6. Berdua

1627 Kata
"Kau! Singkirkan makhluk berbulu itu dari mobilku sekarang juga. Apa kau tidak melihat aku yang sedari tadi bersin-bersin?" Chen mengecam Li Mei dengan galaknya, kesabarannya sudah habis di kuras oleh Li Mei yang manja. "Tidak, ini akan aku bawa pulang dan menjadi teman curhatku sehari-hari," jawab Li Mei menolak perintah Chen, lagipula Chen bukan siapa-siapanya kenapa justru mengaturnya? "Turun, atau-" Li Mei menangis, sekedar akting drama agar Chen dapat mengasihani-nya. "Kau tega? Kenapa hati kerasmu itu tak ingin mengizinkan aku membawa pulang kucing imut ini? Tolonglah Tuan Chen, bolehkah aku-" belum usai Li Mei menyelesaikan kata-kata memelas lalu Chen dengan mudahnya mengangguk. Akhirnya pria itu setuju juga meskipun beberapa menit Chen tetap bersin. "Terima kasih banyak. Lihat, pria baik di sampingku mengizinkanmu untuk pulang ke rumah. Aku berikan kau nama catty," Li Mei mengobrol dengan kucing itu, mengabaikan kehadiran Chen. Terlalu membosankan mengobrol dengan pria angkuh itu. "Nama yang kurang berkualitas. Apa tidak ada yang lain?" bantah Chen tidak suka, menurutnya kurang aestetik saat di dengar. Apa? Aestetik darimana hanya sebuah kucing biasa yang di temukan di pinggir jalan bukan kucing yang ada di toko dengan bandrol harga yang mahal sesuai jenis-jenisnya. Li Mei beralih menatap Chen bosan. "Apa aku memakai namamu? Ya boleh saja. Chen manis," Li Mei menarik senyuman bulan sabitnya yang indah namun tidak mempesona di mata Chen. "Tidak! Aku itu galak, kejam dan jahat. Haruskah berubah menjadi lemah lembut dan imut agar semua orang gemas kepadaku?" tanya Chen penuh rasa kemalasan, sifatnya tak bisa diubah. Inilah dirinya, tetap cuek, dingin sekaligus kurang peduli terhadap semua orang. "Itu sangat bagus!" Li Mei tersenyum penuh arti. "Sudahlah, fokus saja ke jalanan. Aku tak mau tersesat karena mengobrol banyak denganmu," Li Mei menyudahi perselisihannya dengan Chen soal kucing, kalau masih berlanjut sampai kapan dirinya akan ke rumah. Hanya beberapa menit saja akhirnya sampai di rumah. Li Mei mengucapkan terima kasih namun Chen tak bereaksi hanya diam dan setelah itu bersin. "Cepat turun dan pergi jauh dariku!" Chen mengancam, rasanya tidak sehat bersin terus bisa pilek dan panas lagi suhu badannya. Li Mei mencibir. "Janjimu, bertamu ke rumahku sekarang. Ayo ikut," Li Mei mengulurkan tangannya berharap Chen meraih jemarinya namun tak sesuai ekspetasi justru Chen menyingkirkan tangannya. Chen, benar-benar mengaduk emosi Li Mei hari ini. "Ya," sahut Chen malas. Li Mei menarik sudut bibirnya tersenyum. Akhirnya Chen menjadi penurut juga. Saat berada di dalam rumah dan Chen duduk di ruang tamu sedangkan Li Mei menyiapkan tempat tidur kecil untuk kucing barunya. Chen melihat isi rumah Li Mei yang begitu sederhana. Namun perempuan itu selalu ceria dan bahagia setiap kali Chen mengobrol menatap manik hazel itu. Berbeda dengan dirinya yang kaya raya namun sama sekali tak bahagia baik kedua orang tuanya sibuk dengan dunia bisnis-nya dan harta. "Dia sangat beruntung," gumam Chen. Mengenal Li Mei adalah suatu keberuntungan baginya, selain bisa melihat senyum tulus dari seseorang juga kebahagiaan yang terpancar secara alami dari Li Mei. Lien Hua melihat Chen, matanya menyipit seperti tidak asing dengan wajah itu. Lien Hua menduga mirip dan mengingatkannya pada seseorang. Entah siapa namun ia lupa. "Kamu siapa? Teman Li Mei ya?" sapa Lien Hua menghampiri Chen. "Ya, saya teman Li Mei. Dia sangat bersemangat setiap harinya," Chen tersenyum, tanpa ia sadari Li Mei pun mendengarnya di balik pintu kamar. Wah! Chen memujinya? Li Mei tak bisa melunturkan senyuman cerahnya bagaikan mengusir mega mendung yang tadinya sedih. Chen ternyata baik, tak seperti yang ia duga jika pria itu angkuh dan sombong. "Memangnya kalian sering bertemu ya?" tanya Lien Hua ingin tau. Sangat jarang sekali Li Mei itu bisa membawa laki-laki ke rumah. Wajar saja ia heran, terutama tampan dan memakai jas seperti ini. Pasti kasta-nya tinggi juga termasuk kekayaan-nya. Chen mengangguk. "Setiap dia pulang sekolah dan jalan kaki, saya menawarinya pulang. Daripada lelah karena berjalan sepanjang kilometer dengan terik matahari yang menyengat, lebih baik Li Mei naik mobil bersama saya," Chen menunjukkan perhatiannya. Lebih tepatnya mendeskripsikan betapa khawatirnya jika nanti akan terjadi hal tak di inginkan kepada Li Mei. Dengan memberanikan diri, Li Mei melangkah keluar dari kamarnya. Catty sudah ia simpan di tempat yang sudah di sediakan dan kucing imutnya itu terlelap. "Aku buatkan teh hijau agar sedikit rileks," ucap Li Mei sedikit gugup ketika matanya bersitatap dengan manik tajam Chen. Menyeramkan sekali, pikirnya dalam hati. Chen ingin menolak namun Lien Hua berbisik bahwa buatan Li Mei sangatlah manis dan enak. Chen tersenyum, tidak ada salahnya mencoba teh hijau buatan Li Mei. Di dapur, dengan gerakan tangan yang lincah Li Mei akhirnya selesai membuat teh hijau dengan mudah dan cepat. Aromanya menenangkan pikiran dan membuat Li Mei ingin meminum teh hijau juga, tapi ia sadar minuman itu untuk Chen yang terhormat. Li Mei memberikan teh hijau itu pada Chen yang diterima dengan baik. "Di habiskan ya. Itu cita rasa yang langka dan hanya aku yang mengetahui resepnya," ujar Li Mei berbangga diri. Mumpung ada ibunya jadi bisa percaya diri di depan Chen dengan bebasnya. Pria itu tak akan bisa meluapkan amarahnya. Lien Hua tertawa kecil. "Kalau kau ingin belajar tentang pembuatan teh atau kopi, Li mei masternya." Chen memaksakan senyumnya meskipun dalam hati ingin memarahi Li Mei karena terlalu percaya diri jika buatannya paling lezat dan enak. Chen meminum teh hijau itu. Menilai rasa dan aromanya. Semuanya pas, ini adalah teh matcha terenak yang pernah ia coba. Li Mei memang jagonya! "Kalau kau mau dan tidak keberatan, ajari aku mengerjakan tugas logaritma dan aljabar ya? Itu membuatku pusing akhir-akhir ini. Deadline besok jam pertama," Li Mei ingin meminta bantuan Chen, ia yakin pria itu memiliki otak se-cerdas Einstein. Chen tak bisa menolak apalagi membantahnya dengan beralasan. Ada Lien Hua. Jadi dengan hati yang tidak ikhlas Chen mengangguk setuju dan mau. "Baiklah, kau mau belajar dimana?" Li Mei senang, Chen menjadi penurut asalkan ada ibunya. "Ruang belajarku. Ayo ikutlah." Chen mengikuti langkah Li Mei dan meminta izin pada Lien Hua. "Jagalah dia baik-baik Chen," pesannya. Pasti. Lagipula selera Chen bukanlah Li Mei, gadis itu sama sekali tak memenuhi kriteria-nya kecuali Fang Yi. Ah, kekasihnya yang cantik dan anggun. Chen jadi merindukannya. "Ini ruangan belajarku. Kau saja yang mengerjakannya ya? Nanti aku lihat disini," Li Mei menyuruh Chen duduk di kursi belajarnya. Lalu membuka buku tulis matematika dengan 15 soal essay. Chen mengernyit. Maksudnya apa ini? Apakah ia sendiri yang mengerjakan semuanya tanpa ikut campur tangan Li Mei? Enak sekali gadis itu. Tak ada pergerakan dari Chen, Li Mei sekali lagi mengulangi kata-katanya. Chen itu pendengar atau bukan sih. "Ya! Tak perlu kau setengah berteriak padaku. Memangnya aku ini-" "Ada apa ya kok ribut? Suaranya terdengar sampai ruang tamu," Lien Hua mengintip, penasaran dengan keributan apa yang terjadi terutama suara Li Mei yang kencang. "Tidak, tadi kakak Chen takut ada serangga melayang di jas-nya. Kakak Chen menjerit dan melompat ke kasur, aku kan tidak suka bu kalau tempat tidurku jadi berantakan. Maka dari itu, aku mengusir serangga melayang sampai keluar jendela. Sekian ceritanya, ternyata kakak Chen penakut," Li Mei meledek, wajah Chen berubah masam seperti perasan jeruk limau yang kering. Lien Hua mengangguk faham. Ia tergelak. "Ya ampun, serangga melayang juga tidak menggigitmu. Dia hanya terbang berkeliling mencari rumah baru." Chen bingung mau berkata apa, namun alangkah baiknya memilih diam daripada Li Mei tertawa lagi. Dan gadis itu tidak memanggilnya tuan melainkan kakak. "Kau! Aku ini adalah seorang tuan muda yang harus kau hormati. Bukan kakak kandungmu," bantah Chen setelah Lien Hua pergi. "Kerjakan saja tugasku. Disini aku duduk dan melihatmu," Li Mei duduk di samping Chen bisa melihat secara dekat wajah oriental itu. Garis rahang yang sempurna dan tegas, hidung mancung kebanyakan orang China dan alis tebalnya beserta bulu mata yang lentik menambah nilai sempurna sebagai pria tampan dan seksi dengan bibir yang membentuk setengah hati membuat Li Mei bergejolak memikirkan sesuatu yang meronta yaitu m*****. Chen yang merasa di tatap lekat oleh Li Mei pun menoleh memperhatikan gadis tukang melamun itu. Apakah mengagumi wajahnya? Chen tersenyum percaya diri, oh tentu saja karena tampan. "Kenapa? Baru sadar kalau aku sangat tampan bukan? Bukalah matamu seluas samudra agar menyadari di Bumi ini ada seorang pria ganteng dengan pesona-nya yang memukau," Chen mendeskripsikan dirinya itu dengan bangga. Li Mei tersadar, Chen jadi salah tingkah sendiri. "Memangnya kau kira aku langsung jatuh cinta denganmu setelah kau memarahiku di restoran waktu itu? Tidak ada kata ampun dan maaf," Li Mei bersidekap d**a. Segala pujian untuk Chen ia buang ke palung terdalam sejauh mungkin jika Chen belum meminta maaf atas sikap kasarnya. Haruskah Chen merendahkan sedikit gengsinya untuk mengatakan maaf pada seorang wanita dulu? Baginya Fang Yi meskipun pernah di marahi tak pernah menuntut maaf sama sekali. "Sorry," tidak ikhlas dan terdengar lesu. "Kalau kau ungkit soal itu lagi maka tugasmu ini tak akan pernah aku selesaikan," Chen marah. Rasa sabarnya sudah terkuras habis. Li Mei terkejut. "Eh tapi kerjakan ya? Aku pusing," mulai berlasan dan drama. Chen harus mengasihani-nya. "Hanya kau harapanku," binar mata Li Mei yang membulat itu mampu melukuhkan amarah Chen. "Baiklah, hari ini saja kau selamat. Suatu saat nanti tidak akan lagi," Chen memberikan peringatan bahaya. Lagipula kata maafnya itu langka. Beberapa menit Chen mengerjakan soal logaritma dan aljabar, suara Li Mei sama sekali tak terdengar di telinganya. Ketika menoleh ke samping kanan, ternyata Li Mei sudah tertidur pulang dengan kedua tangannya sebagai tumpuan. Nafas tertatur dan pipi yang menggembung lucu itu membuat Chen tanpa sadar menampilkan senyum bulan sabitnya. "Jika kau tidur seperti ini mirip sekali dengan kedamaian putri salju ketika terlanjur memakan apel beracun. Tapi tidak untukmu, tak ada yang boleh menyakitimu selain aku saja," sedikit ragu dan gugup Chen mengusap rambut Li Mei yang lembut dengan wangi buah-buahan yang menguar. Tapi perasaan Chen sedikit aneh ketika dekat dengan Li Mei. Ada sesuatu yang tak bisa di jelaskan. Ini juga sama terjadi ketika ia jatuh cinta pertama kalinya dengan Fang Yi. Apakah? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN