Kejadian kemarin membuatku malu setengah mati. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa wajahku saat itu. Hesa sialan … dia tahu perhatikanku tidak tertuju pada apa yang dibicarakan cowok itu, tapi justru pada bibirnya, dan dia membiarkanku begitu saja. Namun setelahnya, dia membuatku malu bukan kepalang. Semalam saja aku kesulitan tidur karena tiap kali memejamkan mata, bayangan wajah datar pria itu saat membuatku malu muncul di pelupuk mataku. Berkali-kali aku mencoba menepisnya, sebanyak itu pula wajah cowok menyebalkan itu muncul. Akhirnya, aku hanya bisa berguling-guling tak tentu arah, sembari mengitung jumlah bebek sebanyak mungkin sampai akhirnya aku lelah, dan tertidur dengan sendirinya. Sekarang, bahkan aku malu bertemu dengan cowok itu. Aku meletakkan kepalaku di atas meja, dengan bantalan sebelah lenganku.
“ Sila ... Kamu kenapa sih ? perasaan seharian ini kamu jadi pendiam. Kamu sakit ?“ Mila menyentuh keningku, seperti yang biasa Mama lakukan setiap kali aku mengeluh sakit. “ Enggak panas,“ lanjutnya dengan kening yang sudah mengernyit.
“ Ayo Sil … ke kantin. Aku lapar. Kamu kan nggak bawa tepak hari ini.“ Hilang sudah perhatian sahabatku itu dalam sekejap saja. Mila kini sudah menarik-narik tanganku. Sepertinya, buat Mila--masalah perut lebih penting dibanding sahabatnya--keluhku dalam hati.
“ Aku lagi malas Mila … “ Hesa tidak terlihat di dalam kelas. Cowok itu pasti sedang duduk di depan kelas, atau bisa jadi sedang di kantin. Aku tidak punya muka untuk bertemu dengannya. Kemarin saja aku langsung lari terbirit-b***t setelah ketahuan tidak mendengarkan dia bicara, tapi malah memperhatikan hal lain yang membuat wajahku terasa panas tiap kali mengingatnya. Aku mendesah … berharap hari ini ada pelajaran tambahan hingga tidak perlu bersama Hesa. Semoga saja kali ini Tuhan mengabulkan doa hamba Nya yang banyak dosa ini.
“ Ayolah Sila …. kamu kan tahu aku punya maag. Nanti maag ku kambuh,“ lanjut Mila masih berusaha untuk membujukku. Wajahnya sekarang sudah cemberut. Aku menghela nafas. Kutegakkan badanku, memperhatikan wajah sabahatku yang memelas. Akhirnya tetap saja aku tidak tega. Mila langsung tersenyum saat melihatku berdiri. Dia berputar ke sisi meja tempatku berdiri, lalu menggandeng tangan ku. Tersenyum manis ke arahku. Kami berjalan beriringan ke luar ruang kelas.
“ Kita beli roti saja ya Mil. Nggak akan cukup waktu kalau kamu mau makan.“ Ku lihat jam di pergelangan tanganku. “ Sebentar lagi bel,“ lanjutku menyakinkan sahabatku itu. Mila mengangguk setuju. Kami berdua berjalan cepat menuju ke kantin. Mataku mengerjap saat melihat siapa yang sedang berjalan sendirian ke arah kami. Sepertinya cowok itu benar dari kantin. Dalam hati aku mendesah. Sial, batinku. Kupalingkan wajahku ke tempat lain, asal bukan ke arahnya. Berharap cowok itu tidak menyadari keberadaanku. Anggap saja kali ini aku tak kasat mata. Dalam hati aku menggumam doa. Ah ... seharusnya aku meminjam jubah Harry Potter kali ini.
“ Hai Hesa … “ Aduh … kenapa juga si Mila malah menegur dia lebih dulu. Mau tidak mau aku harus menoleh ke arahnya. Kedua mataku mengerjap. Cowok itu sudah menghentikan langkah kakinya. Hesa dengan kaca mata tebalnya, tapi aku masih bisa melihat saat bola mata di balik kaca mata itu sejenak melirik ku. Wajahku terasa memanas seketika. Segera kupalingkan wajahku ke tempat lain. Melihat rumput yang sudah meninggi tidak apa, asal tidak melihat ke arah cowok itu. Karena saat kedua mataku terarah padanya, selalu saja bagian tubuh di bawah hidung yang harus aku akui mancung itu seperti mempunyai daya tarik yang kuat. Membuat kedua bola mataku bergulir ke sana, menatap dua belah bibir yang jarang terbuka itu.
“ Mil …. buruan ayo. Entar bel lho.“ Aku buru-buru mengajak sahabatku itu pergi. Mila yang sedang tersenyum manis kepada Hesa mendengus ke arahku. Lalu kembali tersenyum pada Hesa ketika berpamitan.
“ Ke kantin dulu ya Hesa. Tuh … cacing di perutnya Sila sudah pada demo,“ kata Mila dengan enteng. Aku menatapnya tak percaya. Siapa coba tadi yang ngajak ke kantin karena takut maag nya kambuh. Segera saja kupasang muka garang ke arah cewek itu. Kedua tanganku sudah ada di pinggang. Kedua mata melotot ke arah cewek yang memperlihatkan cengirannya.
“ Heh ... cewek sok kecentilan --“ Belum juga aku selesei mengomel, Mila sudah membekap mulutku.
“ Bye … Hesa.“ Mila mendorong tubuhku berlalu meninggalkan Hesa. Kulepaskan tangan Mila dengan kasar. Kupelototi dia sekali lagi. Mila hanya meringis sambil menangkupkan kedua tangannya di depan d**a. Aku menggeram melihat tingkah cewek yang sudah menjadi sahabatku sejak duduk di kelas satu ini. Cewek yang kadang menyebalkan, tapi sangat menyayangiku hingga aku selalu bersyukur memiliki Mila sebagai sahabatku.
“ Kan ... lagi usaha Sila …“ katanya, lalu berlari meninggalkanku menuju ke arah kantin sambil tertawa. Kugelengkan kepala, sebelum akhirnya aku ikut berlari menuju kantin. Kalau tidak, kami tidak akan punya waktu untuk mengunyah roti yang akan kami beli karena bel masuk sudah terlebih dahulu berbunyi.
***
Pak Abra masuk tak lama setelah bel berbunyi. Kelas yang tadinya gaduh, langsung hening seketika. Ulin yang duduk di belakangku mencolek lenganku. Aku segera menoleh ke belakang, menatap cowok itu dengan kernyitan di keningku.
“ Kenapa ? “ tanyaku tanpa suara.
“ Besok ikutan nggak ? “ Kernyitan di keningku pasti sudah semakin dalam. Tidak mengerti maksud perkataan Ulin. Ikut ke mana ? Apa Sekolah ada acara yang aku tidak tahu? Bingung, kutatap Ulin bertanya.
“ Acara ulang tahunnya si David. Kamu dapat undangan juga kan ? semua dapat lho,“ bisik cowok itu. Berhati-hati agar suaranya tidak terdengar oleh Pak Abram di depan kelas.
“ Oh … Itu. Nggak tahu,“ jawabku sembari berbisik seperti yang Ulin lakukan. Aku mengedikkan kedua bahuku.
“ Ikut lah Sil. Nggak seru kalau nggak ada kamu,“ bisiknya lagi. Aku berdecak kesal.
“ Emangnya aku badut !! “ Aku melotot padanya. Sedang yang kupelototi hanya memperlihatkan cengiran kuda. Dasar Ulin ... batinku semakin kesal. Apa cowok itu beneran mikir aku badut hingga bisa membuat meriah suasana pesta? Lagian, sudah cukup lama aku tidak pernah pergi ke acara pesta-pesta seperti itu.
" Entar aku jemput deh. Pake mobil Bokap." Kedua alis Ulin terangkat tinggi, dengan senyum masih tersungging. Terlihat begitu bangga akan bisa menjemputku dengan mobil. Sekali pun itu mobil Papanya.
“ SILA …!!“ Suara keras Pak Abra membuatku berjingkat kaget. Mendadak jantungku langsung berdetak cepat. Mungkin seperti ini rasanya maling yang ketahuan saat sedang beraksi. Aku langsung berbalik menghadap ke depan. Entah sudah seperti apa wajahku sekarang. Mampus aku …
“ Sudah ngobrolnya ? “ tanya Pak Abra sambil melirikku dari balik kaca matanya. Aku menundukkan kepala. Rasa bersalah menggerogotiku. Aku merutuk dalam hati. Semua gara-gara Ulin, tapi justru aku yang mendapat teguran.
“ Sini maju.“ Waduh … aku merasa hari-hariku sekarang penuh dengan yang namanya kesialan. Aku menoleh ke belakang untuk sekedar memberi pelototan pada si biang kerok Ulin, sebelum beranjak dari tempat duduk, lalu melangkah gontai ke depan kelas.
“ Ya Pak. Saya minta maaf,“ kataku begitu sampai di depan meja guru. Menunjukkan penyesalan karena sudah tidak memperhatikan beliau. Kutundukkan kepalaku dalam-dalam dengan wajah yang kubuat sendu.
“ Nih … hasil ulanganmu.“ Kaget, aku segera mengangkat wajah. Kupikir Pak Abra memanggilku ke depan untuk memarahiku, karena ngobrol di jam pelajaran. Kulihat selembar kertas yang menggantung di depanku, lalu aku kembali mendongak untuk melihat wajah Pak Guru.
“ Ini … terima. “ lanjutnya. Tanganku bergerak menerima uluran kertas dari tangan pak Abra. Mataku awas melihat lembar itu. Seketika bola mataku membulat melihat angka yang tertulis dengan tinta warna merah di ujung atas kanan lembar jawabku. Rasanya tidak percaya. Kulihat kembali nama yang tercantum pada lembar kertas itu. Sudah benar, namaku yang tertulis pada lembar di tanganku. Lalu kembali kuperhatikan angka yang tertera di pojok atas kanan itu. Rasanya sungguh luar biasa. Aku tidak bisa berkata-kata. Kutatap wajah Pak Guru yang sudah tersenyum ke arahku.
“ Nggak ada bebek terbang Pak ?“ tanyaku pada akhirnya dengan wajah cengo. Seketika kelas terdengar riuh. Tentu saja mereka semua tahu, nilaiku untuk Matematika selama ini memang hanya mentok pada angka 3. Pak Abra kembali tersenyum. Pertama kali aku melihat senyum Guru matematika ku ini ditujukan padaku. Ternyata Pak Abra manis juga kalau tersenyum. Aku tertawa dalam hati dengan pemikiranku sendiri.
“ Kamu harus berterima kasih pada mentormu. Bapak yang sudah mengajarimu dua tahun lebih saja tidak bisa membuatmu berhenti memelihara bebek.“ Pak Abra tertawa, lalu mengedikkan dagunya ke depan. Aku menengok ke belakang. Yang di maksud Pak Abra hanya menatapku lurus. Entah apa maksud tatapan cowok itu.
“ Sudah … sana balik ke tempatmu. Jangan lupa terima kasih pada Hesa. Trus, jangan jadi malas belajar sekarang, meskipun bebek terbangnya sudah di panggang.“ Kembali kelas riuh dengan tawa teman-teman sekelas ku. Aku sempat memasang wajah cemberut saat mereka menertawaiku. Namun kemudian kupasang senyum lebar saat kembali ke tempat duduk ku. Hatiku sedang senang. Kembali kupandangi selembar kertas di tanganku. Rasanya masih tidak percaya melihat angka yang tertera di atas kertas itu. Kulihat punggung Hesa. Cowok itu sedang menunduk, tangannya bergerak menulis sesuatu. Meskipun aku kesal setengah mati pada si culun Hesa, tapi benar kata Pak Abra … aku harus mengucapkan terima kasih padanya. Dia sudah membantuku memecahkan rekor ku sendiri. Akan kupikirkan cara berterima kasih padanya nanti. Yang jelas bukan sekarang. Sekarang aku masih terlalu malu untuk berhadapan dengannya. Aku tersenyum, sepertinya habis ini aku harus cari pigura. Akan kupajang kertas ini di kamarku. Mama pasti senang melihatnya. Mama … Sila mau makan bebek malam ini!!