10. Li Mei Terluka

1870 Kata
Mau bagaimana pun juga, Chen masih memiliki rasa peduli dengan Li Mei. Ia mengejar langkah gadis merajuk itu. "Kenapa kau tak memakai sepatunya? Bagaimana nanti kakimu terluka," Chen memberikan perhatian kecil itu pada Li Mei. "Apa?" Li Mei menyahut tanpa menatap wajah Chen, pria ini selalu mengganggunya saat ia sudah tak membutuhkannya lagi. "Pakailah sepatumu. Jalan raya ini bisa melukai kakimu. Kalau ada paku, atau benda tajam lainnya pasti menyakiti kakimu sampai berdarah," Chen berusaha membujuk Li Mei agar menuruti perintahnya, hanya sebagai bentuk perhatian dan peduli. Baru kali ini Chen dekat dengan wanita selain Fang Yi. "Kalau aku tidak ingin tak perlu memaksanya. Lagipula hanya luka-ssh aw!" Li Mei meringis kesakitan saat sebuah paku menancap di kakinya. Chen panik. "Benar! Apa yang aku katakan. Aku ingin melihatnya. Tolong angkat kakimu," pinta Chen namun Li Mei menolaknya karena masih di jalan raya. "Kau gila!" seru Li Mei tak habis pikir. Chen mengernyit bingung, apakah ada yang salah? Ia masih waras dan tidak gila! "Jika aku mengangkat kakinya kalau itu terlihat-" "Oh, maksudmu yang da-aduh! Ya, obati saja sendiri. Aku tak berselera melihatnya," Chen sedikit menjaga jarak dari Li Mei yang agresif, kakinya baru saja diinjak sebelum ia menyelesaikan kata-katanya tentang hal sensitif. "Baguslah kalau kau menyadarinya. Kenapa tidak peka? Padahal yang aku inginkan adalah di gendong," di akhir ucapannya Li Mei mengecilkan suaranya, namun Chen mendengar itu dan langsung menggendong Li Mei seperti karung beras. Gadis itu memberontak dan berteriak seolah Chen adalah penculik. Namun semua orang yang melihatnya tidak peduli, mereka tau Chen itu siapa, tak ingin ikut campur lebih dalam. "Tolong turunkan aku!" Li Mei berseru kencang. Chen sedikit terganggu pendengarannya, suara yang melebihi kerasnya terompet itu membuat telinga Chen sakit. "Diamlah kau! Sudah baik aku menggendongmu agar tidak kesakitan dan semakin parah," Chen meninggikan suaranya dan sukses melakban mulut Li Mei sampai diam. Berjalan sejauh beberapa kilometer itu tentu saja menarik perhatian para pengguna jalan raya, Chen dan Li Mei seperti sepasang kekasih namun ada juga yang salah mengartikan keduanya saudara kakak-adik. Hingga sampai di rumah Li Mei, Chen menurunkan remaja perempuan itu di ruang tamu dan disambut baik oleh Lien Hua serta Jiazen. "Ada apa ini? Li Mei kenapa digendong? Seperti bayi saja," Jiazen bertanya pada Chen. "Kakinya terluka. Tadi Li Mei melepaskan sepatunya, lalu di jalan ada paku yang menancap. Sekarang haruslah dicabut sebelum tetanus." Apa? Dicabut? Li Mei tak bisa membayangkan bagaimana rasa sakitnya nanti. Sungguh Chen sama sekali tak memiliki peri kemanusiaan dan kasihan. Kejam. "Gak! Jangan mencabutnya jika itu kau yang melakukannya. Aku tidak setuju!" Li Mei membantah menolak usul Chen. Memang ada benarnya jika tak dicabut akan mengalami infeksi tetanus. "Aduh ayah! Lihatlah itu sampai meneteskan darah banyak. Bagaimana kalau Li Mei kehabisan-" "Ibu, aku baik-baik saja," Li Mei menyela menenangkan ibunya yang khawatir. "Apakah ada kotak P3K?" Chen bertanya. Mengobati adalah hal yang mudah baginya. "Ada, sebentar," Lien Hua bergegas mengambil kotak penyembuhan dengan berbagai obat itu. Setelah kotak P3K itu diberikan, Chen dengan hati-hati mencabut paku itu di kaki Li Mei sampai menangis bahkan mencengkram jas kantornya saking sakitnya. "Ahh! Stop! Kau ingin membuatku mati muda?" Li Mei menatap Chen tajam. Aura permusuhan yang berkilat di matanya itu terpancar begitu jelas. Chen berdecak kesal. "Diamlah! Ini selesai jangan terlalu banyak protes dan bergerak!" Li Mei terdiam. Selain pemarah, Chen juga memiliki rasa sabar. Hati Li Mei menjadi tenang, jika saja Chen adalah kekasihnya maka Li Mei tak akan melepaskannya begitu mudah bahkan menyakiti hatinya sekalipun rasanya enggan. Tapi Li Mei juga ingin tau apakah perlakuan Fang Yi selalu baik kepada Chen? "Sudah selesai. Saranku besok jangan pergi ke sekolah. Ambil saja keterangan sakit dua hari, setelahnya kau baru bisa bersekolah kembali," ujar Chen memberikan saran bijaksananya dan itu disetujui oleh Lien Hua serta Jiazen. "Benar apa yang dikatakan oleh Chen, sebaiknya berdiam diri saja dulu di rumah sampai kondisi kakimu pulih," ucap Lien Hua. Ah, kalau begini Li Mei terpaksa menurut, percuma saja ia menolak nasehat Chen tapi kedua orang tuanya sudah setuju. "Terima kasih ya Chen, sudah mengobati putri kami," Jiazen menyalami Chen. Pemuda tampan yang rendah hati, aku lebih segan jika Chen bersama Li Mei batinnya dalam hati. Pemikiran Jiazen untuk menjodohkan Li Mei dengan Chen pun muncul. "Kalian berdua cocok dan serasi," Jiazen mengatakannya secara terang-terangan sampai Chen dan Li Mei menatap penuh rasa bingung dan heran. Apa? Cocok? Tidak! Chen itu bukanlah sederajat dengannya, pasti keluarganya menyukai Fang Yi karena wanita itu berkelas juga fashionable. Sedangkan dirinya cuma remaja perempuan yang kuno ketinggalan zaman dengan gaya penampilan. Tidak akan pernah ada kecocokan antara dirinya dan Chen. "Tapi dia punya kekasih. Ah, aku tidak mau menjadi perusak hubungan orang," Li Mei menghela nafasnya lelah dan itu tidak luput perhatiannya dari Lien Hua dan Jiazen. "Benarkah itu Chen? Aku kira jomblo," Lien Hua masih tidak percaya, tapi benar juga karena Chen pemuda yang tampan dan mapan wanita siapa yang tak tertarik dengan pesonanya? "Aku mau istirahat," Li Mei kehilangan mood-nya. Malas menatap Chen, membahas kekasih membuat hai Li Mei cemburu. "Li Mei! Chen seharusnya ditemani ajak ngobrol!" seruan Lien Hua tak digubris oleh Li Mei, hanya tersisa suara pintu kamar yang tertutup sedikit keras. Di kamar, Li Mei tidak peduli. Mengobrol hal apa? Ia sadar diri harus menjaga batasan karena Chen memiliki kekasih. "Mulai sekarang, aku harus menjauh darinya," Li Mei berjanji pada dirinya sendiri. Tidak bergantung lagi dengan Chen dan pulang sendiri seperti dulu. *** Hari ini Li Mei tidak masuk sekolah, kakinya masih sakit digunakan berjalan saat ia coba. Lien Hua menemani Li Mei bahkan mengajaknya nonton TV, sedangkan Xiao Mei menasehati sang kakak sedikit lama karena kecerobohannya saat berjalan yang kurang berhati-hati. "Sudahi bicaramu. Berangkatlah ke sekolah, jangan sampai terlambat," Lien Hua ikut nimbrung, bosan mendengar Xiao Mei yang cerewet tapi itulah bentuk perhatiannya kepada Li Mei. "Ok. Nanti aku akan mengatakannya pada kedua sahabatmu itu kak, agar mereka tidak mencarimu dibawah kursi," ujar Xiao Mei sedikit bergurau dan itu berhasil membuat kakaknya tersenyum. Di Qinteng, Chu Yinyin mondar-mandir menunggu kedatangan Li Mei, Xia Er menyarankannya agar duduk daripada terkena duri kaktus. "Itu hanyalah mitos! Kau terlalu mengada-ngada," Chu Yinyin tetap berjalan kesana-kemari seperti setrika yang bekerja menghaluskan pakaian kusut. "Itu ponselmu berkedip terus. Ada notifikasi dari siapa?" Xia Er menunjuk ponsel Chu Yinyin yang tergeletak diatas meja. "Sebentar, ini pesan dari Xiao Mei" "Apa?" "Li Mei sedang sakit! Kenapa kita baru tahu sekarang? Ayo nanti kesana." "Satu kelas boleh?" "Gak!" Chu Yinyin menggeleng. "Cukup aku dan Xia Er saja yang mewakili. Kalian disini." "Apa yang membuat Li Mei sakit? Kemarin dia masih sehat," Chu Yinyin tampak berpikir. Li Mei selalu menerapkan pola hidup sehat, makanannya terjaga dan seimbang. "Mungkin karena kehujanan. Kemarin kan dia pulang karena Li Bai." Merasa namanya disebut, Li Bai menoleh menatap Xia Er yang duduk di seberangnya. "Ada apa? Aku tak pernah melalukan kesalahan. Hanya bercerita yang sebenarnya jika Chen memang benar menginap di rumah Fang Yi," jelas Li Bai dengan santainya, wajahnya yang tengil itu mendefinisikan nakal tersembunyi. "Kau ini! Seharusnya tak perlu mengatakan hal itu pada Li Mei. Kau tidak memikirkan bagaimana perasannya yang sakit hati setelah tau," Chu Yinyin berseru marah. "Biarlah. Perempuan seperti dia harus sakit hati. Memutuskan aku dan memilih Chen yang sudah jelas punya kekasih, menjadi perebut dan penghalang. Perebut pacar orang, bukan pelakor lagi," Li Bai menyanggah perbuatannya, membela dirinya sendiri dan tak ingin di salahkan. *** Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Chu Yinyin dan Xia Er ke rumah Li Mei. Namun siapa sangka ternyata Chen juga ikut dan menawarkan tumpangan. Dua siswi itupun tidak mungkin menolaknya selain lumayan gratis daripada naik transportasi. "Terluka kenapa Li Mei? Pasti semua itu gara-gara dirimu!" Chu Yinyin menyalahkan Chen, kebetulan ia duduk disebelah pria itu dan suaranya membuat Chen terganggu karena berisik sampai tidak fokus menyetir. "Hanya menginjak sebuah paku. Melepas sepatunya dan berjalan tanpa alas kaki," Chen berkata sejujurnya, itu salah Li Mei sendiri yang merajuk karenanya. "Temanmu itu marah karena aku tidak mengangkat 29 teleponnya dan membalas 4 pesan yang terbengkalai. Sampai marah dan akan meloncat di jembatan gantung ditengah hujan deras. Kemacetan Guangzhou kemarin semakin menjadi gara-gara dia!" "Tapi Li Bai menceritakannya dengan sedikit bumbu penyedap rasa sampai Li Mei keluar dari sekolah tanpa izin dengan guru. Bolos lima mata pelajaran!" Xia Er menambahinya. Chen tetap menyetir, menyahuti dua cewek membuat Chen pusing memikirkanya. "Chen tidur dengan Fang Yi. Mereka menginap dalam satu hari semalaman, itulah mengapa Chen mengabaikanmu Li Mei," Chu Yinyin sedikit memodifikasi ucapan Li Bai secara ringkas namun menyayat hati langsung. Tidur? Li Bai fitnah, lagipula Fang Yi hanya ingim ditemani makan. Pulang jam 9 malam setelah ia memastikan keamanan rumah Fang Yi. "Aku minta maaf-" "Minta maaf dengan Li Mei! Bukan kita!" seru Chu Yinyin marah. Serba salah, Chen capek ternyata Li Mei dan dua temannya itu sama saja. Meribetkan. *** Setelah sampai dirumah Fang Yi, mereka disambut baik oleh Lien Hua. "Kalian? Ramai sekali ya datang semuanya," Lien Hua menyuruh mereka duduk. "Sebentar, aku akan panggil Li Mei dia sedang istirahat. Sama sekali dikamar, keluar saja hanya mandi dan makan." "Kasihan sekali ya?" Chu Yinyin berbisik pada Xia Er namun matanya melirik Chen. Dan yang merasa di gosipkan hanya diam. Chen mendengarnya namun tidak peduli. Li Mei terbelalak saat menyadari ada Chen yang datang tapi amarahnya itu lenyap ketika dua sahabatnya ikut hadir, Chu Yinyin yang cerewet dan Xie Er yang pendiam. "Kau kenapa disini? Bekerjalah dan konsisten dengan urusanmu," Li Mei menasehati, jalannya tertatih karena kakinya belum sembuh. Karena pertanyaan di tunjukkan pada Chen, ia pun menyahut. "Aku kesini karena ingin tau perkembangan kondisimu sekarang bagaimana. Apakah masih sakit atau mendingan," tuturnya dengan lembut namun cepat tanpa jeda seperti rel kereta api. "Oh. Tidak peduli lagi dengan pacarmu itu?" Li Mei bertanya nyinyir. Tidak suka mengungkit tentang Fang Yi lagi, perempuan itu pernah merendahkannya tempo lalu dimana ia tak bisa makan menggunakan garpu. "Setelah ini aku akan menemaninya makan siang di kantor." Sial, menemani katanya. Li Mei sebisa mungkin menetralkan wajahnya agar tidak menjelaskan suasana hatinya yanh sedang terbakar api cemburu. "Sekarang saja enyahlah darisini dan urusi pacarmu!" Li Mei tidak tahan dan mengusir Chen, tapi pria itu sama sekali tak bergerak hanya duduk manis memperhatikannya dengan kedua mata hazel tajam menyihir hatinya. "Eh, kenapa disuir Chen? Biarkan saja dia mampir disini. Lama juga boleh," ujar Lien Hua memberikan izin. "Ibu, Chen sekarang sedang lembur. Kalau dia berlama-lama nanti pekerjaannya di kantor semakin banyak," Li Mei memberikan dalih alasan klasik, pokoknya Chen harus pergi. Ia masih marah dengan Chen. Baiklah kalau itu memang keinginan Li Mei, ia tidak akan terlalu lama disini. "Sebentar saja. Sebelum aku pergi, aku ingin menyuapimu makan. Ibu, ambilkan nasi dan lauk serta tambahan sayur agar Li Mei sembuh," Chen beralih menatap Lien Hua meminta tolong diambilkan sepiring makanan untuk gadis ayu di hadapannya ini. "Baiklah, tunggu sebentar." Li Mei sempat ingin memprotes namun ibunya sudah terlanjur menuruti Chen. Di suapi pria itu di hadapan kedua sahabatnya? Apa kata mereka? "Cie yang di suapi oleh kakak Chen. Pasti di dalam hatinya berbunga-bunga dan ada kupu-kupu yang berterbangan," Chu Yinyin menggoda Li Mei. "Apasih, aku sama sekali tidak mau di suapi karena aku adalah remaja yang beranjak dewasa bukan anak-anak atau bayi," Li Mei membantah dengan wajah di tekuk seperti centong sayuran. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN