Awalnya Vanilla menolak untuk pulang ke apartemen Arga. Namun, pria itu tetap memaksa lagipula saat ini Vanilla memang tidak tahu harus kemana.
Karena merasa ditatap oleh Arga, Vanilla menoleh dan mengangkat sebelah alisnya.
"Van, saya tahu kamu gadis yang kuat tapi tidak ada salahnya kalau kamu menangis, itu bisa sedikit meringankan beban di pundakmu."
Vanilla tersenyum miring. "Air mata gue terlalu berharga untuk menangisi hal yang gak penting."
Ingin rasanya Arga memeluk Vanilla hanya untuk sedikit memberinya kekuatan, tapi ini bukan waktu yang tepat karena dia tahu Vanilla masih menjaga jarak. Lihat saja, sekarang mereka duduk satu sofa tapi dengan jarak yang lumayan jauh.
"Van, kenapa kamu pacaran dengan adik saya. Bukannya kamu tidak percaya adanya cinta di dunia ini?"
Tidak ada jawaban dari Vanilla karena tidak semua hal bisa dia ceritakan kepada Arga.
Arga tahu Vanilla butuh teman curhat, ia mendekat dan menepuk pelan bahu Vanilla. "Menangislah, kamu gak akan terlihat cengeng jika menangis."
Arga dapat mendengar Vanilla mulai sesenggukkan dan perlahan air matanya turun begitu saja membasahi pipi putih Vanilla. "Gue rapuh!" ujar Vanilla di sela isak tangisnya.
Pria itu membawa Vanilla ke pundaknya, membiarkan Vanilla itu bersandar dengan nyaman. "Mungkin kamu bisa sedikit berbagi tentang kehidupan kamu."
Vanilla menghapus air matanya, ada sedikit kelegaan saat dia menumpahkan keluh kesahnya melalui air mata, tanpa disadari Arga lah yang meyakinkan Vanilla bahwa menangis itu bisa sedikit meringankan beban. "Gue broken home, Kak."
Arga bukan kaget karena Vanilla yang broken home tapi karena Vanilla memanggil dirinya Kak, ada perasaan yang tak biasa saat Arga mendengar panggilan itu, Arga bahagia. Seulas senyum terukir di bibir Arga.
"Kalau gue ceritain tentang keluarga gue, miris banget sumpah mungkin lo gak akan percaya."
Arga mengusap kepala Vanilla. "Saya akan menjadi pendengar yang baik."
Vanilla menghembuskan napasnya. "Gak ada yang tahu seberapa hancurnya keluarga gue. Bahkan, Nadine atau Agas, gue gak suka mereka dekat sama gue hanya karena kasihan mengetahui kehancuran keluarga gue."
Vanilla mengangkat wajahnya dan menatap Arga. "Jadi, lo gak usah tahu tentang kehidupan keluarga gue."
"Saya berhak tahu karena saya calon suami kamu!"
Vanilla tersenyum miring. "Calon suami? Lo masih bisa bilang kayak gitu di saat Ayah lo dengan terang-terangan gak suka sama gue?"
"Kamu menikah dengan saya bukan dengan ayah saya."
"Tapi—"
"Saya gak butuh restu dari mereka, di saat hati saya sudah menetapkan pilihannya, kamu adalah pilihan saya."
Vanilla menghela napas. "Restu mereka penting, lo gak akan bisa hidup enak, gak akan bisa jadi dokter tanpa jasa orangtua lo dan sekarang bilang gak butuh restu mereka?" Vanilla memejamkan matanya sejenak. "Cukup keluarga gue yang gak menginginkan kehadiran gue jangan ditambah lagi oleh keluarga lo."
"Kamu ingin berhenti? Bahkan kita belum memulainya, Van."
"Lebih baik gue mundur sebelum gue lebih sakit lagi, gue gak mau mendapat penolakan untuk kesekian kalinya."
Vanilla beranjak dari tempat duduknya lalu melangkahkan kaki ke kamar yang akan dia tempati, jujur dia tidak sanggup menghadapi kenyataan hidup yang seperti ini, usianya masih cukup muda tapi masalah hidupnya amat berat.
Tiba-tiba Arga memeluk Vanilla dari belakang. "Saya cinta kamu, Van. Mungkin ini terlalu cepat tapi saya bisa merasakan hati saya bahagia saat di samping kamu dan saat menatap matamu hati saya berdebar. Love at first sight." Bisiknya.
Vanilla menegang mendengar pengakuan Arga, dia diam tanpa kata bahkan untuk sekadar berucap satu katapun bibirnya terasa kelu.
"Maukah kamu berjuang bersama saya?"
Vanilla menggeleng lalu melepaskan pelukan Arga. "Gue mundur."
Arga menelan ludahnya susah payah mendengar jawaban dari Vanilla.
Kalau begitu biarkan saya yang akan memperjuangkan kamu.
***
Arga kembali ke kamarnya, dia akan mencari tahu siapa Vanilla, mulai melacak i********: milik Vanilla dan sialnya ternyata dikunci. Dengan lihai dia mencari i********: Aref seperti yang dikatakan Wisnu bahwa Vanilla mempunyai saudara bernama Aref.
Setelah menemukan i********: tersebut, matanya melotot sempurna. Kalau gak salah dia seangkatanku saat SMA?
Dia mengingat siapa Aref ini, lalu menghubungi seseorang yang bisa memberitahunya info tentang Aref.
Dia mengirim w******p kepada Alvaro.
Arga : Alvaro?
Alvaro : iya?
Arga : lo dulu sekelas sama Aref ngga sih?
Alvaro : Aref saha?
Arga : Aref frederick
Alvaro : oh dia, iya sekelas. Kenapa?
Arga : lo tahu gak tentang kehidupan dia gimana?
Alvaro : ya allah, Ga. Gue bukan stalker-_-
Arga : tapi seenggaknya lo pasti tahulah tentang kehidupan dia walaupun cuma sebesar biji tomat
Alvaro : bahasa loh gak elitte banget, kalau gak salah Aref itu anak broken home, orangtuanya cerai pas kelas 12 kayaknya, dengar-dengar sih karena bokapnya si Ares nikah lagi dan istrinya minta cerai, lebih parah lagi cewek itu si Ariana anak ipa4 yang cantik dan body nya kayak gitar spanyol. Dan si Ariana itu adalah ceweknya si Aref, cuma itu yang gue tahu. Gue gak begitu dekat sama dia jadi gak tahu lebih dalam infonya
Arga : jadi itu penyebabnya, berarti ibu tirinya si Aref itu mantan ceweknya dan lebih parah lagi mereka seumuran
Alvaro : nah iya, yang gue tahu lagi. Ibunya si Aref semenjak perceraian itu pergi ninggalin anaknya. Yang gue tahu si hubungan Aref sama Ariana semenjak kejadian itu kayak orang asing. Gak tahu deh kalau sekarang.
Arga : ok, thanks infonya. Kalau ada kabar terbaru tentang Aref kasih tahu ya
Alvaro : sip, btw kenapa tiba-tiba lo tanya tentang Aref?
Arga tidak lagi membalas pesan dari Alvaro.