sementara Ulin setengah berlari memutari badan mobil sebelum masuk, dan duduk di belakang kemudi. *** “ Emangnya lo masih suka ikut jadi pendamping, Sil ? “ tanya Ulin, begitu mobil keluar dari gang rumah. Ulin adalah salah satu teman yang tahu tentang hobi extreme ku. Beberapa tahun lalu, aku sering ikut balapan liar. Bukan menjadi pengendaranya, tapi menjadi pendamping, yang duduk di samping pembalap. Ada satu kejadian yang kemudian membuatku akhirnya berhenti--setahun lalu. Aku mendesah saat mengingat kejadian tersebut. “ Udah nggak pernah lagi setahun belakangan ini. Kadang ada rasa kangen sih, merasakan adrenalin saat di jalan dengan kecepatan tinggi. Tapi aku masih sedikit trauma. Sedikit …. “ kuperlihatkan ujung kuku ku ke depan Ulin saat memberi penjelasan pada cowok itu. Ulin mengangguk--paham. “ Kenapa emangnya ? Lo mau ngajakin gue ? “ Ganti aku yang bertanya. Ulin melirikku sekilas sembari berdecak. “ Kagak … cuma nanya aja gue," jawab Ulin, lalu mobil melaju lebih cepat ketika Ulin menekan gas lebih dalam. Tidak sekencang ketika aku ikut balapan sih, tapi lumayan kencang untuk berkendara di jalanan. “ Oh … kirain mau ngajakin gue.“ Ulin hanya menanggapiku dengan decakannya sekali lagi. Setelah itu, kami menikmati perjalanan ditemani lagu-lagu dari SOS. Hampir tiga puluh menit, kami tiba di sebuah rumah megah dua lantai. Ulin memarkirkan mobil Papanya di sebelah mobil Yaris baru yang entah punya siapa. Kebanyakan teman di kelasku memang anak orang kaya, tapi aku bersyukur mereka tidak memandang teman-temannya dari status kantong orang tuanya. Aku juga bukan tipe anak yang minder dengan status sosial ku. Anak broken home, Ibu hanya seorang guru TK. Meskipun begitu, aku tetap bangga dengan Ibuku, dengan diriku sendiri. Apa pun keadaan kami.  Kami segera turun dari mobil begitu suara mesin mobil yang menderu berhenti. Berdua, berjalan beriringan masuk ke dalam rumah. Rumah sudah terlihat ramai. Kuedarkan mataku mencari sahabat baikku. Aku yakin anak itu pasti juga datang. Hanya saja aku belum menangkap keberadaan cewek itu. “ Lin … aku ke sana ya,“ kataku setelah menemukan sosok yang aku cari. Aku menunjuk ke arah Mila yang terlihat sedang bercengkrama dengan beberapa teman cewek. Ulin mengangguk. Aku melangkah lebar menghampiri Mila dan beberapa orang teman cewek lainnya. “ Mil … “ aku berteriak karena suara musik yang lumayan kencang. Kulambaikan tanganku. Sempat celingat-celinguk, Mila yang akhirnya menangkap keberadaanku, segera berpamitan pada beberapa teman yang bersamanya. Dia tergesa melangkah menghampiriku. “ Kirain kamu nggak datang,“ kata Mila begitu sampa di depanku. Aku mencebik menanggapinya. “ Kamu sih ... teman macam apa. Bukannya jemput aku ke rumah … malah sudah enak-enakan di sini ternyata,“ keluhku sembari menekuk wajah. Berpura-pura marah pada sahabatku itu. Mila meringis. “ Sorry Sil … kirain kamu nggak akan datang. Udah lama kan kamu nggak pernah ke acara rame-rame gini.“ Aku menghela nafas panjang. Memang benar, sudah setahun aku tidak pernah mau datang ke acara pesta. Aku hanya merasa tidak nyaman saja berada di tempat hingar-bingar begini. “ Trus …. kamu datang sendiri ?“ tanya Mila penasaran. Aku menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan Mila. Kening sahabatku itu mengernyit. “ Di jemput Ulin tadi,“ jawabku membuat kernyitan di kening gadis itu perlahan menghilang. “ Wih … tumben baik anak itu,“ puji Mila. Aku hanya mengangkat kedua bahuku.  “ Eh Sil … lihat arah jam sepuluh," kata Mila tiba-tiba--sambil menyenggol lenganku. “ Emang kita lagi main detektif-detektif an?“ bisikku di telinga Mila. Mila langsung menyikut perutku hingga aku meringis. “ Lihat aja kenapa sih,“ katanya sambil mendengus kesal. Aku mengalihkan pandanganku ke arah jam 10 seperti yang dikatakan Mila. Mataku memicing ketika menangkap sepasang cowok cewek yang ada di sana. Duduk berdua dengan si cewek yang terlihat sedang antusias bercerita. Rita, salah satu teman sekelas kami. Gadis itu terlihat cantik dengan dress merahnya. Aku mengalihkan pandanganku, menunduk untuk bisa mengamati penampilanku sendiri. Celana denim di atas lutut dengan beberapa sobekan di kanan kiri, dan kaos off shoulder warna kuning terbuat dari wool hasil karya Mama. Aku meringis. Jelas sekali aku salah kostum, saat kuperhatikan Mila yang juga mengenakan dress warna ungu. Kurutuki diriku sendiri. Benar-benar salah kostum. Memalukan Sila ... rutuk batinku. “ Padahal tadi kalian baru saja di gosipin jadian gara-gara tepak.“ Mila berbisik di telingaku. “ Ternyata selera Hesa yang seperti itu,” lanjutnya dengan pandangan ke arah Hesa dan Rita. Aku kembali mengikuti arah pandang Mila. Saat itulah pandangan kami tak sengaja bertemu. Hesa menatapku dengan sorot mata tajam. Entah apa arti tatapan cowok itu. Aku segera mengalihkan pandangan, ke mana saja asal tidak ke arah dua orang itu. Lalu kutarik tangan Mila untuk pergi. Aku belum bertemu, dan mengucapkan selamat ulang tahun pada David--sang pemilik acara. Acara ulang tahun David berjalan meriah. Diisi dengan game-game yang membuat kami tertawa terbahak-bahak. Colekan yang kurasakan di lengan--membuatku menoleh. Ulin memperlihatkan senyumnya. Cowok itu tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingku. “ Kamu kayak jalangkung aja,” komenku setelah mengetahui siapa yang mencolek lenganku. Ulin nyengir. “ Duet yuk Sil,“ kata Ulin sembari menaikkan sebelah alisnya. “ Ogah …. “ jawabku cepat. Ngapain juga duet. Sudah ada penyanyi yang pastinya dibayar mahal oleh orang tua David untuk menghibur kami semua. “ Ayolah Sila … suara kamu kan lumayan.“ rengek Ulin yang masih belum menyerah mengajakku bernyanyi dengannya. “ Lumayan buat ngusir nyamuk,“ lanjut Mila yang langsung kuhadiahi dengan jitakan pelan di kepalanya. Sahabat macam apa yang menghina suara sahabatnya sendiri. “ Aduh Lin … lepas ih. Kamu apaan sih.“ Ulin sudah menarik tanganku ke depan. Aku memberontak, tapi tetap tidak bisa melepaskan tanganku dari cekalannya. Ternyata, meskipun tubuhnya tergolong cungkring, tenaganya tetap tidak bisa ku tandingi. Aku merasa kami seperti sedang beradegan film India sekarang. Adegan Shahrukh khan yang sedang menarik tangan Kajol, sementara Kajol memberontak minta dilepaskan. Dua pemain film India yang sedang di gandrungi Mama saat ini. Aku mengumpat dalam hati, ketika lagi-lagi menjadi pusat perhatian, setelah siang tadi di sekolah. Ulin mengacungkan sebelah tangannya yang bebas ke atas. “ Duet bang …. “ teriaknya pada pemain solo organ. Aku memukul tubuhnya. “ Ogah … lepas Lin. Duet saja sana sama abangnya.“ Teman-teman sudah menghentikan kegiatan mereka, dan bertepuk tangan. Aku hanya bisa memberengut begitu sampai di depan. “ Mau nyayi apa ?“ “ Tahu deh.“ Aku mengedikkan kedua bahuku. “ Mawar merah bang. “ jawab Ulin yang membuatku melotot seketika. Selanjutnya aku hanya bisa pasrah begitu bunyi tut piano terdengar, dan sebuah mikrofon diberikan kepadaku. Kubuang rasa maluku saat itu juga. Kuikat rambutku menjadi gelungan ala kadarnya ke atas. Ulin sudah memegang setangkai bunga mawar merah yang entah dia dapat dari mana, lalu memberikannya kepadaku begitu nada masuk terdengar. “ Sekuntum mawar merah …. aah…yang kau berikan kepadaku. Dimalam itu ….” 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN