7

825 Kata
Arga sedang berkutat di dapur dengan berbagai peralatan masak, dia sedang membuat sarapan untuk dirinya dengan Vanilla, sederhana memang tapi cukup enak dan mengenyangkan. Arga memang tidak sejago chef Juna tapi untuk ukuran seorang dokter dia bisa dikatakan pintar dalam hal memasak. Setelah selesai memasak, Arga menyiapkan nasi goreng di atas meja kemudian Vanilla menghampirinya. "Lo bisa masak?" tanya Vanilla. "Gak jago sih, cuma sekadar masak nasi goreng mah bisa," dia menarik salah satu kursi di meja makan. "Ayo, makan." Tanpa disadari seulas senyum terukir di bibir Vanilla, dia mulai menyendokkan nasi goreng ke dalam piringnya dan mulai memakannya. Setelah suapan pertama tertelan ke dalam perutnya, dia memberikan pujian atas masakan Arga. "Enak." Arga ikut tersenyum. "Thanks, saya memang lebih memilih masak sendiri kalau ada waktu." "Kak, geli tahu. Lo nyebut diri lo saya." "Kalau begitu kamu gak boleh bilang 'lo-gue'." Vanilla menghela napas kemudian mengangguk. "Ok, aku coba." Gila cowok sekeren ini. Dokter lagi, kenapa harus gue yang dia pilih. Gue gak ada apa-apanya dibanding dia, gue b**o dalam hal pelajaran, gak kuliah, gue nakal walau sekarang gak sih. Pokoknya kalau disandingkan sama dia gue gak cocok. Dan yang lebih penting dia tumbuh dan kembang di keluarga utuh sedangkan gue hanya seorang anak broken home. "Setelah selesai sarapan aku ingin ngobrol sama kamu, kebetulan hari ini aku shift siang di rumah sakit." Vanilla mengangguk kemudian mereka menghabiskan makanannya dalam diam. *** "Ada apa?" Vanilla duduk di samping Arga yang sudah terlebih dahulu duduk di sofa ruang tengah. Arga menatap Vanilla seraya menampilkan seulas senyum. "Boleh aku tanya tentang seputar kehidupan pribadimu?" Vanilla terkejut meski begitu ia tetap mengangguk karena ia juga penasaran apa yang akan ditanyakan oleh Arga. "Kenapa kamu diusir dari rumah?" Sudah Vanilla duga kalau Arga akan bertanya seperti itu, mungkin tidak ada salahnya kalau dia sedikit terbuka dengan Arga lagipula pria ini cukup baik dengannya. "Setelah aku pulang dari apartemen kak Arga waktu itu, aku bertengkar sama Papaku. Aku gak terlalu sedih sih keluar dari rumah itu karena percayalah rumah itu seperti neraka." "Kenapa?" "Apa sih yang membanggakan tinggal dengan ibu tiri apalagi jarak kami cukup dekat? Bahkan, untuk memanggilnya 'mama' aku gak sudi." Ketika dia punya pilihan untuk menangis sekencang-kencangnya, dia masih berusaha tersenyum dan berlagak seakan semuanya baik-baik saja. "Kamu gak punya kakak atau adik?" "Punya Abang tapi kami gak terlalu dekat karena Abang itu anak pecinta alam, jarang di rumah lebih sering ke gunung atau laut sama teman-temannya. Apalagi setelah tamat SMA, Abang mutusin untuk tinggal sendiri di apartemen dan dia sekarang adalah fotografer." Sedikit banyak Arga cukup tahu tentang keadaan Vanilla, dia senang akhirnya gadis ini mau terbuka dengannya. "Kalau boleh tahu kenapa Abangmu gak tinggal di rumah?" "Ibu tiriku itu adalah mantannya Abang kemudian dia memilih pergi karena gak mau tinggal serumah dengan mantannya itu. Aku ataupun abang gak ada yang menerima kehadiran dia." "Keluargaku berantakan, kak. Kita gak seimbang kalau dipersatukan," lanjutnya. "Aku memilihmu bukan karena kamu siapa, aku gak peduli siapa kamu. Yang aku tahu, hatiku yang telah memilihmu." Arga menatap lembut Vanilla kemudian ia mengusap pelan rambutnya. "Aku gak butuh kamu yang sempurna, aku mencintai semua kekuranganmu. Lagipula aku juga bukan pria yang sempurna." Pria itu menempelkan bibirnya ke bibir Vanilla tanpa pergerakan, kemudian dia meraih tangan Vanilla dan meletakkan di dadanya setelah itu ia menjauhkan bibirnya. "Rasakan ritme jantungku, jantung ini akan berdebar kencang saat bersamamu." Tidak ada respon dari Vanilla. "Kamu masih mencintai Agas?" Vanilla terkejut dengan pertanyaan Arga. "Kamu ingat, aku pernah bilang kalau aku gak pernah percaya akan adanya cinta?" Arga mengangguk. "Itu termasuk hubunganku dengan Agas, dia cowok pintar selalu sibuk dengan kegiatan sekolah, sibuk ikut olimpiade sana sini, apalagi dia anak OSIS dan ketua ekskul pramuka. Jadi, hubunganku dengan dia itu rasanya hambar." "Taken rasa jomblo," lanjutnya. "Lalu intinya rasa kamu ke dia bagaimana?" "Seperti hubungan kami, hambar. Walau aku gak pungkiri aku kangen sama dia. Ya, setidaknya dia pernah menjabat sebagai pacarku." "Mulai sekarang kamu hanya boleh kangen sama aku, di pikiran dan hati kamu hanya boleh ada aku. Bukan Agas atau siapapun." "Kenapa?" "Because you are mine." "Tapi sayangnya aku gak percaya adanya cinta." Arga meyakinkan Vanilla. "Jangan hanya karena kamu tersakiti oleh keluargamu, kamu jadi gak percaya cinta. Vanilla Fredella, cinta itu ada. True love is real." "Tapi kenapa kel-" "Sudah aku bilang, jangan hanya berpatokan pada satu sudut pandang. Belum tentu apa yang kamu alami sebelumnya akan kamu alami di kemudian hari, jika sebelumnya kamu ditelantarkan bukan berarti akan merasakan hal yang sama di masa depan." "Kenapa Kak Arga bisa menjamin seperti itu?" "Karena ada aku yang akan berusaha membuatmu bahagia." "Itu bukan perkataan bullshit yang akan jadi sampah 'kan?" Arga menggeleng. "So, will you be my wife?". "Say yes please." Vanilla, Arga itu tulus sama lo. Lo jangan menyia-nyiakan orang yang tulus karena itu hal sulit sekali didapatkan. Lo akan bahagia kalau memilih Arga. Bisikan dari hatinya itu mampu mengubah presepsi Vanilla tentang Arga dan yang terpenting tentang cinta. "Yes, i will."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN