Mengingatnya

1147 Kata
Ternyata setelah sesi perkenalan usai, Julian Anderson selaku presiden direktur baru di perusahaan meminta tiap-tiap perwakilan divisi yang hadir untuk keluar meninggalkan ruang pertemuan secara perkelompok agar ia bisa mengenali satu persatu wajah karyawannya. Walau tidak mampu mengingat semua, setidaknya ia tahu tipe-tipe wajah yang bekerja untuk perusahaan yang akan dipimpin mulai hari ini. Apalagi perwakilan yang hadir tiap divisi adalah orang-orang pilihan karena tidak semuanya bisa turut hadir di acara penting siang ini. Tubuh Maulia menegang di tempat mendengar pengumuman itu. Niat hati ingin berusaha sekeras mungkin untuk menghindar agar tak bertatap muka demi tidak dikenali oleh Julian, kini hancur karena itu hanyalah rencana yang sia-sia. Dari ratusan karyawan dan jajaran direktur yang hadir, mungkin hanya Maulia yang menghela napas berat setelah perintah itu diumumkan. Telapak tangannya mulai basah karena keringat dingin, begitupun dengan dahinya. Padahal suhu di ruang pertemuan ini sangat dingin, tetapi hanya Maulia yang berkeringat saat hendak bersiap untuk keluar dari ruangan tapi harus melewati Julian terlebih dahulu. "Ya ampun, gimana ini? Kalau dia sampai lihat aku dan tau aku kerja di sini, bisa-bisa aku dipecat detik ini juga." Perasaan gelisah kian tak menentu. Maulia bingung dan akhirnya pasrah akan nasibnya. Saat Maulia melangkah bersama tim satu divisi, rasanya ia enggan mengangkat wajah yang sejak berdiri terus saja menunduk. Sampai akhirnya deheman khas milik seseorang membuat Maulia langsung menegakkan kepala tanpa ia sadari langkahnya kini berhenti tepat di hadapan Julian. Tak ada senyuman, apalagi sapaan yang diberikan oleh Julian saat pandangan mereka saling bertemu. Wajahnya datar tanpa ekspresi, tatapannya begitu dingin seolah menusuk relung hati. Sampai akhirnya Maulia harus kembali melangkah dan posisinya digantikan oleh yang lain. Hingga tanpa terasa ia berhasil keluar dari ruangan yang membuatnya sesak bukan main. "Kenapa dia menatapku seperti tadi? Dia sama sekali nggak nyapa dan kita benar-benar seperti dua orang asing. Walau sebanci apa pun dia sama aku, dia boleh ngomong apa aja atau minta aku langsung buat keluar dari perusahaannya. Apa mungkin dia udah nggak mengenaliku? Ya, bisa jadi dia udah nggak ingat aku karena pernikahan kita berakhir tujuh tahun lalu. Seharusnya bagus dong jadi aku nggak perlu resign dan bisa tetap kerja di sini, tapi kenapa hatiku rasanya sakit sekali?" Maulia menekan dadanya yang berdenyut nyeri. Entah kenapa Maulia justru berharap Julian mengucapkan sepatah dua patah kata saat pertemuan mereka tadi. Sekalipun kata-kata yang menyakitkan, ia akan menerimanya, bahkan ia rela pergi meninggalkan perusahaan yang sudah memberikan gaji lebih dari cukup untuk kehidupannya jika Julian meminta hal itu. Namun, mantan suaminya itu seolah tidak mengenalnya. Maulia benar-benar seperti orang asing yang tidak ada di dalam ingatan Julian. "Nggak! Aku nggak boleh punya perasaan kayak gini. Biarin aja dia nggak ngenalin aku, jadi aku nggak perlu capek-capek berusaha buat menghindar. Sekarang aku bisa tenang melanjutkan pekerjaan di perusahaan ini tanpa harus punya pikiran buat mundur cuma karena takut kehadiran aku buat dia makin benci sama aku. Toh, dia nggak ingat siapa aku. Aku memang semudah itu dilupain sama laki-laki seperti dia! Ini bukan salah aku, aku udah sejauh ini pergi dari Jakarta buat menghidar dari dia, tapi justru dia yang datang ke tempat ini dan jadi presdir di perusahaan tempat aku kerja." Maulia berusaha melerai perasaan gamang yang menguasi kepala sejak pertemuannya dengan Julian tadi. Kini ia mencoba untuk kembali bersikap seperti sebelum Julian menginjakkan kaki di perusahaan ini dan menjabat sebagai presiden direktur. Mau bagaimanapun mereka tidak ada hubungan apa-apa, semuanya sudah berakhir tujuh tahun lalu bersamaan dengan selesai kontrak yang ditandatangani. Setelah berhasil menenangkan perasaannya sendiri, Maulia pun kembali melanjutkan langkah yang sempat terhenti, dan sejenak mengasingkan diri di toilet. Ia harus kembali ke lantai tempatnya bekerja karena masih ada tugas laporan yang harus diselesaikan. Namun, saat baru selangkah keluar dari area toilet wanita, tubuh Maulia tanpa sengaja menabrak tubuh seseorang. Seketika jantungnya berhenti berdetak saat wangi khas seseorang yang masih tersimpan jelas dalam ingatan terendus dan mendominasi indera penciumannya. Maulia berharap seseorang yang tidak sengaja ditabraknya bukan Julian. Untuk memastikannya wanita itu segera mengangkat kepala yang sebelumnya menunduk saat berjalan untuk menutupi matanya yang merah. Maulia tergagu. Ia yang tadinya hendak menyebut nama Julian, tetapi kemudian urung. Julian tidak mengenalinya, jadi ia harus berpura-pura tidak mengenali pria itu juga. "Maaf, Pak. Saya nggak sengaja nabrak Bapak karena tadi kurang fokus." Walau gugup, Maulia merasa perlu mengatakan hal itu untuk menghormati Julian yang merupakan orang nomor satu di perusahaan ini. Julian tidak menjawab. Sorot mata seolah mengunci pandangannya tepat di wajah Maulia. Tatapannya begitu dalam seakan tengah menelisik isi kepala wanita itu. Maulia langsung menunduk saat ditatap seintens itu oleh pria yang pernah menjadi suaminya. Ia berharap Julian tetap tidak mengingat apalagi mengenalinya karena kejadian yang diakibatkan oleh kecerobohannya. "Ikut saya ke ruangan!" Perintah itu lolos setelah Julian cukup lama memandangi wanita yang telah menabraknya. "A–apa, Pak?" Sontak saja Maulia kembali mengangkat wajah dan menatap Julian untuk bertanya. "Kamu ikut ke ruangan saya!" Tunjuknya dengan tegas. Sementara asisten pribadi yang sejak tadi berdiri tepat di belakang Julian hanya diam dan tak menanggapi apa-apa. "Tapi ada apa ya, Pak? Kenapa saya dipanggil ke ruangan Bapak? Apa saya melakukan kesalahan fatal yang merugikan perusahaan?" Jelas saja Maulia panik karena Julian tiba-tiba menyuruhnya untuk ikut ke ruangan presdir. Sementara tidak ada satupun karyawan biasa sepertinya yang dipanggil untuk ke ruangan orang penting nomor satu di perusahaan. Namun, orang yang ditanya malah tidak menjawab dan berlalu pergi begitu saja, diikuti oleh sang asisten. Mau tidak mau Maulia pun ikut mengekor di belakang sambil memilin jemarinya yang seketika terasa dingin. Ada banyak pertanyaan yang mengganjal di hati, tetapi tak bisa diungkapkan saat ini juga. Setelah menaiki lift menuju lantai 12, lantai yang berisi ruangan presiden direktur dan jajaran direktur, Maulia pun akhirnya sampai di ruangan Julian. Hanya ada dirinya dan Julian setelah asisten yang sejak tadi mengekor akhirnya keluar begitu selesai meletakkan beberapa berkas di atas meja kerja Julian yang luas dan dipenuhi tumpukan kertas juga map-map di atasnya. Saat pintu tertutup rapat, Julian memutar tubuhnya menghadap Maulia yang tampak gelisah. "Apa kamu tahu salah kamu apa?" Akhirnya pertanyaan itu terlontar dari mulut Julian yang terdengar penuh penekanan. Maulia sempat kesulitan menelan salivanya sendiri saat ditanya seperti itu. Namun, ia segera menganggukkan kepala, mengakui kesalahan. "Tahu, Pak. Saya melakukan kesalahan karena sudah menabrak Bapak saat keluar dari toilet. Saya benar-benar minta maaf, Pak. Saya nggak sengaja melakukannya dan saya bersedia menerima hukumannya agar kesalahan saya bisa dimaafkan." "Kamu yakin kesalahan kamu hanya itu saja?" Julian kembali bertanya yang membuat Maulia jadi bergidik ngeri. "Saya yakin, Pak, kesalahan saya hanya itu karena selama bekerja di perusahaan ini saya tidak pernah berani macam-macam apalagi sampai melakukan korupsi." Maulia langsung berkata jujur apa adanya. Ia sebenarnya merasa khawatir jika selama bekerja sebagai staf marketing executive pernah melakukan kesalahan kecil dalam menyusun laporan penjualan yang membuat keselisihan perhitungan yang mungkin saja tidak disadari Maulia. "Kesalahan kamu banyak, Maulia Karlina! Dan luar biasa sekali kamu menganggap tidak punya salah selain kejadian tadi!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN